Oke, mulai dari sini ceritanya bakalan serius. Jadi lebih baik bacanya pelan-pelan biar gak ada poin yang kelewat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Dua hari
kemudian.
Alarm berbunyi
dengan kencang. Suaranya terdengar hingga diseluruh area sekolah. Suara yang
memekakkan telinga dan membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi panik.
Suara yang takkan membawa kabar baik.
Ini adalah
sistem pertahanan yang dibuat oleh tim ERASER yang terpasang hampir diseluruh
sekolah di Indonesia. Alarm ini akan berbunyi jika ada satu atau lebih monster
yang memasuki area sekolah. Disaat alarm ini berbunyi, maka data kedatangan
monster akan terkirim ke markas pusat ERASER dan sebuah divisi akan dikirim
untuk menumpas monster-monster tersebut sebelum hal yang tak diinginkan
terjadi.
Di setiap
sekolah, akan terdapat sebuah tempat perlindungan atau yang biasa disebut shelter. Shelter berfungsi sebagai tempat pengungsian bagi seluruh warga
sekolah jika terjadi serangan monster di sekolah. Shelter dilengkapi dengan persediaan makanan untuk seminggu atau
lebih dan sebuah sistem perisai pelindung yang membuat monster-monster takkan
bisa menerobos area tersebut.
Dalam kasus
kami, gedung shelter adalah gedung
olahraga sekolah kami.
“Diberitahukan kepada seluruh warga sekolah,
diharapkan untuk segera meninggalkan aktivitas masing-masing dan segera
bergegas menuju ke gedung olahraga dengan tertib.”
Pengumuman
berbunyi tak lama setelah berhentinya suara alarm. Sebuah pengumuman yang
diulangi selama dua kali itu, membuat suasana kelas yang sebelumnya ramai
karena paniknya semua orang setelah mendengar suara alarm menjadi sirna.
Semuanya dengan tenang menuruti perintah lalu mulai berbaris dan berjalan
menuju ke gedung olahraga. Meski begitu, tentu ada beberapa orang yang masih
merasa panik dan ketakutan. Ada juga yang terus bertanya-tanya mengenai makna
dari alarm tadi dan alasan dibalik semua ini.
“Hai, hei,
lihat, sekolah kita sampai masuk berita.”
Aku melihat
salah seorang murid perempuan yang sedang menonton acara berita hari ini
melalui smartphone bersama teman-temannya. Aku menghampiri mereka lalu sedikit
melirik berita yang sedang mereka tonton. Berita itu adalah sebuah siaran
langsung dari halaman depan sekolah kami dimana ada tiga monster yang berusaha
untuk memasuki sekolah.
Sementara itu,
aku tak melihat tanda-tanda adanya salah satu divisi ERASER yang telah tiba di
TKP. Disaat aku sedang menonton, tiba-tiba Zaki menghampiriku lalu mulai
berbisik kepadaku.
“Hei Dimo, aku
ragu untuk bertanya mengenai ini tapi.... Rasanya, aku tidak melihat Anita
sejak tadi.” Dia berbisik sembari menengok kesegala arah untuk mencari gadis
berambut putih itu di kerumunan murid yang sedang berjalan menuju gedung
olahraga. Anehnya, dia sama sekali tidak bisa menemukan Anita.
Saat kusadari,
aku juga sama sekali tidak bisa menemukan Anita. Aku sudah menengok
kesana-kemari untuk mencari lalu berlari meninggalkan Zaki untuk mencarinya
sembari memanggil namanya, namun aku tidak bisa menemukannya. Seharusnya gadis berambut putih seperti Anita akan
nampak sangat mencolok disaat-saat seperti ini. Namun aku maupun Zaki tidak
bisa menemukannya.
“Dimo, aku
sudah mengirim pesan kepada Leila dan Sindy untuk mencari Anita, mereka pasti
akan menghubungiku jika sudah menemukannya.” Zaki mematikan smartphonenya lalu
memasukannya kedalam kantung celananya.
“Gawat, sejak
tadi... kita tidak bisa menemukannya. Bagaimana
jika terjadi apa-apa terhadapnya.” Aku menggaruk rambutku sembari
kembali menengok mencari Anita, namun percuma, aku masih tidak bisa
menemukannya sejak tadi.
Tunggu dulu, sejak tadi? Lebih tepatnya sejak kapan aku—
tidak, sejak kapan Zaki tidak melihatnya. Dialah orang yang pertama kali
menyadari hilangnya Anita.
Aku berbalik
lalu memegang pundak Zaki. Dengan cepatnya, aku membalik arah tubuh Zaki yang
sebelumnya membelakangiku menjadi menghadap kepadaku. Dia yang masih terkejut
dengan apa yang baru saja kulakukan kepadanya membalas perlakuanku dengan
memberikan ekspresi penuh kebingungannya “Zaki, lebih tepatnya sejak kapan kau
tidak melihat Anita?”
Dengan nada
datarnya dia menjawab “Sejak kita meninggalkan ruang kelas.” Dia menunjuk
sembari menengok kearah dimana kami sebelumnya berasal, ruang kelas. Tanpa
pikir panjang, aku langsung berlari meninggalkannya dan menerobos melawan
barisan murid-murid menuju ke ruang kelas. Sementara itu, Zaki yang masih belum
paham langsung berlari mengikutiku. “Hei Dimo, mau kemana kau? Kenapa kau malah
meninggalkan barisan? Bukankah kita sedang mencari Anita?”
“Karena itulah,
kita harus kembali!”
“Apa maksudmu?”
“Nanti juga kau
akan mengerti!” Aku berbelok memasuki ruang kelas lalu menengok ke segala
arah—mencari Anita. Kulihat dirinya sedang terbaring lemas tak sadarkan diri
tak jauh dari lokasi dimana mejanya berada.
“Anita!” Aku
berlari menghampirinya lalu memeriksa keadaanya. Tubuhnya terlihat pucat dan
lemas, seakan ada sesuatu yang baru saja menghisap tenaganya. Napasnya tak
beraturan dan tubuhnya terasa sedikit dingin.
“Dimo, aku
masih tidak menger—” Zaki langsung mengurungkan niatnya untuk mengeluh sesaat
setelah melihatku dan Anita yang tak sadarkan diri. Seakan dia langsung saja
mengerti apa maksudku dan menutup mulutnya.
“Zaki, cepat
bantu aku.” Aku menunjuk Anita menggunakkan gerakan kepalaku lalu berjongkok.
Dia langsung mengerti apa maksudku dan berjalan menghampiriku untuk mengankat
tubuh Anita dan membuatnya kugendong. Kemudian Zaki menghubungi Leila dan Sindy
untuk memberitahu mereka bahwa Anita telah berhasil ditemukan.
Tiba-tiba,
terjadi sebuah getaran. Seiring berjalannya waktu, getaran itu semakin kencang
dan kencang. Aku kembali berdiri dengan kondisi sedang menggendong Anita.
Firasat buruk langsung menghampiriku. Firasat itu mengatakan kepadaku untuk
langsung lari dari tempat itu apapun yang terjadi.
Benar
firasatku.
Seekor monster
badak datang dan menghancurkan tembok yang tepat berada dihadapan kami. Monster
besar itu dapat menghancurkan tembok dengan mudahnya.
“Zaki, kita
harus lari!”
“Kau duluan
saja! Aku akan menahannya sebisa mungkin!” Zaki menarik pundakku lalu
mendorongku menuju kearah pintu keluar sementara dia melakukan login dan
menghampiri monster badak tersebut. Aku menuruti perintahnya dan mulai berlari
meninggalkan ruangan sembari menggendong Anita.
Menyadari
kepergianku, monster badak itu memundurkan badannya sehingga keluar dari ruang
kelas lalu berbelok kearahku dan bersiap untuk mengejarku.
“Takkan semudah
itu!” Zaki berlari kehadapannya lalu mengambil perisainya yang tergantung di
punggungnya “Open the Seal : Fire Element – Fire Shelter.” Dengan cepat
perisainya berubah menjadi api dan tersebar mengelilingi monster badak. Walau
begitu, api tersebut sama sekali tidak membakar benda yang ada di sekitarnya.
Bahkan sama sekali tak menyisakan jejak gosong.
Namun, akibat
penggunaan skill ini, Zaki tidak bisa banyak bergerak karena harus
mempertahankan keseimbangan dari api miliknya. Jika salah sedikit saja, maka
dia akan membuat api tersebut membakar yang ada di sekitarnya dan mungkin
bahkan bisa mengakibatkan skill ini menjadi lenyap.
Tapi, tanpa dia
duga terdapat dua monster besar lainnya yang melintas melewatinya dan pergi
menuju ke arah Dimo berada. “Gawat—” Tanpa pikir panjang, Zaki langsung
menengok kearah kedua monster tersebut. Akibatnya, dia menjadi lengah dan skill
miliknya menjadi lenyap. Api-api tersebut kembali terkumpul menjadi satu dan
kembali mendekati lengan Zaki sesaat sebelum berubah kembali menjadi perisai
“Gawat—” Zaki kembali berbalik keposisi awal dan menyadari bahwa monster badak
tersebut sudah terbebas.
Makhluk itu
menyeruduk kearah Zaki tanpa ragu. Zaki mengangkat perisainya dan berniat untuk
menahan serudukan badak itu. Namun tanpa dia duga badak itu juga mengabaikannya
dan lebih memilih untuk pergi kearahku.
“Sial, mereka
mengabaikanku begitu saja. Kenapa mereka begitu ngotot mengejar Dimo dan Anita?”
Zaki berbalik lalu mengejar monster-monster itu. Merasa bahwa dia takkan bisa
mengejar monster-monster itu, Zaki berhenti lalu menaruh perisainya tepat di
hadapannya. “Sebenarnya aku tidak mau meniru tehnik miliknya, tapi aku tidak punya pilihan lain.” Tak lama
kemudian, dia tapakkan kedua tangannya ke tanah “Open the Seal : Fire Element –
Fire Wall.” Perisainya kembali berubah menjadi api dan dengan cepatnya merambat
menuju kehadapan monster-monster.
Terciptalah
tembok api yang mengelilingi monster-monster tersebut. Sementara itu, Zaki
dengan mudahnya melewati mereka bertiga dan berhasil menyusulku. Aku menyadari
kedatangan Zaki lalu menengok kearahnya “Zaki, kau baik-baik saja?”
“Ya, yang lebih
penting, nampaknya yang menjadi incaran mereka adalah kau.”
“Apa? Tapi
kenapa?”
“Entahlah,
pokoknya sekarang kita harus segera pergi ke gedung olahraga secepatnya.”
Tak lama
kemudian, tiba-tiba perisai miliknya kembali. “Gawat, nampaknya aku kehabisan
mana.” Zaki melakukan log out lalu menengok ke belakang untuk memeriksa
monster-monster tersebut. Sesuai dugaannya, tembok api yang sebelumnya
mengurung mereka telah lenyap. “Dimo, awas!” Dia langsung mendorongku
menggunakkan dengan kencang sehingga membuatku dan Anita terlempar ke sebuah
lorong yang cukup sempit. Akibat bantuannya, aku dan Anitapun berhasil selamat
dari tabrakan monster badak, namun nampaknya Zakilah yang harus menanggung
tabrakan itu.
Juga, nampaknya
lorong yang sempit membuat monster badak itu menjadi sulit untuk mengejarku.
Aku kembali
berdiri lalu memanggilnya “Zaki kau tidak apa?”
“Ya, aku memang
terkena tabrakannya, tapi syukurlah tak ada satupun tulangku yang patah.
Nampaknya aku masih selamat karena tadi sempat melakukan login dan menahan
tabrakannya menggunakkan perisaiku.” Zaki menjawabku dengan santainya sembari
sedikit tertawa. Dia terbaring lemas di lantai sembari menatap plafon koridor
lalu terlogout “Tapi sepertinya aku sudah terlalu lelah.”
“Baiklah, kau
beristirahat saja untuk saat ini. Jangan paksakan dirimu.” Aku kembali
menggendong Anita. Karena kondisi Zaki yang tak memungkinkanku untuk meminta
bantuan kepadanya, aku jadi butuh waktu lebih lama dari sebelumnya untuk
membuatnya berhasil kugendong.
Di ujung
lorong, terdapat sebuah gudang. Di gudang ini terdapat meja-meja dan kursi yang
sudah usang dan tidak terpakai. Untungnya, pintu dari gudang tidaklah dikunci
dan ini adalah tempat yang cocok untuk mempertahankan diri. Ditambah lagi, jika
aku memotong jalan dengan melalui gudang ini, maka kami akan menjadi lebih
dekat dengan gedung olahraga. Namun, di gudang ini hanya terdapat satu pintu
masuk dan keluar. Jadi aku harus memecahkan kaca jendela atau menghancurkan
tembok untuk bisa memotong melewati tempat ini.
Tapi sekarang bukanlah saatnya untuk memikirkan hal itu.
Aku langsung
memasuki gudang dan menurunkan Anita di pojok ruangan. Lalu kututup pintu
gudang dan menghalau pintu tersebut menggunakkan meja dan kursi yang ada
sebanyak mungkin.
“Kurasa
sekarang sudah cukup aman.” Aku mengusap keringat yang membasahi dahiku lalu
melepas switer miliku. Kugunakkan switer itu untuk mengusap keringat dan
kujadikan sebagai kipas.
Kuikatkan
switer itu kepinggangku lalu kuambil salah satu kursi dan kuhantamkan ke jendela.
Aku sudah berusaha membenturkannya beberapa kali, namun aku tetap tak bisa
menghancurkan kaca jendela tersebut.
“(Gawat, tenagaku sudah terkuras untuk
memindahkan kursi dan meja tersebut sehingga aku sudah tidak punya cukup tenaga
untuk menghancurkan kaca jendela ini.)”
“Dimo...?”
Anita yang nampaknya sudah siuman melihatku yang sedang berusaha menghancurkan
sebuah kursi. “Apa yang sedang kau lakukan? Ini... dimana?” Dia berdiri sembari
menengok kesana kemari, nampak pikirannya sangat kebingungan. Ekspresi wajahnya
dan tingkah lakunya tak bisa berbohong.
“Anita,
syukurlah. Akhirnya kau siuman juga.” Aku kembali menaruh kursi tersebut lalu
menghampirinya. “Oh ya, saat ini kita sedang berada di gudang sekolah. Alasan
mengapa kita berada di tempat ini adalah karena adanya monster-monster yang
saat ini mengejar kita.” Aku menunjuk sembari menengok kearah pintu keluar yang
sudah terhalang oleh tumpukan meja dan kursi.
“Monster....?”
“Ya, tenang
saja. Saat ini—” Tiba-tiba, Anita mendorongku dan mundur menjauh dariku “Anita?
Ada apa?” Anita nampak tertekan dan sedih. Dia terus saja menunduk dengan
tangannya yang mengepal. Nampak kesedihan terpancar di wajahnya. Ia menggigit
bibirnya sembari memejamkan kedua matanya. Ini pertama kalinya aku melihat
dirinya seperti ini. Aku juga tidak tahu apa yang membuatnya hingga nampak
seperti ini.
“Maafkan
aku.... Padahal aku sudah tahu bahwa akan menjadi seperti ini, tapi aku malah
mendatangimu....”
“Apa maksudmu?
Ini bukanlah salahmu.”
“Ini salahku!”
Bentaknya. Aku begitu terkejut hingga membuatku secara tak sadar melangkah
mundur satu langkah darinya. “Monster-monster itu datang untukku. Sebelum aku
pingsan, aku sudah bertemu dengannya. Sejak awal seharusnya aku tidak melakukan
ini!” Anita semakin mengepalkan kedua tangannya lalu dengan lemasnya menengok
kesamping. Dia nampak dengan enggannya menatap wajahku—tidak, dia terlihat
takut untuk menatapku karena rasa bersalahnya. “Jika saja sejak awal aku tidak
mementingkan egoku untuk bisa menemuimu, pasti hal ini takkan pernah terjadi!”
Dia terjatuh dengan lemasnya lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku
bisa mendengar dengan jelas isak tangis miliknya yang berusaha dia sembunyikan.
Entah apa yang
dikatakannya itu benar atau tidak. Dia pasti punya alasan yang kuat sehingga
dia bisa mengatakan hal itu. Tapi entahlah. Aku mencoba mencari kata-kata yang
tepat, tapi aku tak bisa menemukannya. Aku sama sekali tak tahu.
Satu-satunya
kesimpulan yang kudapatkan adalah.....
“Yang seperti
itu, aku sama sekali tidak peduli.”
Anita langsung
mengangkat wajahnya yang basah karena air mata. Dia lagi-lagi menatapku penuh
kebingungan seakan tak percaya dengan apa yang sudah kukatakan sebelumnya.
Sementara itu aku yang masih berusaha untuk menghancurkan kaca jendela
menggunakkan kursi.
“Aku tidak
peduli siapa maupun apa yang menyebabkan insiden ini. Saat ini, yang kupedulikan
hanyalah keselamatan teman-temanku.”
Aku melemparkan
kursi itu dengan segenap tenaga dan akhirnya berhasil menghancurkan kaca
jendela tersebut. Aku menengok kearah Anita lalu kuulurkan tangan kananku
kearahnya “Hanya itu.”
“Tapi aku—karena
aku.....” Anita kembali menutup kedua matanya sembari membuang pandangannya
dariku “Tinggalkanlah aku disini dan pergilah selamatkan dirimu sendiri, Dimo!”
“Sudahlah, ikut
saja!” Aku menghampirinya lalu menangkap tangan kirinya. Dengan terkejutnya,
Anita ikut bersamaku menuju ke jendela dan hendak akan keluar bersamaku.
“Membosankan.
Kukira akan ada drama atau semacamnya sehingga aku sudah menyiapkan popcorn,
tapi nampaknya cuma drama picisan.”
Tiba-tiba
tercipta sebuat tembok batu yang menghalangi jalan kami. Tak lama kemudian,
Monster badak berhasil menghancurkan pintu masuk diikuti oleh dua monster
lainnya. Asap yang tercipta akibat hancurnya pintu beserta meja dan kursi yang
sebelumnya menghalanginya begitu tebal dan banyak sehingga membuatku dan Anita
terpisah.
“Aku juga sudah
repot-repot menyiapkan sebuah kembang api.”
Tak lama
kemudian, salah satu monster meledak sesaat setelah memasuki gudang. Sebuah
ledakan yang cukup besar sehingga membuat gudang menjadi hancur. Juga membuatku
dan Anita menjadi semakin jauh berpisah.
Aku keluar dari
asap sembari terbatuk-batuk. Saat kusadari, aku sudah berada di luar gudang,
lebih tepatnya berada di jalan antar koridor. Nampaknya, monster-monster yang sebelumnya
mengejarku sudah lenyap akibat ledakan tadi. Ditambah lagi, tepat dihadapanku,
berdiri seseorang dengan memakai sebuah topeng batu.
Pakaiannya
serba hitam, dan topengnya nampak aneh. Dia menyilangkan tangannya yang nampak
menggunakkan sarung tangan berwarna putih.
Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku mendapat firasat buruk
hanya dengan melihat dirinya.
“Dimo, apa kau
baik-baik saja?” Tiba-tiba Zaki keluar dari dalam asap sembari
mengkibas-kibaskan tangannya untuk menghilangkan asap yang ada di sekitarnya.
“Sudah kubilang
untuk tidak memaksakan dirimu,’kan.” Aku kembali berdiri sembari membersihkan
pakaianku lalu menengok kebelakang—kearah Zaki.
“Yah, aku tidak
mungkin bisa berdiam diri saja setelah mendengar ledakan ta—” Zaki terhenti.
Mulutnya langsung terdiam bersamaan dengan tangannya, ekspresinya yang
sebelumnya nampak santai langsung berubah menjadi serius sesaat setelah melihat
seseorang bertopeng batu yang tepat berada di hadapanku.
“Halo, Dek
Zaki, Apa kabar? Oh ya, aku tidak melihat Sindy, dimana dia?” Seno menengok
kesana-kemari lalu bergeleng-geleng.
Sementara itu,
aku perlahan mundur mendekati Zaki lalu berbisik kepadanya “Kau mengenalnya,
Zaki?”
“Tidak bisa
dibilang kenal juga, sih. Aku, Sindy dan Leila bertemu dengannya saat operasi
penyelamatan terjadi.” Balas Zaki
dengan cara yang sama yaitu berbisik. “Kali ini, apa maumu, The Mask?” Zaki
langsung merogoh kantung celananya untuk mengambil login device.
“Oi, oi, sudah
kubilang untuk memanggilku Seno, bukan? Yah, yasudahlah. Karena pertunjukan
tadi kurang menghibur, bagaimana jika kau yang menghiburku? Lagipula, aku sudah
jauh-jauh datang kemari.”
“Baiklah jika
itu maumu. Lagipula, kurasa ini saatnya bagiku untuk membalas kekalahanku saat
itu.” Zaki dengan percaya dirinya melangkah maju sembari mengeluarkan login
device dan hendak akan menggunakannya.
Tapi, aku
menghampirinya lalu memegang pundaknya dan sedikit mendorongnya kebelakang
“Tidak, kurasa lebih baik aku saja yang melawannya. Kau juga sudah kelelahan
bukan? Biar kupinjam sebentar login devicemu, kau cepat carilah Anita.”
“Oke.” Zaki
melemparkan login device miliknya lalu kutangkap dengan mudahnya. “Pokoknya,
berhati-hatilah. Dia adalah seorang alkemis dan skill miliknya begitu
merepotkan.” Dia berbalik lalu kembali memasuki asap untuk mencari Anita.
Sementara aku
melakukan login dan mengambil pedangku, Seno menapakan kedua tangannya ke
tanah. “Open the Seal : Craft – Stone Gloves.” Dengan cepatnya, tanah merambat
hingga ke sikunya dan berubah menjadi batu yang terlihat begitu keras. Dia
menarik tangannya kembali dan batu itu mulai berubah mengikuti bentuk
tangannya. Bagaikan sebuah sarung tangan.
“(Benar kata Zaki, kemampuannya terbilang
menyusahkan.)” Aku mengeluarkan pedangku dari dalam sarung lalu melenyapkan
sarung pedangku. “Open the Seal : Super Moonlight Shard – Super Moonlight
Sword.” Aku melompat menerjang dengan pedangku yang sudah bercahaya. Saat itu,
aku berniat untuk langsung menghabisinya dengan satu serangan. Karena, aku
tidak punya waktu untuk berurusan dengannya dan harus segera mengungsi bersama
Zaki dan Anita.
Namun, dia
dengan mudahnya menangkap pedangku dengan kedua tangannya. Dia berhasil menahan
Super Moonlight Sword milikku. Meski begitu, tanah yang dipijaknya dan yang ada
disekitarnya menjadi retak akibat tekanan yang berasal dari Super Moonlight
Shard milikku.
“(Gawat, aku tidak menyangka bahwa batunya
lebih keras dari perkiraanku.)”
Dia mencengkram
pedangku lalu mengayunkannya bersama diriku yang masih menggenggam pedang itu
dan melemparkannya ke arah tembok dari ruangan dibelakangnya.
Sebuah batu
besar dilemparkan kearahku. Aku awalnya berniat untuk menghindar dengan cara
melompat, namun dia menangkapku dengan mengikat kedua kakiku dengan batu
miliknya.
“Gawat! Open
the Seal : Moonlight Shard.” Aku melemparkan moonlight shard milikku kearah
batu tersebut dan berhasil menghancurkannya. Namun, dibelakangnya terdapat batu-batu
lainnya yang juga terlempar kearahku. Aku terus menerus menahan batu-batu
tersebut menggunakkan moonlight shard milikku.
Tapi pada akhirnya
terdapat sebuah batu besar yang mengarah kearahku. Dengan batu sebesar itu, aku
takkan sempat menghancurkannya dengan moonlight shard sebelum batu tersebut
mengenaiku. Ditambah lagi, aku akan kehabisan manaku jika aku terus seperti
ini.
Batupun menghantam.
Seno dengan santainya berjalan kearah batu tersebut mendarat—kearahku untuk
memeriksa kondisiku. Namun dia tak begitu terkejut saat tidak menemukan tubuhku
di balik batu besar tersebut.
“Hoo, aku
mengerti.” Seno berbalik dan menemukanku yang sedang terududuk lelah. “Jadi kau
memilik skill yang seperti itu, ya.” Dia memegang dagunya lalu menengok keatas.
Tak lama kemudian dia bergeleng-geleng “Tapi, masih belum....”
Tiba-tiba dia
sudah tepat dihadapanku dan dalam keadaan siap meninjuku kapan saja. Kecepatannya
yang luar biasa membuatku tak bisa bergeming.
”...ini masih
belum cukup untuk menghiburku.”
Aku yang begitu
terkejut langsung melompat mundur. Namun dibelakangku sudah terdapat sebuah
tembok batu yang menghadang diriku. Selama sesaat aku menengok kebelakang lalu
menengok kedepan—tinju darinya yang sudah tepat berada dihadapan kedua mataku.
Saat itu kusadari bahwa, pedangku sudah patah menjadi dua.
Tanpa pikir
panjang, aku langsung mencoba menahan pukulannya menggunakan pedang milikku.
Kupikir aku akan selamat, namun pedangku malah patah menjadi dua.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah ungkapan yang
cocok untuk menggambarkan kondisiku saat ini—tidak, kurasa lebih dari itu.
Aku terpental
akibat pukulannya, bahkan tembok yang ada dibelakangku hancur akibat tubuhku
yang terpental. Tubuhku melesat begitu saja menuju tanah bagaikan anak panah
yang baru saja ditembakkan dari busurnya. Saat itu aku juga sadar bahwa aku
sudah kalah.
Kutengok
pedangku yang tergeletak di rumput hijau nan indah. Serpihan pedang tersebut
memantulkan cahaya dengan cerahnya. Cahaya yang dipantulkannya menyorot
langsung kekedua mataku. Entah mengapa saat itu terlintas satu kata.
“Indahnya.”
Tak lama
kemudian pedang tersebut mulai bercahaya dan lenyap. Aku kembali menengok
kedepan, menghadapi kenyataan pahit yang mendatangiku. Dengan tangan kirinya
yang sudah terlepas dari sarung tangan batu, dia mencengkram jaketku dan
mengangkatku ke udara.
“Apa? Ternyata
kemampuanmu hanya segini? Yah, yang kudengar dari adikku, kau lebih dari ini.”
Dia menarik tangan kanannya dan hendak akan memukulku.
Ah, apa aku akan mati?
“Hentikan!!!”
Tiba-tiba
tangannya terhenti sesaat sebelum berhasil menyentuh diriku. Aku bisa melihat
dengan jelas bahwa tangannya bergetar seakan masih berusaha untuk memukul
diriku. Tapi seakan ada sesuatu yang menahan tangannya sehingga tidak bisa
memukul diriku. Dengan terpatah-patah, dia berusaha untuk menengok kesumber
suara tersebut, begitu pula aku.
Anita berdiri
dengan tegapnya. Dia berdiri tepat dibelakang Seno sembari memegang sebuah
bongkahan batu yang dimana salah satu ujungnya lancip. Meski samar, seakan aku
bisa melihat sedikit bercak darah di pipinya. Bercak darah itu masih baru dan
seperti baru saja diusap. “Hentikan, atau....” Dia mendekatkan bagian lancip
dari batu tersebut ke punggung Seno untuk mengancamnya agar tidak macam-macam.
“Baiklah-baiklah,
aku mengerti.” Dengan perlahan, dia menjatuhkanku lalu mengangkat kedua
tangannya keudara. Entah mengapa, setiap gerakan yang dilakukannya terlihat
terpatah-patah dan seakan dia berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya.
“Pergilah dari
sini!”
“Sayang sekali,
aku—”
“Aku tidak
peduli apapun alasanmu!” Anita semakin mendekatkan bagian lancipnya ke punggung
Seno dan mungkin telah merobek pakaiannya.
“Baik, baik,
aku mengerti.” Dia perlahan menapakan kedua tangannya kerumput dan membuat
sebuah pilar tinggi yang lebarnya seukuran dengan tubuhnya. Pilar yang begitu
tinggi itu melemparnya dan membuatnya takkan mungkin bisa kembali. Tak lama
kemudian, Anita membuang bongkahan batu itu lalu berlari menghampiriku.
Wajahnya begitu
khawatir dan nada bicaranya begitu rendah, bahkan mungkin aku tidak bisa
mendengarnya dengan jelas “Dimo, bertahanlah! Saat ini Zakarya sedang mencari
anggota ERASER yang telah tiba.” Dia mengangkat kepalaku dan memangkuku.
Lagi-lagi, aku membuatnya menangis.
Air matanya
menetes membasahi wajahku. Dengan keadaan tubuhku yang begitu lemas, kurasa aku
tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya terdiam sembari tersenyum. Kira-kira, sudah
berapa kali aku sudah membuatnya menangis selama seminggu ini. Padahal aku baru
saja bertemu dengannya dan banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Aku juga
ingin dia berteman akrab dengan Leila dan Sindy.
Duh, aku memang payah.
Aku pingsan.
***
Kubuka mataku.
Kumelihat plafon dari sebuah ruangan yang nampak asing. Dinginnya pendingin
ruangan dan juga cahaya kekuningan yang merambat memasuki ruangan melalui
jendela.
“Yo, kau sudah
bangun?”
Aku menengok
kesebelah kiri. Zaki sedang duduk dengan santainya sembari mengambil mengambil
sebuah apel dari kantung plastik yang dia bawa lalu memakannya sendiri. “Ini
dimana?” Aku bangun sembari memegang kepalaku—mencoba untuk mengingat kembali
alasan mengapa aku berada di sini.
“Ini di rumah
sakit daerah, kalian berdua dibawa kesini setelah penyerangan kemarin.” Zaki
mengambil kembali sebuah apel dari dalam kantung plastik dan melemparkannya
kepadaku. Meski sedikit oleng, aku berhasil menangkap apel tersebut lalu mulai
memakannya.
“Berdua?”
“Ya, tak lama
setelah kau pingsan, kondisi tubuh Anita mulai memburuk dan diapun pingsan.
Sejak kemarin, dia belum saja sadarkan diri.” Dia menunjuk ke belakangnya lalu
lanjut memakan apel.
“Syukurlah, kau
sudah bangun, Dimo.” Sindy dan Leila yang baru saja tiba langsung menghampiriku.
Entah mengapa ekspresi mereka yang lega setelah melihat kondisiku justru malah
membuatku ikut lega. Mereka mengambil dua buah kursi untuk masing-masing dari
mereka lalu duduk di sebelah kanan diriku.
Sementara
mereka bertiga berbincang-bincang, aku justru hanya terdiam dan berpikir. Sejak
aku bangun, aku selalu terpikir dengan apa yang terjadi sebelumnya. Dengan
maksud perkataan Anita dan mengapa Pria Bertopeng yang bernama Seno itu
terhenti setelah Anita muncul. Padahal dengan kecepatannya itu, dia bisa saja
membalikan keadaan.
“Dimo....”
“Dimo...”
“Hei, Dimo!”
Aku tertegun
dan wajahku terdongkak. Tanpa kusadari, Zaki memanggilku sejak tadi dan
sekarang semuanya menatapku dengan penuh penasaran. Dari tatapan mereka, aku
bisa menyimpulkan bahwa saat ini mereka sedang bertanya-tanya mengapa aku hanya
diam sejak tadi.
“Ada apa?
Tumben sekali kau diam saja sejak tadi. Dan lagi, wajahmu begitu serius.” Zaki
menghabiskan apelnya lalu melemparnya ketempat sampah. Aku menghela napas panjang
lalu menjelaskan kepada mereka alasan mengapa aku terdiam, yaitu saat-saat
dimana Seno terdiam saat Anita muncul. Ditambah lagi, saat Anita berkata bahwa
dialah alasan mengapa penyerangan itu terjadi.
Selama aku
bercerita, entah mengapa Sindy sempat nampak terkejut sekaligus serius disaat
yang bersamaan saat aku menceritakan tentang kemunculan Seno.
“Begitu ya,
begitu ya....” Zaki tertunduk sembari memejamkan kedua matanya. Dia pegang
dagunya seakan sedang berpikir keras untuk mencerna ceritaku tadi.
“Tapi apa itu
mungkin? Kau tahu, pada dasarnya monster akan menyerang siapa saja yang ada
disekitarnya. Sulit untuk mempercayai bahwa monster bisa mengincar seseorang
begitu saja.” Sindy menengok kebelakang dan sedikit mengintip dengan menggeser
sedikit gorden lalu mengembalikannya seperti semula.
“Y-ya, Sindy
benar. Tidak ada alasan bagi monster-monster itu untuk mengincar Anita.” Leila
semakin menguatkan pendapat Sindy.
“Apalagi ceritamu
tentang gerak-gerik Si Topeng Sialan yang mulai menjadi aneh sejak kemunculan
Anita. Dan mengapa Anita berkata bahwa dialah penyebab utama mengapa insiden
itu terjadi.”
“Aku tahu bahwa
ini sulit untuk dipercayai, tapi itulah yang terjadi.”
“Kalau begitu,
apa alasan bagi monster-monster tersebut hingga mengincar Anita?” Sindy dengan
lemasnya berpangku dagu di kasurku sembari menengok kearahku. Sementara Zaki
yang hanya bisa terdiam sembari memejamkan matanya dan sesekali kepalanya
mendongkak keatas. Lalu Leila yang hanya terdiam kebingungan dengan wajahnya
yang merona seperti biasa.
Saat itu kami
sadar bahwa kami sudah mencapai kebuntuan.
Kujatuhkan
tubuhku dan berbaring. Aku tengok apel yang sedang kugenggam di tangan kananku.
“Cursed Eye.”
Aku kembali
bangun dan kamipun menengok kearah sumber suara. Ternyata itu adalah Pak Bum,
Indra dan Dinda. Indra mengetuk pintu lalu diapun masuk. Sementara Dinda yang
mendorong kursi roda Pak Bum sudah masuk terlebih dahulu “Itu adalah item jenis
Super Rare yang paling langka. Dengan item itu, kau bisa menghentikan dan
menetralisir serangan dan gerakan apapun. Dan kekuatan ini bersifat mutlak.” Pak
Bum melepas kacamatanya lalu memejamkan kedua matanya “Meski begitu, item ini
terlalu banyak menguras mana. Bahkan meski itu hanya satu detik pemakaian.”
Setelah itu, dia mengelap kacamatanya dan mengenakannya kembali “Aku tidak tahu
bagaimana item tersebut bisa berubah menjadi anggota tubuhnya.”
“Tunggu dulu, aku
sama sekali tidak mengerti maksud perkataan bapak.”
Kami semua
terdiam tanpa bisa berkata-kata. Mencoba untuk mencerna maksud perkataan Pak
Bum.
“Aku sempat
mencari tahu catatan medis milik gadis itu.”
“Lalu?”
“Dia tidak
pernah melakukan operasi mata atau semacamnya.”
“Tunggu dulu,
jadi maksud anda....” Aku langsung turun dari kasurku dan menghampiri Pak Bum.
“Ya, dia tak
seharusnya bisa melihat dan mata yang saat ini dia gunakkan adalah Cursed Eye.”
Kami semua
membeku. Kata-kata Pak Bum yang begitu lantang menunjukkan kepada kami bahwa
saat ini beliau sedang tidak bercanda. Ditambah lagi Kak Indra dan Mbak Dinda
yang hanya terdiam tanpa sedikitpun mengeluarkan ekspresi yang meragukan.
Semuanya
terdiam sembari tertunduk, termasuk aku. Saat itu aku sudah tidak tahu lagi
harus berkata apa. Rasanya sangat menyebalkan. Lagi-lagi muncul perasaan yang
membuat diriku sangat ingin memukul diriku sendiri. Aku tertegun sejenak, aku
teringat kembali dengan kata-katanya saat itu. Entah mengapa kali ini merasa
bahwa ada sesuatu yang aneh dari perkataannya.
Kata-katanya
yang tanpa kusadari memiliki makna lain. Seharusnya aku menyadari hal ini lebih
awal lagi. Seharusnya aku menyadari bahwa ada yang ganjil dari kata-katanya
saat di taman itu.
Tiba-tiba Zaki
menepuk pundakku lalu berjalan melewatiku—menghampiri Pak Bum “Lalu bagaimana?
Jika item itu bisa membuat monster mengincarnya, bukankah itu berbahaya? Apa
anda tidak punya cara untuk melepas item tersebut?”
“Sayang sekali,
namun saat ini kami masih belum mengetahui cara untuk melepas item tersebut.” Pak
Bum menggeleng penuh keyakinan sembari menutup matanya.
“Saat ini...?
Kalau begitu....”
“Ya. Sebenarnya,
saat kami mengetahui kondisi Anita, kami langsung mencari cara untuk
menyelesaikan masalah ini.” Kak Indra tersenyum kecut sembari mengusap belakang
lehernya.
Mendengar pernyataan
Kak Indra langsung membuat kami berempat dapat mengelus dada. Begitu pula aku.
Dengan lemasnya aku mundur lalu duduk di kasur. Ku jatuhkan tubuhku dan
menghela napas panjang.
“(Untuk saat ini, ya.....)”
Sudah
kuputuskan.
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment