Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Diperjalanan pulang, aku sempat mampir
ke mini market untuk membeli mie instan, tapi saat kurogoh kantungku, rasanya
ada yang aneh. Seharusnya, dikantung belakangku biasanya ada sebuah benda
berbentuk persegi yang terlipat dan berisi kertas-kertas bernilai, namun aku
tak bisa menemukannya. “Yang benar saja....” aku terus menerus mengecek
kantungku, namun aku tetap tak bisa menemukan dompetku itu.
Akibatnya, aku menghambat antrian dan
penjaga kasir mulai curiga kepadaku. Sialnya, aku tetap tak bisa menemukannya
sampai pada akhirnya aku diusir. Aku langsung berjalan menuju ke rumahku
mengikuti jalan setapak. Aku harus segera mencari jalan pulang sebelum hari
mulai gelap.
Tetapi, saat kusadari ternyata aku
sampai di sebuah tempat—sebuah komplek perumahan yang rasanya tak kukenal.
Namun aku merasakan sesuatu, aku merasa sebuah keterikatan dengan suatu tempat
di area ini “Gawat, aku tersesat.” Kurasa tempat ini adalah sisi lain kota yang
tak pernah kukunjungi di kota Rempah. Aku melihat sebuah gang sempit yang
berada diantara dua rumah besar yang nampak mewah. Entah kenapa, aku tertarik
untuk memasuki gang sempit yang nampak sedikit tak terurus itu.
Di ujung gang, aku melihat sebuah
cahaya berwarna kekuningan yang sangat indah. Keluarnya dari gang, aku melihat
sebuah taman kecil yang sangat hijau dengan rumputnya yang tinggi.
Ditengah-tengah terdapat sebuah pohon tinggi, dengan rantingnya yang panjang
dan banyak. Disalah satu ranting, aku melihat sebuah ayunan yang terbuat dari
ban menggantung yang tersusun dengan rapi. Angin berhembus kencang dan sangat
sejuk. Daun-daun di pohon terus bergoyang terdorong oleh angin seakan-akan
mereka menari menyambut kedatanganku.
Warna oranye yang dipancarkan oleh
mentari di sore hari melengkapi atmosfir dan suasana yang ada. Cahaya itu
menciptakan sebuah bayangan dari daun-daun pohon yang bergoyang. Rerumputan tak
ingin kalah saing, terus menggoyangkan diri mereka. Diujung taman terdapat
sebuah pagar yang terbuat dari logam yang nampak agak berkarat. Dari situ, aku
bisa melihat pemandangan yang sangat indah. Aku bisa melihat hampir seluruh area
kota Rempah. Refleksi cahaya dari gedung-gedung yang sangat tinggi mencengkram
langit, aktifnya lalu lintas kota yang dipenuhi oleh kendaraan, namun lancar
tanpa macet sedikitpun. Orang-orang berlalu lalang melintas melengkapi kota dan
pemandangan yang ada.
Disaat aku sedang menikmati pemandangan
yang indah nan permai itu, secara tak sengaja aku melirik sebuah tulisan yang
terpahat di tubuh pohon. Sebuah tulisan yang nampaknya seperti nama seseorang
“Ani dan Dimo....” setelah membaca itu, seketika kepalaku mulai merasa sakit.
Rasanya seperti ingatan dan semua yang ada dikepalaku dicampur aduk. Namun,
rasa sakit itu tak bertahan lama.
“Di.... Dimo....” Aku mendengar suara
seseorang yang terdengar sangat kelelahan dibelakangku. Kurasa aku mengenal suara
itu. Suara dari seseorang yang sangat familiar. Rambut berwarna oranyenya
semakin berkilau karena cahaya matahari di sore hari. Angin yang kencang
membuat rambut pendeknya terlihat panjang.
Aku berbalik dan melihat Leila membawa
dua kantung plastik. Dia nampak kelelahan, wajahnya berkeringat, nampak sibuk
mengatur nafasnya, dan kedua tangannya yang berpegangan kepada lutut kakinya
untuk menopang tubuhnya yang lelah. “Le-Leila? Kenapa kau ada disini?” Leila
mengangkat tangan kanannya yang memegang sebuah bungkus pelastik berisi sebuah
kubus yang nampak sangat canggih.
“Ini adalah.... alat untuk login
kedalam game Start Point.... semua peserta diberikan alat ini secara
gratis.....”
Aku meraih tangan Leila dan menerima
kantung plastik itu “Te-terima kasih. Oh ya, bagaimana dengan hadiah utamanya?”
Leila mengusap keringatnya lalu tersenyum
“Y-ya, hadiahnya sudah kudapatkan.
Te-terima kasih, sudah bertanya.” Aku mengusap rambutku karena lega.
“Syukurlah.” Leila yang nampak
kelelahan, seketika semua itu terlihat menghilang. Pipinya merona dan matanya
berbinar seketika. Kurasa, ini dikarenakan pancaran sinar matahari di sore hari
yang berwarna kekuning-kuningan dan indah.
“A-apa kau.... mau aku traktir makan?”
Disebuah warung makan yang sederhana,
aku dan Leila makan. Aroma dari masakan menyatu dengan dinginnya malam.
Menciptakan suatu suasana yang menambah nafsu makan. Warung makan tersebut
penuh dengan pelanggan yang lapar. Sang koki sibuk memasak, pelanggan berebut
kursi untuk makan, pelayan yang sibuk mengantar makanan dan kendaraan yang
terus datang dan pergi. Aroma masakan menyebar keseluruh meja makan, dan suara
kendaraan yang terus berdatangan menghiasi makan malam.
“Di-Dimo....”
Seusai makan, dalam perjalanan pulang,
Leila menegurku dengan pipinya yang memerah. “Ada apa?” Pipi Leila yang memerah
yang tak kunjung hilang membuatku khawatir.
Kurasa
dia terkena sebuah demam.
Mungkin hawa dingin di malam hari ini
membuat dirinya agak demam sehingga pipinya memerah seperti ini. Apa lagi kami
berjalan di sebuah jalan trotoar yang bersebelahan dengan sebuah jalan raya. “Tunggu
dulu, wajahmu memerah. Apa kau demam?” Aku melirik kesana kemari mencari sebuah
toko obat untuk membeli obat demam. Melihat reaksiku yang tak biasa membuatnya
tak sanggup menahan tawa. Tawanya membuat keadaan lebih santai dan tak kaku.
Leila menutup matanya lalu mengeluarkan
sebuah senyum yang tulus “Tenang saja, kau tak perlu sekhawatir itu. Ini hanya
sebuah demam”
Entah kenapa, senyum tulusnya itu
membuat tubuhku terasa hangat. Dinginnya
udara malam tak terasa lagi, yang tersisa hanyalah perasaan hangat yang tak
sanggup diungkapkan dengan kata-kata.
Aku menatap wajah Leila lalu membalas
senyumannya “Baiklah...”
No comments:
Post a Comment