Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Aku mulai melangkahkan kakiku. Berjalan
diantara pohon-pohon tinggi yang menjulang keatas dengan daunnya yang lebat.
Suara dari rumput dan ranting yang kuinjak diperjalananku seakan menjadi sebuah
musik pengiring. Tak lama, aku melihat sebuah robot drone melintas yang sedang
mengambil gambar. Robot drone itu terbang melintas melalui pohon-pohon untuk
mencari para player yang ada.
Drone itu sempat melirik kearahku,
namun nampaknya dia agak mengabaikan keberadaanku. Tiba-tiba, aku mendengar
sebuah suara dari ranting yang patah dari belakang. Saat aku menengok, ternyata
itu adalah sebuah ogre yang sudah siap mengayunkan gada besarnya kearahku dan
pohon-pohon yang ada disekitarku. Namun, aku berhasil menghindar dengan cara
menunduk, aku menarik pedangku dan menebas lututnya. Tebasan itu membuatnya tak
sanggup untuk berdiri.
Sementara dia terjatuh, aku
mengaktifkan skill Moonlight Sword dan menebas dada dari monster ogre itu.
Suara dari pedangku yang menebasnya menggema keseluruh hutan membuat beberapa
hewan menjadi takut dan bersembunyi. Namun, tebasan itu membuatnya kalah telak
dalam satu serangan. Setelah tubuh dari ogre tersebut menghilang, aku
menyarungkan kembali pedangku dan menengok kerobot drone tadi—robot yang terbang
itu. Tapi, ternyata robot itu sudah tak ada disana.
Aku memutuskan untuk melupakan drone
tersebut dan kembali berjalan menyusuri hutan ini. Tak lama setelah aku
berjalan kembali, aku mendengar suara percakapan antara Leila dan Zaki.
Nampaknya mereka sedang mengobrol bersama sembari mencariku dan Sindy. Aku
bersembunyi diantara semak-semak sambil membuntuti mereka. Aku bisa saja
menyerang mereka, namun apa aku harus melakukannya. Atau aku harus mencari
Sindy terlebih dahulu. Ini adalah saat-saat dimana aku harus memilih, bekerja
sama, atau bergerak sendiri.
Zaki berhenti, dia menengok
kebelakang—kesemak-semak dimana aku bersembunyi. Nampaknya, dia mendengar suara
langkah kakiku dan suara gesekan tubuhku dengan daun-daun yang ada disemak.
“A-ada apa, Maulana?” Leila yang sedang berjalan, ikut berhenti dan menghampiri
Zaki.
“Tidak, kurasa hanya perasaanku
saja....” Zaki kembali berbalik dan melanjutkan perjalanannya bersama Leila.
Sejak saat itu, aku lebih berhati-hati
dalam membuntuti mereka. Disaat aku sedang membuntuti mereka, lagi-lagi ada
ogre yang menyergapku dari belakang. Dia menghantamkan gada besarnya itu
kearahku, aku berhasil menghindar dengan menggelindingkan tubuhku menjauh
darinya.
Melihat dari tanah yang hancur akibat
serangannya, kurasa itu adalah salah satu serangan yang fatal. Walau begitu,
aku tidak punya waktu untuk melayani monster ini. Ogre itu melompat kearahku
dan melakukan full swing akan gadanya kepadaku. Dengan cepat, aku menarik
pedangku dari sarungnya dan menahan serangan tersebut dengannya. Dengan tangan
kananku yang memegang pegangan pedang, dan tangan kiriku yang memegang bagian
tumpul dari pedangku, aku menahan serangan itu sekuat yang kubisa.
“Pertarungan itu.... tak harus
dilakukan dengan pedang!” Aku menendang kaki ogre tersebut lalu mendorong gada
miliknya dengan pedangku. Aku melompat menaiki ogre tersebut, duduk diatas
punggungnya, lalu menusukkan pedangku ini kejantung dari monster tersebut. Aku
melompat kembali dan menarik pedangku sambil menendang tubuh ogre itu dan
membuatnya jatuh. Dengan serangan itu, aku berhasil mengalahkannya.
Namun, akibat dari pertarungan itu, aku
kehilangan jejak dari Leila dan Zaki. Dengan terburu-buru aku menyarungkan
kembali pedangku lalu berlari kearah yang sama dimana Leila dan Zaki pergi.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar
suara dari pistol yang ditembakkan. Aku mengikuti sumber dari suara tersebut
dan menemukkan Zaki, Leila, dan Sindy.
Aku melihat Sindy yang mengarahkan
pistolnya kepada Leila, sementara Leila melakukan hal yang sama dengan busur
dan anak panahnya dan Zaki yang hanya bisa terdiam kaku dibelakang Leila.
Suasana sangatlah tegang, sampai-sampai Zaki tak berkutik sedikitpun. Kurasa
ini sudah agak keterlaluan, kau tahu, seharunya ini adalah sebuah pertarungan
yang adil dan tak barbar. Sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya.
“Tu-tunggu dulu, kalian berdua... tenanglah!” Aku menghampiri mereka berdua,
mencoba untuk mencairkan suasana.
“Kenapa? Apa ada yang salah dengan apa
yang kulakukan?” Sindy tetap mengarahkan pistolnya tanpa ragu sama sekali.
“A-aku hanya membela diriku
sendiri....” Leila Menarik anak panahnya yang sudah terpasang di busurnya.
“Oh ya, ba-bagaimana jika kita adakan
duel. Kau tahu, satu lawan satu.” Sindy menurunkan pistolnya lalu menghela
nafasnya, diikuti Leila yang kembali menyimpan anak panahnya.
“Baiklah, kita akan mengadakan duel.
Aku melawan Leila, dan kau melawan Zakarya.” Sindy menyimpan pistolnya kedalam
inventorinya lalu menunjukku dan Zaki, lalu menunjuk dirinya sendiri dan Leila.
Tak lama kemudian, Sindy dan Leila sepakat untuk bertarung di sebuah sungai
besar yang terletak diantara dua hutan. Sebuah sungai besar dengan arusnya yang
deras dan airnya yang sangat jernih dan segar. Ada sebuah jembatan besar yang
menghubungkan antar kedua hutan tersebut.
Tak lama setelah mereka berteleportasi,
aku dan Zaki berhasil menemukan sebuah tempat yang cocok untuk bertarung.
Sebuah desa buatan yang barusaja dibangun oleh perusahaan Bum Corp. Sebuah desa
kosong yang sangat cocok untuk dijadikan tempat untuk duel. Letaknya juga tak
terlalu jauh dari sungai dimana Leila dan Sindy bertarung. Aku berteleportasi
ketempat yang acak di desa tersebut sementara Zaki sedang sibuk memilih lokasi
untuk dirinya berteleportasi.
***
Aku berpindah kesebuah rumah sederhana
yang atapnya terbuat dari jerami. Namun tembok-temboknya kokoh dan tebal.
Sedikitnya jendela yang terdapat dirumah ini menjadi keuntungan sekaligus
kerugian bagiku, ditambah lagi lokasinya yang agak dekat dengan tengah desa
yang ditandai dengan adanya sebuah sumur. Aku melangkahkan kakiku di
lantai-lantai yang terbuat dari semen yang dingin juga agak berdebu, menelusuri
tiap sudut dari rumah.
Tiba-tiba, tepat didepanku, ada semburan
api yang merambat kearahku. Api tersebut merambat dari lorong-lorong sempit
yang menghubungkan antara ruang tamu dengan dapur. Untuk menghindari api
tersebut, aku menghancurkan salah satu jendela menggunakkan pedangku dan
melompat keluar dari rumah. Namun, Zaki sudah mengantisipasi tindakanku ini.
Disaat aku masih ada di udara, Zaki mengayunkan pedangnya yang sudah dia
satukan dengan api. Sebuah pedang yang dapat membakar apa saja, Great Sword of
Fire, begitulah dia menyebutnya. Dengan cepat, aku menepis pedang api itu
dengan pedangku, lalu dengan pistol revolver yang ada ditangan kiriku, aku
menembaknya. Namun, peluru itu hampir meleset dan hanya menggores pipinya.
Aku mendarat dan langsung melompat
kesamping Zaki, mencoba untuk menebas tangan kirinya yang memegang pedang api
tersebut. Tetapi Zaki menangkisnya dengan perisai yang ada ditangan kanannya.
Dia mendorongku menggunakkan perisainya dan berhasil membalikkan keadaan. Aku
terdorong sampai-sampai punggungku menabrak tembok dari rumah tadi. Saat ini,
akulah yang berada dalam keadaan bertahan, sedangkan dia ada dalam kondisi
menyerang.
Pedang tersebut semakin terasa panas.
Membuat genggamanku semakin menjadi lemah dan lemas. Zaki memanfaatkan momen
tersebut untuk memfokuskan seluruh energinya ke kakinya lalu menendangku.
Tendangannya yang amat sangat kuat membuatku terlempar masuk kedalam rumah,
menghancurkan tembok yang sebelumnya menahanku. Bertumpu pada pedangku, aku
mencoba untuk kembali bangkit. Sementara Zaki yang sudah mematikan api di
pedangnya lalu melangkah memasuki rumah melalui lubang besar yang tercipta
akibat serangannya tadi. “Bagaimana, Dimo? Pedangku bagus,’bukan?”
“Cih, pedangmu yang besar itu sama
sekali tidak cocok denganmu.” Aku tersenyum kecut sembari membersihkan jaketku
yang kotor karena debu. Dengan cepat, aku langsung menembak kakinya dengan
revolverku. Setelah dia kehilangan keseimbangan, aku langsung berlari dan
menabraknya dengan tubuhku hingga membuatnya terdorong keluar dari dalam rumah.
Aku mengayunkan pedangku kearahnya tapi berhasil ditahan olehnya dengan
perisainya.
Tetapi, aku terus mencoba mendorongnya
dan menyudutkannya. Namun aku terlalu fokus dengan hal itu sampai-sampai aku
lupa dengan pedangnya. Dia menepis pedangku dengan pedangnya lalu membalikkan
posisi. Lagi-lagi, dia mendorongku hingga membuatku kembali dalam posisi
bertahan.
Setelah mengaktifkan kembali pedang
apinya, dia mengayunkan pedang itu kearah kepalaku, namun aku berhasil
menghindar dengan menunduk. Bekas goresan dari pedang api itu membuat tembok
yang terkena serangannya tadi menjadi gosong.
Aku tak bisa membayangkan damage
sebesar apa yang akan aku terima jika terkena serangan itu. Aku menyimpan
revolverku, lalu balik mendorongnya dengan kedua tanganku yang mendorong pedang
melawan perisainya. Lalu aku menendang batu kearah kepalanya, namun dia
berhasil menghindar. Tetapi, itu cukup untuk mengalihkan perhatiannya dan
memberiku waktu untuk berlari menuju sungai yang letaknya tak jauh. Saat ini,
aku takkan bisa memadamkan api tersebut, jika aku terus melawannya, akulah yang
akan menjadi daging panggang. Aku membuka tabel teleportasi, namun itu gagal
karena Zaki yang tiba-tiba melempar pedangnya kearahku. Aku berhasil
menghindar, namun pedang tersebut mengenai salah satu pohon dan membakarnya
“Percuma saja, disekitar sini adalah pepohonan. Kau takkan bisa kabur.”
Aku menengok kesana kemari, mencari
celah, namun gagal “Sial, dia benar.”
***
Mereka hanya terdiam, menghadap satu
sama lain, diatas sebuah jembatan besar yang terbuat dari kayu. Suara yang ada
hanyalah suara dari percikan dan aliran air yang ada tepat dibawah mereka.
Serta suara gesekan pohon yang tercipta akibat angin kencang yang berhembus.
Serentak, Leila dan Sindy berlari kearah yang sama, yaitu kedepan. Sindy dengan
cepat mengambil kedua pistol miliknya, dan melompat. Sementara Leila menarik
salah satu anak panahnya dari arrow rest,
dan meluncur dibawahnya.
Disela-sela itu, dia menarik anak panah
yang sudah terpasang dibusur tersebut dan menembakkannya. Melihat itu, Sindy
langsung menembakkan kedua pistol tersbeut kearah Leila. Namun, dia meleset
dikarenakan anak panah tersebut mengenai bahu kanannya terlebih dahulu. Namun,
dia tak sepenuhnya meleset. Salah satu peluru dari pistol di tangan kanannya
berhasil mengenai tangan kanan Leila. Setelah mendarat, Sindy menarik anak
panah tersebut keluar dari bahunya. Anak panah itu menghilang setelah dia
pegang. Sindy langsung menyimpan pistol ditangan kirinya dan menggantinya
dengan sebuah pisau. Dia berlari kearah Leila dan berusaha menyerangnya dengan
pisau, namun Leila dapat mudah menghindarinya dengan kelincahan yang dia miliki.
“Mau sampai kapan kau akan menghindar?”
Leila menendang tangan yang memegang
pisau itu, namun itu sesuai dengan apa yang diharapkan Sindy. Dia menembakkan
pistol yang ada ditangan kanannya dan berhasil menggores pundak Leila. Untuk
mengantisipasi serangan selanjutnya, Leila langsung melompat menjauh dari
Sindy. Leila mengambil dua anak panah, mengaktifkan skill wind arrow, dan
menembakkannya kearah Sindy.
Efek dari skill wind arrow membuat
kedua anak panah tersebut menjadi transparan. Membuat Sindy menjadi sulit untuk
menghindar. Saat dia sadari, salah satu anak panah tersebut sudah menancap
dikaki kanannya. Sindy langsung menarik keluar anak panah itu dan melompat
kesungai. Air dari sungai yang tak terlalu dalam itu menguntungkan baginya. Leila
melompat keatas pagar dari jembatan, dan menembakkan tiga anak panah yang sudah
diberi efek wind arrow.
Sebelum anak panah tersebut sepenuhnya
transparan, Sindy menyiram anak-anak panah tersebut dengan air sungai. Bekas
air yang ada dianak panah tersebut membuatnya tetap terlihat walau dalam wujud
transparan. Dengan begitu, Sindy dapat menghindarinya dengan aman. Sindy
kembali mengganti pisau yang ada ditangan kirinya dengan pistol, lalu dia
tembakkan kedua pistol tersebut secara bergantian kepada Leila. Untuk
menghindarinya, Leila melompat turun dari pagar jembatan, kembali kejembatan
dan menunduk dibalik pagar kayu untuk menghindari peluru. Namun, disaat dia
sedang menunduk, dia mendengar suara dari cipratan air yang tercipta akibat
langkah kaki yang ada tepat dibawah jembatan tersebut.
Tak lama, lantai kayu yang ada
disebelahnya (Dipojokan yang dekat dengan pagar jembatan) tiba-tiba berlubang.
Lubang tersebut tercipta akibat tembakkan peluru yang dikeluarkan dari pistol
milik Sindy yang ada dibawah jembatan. Menyadari bahwa tembakkannya meleset,
Sindy kembali menembakkan pelurunya kearah yang lebih kesamping (Mendekati
tengah jembatan) dari tembakkannya tadi. Untuk menghindarinya, Leila kembali
melompat kepagar jembatan, namun Sindy sudah mengantisipasinya dan menunggu
dibelakang Leila, sedang mengganti amunisi dan siap untuk menembak. Sindypun
menembakkan peluru dari pistol kanannya. Leila melompat kesungai dengan harapan
berhasil menghindari peluru Sindy, tetapi, Sindy ikut melompat tak lama setelah
Leila melompat. Dia menembakkan storm bullet keair sungai, menyebabkan air
sungai menjadi beraliran listrik untuk sementara waktu. Menyadari itu, Leila
langsung mengambil satu anak panah dan menancapkannya kejembatan kayu tepat
sebelum dia mengijakkan kakinya di air. Dia berhasil selamat dari aliran
listrik tersebut karena dirinya yang berpegangan kepada anak panah tersebut,
membuatnnya tak jatuh kesungai dan menggantung disampaing jembatan.
Leila memanjat menaiki jembatan
menggunakkan anak panahnya, sementara Sindy yang sudah keluar dari sungai, berlari
keatas jembatan. Leila kembali berdiri diatas jembatan, sementara Sindy yang
ada dijembatan. Mereka saling mengacungkan senjata mereka. Namun, walau begitu,
tak satupun dari mereka yang menembak.
Sebuah cahaya berwarna hitam merambat
dari kejauhan. Meluncur dengan kecepatan tinggi, diatas air sungai yang jernih.
Cahaya tersebut nampak seperti pecahan-pecahan dari bulan, namun dengan
cahayanya yang kehitam-hitaman. “A-apa itu?!” Leila menurunkan busur dan anak
panahnya yang awalnya menunjuk kearah Sindy.
Tatapannya yang awalnya terfokus ke
Sindy, seketika langsung teralihkan oleh cahaya berwarna hitam itu. Sindy yang
menyadari tingkah aneh dari Leila, ikut menurunkan kedua pistolnya dan berbalik
untuk melihat cahaya berwarna hitam tersebut. Sindy merasa bahwa dia sudah
pernah melihat skill itu sebelumnya, namun dengan warna yang berbeda. Warna
yang dia ingat, berwarna perak dan indah seperti bulan. Namun, warna yang dia
lihat kali ini sangatlah berbeda. Sangatlah gelap, dan mengerikan, warna
kematian. Cahaya hitam itu melesat dengan cepat, mendekati mereka
“Leila, melompatlah!”.
“Apa—”
“Sudah, lakukan saja!” Sindy berlari
keluar dari jembatan, sementara Leila melompat kearah yang berlawanan dari
Sindy. Cahaya itu membelah air dan jembatan kayu. Saat Leila sadari, jembatan
yang barusaja dia naiki, sudah tidak ada lagi. Seakan-akan cahaya hitam itu
melahap habis jembatan kayu itu tanpa tersisa. Dia bahkan tak bisa menemukan
sedikitpun serpihan kayu berserakan.
Leila berhasil menghindari serangan tersebut,
namun tidak untuk Sindy. Dia nampak terkapar lemas tak sadarkan diri, dengan
tangan kanannya yang terluka akibat serangan tadi. Hampir seluruh lengan
pakaiannya sobek tak tersisa, sama seperti dengan apa yang terjadi dengan
jembatan tadi. Leila langsung berlari menyeberangi sungai, menghampiri Sindy
yang tak sadarkan diri disamping sungai “Hei Sindy, sadarlah!” Leila menyadari,
bahwa serangan yang tadi sangatlah berbeda. Ada sesuatu yang sangat berbahaya,
yang terdapat di serangan tadi.
Lagi-lagi,
firasat yang sama dengan yang tadi. Leila menengok kearah dimana serangan itu
berasal, dan firasatnya benar. Lagi-lagi, serangan yang sama mendekat dengan
kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Leila tak tahu apakah dia akan
berhasil menghindar dari serangan tersbeut. Namun, dia tak punya waktu untuk
memikirkan itu. Leila langsung menyimpan seluruh anak panahnya kedalam
inventorinya, dan menggendong Sindy yang sedang tak sadarkan diri. Leila
berusaha untuk menghindari serangan itu dengan masuk kedalam hutan. Namun,
tanpa dia duga, serangan tersebut akan membelok dan memotong setiap pohon yang
menghalanginya. Seakan-akan, serangan itu memang ditujukan kepada mereka—kepada
Sindy. Leila terus dan terus belari kedalam hutan, namun, cahaya hitam itu, tak
kunjung hilang. Cahaya itu muncul tepat dihadapannya. Tanpa pikir panjang,
Leila langsung melempar Sindy yang digendongnya untuk menjauh dari serangan
ini.
“..... (Itu... Leila...?)” Sindy perlahan membuka kedua matanya. Namun,
yang dilihatnya untuk pertama kali bukanlah sebuah berita baik. Tepat
dihadapannya, Sindy menyaksikan Leila yang terkena cahaya hitam tersebut.
Cahaya hitam tersebut meledak dan warna hitamnya memenuhi hutan bagaikan
menelan hutan itu sendiri. Seketika, warna hitam memenuhi penglihatannya. Tak
lama setelah kejadian itu, Sindy akhirnya bisa kembali melihat. Namun, yang dia
lihat sekarang dengan apa yang dia lihat sebelumnya, sangatlah berbeda.
Pepohonan lenyap, hutan dimana dia
berada sebelumnya, sekarang sudah tidak ada lagi. Pohon-pohon itu tak tersisa
sedikitpun, yang ada hanyalah akar-akar dari pohon yang sudah lenyap dan
daun-daun yang gugur dari pohon itu serta ranting-ranting pohonnya yang patah
“Apa, yang sudah terjadi....?”. Berbeda dengan serangan yang biasa, pohon tersebut
napak menghilang sepenuhnya didalam game ini, maupun didunia nyata. Tak lama
setelah kembali bangun, Sindy menyadari, bahwa kaki kanannya terasa mati rasa
akibat kejadian tadi. Rasanya seperti tubuhnya tahu, bahwa serangan tadi,
tidaklah main-main. Sindy menengok kesana-kemari, namun, hutan dimana dia
berada sebelumnya sekarang sudah menjadi sebuah tempat kosong. Dia bahkan bisa
melihat sungai dimana dia berada sebelumnya dari tempat dia berada sekarang.
Tak lama, dia melihat Leila yang tak
sadarkan diri disamping sungai. Sebuah jarak yang cukup jauh dari lokasinya
saat ini. Dengan kaki kanannya yang mati rasa, Sindy berusaha untuk berlari
sekuat mungkin untuk menghampiri Leila. “Leila, hei... Leila!” Sindy mencoba
untuk membangunkan Leila yang terluka itu. Namun cewek berambut oranye tersebut
tak kunjung siuman. Luka yang ada ditangan kanannya dan lecet-lecet yang
dialami Leila saat ini, terasa sangat berbeda dengan luka yang didapatkannya
dari pemain lainnya. Entah kenapa, luka ini terasa sangat nyata.
Entah siapa yang sudah mengirim
serangan itu, namun Sindy tak bisa berdiam diri saja. Dia harus memberitahu
kejadian ini kepadaku, Zaki, dan juga Pak Bum selaku pencipta dari game ini.
Tetapi, disaat dia sedang berpikir,
lagi-lagi muncul serangan. Berbeda dengan sebelumnya, serangan kali ini
terlihat lebih besar dan lebih cepat. Sindy menyadari, dia dan Leila harus
segera pergi dari sana. Dengan luka yang ada ditangan kanannya, Sindy berusaha
sekuat tenaga untuk mengangkat tubuh Leila dan menggendongnya. Disaat yang
genting seperti ini, Sindy tetap tak sanggup menggendong Leila. Mati rasa
dikaki kirinya, dan luka ditangan kanannya seakan-akan tak mengizinkannya untuk
menggendong Leila. Diapun mencoba dengan cara menarik tubuh Leila keluar dari
jalur serangan dari cahaya tersebut, namun dia tak punya kekuatan yang cukup
untuk menariknya. Meski begitu, Sindy tetap berusaha mencari cara. Tiba-tiba
dia mendapat ide untuk membawa pergi Leila menggunakan sistem teleportasi.
Disaat cahaya hitam itu mendekat, Sindy
berusaha untuk membuka tabel teleportasi. Namun, entah kenapa tabel tersebut
tak kunjung muncul. Sekeras apapun dia berteriak, seulet apapun dia berteriak,
dia tetap tak bisa membuka tabel tersebut. “Kenapa ini? Kenapa tak kunjung
terbuka?” Sindy mencoba untuk meneriakkan mantra untuk membuka tabel
teleportasi, namun suara itu tak terjawab. “Ayolah! Kenapa tak mau muncul.....
kenapa?” Sindy sudah tak tahu lagi, apa yang seharusnya dia lakukan saat ini.
Yang tersisa hanyalah harapan kosong. Kakinya menjadi lemas, dia berlutut dan
tak melakukan apapun. Satu hal yang bisa dia lakukan saat ini adalah, hanyalah
berharap.
Sindy memejamkan matanya, dan memeluk
Leila yang sedang pingsan, berharap akan munculnya sebuah keajaiban. Untuk bisa
selamat dari warna kematian itu, untuk bisa selamat dari, cahaya yang dingin
itu. Sindy tak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia hanya terus
memejamkan matanya, tanpa tahu lagi harus berbuat apa. Namun, tiba-tiba, terasa
sesuatu, suatu cahaya yang sangat hangat. Warna dari cahaya tersebut sangatlah
indah. Walau itu hanyalah sebuah cahaya hasil refleksi dari cahaya matahari....
namun, walau begitu, cahaya itu akan selalu siap untuk menerangi malam yang
gelap. Sebuah cahaya berwarna perak, sebuah cahaya bulan.
“Open the seal! Super Moonlight Shard!”
Aku melemparkan serpihan-serpihan cahaya bulan tersebut kecahaya gelap berwarna
hitam yang tak terjamak oleh cahaya sedikitpun. Dengan harapan, cahaya berwarna
perak yang kulempar itu dapat berhasil menerangi cahaya berwarna hitam itu.
Seranganku itu berhasil menghadang cahaya hitam yang gelap itu. Mencipatakan
sebuah warna baru yang merupakan sebuah hasil dari pergabungan kedua warna itu.
Sebuah warna yang tak bisa dibilang gelap, juga tak bisa dibilang terang.
“Di... Mo...?”
Sindy membuka kedua matanya, berbeda
dari keputus asaan yang sebelumnya dia lihat, kali ini dia melihat sebuah
harapan. Sindy melihatku yang sedang mengeluarkan skill super moonlight shard
untuk menghentikan serangan hitam tersebut dan menyelamatkan mereka berdua.
“Apa kalian baik-baik saja?” Aku
menyarungkan kembali pedangku dan berbalik menghampiri Sindy dan Leila. Zaki
keluar dari hutan sebelah, membawakan dua buah ramuan penyembuh bersamanya.
Sebelumnya, aku sudah memintanya untuk membeli beberapa ramuan penyembuh dari
toko terdekat untuk menghindari hal yang tak diinginkan seperti ini. Namun,
walau begitu, nampaknya ramuan saja takkan cukup untuk mengobatinya. Leila
tetap tak sadarkan diri, meski sudah kami beri ramuan penyembuh sekalipun. Aku
berhasil menemukan mereka karena aku mendengar suara teriakkan dari Sindy
disaat aku sedang bertarung dengan Zaki. Aku langsung mendapat sebuah firasat
buruk tak lama setelah aku mendengarnya, dan ternyata firasatku benar.
“Maafkan aku....”
Sindy berbisik pelan, sambil berjalan
lemas melewatiku. Aku yang mendengar bisikan itu, langsung berbalik dan
menghadap Sindy. Aku tak tahu apa yang sedang ada didalam pikirannya saat ini,
dan aku juga tidak bisa mengetahuinya. “Sindy...?” Aku mencoba mengulurkan
tanganku, mencoba untuk meraih pundaknya. Namun, aku terlambat. Cahaya mulai
keluar dari avatarnya, yang perlahan mulai menghilang
“Log... out....”.
“....(Kenapa, dia logout?)” Beberapa menit kemudian, Leilapun tersadar.
Disebuah ruangan dengan plafon yang sudah dia kenal sebelumnya.
“Akhirnya, kau sadar juga....” Zaki
yang terduduk disebelah kasurnya akhirnya bisa menghembuskan nafas lega.
“Dimana ak—Dimana Sindy?”
“Saat ini, kau sedang ada di UKS
sekolah. Kau sempat tak sadarkan diri tadi. Tetapi, Pak Bum berhasil
mengeluarkanmu dari dalam game. Saat ini, aku masih tak tahu dimana Sindy
berada, Dimo sedang mencarinya sekarang. Tadi, kami sempat bertemu dengannya,
tetapi dia bertingkah aneh dan malah pergi seakan-akan menghindar dariku dan
Dimo.” Tak lama, akupun memasuki ruang UKS untuk memastikan kondisi Leila. Aku
bersyukur dia sudah siuman, tetapi, aku tak bisa menemukan Sindy dimanapun.
~Bersambung~
No comments:
Post a Comment