Oke, udah cukup episode santainya. Sekarang balik lagi ke bagian seriusnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Pada akhirnya,
aku gagal memberitahu Anita mengenai kondisi tubuhnya. Setelah mendengar impiannya,
aku mulai merasa ragu untuk memberi tahunya dan memilih untuk diam. Setelah
mendengar alasannya itu, aku merasa bertanggung jawab.
Beberapa hari
kemudian.
Hari demi hari mulai
berjalan seperti biasanya. Dan sekolah hari ini berlalu begitu cepat tanpa
kusadari. Sesaat sebelum aku sempat pulang, lebih tepatnya di jam pelajaran
terakhir, aku mendapat pesan dari Sindy yang memintaku untuk menemuinya di
ruang kelas F sesaat setelah sepulang sekolah.
Aku menengok
kearahnya sesaat setelah membaca pesan itu. Dirinya yang nampak cuek sembari
menyimpan smartphonya, kembali mengambil pulpennya dan kembali mencatat
pelajaran yang sedang disampaikan oleh guru.
Memang,
akhir-akhir ini Sindy nampak lebih serius dari biasanya. Aku tahu dia bukanlah
tipe orang yang mengajak seseorang bertemu begitu saja tanpa ada alasan yang
pasti. Tapi, aku benar-benar tidak bisa menebak alasan mengapa dia tiba-tiba
ingin menemuiku.
Setelah jam
pelajaran berakhir.
Sesuai
permintaan Sindy, aku menunggu dirinya di ruang kelas F. Dari sekian banyak
ruang kelas, aku tidak tahu mengapa dia memilih ruangan ini. Ruang kelas F
adalah ruang kelas yang paling terpencil yang terletak di dekat gerbang
belakang sekolah. Namun, ruangan ini biasa di gunakan untuk murid kelas
menengah keatas. Karena itulah kelas ini pulang lebih cepat dibandingkan dengan
kelas reguler.
Cahaya sore
hari kekuningan yang menembus jendela menyinari ruangan. Berpadu dengan tembok
yang berwarna putih. Sunyinya area tersebut membuatku bisa mendengar suara
angin yang berhembus, bahkan meski sudah sore, burung-burung masihlah berkicau.
Udara sejuk yang kuhirup begitu segar. Atmosfir yang kurasakan begitu tenang
dan damai. Mungkin karena faktor-faktor itulah ruangan ini menjadi ruangan
khusus.
Sudah hampir
lima menit aku menunggunya di sini, tapi Sindy belum juga tiba. Sebelumnya, dia
mengirim pesan kepadaku untuk berangkat terlebih dahulu sementara dia sedang
membicarakan sesuatu dengan Zaki dan Leila. Aku penasaran dengan apa yang
mereka bertiga bicarakan.
“Maaf sudah
membuatmu menunggu.”
Sindy memasuki
ruang kelas lalu mengambil sebuah kursi. Dia taruh kursi tersebut di depan
mejaku dengan arah yang menghadap kearahku lalu melepas tasnya dan menaruhnya
di samping kursinya.
“Tak apa, aku
juga baru saja tiba di sini. Lalu, kenapa kau tiba-tiba ingin bertemu denganku
di sini?” Sementara Sindy masih menaruh tasnya, aku berpangku dagu dengan wajah
datar namun penuh penasaran.
“Sesudah malam
tahun baru, apa yang kau bicarakan dengan Anita? Apa kau sudah memberitahunya
mengenai kondisinya?” Sindy menatapku dengan serius. Rambut hitamnya yang
menjadi kekuningan akibat cahaya kekuningan. Mata hitamnya yang menatapku
begitu indah dan juga memberi tekanan disaat yang bersamaan.
Tapi, bagaimana dia bisa tahu mengenai itu?
“Bagaimana
kau—” Wajahku terdongkak. Tanpa kusadari, aku sudah berdiri dengan sendirinya.
Melihat reaksiku, Sindy tersenyum. Sementara aku yang tak bisa berkata-kata,
memilih kembali duduk. Aku buang pandanganku darinya dan lebih memilih untuk
menunduk dan menatap lantai putih yang sedikit berdebu.
“Begitu...
Dilihat dari reaksimu, sepertinya kau belum memberi tahunya. Kalau begitu, aku
saja yang akan memberitahunya.” Sindy memejamkan kedua matanya untuk sesaat,
lalu dia kembali berdiri dan mengambil tasnya.
“Tapi, dia—” Dengan
cepat, tubuhku langsung mendongkak ke depan dan menangkap tangan Sindy yang
berusaha untuk meraih tasnya.
“Aku tahu. Aku
juga mendengar percakapan kalian pada malam itu.” Sindy menarik tangannya dari
genggamanku dengan perlahan lalu menengok kearahku.
“Kalau begitu,
kau pasti mengerti’kan. Dia....” Aku menjatuhkan tubuhku dengan lemasnya ke
kursi. Aku menunduk lalu bersandar di meja.
“Tidak. Aku
sama sekali tidak mengerti. Aku tidak mengerti mengapa kau tidak bisa
memberitahunya.” Sindy menggeleng.
“Kenapa kau
tidak mengerti? Jika dia mengetahui tentang ini, mungkin dia akan menyerah.”
Wajahku mendongkak kearahnya. Aku kembali berdiri sembari menggaruk rambutku.
“Kau pikir,
Anita akan begitu saja membuang impiannya setelah mengetahui kenyataan ini?!”
Bentak Sindy sembari memukul meja dengan kedua telapak tangannya. Bentakannya
membuatku begitu terkejut. Aku bahkan hampir saja terjatuh kebelakang akibat
bentakannya.
Meski wajahnya
masih begitu tenang, dia nampak begitu kesal. Dia mengepalkan kedua tangannya
sembari menatap tajam kepadaku.
“Apa maksudmu?”
Tanyaku penuh ragu.
“Disini, kaulah
yang sama sekali tidak mengerti apa-apa! Kau pikir sudah berapa lama Anita memiliki
impian untuk menjadi seorang novelis?”
“Sejak
kapan....?” Mataku terbelalak. Kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali?
Padahal akulah orang yang telah membuatnya ingin membuat novel. Padahal akulah
orang yang paling dekat dengannya. Padahal, aku adalah teman masa kecilnya.
Aku menggigit
bibirku. Aku tertunduk kebawah, tanganku mengepal dan aku sudah tak tahu apa
yang sebenarnya kulakukan adalah hal yang benar.
“Sejak dulu,
meski dia telah kehilangan penglihatannya, dia tetap percaya diri dan berpikir positif.
Dia yakin bahwa suatu hari dia akan mewujudkan impiannya dan menjadi seorang
novelis. Dan kau berpikir, kenyataan bahwa kehidupannya akan berakhir dalam
waktu setengah tahun akan menghentikannya?” Dengan nada suaranya yang tinggi.
Perlahan demi perlahan dia mulai menyadarkanku bahwa yang kulakukan bukanlah
sebuah kebaikan, melainkan hanyalah keegoisanku semata.
“Dan jika kau
masih bersikeras tak ingin memberitahunya, maka aku yang akan melakukannya!”
Sindy menghela napas lalu mengambil tasnya. Dia pakai tas tersebut lalu dengan
perlahan keluar dari dalam kelas.
“Tunggu!” Aku
mengejarnya lalu menangkap tangannya.
“Ada apa? Apa
kau masih kebe—” Sindy menengok kebelakang lalu berusaha untuk melepaskan genggaman
tanganku.
“Akan
kulakukan. Kali ini, aku akan memberitahunya. Pasti.” Aku mengangguk sembari
tersenyum lembut lalu kulepaskan tangannya dari genggamanku.
Setelah
mendengar jawabanku, Sindy memejamkan matanya lalu tersenyum balik. Perlahan,
dia membuka kedua matanya. Dia rapihkan kembali pakaian dan rambutnya lalu
menatap wajahku “Kalau begitu, bicarakanlah dengannya....”
***
Di rumah.
Aku hanya
termenung di kamarku. Aku terduduk lemas di lantai sembari bersender di
kasurku. Aku menatap semut-semut yang berbaris memasuki sebuah celah kecil di
sudut lantai. Seragam putihku yang sudah lecek, tersinari oleh cahaya keemasan
sore hari yang memasukki kamarku melewati dua pasang jendela yang ada tepat di
belakangku. Dan Kasurku yang masih rapih seakan belum tersentuh. Meski aku
sudah yakin dan membulatkan niat untuk memberi tahu Anita, namun aku belum
menemukkan saat yang tepat untuk bisa menemuinya.
Disaat aku
sedang tenggelam dalam pikiranku, smartphoneku berbunyi. Smartphone yang
tergeletak tepat di kasur belakangku. Smartphone tersebut terus menerus
berbunyi hingga akhirnya aku membuka smartphone. Ternyata, itu adalah pesan
yang dikirim oleh Zaki. Pantas saja pesannya nge-spam.
Pesan singkat
yang di kirim oleh si berisik itu berbunyi “Dimo, aku dan Leila sudah mendengar
semuanya dari Sindy. Karena itulah, kami berdua berinisiatif untuk
mempertemukanmu dengan Anita secara langsung sore hari ini. Oh ya, yang Anita
ketahui adalah kau yang tiba-tiba ingin menemuinya. Jadi, jangan sampai
keceplosan, ya. Aku hampir lupa, Anita akan tiba di taman pukul 5 sore. Jangan
sampai lupa ya!”
Aku menghela
napas panjang. Entah mengapa aku merasa ingin tertawa setelah membaca pesan
tersebut. Aku menengok ke sebuah jam yang tergantung di dinding. Sebuah jam
yang menunjukkan pukul 4:50.
“Baiklah,
kurasa aku harus segera bergegas.”
Di taman.
Sudah lama
sejak terakhir kali aku menghampiri tempat ini. Aku menengok kearah dimana
rumah lamaku berada. Dan ternyata rumah tersebut masih nampak rapih dan
terjaga. Mungkin Zaki yang merawatnya, atau mungkin Paman Tedi?
Sesaat sebelum
aku tiba di taman, aku sempat mampir ke toko roti milik Paman Tedi. Di sana,
ada Zaki, Leila dan Sindy yang menungguku sembari memberi semangat kepadaku.
Kurasa, aku sudah tak bisa mundur lagi....
Aku duduk
sembari menatap ke atas langit. Langit berawarna oranye dengan cahaya
kekuningnanya. Sudah hampir dua puluh menit sejak aku tiba di sini, namun ia
belum tiba. Padahal taman sudah mulai sepi, namun aku sama sekali tidak dapat
menemukannya.
“Di-Dimo...”
Tiba-tiba aku
mendengar suaranya. Tubuhku bereaksi dengan langsung berdiri dan menengok
kearah sumber suara tersebut. Anita berdiri dengan tegapnya. Pipi di wajahnya
yang nampak agak memerah, serta kedua tangannya yang meremas switer turtleneck
bewarna hitam yang dikenakkannya.
Namun, kenapa dia tertunduk?
Sejak dia tiba,
dia sama sekali tak menatap diriku dan hanya tertunduk. Namun, kurasa, itu
bukanlah alasan untuk tidak memberitahunya kenyataan. “Anita, sebenarnya, ada
yang ingin kuberitahukan kepadamu.” Mendengar itu, wajah Anita yang sebelumnya
tertunduk langsung terangkat dan menatap wajahku.
“Sebenarnya...”
Entah mengapa,
di saat-saat seperti ini tenggorokanku menjadi kering. Tiba-tiba angin
berhembus kencang meniup rambut putihnya. Cahaya kekuningan yang dipancarkan
matahari mulai pudar terhalang awan, perlahan, cuaca yang cerah dan penuh
dengan cahaya kekuningan langsung berubah menjadi gelap akibat mentari yang
terhalang awan. Ditambah, suasana sepi di taman yang membuatku semakin
canggung. Aku mengepalkan kedua tanganku. Wajahku yang semulanya tertunduk
langsung menatap tajam Anita. Aku menarik napas panjang lalu mulai membuka
mulutku “Sebenarnya—”
Tiba-tiba
terjadi sebuah ledakan besar tepat di area sebelah yang tak jauh dari tempat
dimana aku berada. Asap akibat ledakan yang tersebar di mana-mana, secara tak
langsung telah memisahkanku dengan Anita. Tiba-tiba, aku mendengar suara Anita
yang berteriak meminta tolong. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menuju
ke tempat di mana Anita berada sebelumnya, namun aku tak bisa menemukannya.
“Anita, di mana
kau?” Aku terus berlari mengitari taman untuk mencari Anita, namun aku sama
sekali tak bisa menemukannya. Untungnya, aku membawa login login device dan
melakukan login. Dengan cepat, kuaktifkan skill moonlight speed lalu mencoba
mencari sekali lagi.
“Dimo...
maaf...”
Sekilas aku
mendengar suaranya. Akupun kembali ke tempat dimana aku mendengar suara
tersebut. “Anita!” Aku mendapati Anita yang dalam kondisi tak sadarkan diri
sedang dibawa oleh Seno dengan cara menggotongnya. “Kau! Mau dibawa ke mana
Anita?!” Mendengar teriakkanku, Seno terhenti lalu berdecap sembari menggeleng-gelengkan
kepalanya lalu menghela napas panjang. Tak lama kemudian, dia turunkan Anita
lalu berbalik menghadapku.
“Yah, mau
gimana lagi... meski merepotkan...” Seno berjongkok lalu kedua tangannya
menyentuh tanah “Open the Seal : Craft – Stone Gloves.” Setelah sarung tangan
batunya telah terbentuk, dia kembali berdiri lalu menunjukku “Baiklah begini
saja, ayo kita buat ini sebagai permainan.”
“Permainan
katamu?” Aku mengambil ogre sword dari dalam inventoriku. Untungnya, akibat
sistem yang di perbaharui oleh Pak Bum sesaat setelah insiden guncangan
terjadi, semua equipment dari anggota ERASER, tanpa terkecuali akan langsung
mencapai level maksimalnya. Termasuk kedua pedangku. Meski aku bukan lagi
anggota ERASER, namun aku masihlah memiliki urusan dengan mereka sehingga
equipmentku masihlah berada di level maksimal. Meski pedang ini tak seefektif
pedang yang biasa kukenakkan, tapi kuharap ini cukup untuk menyelamatkan Anita.
“Ya, sebuah
permainan. Jika kau berhasil mengalahkanku atau membuatku mundur dari
pertempuran dengan satu serangan, gadis itu, akan kuserahkan padamu.”
“Jangan
bercanda! Kau pikir nyawa seseorang adalah sebuah mainan?”
“Yah, kurasa
akan aku koreksi kata-kataku.” Seno berjalan menghampiri tubuh Anita yang
terbaring tak sadarkan diri di jalan. “Bergabunglah kedalam permainan ini jika
kau tak ingin nyawa dari gadis ini melayang!” Dia menapakkan kedua tangannya di
tanah lalu mengikat tubuh Anita dengan batu yang diciptakannya. Batu itu
semakin kencang dan semakin kencang, aku bisa melihatnya dari ekspresi Anita
yang nampak kesakitan.
“Keparat,
jangan bercanda!” Aku langsung melompat menerjangnya “Open the Seal: Moonlight
Shard – Super Moonlight Sword!”
“Itu baru yang
namannya semangat!” Seno berjalan ke depan melewati tubuh Anita, lalu
menghadangku. Dia menapakkan kedua telapak tangannya yang terbungkus oleh sarung
tangan batu. Disaat kami berdua sudah cukup dekat, aku langsung mengayunkan pedangku dengan
sekuat tenaga. Sementara Seno yang bertepuk tangan lalu mengarahkan tinjunya
kearahku.
Kejadian itu
terjadi dengan sangat sekejap, hingga aku tidak terlalu mengingatnya. Dibanding
menghindar, Seno langsung memukul pedangku hingga patah menjadi dua lalu dia
lanjutkan dengan memukul wajahku dengan kencang hingga membuatku terpental
beberapa meter hingga akhirnya aku menabrak pohon.
“Haah.... lagi-lagi
kau mengecewakanku.” Seno menepuk batu yang mengikat Anita. Dengan cepatnya
batu itu mengurai dan lenyap. Setelah itu, dia gendong kembali Anita lalu
membawanya pergi.
Dengan asap
akibat ledakan yang masih tebal, dan tubuhku yang lemas, sangat tak mungkin
bagiku untuk menyusulnya. Apalagi,
kesadaranku mulai memudar dan penglihatanku mulai berkunang-kunang.
“Anita....”
Aku tak ingin, kehilangan lagi...
Ini semua salahku...
***
6 Tahun yang lalu.
Dengan perut
yang kosong, aku terus berjalan dan terus berjalan tanpa tahu ke arah mana aku
pergi. Dengan pakaian yang masih compang-camping dan berlumuran lumpur. Cuaca
yang panas juga menyengat membuat tenggorokanku semakin kering dan terasa haus.
Padahal, kemarin hujan sangatlah deras.
Sudah dua hari
berlalu sejak aku meninggalkan mobil yang terbakar itu, dan sudah dua hari juga
aku terus mencuri untuk bisa bertahan hidup.
Saat itu, rasa
laparku tak tertahankan. Akupun melihat seorang pembeli yang baru saja keluar
dari sebuah toko roti dengan membawa sebuah kantung plastik berwarna putih yang
terisi dengan roti-roti yang nampak lezat.
Entah mengapa,
bukannya memilih untuk mencuri dari pembeli yang barusaja melintasi diriku, aku
lebih memilih berlari menuju ke toko roti yang dimana pembeli tadi berasal.
“Hei, mau kemana
kau?!”
Paman penjual
roti yang rotinya baru saja kucuri menyadari kepergianku. Namun nampaknya dia
merasa terlalu malas untuk mengejarku.
“Duuh, kenapa
Paman malah diam saja dan bukannya mengejar dia?” Seorang perempuan yang nampak
lebih tua dariku (Nampak seperti remaja SMA) berlari mengejarku. Pada awalnya
aku tak menyadari bahwa dia sedang mengejarku sampai akhirnya dia melompat dan
menghadangku.
Remaja
perempuan itu nampak tomboi dengan seragam olah raganya. Rambutnya yang
berwarna coklat, kaca mata berwarna hitamnya yang agak bulat, serta senyuman
percaya diri yang begitu nampak dari wajahnya.
“Anu, apa yang
kakak lakukan?” Aku berhanti berlari lalu mundur sedikit demi sedikit.
“Tentu saja,
mengejar seorang pencuri.” Dia berpose ala seorang kiper penjaga gawang sembari
melangkah menghampiriku. Aku menengok kesana kemari untuk mencari pencuri yang
ia maksud, namun aku tidak bisa menemukannya. Tapi, perlahan aku menyadari
maksud sesungguhnya dari kakak perempuan itu saat aku menengok ke bawah dan
melihat sebuah roti rasa coklat yang terbungkus dengan sebuah plastik dengan
rapih.
Aku memasukkan
roti tersebut kedalam kausku dan langsung berlari—berbelok menuju ke sebuah
tempat yang nampak seperti sebuah taman. Untungnya, karena cuaca panas yang
menyengat dihari ini, taman sangatlah sepi sehingga memudahkanku untuk kabur.
Meski begitu, meski aku sudah berlari dengan sangat kencang, kakak perempuan
itu masih saja mengejarku, bahkan dengan kecepatan yang lebih cepat dari
kecepatanku.
Aku menengok ke
belakang “Kenapa... kakak itu.... larinya kencang sekali.” Disaat aku kembali
menengok ke depan, ada sebuah pohon yang tepat sudah ada di hadapanku. Disaat
aku ingin segera berhenti berlari, aku malah tersandung salah satu akar pohon
sehingga membuatku terjatuh dan menabrak pohon. Bersama dengan jatuhnya aku,
roti tersebut terlempar keluar dari dalam pakaianku.
“Kalau mau
roti, kumpulkanlah uang dan beli, dong...” Kakak perempuan itu mengambil roti
yang sudah terjatuh dan berusaha untuk membantuku bangun kembali. “Lho, eh...?”
Namun yang dia temukan adalah diriku yang sudah jatuh pingsan karena kelaparan.
Aku membuka
mataku. Pandanganku yang awalnya kabur perlahan mulai menjadi jelas. Aku
melihat plafon berwarna putih yang nampak asing. “Wah, kau sudah bangun!” Aku
mendengar suara kencang dari anak laki-laki yang sebaya denganku. Saat aku
bangun dan duduk di atas sofa, aku melihat anak laki-laki berambut cokelat yang
nampak enerjik itu pergi meninggalkan ruangan. Aku juga menyadari bahwa kaus
serta celana pendek yang kupakai berbeda dan nampak baru. Tak lama kemudian,
aku melihat kakak perempuan itu yang berjalan dari dapur dengan membawa segelas
air mineral. Dia yang sebelumnya memakai seragam olahraga sekolah kini telah
berganti dengan sebuah kemeja berwarna biru.
“Kau sudah
bangun? Apa kau baik-baik saja?” Aku mengangguk dengan penuh bingung.
“Syukurlah, jika kau tidak bangun, maka aku akan sangat merasa bersalah.” Dia
duduk di sofa sembari tersenyum lega lalu menawariku segelas air. Aku yang
masih merasa bingung, langsung menerima air tersebut tanpa pikir panjang.
“Anu, maaf...
tapi, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tadi kau
pingsan. Mutia-lah yang telah membawamu ke sini.” Paman penjual roti yang baru
saja melayani pembeli langsung datang menghampiriku. Dia memiliki rambut yang
berwarna coklat pucat serta kumis tipisnya dan memakai kaus lengan panjang yang
berwarna hitam.
“Anu, maafkan
aku karena sudah mencuri di toko anda.” Aku langsung berdiri dan sedikit menunduk
meminta maaf.
“Apa? Tak usah
di pikirkan. Tapi lain kali jangan di ulangi ya.” Dia melempar sebuah roti
kearahku. Aku yang masih agak lemas sempat hampir gagal menangkapnya.
“Ini... roti
yang tadi kucuri...” Aku menatap roti itu sembari memutar-mutarnya untuk
memastikan roti tersebut roti yang sama. “Tapi, kenapa? Padahal aku’kan
sudah....”
“Kau lapar
bukan? Makanlah.” Penjual roti tersebut tersenyum lalu menghampiriku.
“Y-ya, terima
kasih...!” Dengan cepatnya, aku langsung membuka bungkus roti tersebut dan
memakan rotinya dengan lahap.
Melihat
reaksiku, Kak Mutia tersenyum lalu sedikit tertawa sembari berpangku dagu “Kau
benar-benar suka roti, ya.”
“Ti-tidak! Ha-hanya
saja, hanya ada ini yang bisa kumakan saat ini!” Aku berhenti makan dan
menjawabnya dengan gagap. Karena mulutku yang masih penuh, Kak Mutia dan Paman
Penjual Rotipun tertawa. Tawa mereka semakin membuatku tersipu malu. Akupun
membuang pandangan dan lanjut memakan roti tersebut.
Tak lama
kemudian, Kak Mutia mengulurkan tangannya kearahku “Perkenalkan, namaku Mutia
Cendana, lalu Om-om jomblo di sana adalah Tedi Gemilang. Kalau kau?” Aku
menengok kearahnya, dia hanya tersenyum sembari mengulurkan tangannya.
“Om-om
jomblo?!” Celetuk Paman Tedi
“Dimo... hanya
Dimo... setidaknya itulah yang kuingat...” Dengan malu-malu, aku mengulurkan
tanganky dan menjabat tangannya.
“(Aku tidak begitu mengerti apa maksud
perkataannya barusan....) Dek Dimo, di mana rumahmu? Nanti Kakak akan
mengantarmu pulang.” Kak Mutia kembali berdiri dan bersiap menuju ke ruang
depan, namun terhenti saat melihatku yang hanya terdiam.
“Maaf, tapi aku
tidak tahu.” Mendengar jawabanku, semuanya langsung terkejut. Tanpa ragu sama
sekali, mereka langsung menghampiriku. “Aku tidak tahu siapa diriku, dan aku
tidak tahu berasal dari mana aku...” Kak Anita dan Paman Tedi yang berjongkok
bersebelahan menghadapku langsung menengok ke satu sama lain.
“Jangan-jangan...
Amnesia...?” Paman Tedi kembali berdiri sembari menggaruk-garuk rambutnya dan
berjalan mondar-mandir.
Diikuti dengan
Kak Mutia yang kembali duduk di sofa “Kalau begini sih... susah.” Aku yang tak
mengerti dengan maksud mereka, membuang sampah plastik ke tempat sampah dan
dengan santainya kembali duduk di sofa. “Kalau begini... bagaimana jika kau
tinggal di sini dulu sampai ingatanmu kembali...? Lagipula, ada satu kamar
kosong yang bisa kau gunakan.”
Paman Tedi yang
nampak kurang setuju dengan ide itu langsung menghampiri kami berdua “Tapi—”
“Baiklah!”
Balasku dengan penuh antusias. Paman Tedipun terhenti. Dia berhenti setelah aku
dan Kak Mutia menatapnya dengan dalam.
Merasa tak
enakan, diapun memejamkan kedua matannya lalu sedikit menggaruk rambutnya
“Baiklah-baiklah!”
“Tapi sebelum
itu, pertama-tama kita harus melakukan sesuatu dengan namamu itu. Karena tidak
ada orang yang mempunyai nama ‘Hanya Dimo’” Kak Mutia memegang pundakku lalu
sedikit mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Ramadhan...
Bagaimana jika Dimo Ramadhan? Saat ini aku memang masih lajang, tapi saat sudah
menikah nanti, aku selalu ingin mempunyai seorang putera yang memiliki nama
belakang ‘Ramadhan’”
“Bagaimana?”
Dengan kompaknya, Paman Tedi dan Kak Mutia menengok kearahku. Aku sempat
bingung, namun, setelah melihat kebaikan dan ketulusan mereka, kepada orang
asing sepertiku. Rasanya meski tanpa ingatan sekalipun, di sini, aku merasa seperti
memiliki sebuah ikatan yang bernama ‘Keluarga.’
“Baik!” Jawabku
dengan penuh semangat.
Saat itu, tanpa kusadari, keputusan yang telah kubuat saat
itu telah menggerakkan sebuah roda. Sebuah roda dengan akhir yang sudah di
tentukan. Sebuah roda yang disebut ‘Takdir.’
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment