Sori telat updatenya wkwkwkkw, kemarin malah lupa.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
“Hei...”
“Dimo....”
“Dimo....!”
Aku terbangun
dari lamunanku. Sambil berjongkok memegang sebuah ranting yang sebelumnya
kugunakkan untuk menggambar di tanah. Saat kusadari, aku sedang berada di
sebuah taman kecil yang dihiasi oleh pemandangan indah dari seluruh kota. Akupun berdiri dan mendekati sebuah pagar yang
terbuat dari kawat-kawat besi yang terikat. Dibalik kawat-kawat besi tersebut,
terbentang pemandangan indah dari seluruh kota. Pemandangan yang dihiasi oleh
langit jingga dengan sedikit ungu dan matahari yang mulai terbenam.
“Apa kau, suka
novel...?”
Kutengok dia.
Seorang gadis berambut putih yang tersenyum tulus kepadaku. Gadis itu duduk
dengan manis sembari berpegangan pada tali yang mengikat ayunan.
“Kenapa, kau
tiba-tiba menanyakan itu?” Balasku.
“Ini mungkin
terdengar aneh tapi... suatu hari nanti, aku pasti akan menjadi novelis!”
Balasnya. Gadis itu mulai mengayunkan ayunannya dengan penuh semangat. Rambut
putihnya ikut terbawa angin bersamaan dengan ayunannya yang terus berayun.
“Novelis? Tapi,
kau’kan...”
“Tenang saja.”
Dia tertawa. Ayunannya yang sebelumnya berayun dengan kencang, perlahan mulai
melambat. Sesaat setelah ayunannyaa berhenti, dia kembali tersenyum kepadaku
sembari sedikit memiringkan kepalanya “Tenang saja, karena ada kau... Dimo.”
“Aku...?”
Apa maksudnya?
Aku tidak mengerti...
***
Aku terbangun.
Menatap plafon yang sudah kukenal sejak 6 tahun yang lalu. Aku duduk di sofa
berwarna merah yang sudah nampak usang dengan kepalaku yang sedikit terasa
sakit.
Kalau tidak
salah, tadi aku pingsan saat berusaha melawan Seno untuk menyelamatkan Anita.
Aku menantangnya, lalu aku kalah darinya.
Tiba-tiba aku
mendengar suara seseorang. Suara yang berasal dari ruangan sebelah. Aku
menghampiri ruangan dengan pintunya yang sedikit terbuka. Aku sedikit mengintip
melalui celah tersebut. Aku melihat Paman Tedi, Zaki, Leila, Sindy, Pak Bum,
Kak Indra dan Mbak Dinda yang sedang duduk di sofa. Dari luar ruangan,
samar-samar aku bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka
nampaknya sedang membicarakan suatu hal yang sangat serius. Seketika aku
teringat bahwa Anita tidak ada di sana.
Meski pikiranku
masih kosong dan bingung, aku membuka pintu. Seketika, pembicaraan semuanya
langsung terhenti dan menatap kearahku. Perlahan, aku melangkah menghampiri
mereka “Anita.... di mana dia?” Setelah mendengar pertanyaanku, semuanya langsung
menunduk penuh keputusasaan. Tak ada satupun yang menjawab pertanyaanku dan
hanya menunduk kosong.
“Begitu... jadi
kita gagal menyelamatkannya.” Aku mundur dengan lemasnya hingga menabrak tembok
di belakangku. Kujatuhkan tubuhku lalu terduduk lemas.
Pak Bum melepas
kacamatanya lalu membersihkan kedua lensa kacamatanya dengan saputangan yang
dia miliki. “Kemarin, Shadow Player meretas saluran tv nasional dan mengumumkan
bahwa dia akan melenyapkan semua manusia yang ada di kota ini.” Beliau memakai
kacamatanya kembali lalu menengok kearahku “Dia memberi kita—semua orang yang
ada di kota ini waktu selama seminggu untuk tunduk padanya atau mati di
tangannya.” Setelah menyelesaikan kata-katanya, Pak Bum memejamkan matanya
sembari tertunduk.
Dari
penjelasannya, aku bisa menyimpulkan bahwa aku telah pingsan sejak kemarin
sore. Ditambah lagi, Shadow Player itu... apa yang direncanakan makhluk itu?
Membunuh setiap manusia yang ada di kota ini, apa itu mungkin?
“Karena itulah,
kita harus mengambil tindakan tegas dan segera melenyapkan Shadow Player
beserta seluruh pengikutnya.” Lanjut Pak Bum.
“Kami juga
telah menemukan kemungkinan, kalau Shadow Player berniat untuk menggunakkan
kekuatan dari Cursed Eye.” Kak Indra menghampiriku lalu mengulurkan tangannya
kepadaku dan mencoba untuk membantuku berdiri.
“Cursed Eye?
Kalau begitu—” Aku menangkap uluran tangannya dan kembali berdiri.
“Ya, tidak
salah lagi. Kemungkinan, itulah alasan mengapa dia menangkap Anita.” Setelah
membantuku berdiri, Kak Indra dan aku duduk di sebuah sofa dimana Mbak Dinda
berada.
“Tapi, apakah
itu mungkin? Maksudku, apakah mungkin Cursed Eye dapat membunuh setiap manusia
yang ada di kota—“
“Mungkin saja.
Kau pikir, makhluk yang telah menyebrangi dimensi dan membawa manusia dari
dunia paralel takkan sanggup melakukan itu?” Potong Pak Bum. Tangannya mengepal
dan alisnya berkerut kesal.
“Setelah di
pikir lagi, kurasa Anda benar...” Aku menunduk lemas. Mengingat kalau makhluk
itu dapat melakukan hal-hal gila diluar logika, begitu membuat perasaanku
bercampur aduk. Tapi, selain itu, masih ada hal lain yang lebih kupedulikan
“Anita.... kalau begitu kita harus menyelamatkan Anita sesegera mungkin!”
“Itu, tidak
mungkin.” Balas Pak Bum dengan tegas. “Saat ini, kita masih belum memiliki
teknologi untuk memisahkan Cursed Eye dari gadis itu. Meski kita berhasil
menyelamatkannya, masih ada kemungkinan bahwa Shadow Player akan berhasil untuk
menculiknya lagi.”
“Tap pak—”
Tanpa kusadari, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku berdiri tegak dengan
tanganku yang mengepal. Bodohnya aku.
“Kita tak bisa
mengambil risiko untuk mengabaikan dunia hanya untuk menyelamatkan satu orang
gadis!!”
Setelah
mendengar setiap kata-kata beliau, aku membeku. Aku tak bisa berkata-kata lagi.
Tatapan dan pikiranku yang mulai kosong kembali, membawaku tenggelam. Aku
menjatuhkan tubuhku dan kembali duduk di sofa sembari tertunduk lemas. Aku
menengok kearah semua orang. Zaki, Leila, Sindy, Paman Tedi, Kak Indra dan Mbak
Dinda hanya tertunduk meratapi situasi yang kacau ini.
Saat itu aku
berpikir;
Kurasa, yang beliau katakan benar... Kita tak bisa
membahayakan seluruh negeri hanya karena seorang gadis.
“Sebelum minggu
depan, kuharap kalian segera meninggalkan kota ini dan mengungsi ke tempat yang
aman.” Pak Bum memundurkan kursi rodanya lalu langsung keluar dari ruangan.
Tak lama
kemudian, Kak Indra berdiri dari sofa “Maaf, andai saja ada yang bisa kami
lakukan...” Dia membuang muka lalu berjalan keluar diikuti dengan Mbak Dinda
yang hanya bisa tertunduk diam.
Semuanya
terdiam. Tanpa tahu apa yang harus dikatakan maupun dilakukan. Ruangan menjadi
begitu sepi dan sunyi tanpa ada suara sedikitpun. Setelah dipukul oleh kenyataan
yang mendadak itu, kurasa wajar bagi kami untuk bereaksi seperti ini.
“Kurasa, aku
akan pergi menutup toko.” Paman Tedi bangun dari sofanya lalu berjalan keluar
dari ruangan dan menuju ke bagian depan toko.
Lagi-lagi
kesunyian dan keheningan yang ada. Tak ada yang bersuara dan tak ada yang mau
mengeluarkan suara.
Keheningan
sesaat yang begitu canggung dan juga kosong. Harapanku—harapan kami semua telah
lenyap tanpa sisa. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan ataupun yang tidak harus
dilakukan.
Semuanya, bingung.
Tiba-tiba, Zaki
berdiri. Dia berdiri menatap kami semua sambil mengambil napas dalam-dalam lalu
meneriakkan “Okee, ayo kita bersiap.” Mendengar teriakan Zaki yang begitu
tiba-tiba, Sindy dan Leila yang awalnya tertunduk langsung menatap Zaki dengan
bingungnya.
“Bersiap? Untuk
apa?” Leila yang masih bingung, berdiri.
“Tentu saja,
menyelamatkan Anita.” Balas Zaki dengan spontan. Dengan penuh semangat dan
percaya diri, dia menengok kearah Leila.
“Kalau begitu,
aku akan ikut denganmu.” Sindy ikut berdiri lalu tersenyum tulus. Senyuman yang
begitu tulus yang pernah kulihat darinya.
“Oke.” Zaki
menengok kearahnya sembari tersenyum lebar. Tak lama kemudian, dia menengok
kearahku yang masih tertunduk lemas “Bagaimana denganmu, Dimo? Kau pasti setuju’kan?”
Aku tertawa.
Tawa penuh keputusasaan yang belum pernah kukeluarkan sebelumnya. “Konyol, kenapa
juga aku harus melakukan itu?” Aku berdiri lalu hendak berjalan menuju pintu
keluar.
“Hoi, apa
maksudmu?” Tanya Zaki dengan nada serius. Tak seperti biasanya, Zaki tak
mengeluarkan nada guyonan dan bertanya kepadaku dengan begitu serius.
Aku sedikit
menengok lalu berkata “Maksudku, Pak Bum benar. Kita tak bisa mengorbankan
semua orang hanya demi menyelamatkan Anita.”
“Apa kau
bilang?” Zaki menghampiriku dengan penuh kesal lalu memegang pundakku dengan
kencang.
“Apa kau tidak
dengar? Percuma saja—” Zaki terbakar amarah setelah mendengar jawabanku. Dia
langsung membalik tubuhku lalu memukul wajahku dengan kencang hingga membuatku
terpental dan menabrak tembok.
“Jangan
bercanda, Dimo! Apa kau sama sekali tidak peduli dengan apa yang akan terjadi
pada Anita?”
Aku kembali
mencoba berdiri dengan berpegangan kepada tembok di belakangku sembari menekan
pipiku yang barusaja ditonjok olehnya “Tidak, tidak sama sekali. Pikirlah baik-baik,
lebih penting mana; nyawa banyak orang atau nyawa satu orang?”
“Kau....!” Zaki
menghampiriku lalu menarik kerah kausku. “Anita, Anita sudah menghabiskan sisa
hidupnya untuk mencarimu dan ini yang kau katakan?”
“Jangan bodoh.
Aku tentu sangat berterima kasih padanya. Namun, aku sama sekali tidak
memintanya untuk mencari—” Sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku, Zaki
langsung menendang perutku dengan lututnya. Dengan perutku yang masih terasa
sakit akibat tendangannya, aku benturkan kepalaku dengan kepalanya hingga
membuat kami berdua terpisah dan terjatuh.
Sementara Zaki
yang masih terjatuh, aku langsung berdiri dan berlari kearahnya untuk membalas
pukulannya, tapi...
“Sudah
cukup....”
Aku ditampar. Kubuka
mataku. Zaki yang hanya bisa terduduk diam menatap kami berdua tanpa melakukan
apapun. Seakan dia telah melupakan semua amarahnya. Leila yang menghampiri Zaki
dan mencoba membantunya kembali bangun. Dan Sindy, yang berdiri tepat di
hadapanku.
“Sudah... hentikan...”
Saat itu aku
sadar, bahwa meski aku membuka mataku, aku telah buta akan segala hal.
Aku yang
tertunduk, bisa melihat dengan jelas tetesan-tetesan air mata yang terus
berjatuhan membasahi lantai. Perlahan, aku mengangkat wajahku. Pipinya yang memerah
dan matanya yang terus mengeluarkan air mata, alisnya berkerut penuh khawatir
dan tatapannya yang lurus menatapku. “Dimo yang kukenal—Rama yang kukenal,
takkan melakukan hal seperti ini...”
Entah mengapa,
aku mundur perlahan hingga menabrak tembok lalu dengan lemasnya menjatuhkan
tubuhku dengan perlahan lalu duduk. Aku menunduk. Enggan untuk menatap matanya
yang berlinang air mata. Tak lama setelah itu, Leila mengantar Sindy untuk
keluar dari ruangan dan meninggalkanku.
Lalu, Zaki
mulai berjalan menghampiri pintu “Kau tahu, sejak dulu aku selalu membenci
sikapmu yang suka menyalahkan dirimu sendiri itu. Bahkan setelah 3 tahun
berlalu sejak kematian kakak, kau masih saja sama.” Perlahan, Zaki menengok
kearahku “Tapi, tak bisa dipungkiri kalau kau adalah sahabatku. Sebagai
seseorang yang telah mengenalmu begitu lama, aku tak bisa membiarkanmu terus
seperti itu.”
Aku hanya
tertunduk diam seperti batu. Tak berkutik sedikitpun. Setelah terdiam sesaat,
dia—Zaki menghela napasnya lalu berjalan keluar.
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment