Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Keesokan harinya. Entah kenapa,
mimpi-mimpi yang menghantuiku itu tak pernah kembali lagi. Namun, dengan
menghilangnya suatu masalah pasti akan muncul masalah lainnya karena manusia
takkan jauh dari suatu peristiwa yang disebut masalah. Seperti sebuah jerawat
yang muncul diwajah para anak remaja, masalah akan selalu muncul bagaimanapun
situasinya.
Sejak aku melihat ukiran di pohon itu,
aku sering merasakan sakit kepala. Semakin kucoba untuk mengingat ukiran itu,
semakin sakit kepalaku. Seakan-akan ingatanku sendiri mencegahku untuk
mengingatnya. Semua ini berawal dari tadi malam. Sepulang setelah ditraktir
Leila, aku tak langsung kerumah dan memutuskan untuk bersantai ditaman.
Menikmati udara malam yang sejuk nan dingin. Duduk disebuah kursi kayu
sederhana dibawah naungan pohon. Melihat orang-orang berlalu-lalang.
Lampu-lampu taman berwarna kuning menerangi setiap jalan hingga kesisi tergelap
sekalipun. Rerumputan dan jalan setapaknya yang sudah diconblok.
Tiba-tiba kepalaku mulai sakit.
Seketika, seakan-akan ada sesuatu muncul dipikiranku. Nampak seperti sebuah
ingatan, namun sebuah ingatan yang sudah tenggelam didalam lautan memori. Aku
melihat seorang perempuan—seorang anak perempuan berambut putih sedang duduk
disebuah ayunan. Sebuah ayunan ban yang menggantung disebuah pohon.
Aku duduk santai di kursiku
mendengarkan musik. Terus mencoba untuk mengingat setiap detil dari ingatan
kemarin. Aku terus dan terus tertelan dalam pikiranku sendiri sampai-sampai tak
ada yang bisa kudengar. Didalam larutnya lamunanku, Zaki menarik earphone yang
sedang kupakai lalu berteriak memanggil namaku tepat didepan telingaku. Karena
reflek, aku langsung menutup telingaku lalu menarik kembali earphoneku “Zaki,
apa-apaan kau ini?”
“Apanya yang apa? Kau saja yang dari
tadi tak mendengar panggilanku.” Zaki merogoh sakunya lalu memberikanku sebuah
amplop tebal berwarna coklat yang tertutup rapat dan nampak sangat rapih. “Ini,
ambillah!” Zaki mengulurkan tangan kanannya yang menggenggam amplop tebal
berwarna coklat nan rapih.
“Apa ini?” Aku membuka amplop yang
sudah tersegel itu dengan menyobek pembukannya yang sudah menempel dengan tubuh
amplop. Tanpa kuduga, aku menarik kumpulan kertas dari dalam amplop itu yang
ternyata adalah uang berwarna merah.
“Itu adalah salah satu hadiah juara
ke-3 dari turnamen kemarin.” Aku memasukkan kembali uang itu kedalam amplop
lalu menaruhnya di meja “Lho, Dimo?”
“Dengar, sebagai teman lamamu, aku
memang membantumu. Tapi aku tak pernah memintamu untuk membayarku, bukan?”
“Tapi akulah yang telah mengajakmu....
ini membuatku merasa tak enakan kepadamu. Kau tahu, rasanya sama seperti saat
kau memakan sereal disebuah mangkuk tapi tanpa diberi susu.”
Leila memasuki kelas dan melihat kami
berdua. Dia sedikit kebingungan melihat kondisi Zaki yang nampak murung dengan
tatapan kosongnya terhadap amplop yang ada dimejaku. Tetapi, suasana konyol itu
tak bertahan lama. Setelah melihat tawa Leila, aku teringat kembali dengan ukiran
di pohon itu. Akibatnya, kepalaku mulai sakit, penglihatanku mulai memudar, dan
telingaku tak sanggup menangkap suara. Tak lama kemudian penglihatanku yang
mulanya hanya memudar mulai berubah menjadi berwarnah hitam gelap tanpa cahaya
sedikitpun.
Cewek berambut putih itu kembali lagi,
terduduk santai di ayunan yang sama dan pohon yang sama. Didepannya terdapat
sebuah pemandangan kota yang sangat indah. Cewek berambut putih yang awalnya
hanya terdiam diayunan menengok kepadaku lalu tersenyum manis.
Aku terbangun. Melihat sebuah plafon
berwarna putih yang berbentuk kotak-kotak. Kipas angin yang menyala di sudut
ruangan membuat sejuk seluruh ruangan tanpa terkecuali. Aku terbaring disebuah
ranjang putih dengan selimut menyelimuti setengah bagian tubuhku. Disebelah kanan
dan kiriku terdapat gorden-gorden pembatas yang tertutup rapat “UKS....” Aku
mendengar percakapan antara Zaki dan Leila. Percakapan mereka seketika terhenti
setelah melihatku yang sudah siuman. Zaki mulai mengeluarkan ekspresi leganya
lalu duduk disebuah kursi yang ada di sebelah ranjang dimana aku berada.
Sementara itu Leila yang lagi-lagi pipinya memerah, dia terus melirik kesana
kemari seakan-akan menghindar untuk bertatap muka denganku.
“...(Apa demamnya kambuh lagi ya....)” tunggu dulu, sakit kepala itu,
sudah tidak ada lagi. Aku baru menyadari kalau Leila dan Zaki membawa tas milik
mereka. Itu menandakan bahwa sekarang kelas sudah usai. Zaki menaruh sebuah tas
berwarna hitam yang sebenarnya milikku. “Tunggu dulu, itu artinya aku sudah
pingsan selama 3 jam. Gawat, padahal UN dua minggu lagi....” Zaki dan Leila langsung membuka tasnya. Leila
mengambil sebuah buku catatan dari tasnya lalu dia menyerahkan buku catatan itu
kepadaku.
“I-ini, catatan dari materi pelajaran
tadi.”
“Te-terima
kasih.”
Meski begitu, Zaki terus-menerus
mengutak-atik tasnya. Dia bahkan sampai mengeluarkan seluruh buku dan alat
tulis yang ada didalam tasnya. Namun dia tetap tak bisa menemukan barang yang
ia cari selama ini. Merasa mengeluarkan seluruh yang ada didalam tasnya tidaklah
cukup, Zaki mengecek isi dari setiap buku catatan miliknya. “Dimo, Leila, ayo
bantu aku mencari catatanku dikelas.” Zaki memasukkan kembali seluruh catatan
dan alat tulisnya kedalam tas miliknya lalu berdiri sambil memakai tasnya.
Aku menyusulnya berdiri dan memakai tas
milikku yang dibawa olehnya. Sesaat Zaki membuka pintu UKS, tak sengaja Sindy
melintas. Seperti biasa, Sindy selalu disibukkan dengan tugasnya sebagai
anggota osis. Namun, dibalik barang-barang yang dibawanya hari ini, ada sebuah
buku yang terlihat tidak asing. “Kalian.....” Sindy tak sengaja melirik
kearahku. Dia tiba-tiba mengeluarkan ekspresi terkejut sekaligus lega setelah
melihatku ”Kudengar Dimo pingsan, jadi kurasa aku akan menjenguknya di UKS
setelah menyerahkan ini. Tapi syukurlah, kau tidak apa-apa.” Melihat buku yang
mirip dengan buku miliknya, Zaki sedikit berteriak sehingga membuat Sindy dan
Leila agak terkejut
“Itu,’kan....”
Sindy menengok kearah buku yang
ditunjuk oleh Zaki “Oh iya.....” Lalu dia menarik buku itu dari barang-barang
yang dibawanya dan membaca sebuah tulisan (Yang nampaknya nama dari pemilik
buku) yang ada di sampul buku tersebut “Tidak salah lagi..... Ini.” Dia
menyerahkan buku yang disampulnya tertera nama Zaki. “Aku menemukannya
tergeletak dilantai saat aku sedang berjalan kesini.” Zaki langsung menaruh
tasnya dilantai, membuka rel sleting tas, lalu menaruh buku itu dan memakai
tasnya kembali.
“Te-terima kasih, Sindy. Untung saja
kau lewat.”
“Rasanya, kau nampak sibuk sekali.”
Sindy tertawa kecil mendengar pernyataanku.
“Ya, ini karena beberapa hari lagi akan
diadakan class meeting.”
“...(Class meeting, ya?)” Suara
mobil dan motor yang melintas menjadi musik tersendiri yang mengiringi pejalanan
kami menuju ke rumah. Sementara Leila dan Zaki yang sedang asik mengobrol, aku
terus berusaha mencerna apa maksud dari mimpiku yang aneh itu. Seakan menutup
kuping kepada dunia, aku terus dan terus mencoba mengartikan mimpi itu.
“Dimo!” Zaki memukul pundakku. “Kau
kenapa? Akhir-akhir ini kau terlalu sering melamun.” Seketika langkah kakiku
terhenti, berpikir apakah aku harus memberi tahunya atau tidak. Aku mengangkat
wajahku yang tertundu. Mulai menatap kepada wajah Zaki dan Leila yang nampak
penasaran dengan tingkah lakuku. Aku mulai membuat senyum palsu lalu
berpura-pura menggaruk pipiku untuk meyakinkan mereka akan senyum palsuku itu.
“Tidak kok, tidak ada apa-apa.” Zaki
dan Leila menengok kearah satu sama lain, lalu Zaki menghampiriku dan lagi-lagi
menepuk-nepuk pundakku.
“Kau ini.... jika ada masalah,
bicaralah temanmu ini.”
“Ma-Maulana benar Dimo, tak baik
memendam masalah sendirian.”
“Y-ya... (Ternyata aku memang tak pandai berbohong.)” Tak lama kemudian, kami
kembali berjalan. Leila berjalan kedepan kami. Dia berjalan mundur menghadap
kearah kami. Sambil berjalan mundur, kedua tangannya memegang kedua pegangan
tasnya.
“Oh iya, daripada tidak ada yang
dibicarakan.....” tangan kanan Leila yang bertumpu kepada tangan kirinya
memegang dagu seakan-akan dia sedang mencari bahan pembicaraan yang menarik.
Nampak ada kesungguh-sungguhan yang ditampilkan diwajahnya yang sedang sibuk
berpikir itu “.....Bagaimana jika kita membicarakan alamat dan penampilan rumah
masing-masing?”
***
Hari Sabtu.
Ketua murid di kelas kami mengumumkan
bahwa akan ada class meeting yang akan diadakan beberapa hari lagi. Keheningan
kelas sangat terasa, sesaat ketua murid mengumumkan event class meeting ini.
Namun, tak lama setelah dia selesai, seisi ruangan langsung ramai akan
percakapan antar murid yang mendiskusikan class meeting. Dalam class meeting
kali ini, terdapat sangat banyak event. Seperti tarik tambang, liga olah raga,
musik band, teater drama, dan masih banyak lagi. Dikelasku, semua itu sudah
terisi dengan peserta masing-masing. Terkecuali E-Sport. Entah kenapa tidak ada
yang berani mengajukan diri untuk menjadi wakil E-Sport.
Mungkin ini disebabkan kerena E-Sport
baru saja ditetapkan sebagai salah satu olah raga resmi, sehingga membuat
semuanya kurang percaya diri untuk menjadi perwakilan kelas. Disaaat ketua
murid menanyakan siapa yang bersedia untuk mewakili E-Sport, seluruh kelas yang
awalnya ramai karena percakapan antar murid langsung menjadi sepi tanpa ada
suara sedikitpun. Suasana yang sangat tegang dan sepi itu semakin mengurangi
kepercayaan diri dari semuanya. Pada awalnya, aku tak berniat untuk mengikuti
aktivitas apapun disaat class meeting.
Yang kurindukan dari class meeting
adalah saat-saat dimana ada banyak murid yang membuka sebuah kedai makanan.
Disaat seperti itu, aku merasa seperti sedang melakukan sebuah wisata kuliner
yang memanjakan lidah.
Namun disaat yang lainnya tak tertarik
untuk mengajukan diri, berdirilah salah seorang murid sambil mengangkat tangan
kananya. Dengan gagah berani, dia berdiri tegak dimejanya—diantara murid-murid
yang terduduk diam. Seketika, murid tersebut menjadi pusat perhatian dari
seluruh kelas, semua mata terfokus kepadanya. “Aku bersedia! Aku, Zakarya
Maulana, beserta Dimo Ramadhan dan Leila Fitriyani akan mewakili kelas ini
dibidang E-Sport!” Tegasnya. Kantukku langsung hilang, yang tersisa hanyalah
rasa terkejut yang bercampur aduk dengan rasa kesal. Entah apa tujuannya kali
ini, tapi aku akan menolaknya. Yang harus kulakukan adalah meyakinkan Leila
untuk menolak juga. Jika dia menolak, Zaki tak punya pilihan lain untuk
membatalkannya. Awalnya sih kupikir begitu.
Melihat kesungguhan Zaki, Leila ikut
berdiri dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi “Be-benar, aku, Di-Dimo
dan Maulana akan berusaha semaksimal mungkin.” Hancur sudah rencanaku. Pada
awalnya, kupikir Leila juga akan keberatan karena Zaki tak pernah mengajak atau
diberitahunya untuk ikut dengan event seperti ini, namun aku sudah salah
perkiraan. Entah apa alasan mengapa dia bisa setuju dengan Zaki, namun aku bisa
melihat dia diam-diam melirik kearahku dengan pipinya yang memerah seperti
biasa. Seakan-akan memberi sinyal kepadaku untuk ikut berdiri.
Dengan
begini, kurasa aku tak punya pilihan lain.
Walau terpaksa, aku perlahan mulai
berdiri dan mengangkat tangan kananku walau aku tak mengangkatnya setinggi
Leila dan Zaki. Sepulang sekolah, sesaat sebelum Zaki keluar kelas, aku menarik
kerahnya dan menyeretnya masuk kembali ke ruang kelas untuk menegurnya. Aku
membuatnya duduk disebuah kursi yang bersebelahan dengan tempat dimana Leila
sedang duduk, lalu aku menarik kursi lainnya dan duduk didepan mejanya “Zaki,
kenapa kau mengajakku?” Zaki mengangkat kedua tangannya lalu membarikan dua
pasang jempol, seakan dia mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Tenanglah Dimo. Kita pasti bisa.
Lagipula, acara class meeting adalah sebuah ajang untuk memperoleh ketenaran
dan kesempatan untuk membuat diri kita menjadi populer.” Dengan semangatnya
yang membara, Leila ikut Zaki memberikan dua jempol kepadaku.
“Ma-Maulana benar Dimo, kita pasti
bisa!”
Aku menghela nafas lalu bersender
kemeja “Lalu, bagaimana kau akan melaksanakan—game apa yang akan kau tampilkan
nanti, ke-tu-a?” Zaki menanggapi pertanyaanku yang cukup serius itu dengan
bersandar kekursinya lalu menatap ke plafon kelas.
“Entahlah, ding.”
Aku langsung memakai tasku, kembali
berdiri, dan berjalan kepintu keluar “Baiklah, aku menyerah.” Sebelum aku
sempat melangkahkan kakiku, Zaki menarik tasku dan tak membiarkanku pergi.
Dengan gaya bicara yang terdengar agak menyedihkan, dia berusaha meyakinkanku
untuk tidak pergi.
“Tunggu dulu, Dimo.... Aku punya
rencana....” Aku berbalik, dan kembali duduk.
“Jadi, apa rencanamu?”
Zaki memegang dagunya, dia lalu
menggerakkan tangannya seakan-akan ada janggut yang panjang didagunya, lalu
menunjukku “....kita akan mempromosikan game Start Point!” Aku melepas tasku
lalu menaruhnya disamping kursiku.
“Itu mungkin bisa dilakukan. Tapi,
tanpa kaca mata khusus itu, penonton takkan bisa melihat kita.” Zaki yang
awalnya semangat, langsung terlihat kebingungan setelah mendengar pernyataanku
sementara aku kembali bersandar kemeja. Taka lama kemudian, Leila mengangkat
tangannya. Sepertinya dia sudah menemukan penyelesaian dari masalah ini.
“Ba-bagaimana jika kita pinjam saja kacamatannya?”
Sore harinya, aku dan Zaki datang ke
perusahaan Bum Corp. untuk meminta izin untuk menggunakkan game Start Point
sebagai acara di class meeting kami dan sekaligus meminjam kacamata khusus.
Sementara Leila akan meminta izin keibunya untuk menggunakkan halaman
belakangnya yang cukup luas untuk latihan kami. Ternyata, Pak Bum sedang tidak
ada, dan kami harus mencari Indra. Setelah memakai alat pengenal, kamipun mulai
berjalan menelusuri lorong-lorong besar berwarna putih dengan ACnya yang
mendinginkan ruangan. Menurut petugas yang menyambut kami, Indra seharusnya
sedang ada di ruangan turnamen kemarin.
Setelah mencari beberapa menit,
akhirnya kami bisa menemukannya. Indra terlihat sedang duduk di sebuah sofa,
mengobrol dengan Dinda. Setelah kami menjelaskannya, kami beruntung karena
Indra menyetujuinya dan dengan senang hati akan meminjamkan kacamata ksusus dan
arena turnamen kemarin. Sebelumnya, kami sudah setuju untuk menyimpan kacamata
itu dirumah Leila.
***
Hari senin, sore harinya, aku dan Zaki
mendatangi rumah Leila untuk berlatih. Dengan membawa plastik berisi kubus yang
dapat berubah menjadi sofa khusus untuk login. Tak kusangka, ternyata rumah
Leila sangatlah besar dengan desain modernnya. Dihalaman depan, terdapat sebuah
tembok pagar yang tingginya sama seperti tinggi orang dewasa. Tanaman hias yang
mengiasi jalan setapak yang menuju ke pintu depan menambah kesan indah dan
anggun. Pohon-pohon menambah suasana sejuk di teras rumah. Dan kolam ikan yang
ada didekatnya dipenuhi dengan ikan hias yang sangat banyak. Airnya sangat
jernih sampai-sampai aku bisa melihat ikan-ikan tersebut.
“Dimo, Zaki, sini.” Dari depan pintu
rumah, Leila memanggil kami. Dia melambaikan tangan kanannya sementara tangan
kirinya memegang pintu, mencegah agar pintu itu tidak tertutup kembali. Aku dan
Zaki langsung berjalan menghampirinya. Aku dan Zaki akhirnya masuk kedalam
rumahnya yang besar itu. Sesaat setelah kami masuk, ibunya Leila menyambut kami
dengan ramah dengan sedikit candaan. Dia menengok kepadaku lalu sedikit
tertawa. Entah kenapa dia tertawa, apa mungkin ada yang salah dengan
penampilanku.
“Jadi ini Dimo, cowok yang sering
dibica—”
”Du-duh ibu, tolong hentikan. (Ibu membuatku malu....)” Potong Leila.
Tak hanya pipi, kali ini seluruh wajahnya memerah.
Apa
dia lupa meminum obat demam ya.
Tak lama setelah itu, ibunya tetap
tertawa melihatku. Melihat reaksi ibunya, Leila langsung memegang tanganku dan
Zaki lalu membawa kami berdua ke halaman belakang. Halaman belakangnya sangat
luas, luasnya seperti setengah dari luas lapangan bola. Disitulah kami berlatih
melaksanakan game Start Point di acara class meeting. Aku dan Zakipun menekan
sebuah tombol yang ada dikubus tersebut lalu menaruhnya direrumputan yang
letaknya dibawah sebuah pohon. Kamipun duduk di sofa itu dan login kedalam game.
Sementara aku dan Zaki login, Leila masuk kedalam kamarnya untuk login.
Walau game Start Point belum dirilis,
namun server dari game sudah sepenuhnya aktif sehingga kita sudah bisa login
walau game belum sepenuhnya dirilis. Pada awalnya kami hanya berencana untuk
mempertunjukkan sebuah pertarungan dua lawan satu. Dilihat dari jobku yang ada
dua, ini merupakan pertarungan yang cukup adil. Namun, Leila mendapat ide untuk
menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari setiap job yang ada beserta sistem
doble job yang dirahasiakan.
Untuk mendapat semua informasi itu, aku
mencari web resmi dari game Start Point lalu memprint seluruh informasi
mengenai job yang ada. Walau begitu, nampaknya informasi mengenai double job
yang ada didiriku ini masihlah terbatas. Setiap hari, kami terus berlatih
mengeluarkan skill dan menghafal job-job yang ada. Disaat beristirahat, ibunya
Leila biasa menyuguhkan kami es lemon yang sangat segar dan menyegarkan tubuh.
Membuat seluruh rasa lelah dan letih tak pernah ada sebelumnya.
***
Hari yang dinanti-nantipun akhirnya
tiba. Suasana sekolah yang biasanya serius, seketika berubah menjadi
menyenangkan. Semuanya bersuka ria menyambut class meeting. Entah mereka senang
karena event class meeting, atau hanya senang karena ditiadakannya jam
pelajaran. Sesuai dengan perkataanku sebelumnya, class meeting adalah saat-saat
dimana kau melaksanakan wisata kuliner. Dari gorengan sampai ke masakan kelas
atas ada.
Tentu saja ini tidaklah gratis, aku
harus menyiapkan isi dompet yang tebal untuk melaksanakan wisata kuliner ini.
Disaat aku sedang memakan potongan buah semangka di kursi depan kelasku, aku
melihat Sindy yang terlihat sangat sibuk melakukan lomba tanding basket. Aku tak
pernah tahu sebelumnya bahwa cewek pendiam sepertinya bisa jago dalam bidang
olahraga seperti ini. Aku menonton pertandingan itu sampai-sampai aku lupa
dengan buah semangka yang sedang kumakan.
Tak lama setelah pertandingan usai,
muncul sebuah pengumuman bahwa acara olahraga E-Sport akan segera dilaksanakan.
Sesaat setelah itu, aku langsung menghabiskan buah semangka yang kumakan, lalu
membuang biji beserta kulitnya ke tempat sampah.
“Kurasa aku harus segera bersiap.”
Kalau tidak salah, kubus atau sofa dan
alat untuk login tersimpan rapih di pelastik yang sudah kusimpan ditasku.
Dengan santainya aku membuka tasku dan langsung memasukkan tanganku kedalamnya
untuk mencari pelastik berisi kubus itu. Namun, tanpa kuduga, ternyata aku lupa
untuk memasukkan pelastik itu kedalam tasku “Ga-gawat.....!” Aku langsung
berlari meninggalkan kelas. Berlari diantara kerumunan murid yang sedang
melintas. Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju keluar sekolah.
Leila dan Zaki datang memasuki kelas
untuk mencariku, mereka mengira bahwa aku ada didalam kelas, namun yang mereka
temukan hanyalah tasku yang terbuka lebar tanpa adanya kubus itu. Merekapun
mulai bertanya kepada murid-murid lainnya dikelas, apa mereka melihatku pergi
atau tidak. Jawabanya yang mereka dapatkan hanya satu.
“Aku melihatnya pergi keluar kelas
dengan sangat tergesa-gesa.”
Setelah beberapa menit, Zaki menyadari bahwa
ada sesuatu yang ganjil dengan kepergianku. Zaki dan Leila terduduk mencari
tahu kemana perginya aku “Tasnya yang terbuka lebar tanpa tertutup sedikitpun,
keperiannya yang tergesa-gesa, dan waktu yang menipis... jangan-jangan....”
Zaki mendapat sebuah kemungkinan dari kepergianku ini “Leila, kau cari Dimo
disekitar sekolah, ada yang harus kupastikan. Jika aku tidak menemukannya, Dimo
mungkin masih ada di sekolah. Jika tidak ketemu, kau langsung pergi ke lokasi
dimana E-Sport kelas kita akan diadakan, yaitu lapangan olahraga. Kau
bagikanlah kacamata-kacamata khusus itu kepada penonton.” Zakipun kembali
berdiri dan berlari keluar sekolah. Tak ingin membuang waktu, Leilapun
mencariku keseluruh sekolah.
Zaki mengetukkan tangan kanannya
kepintu besi yang dingin dari container dimana aku tinggal. Merasa tak ada
respon, diapun kembali mengetuk. Walau dia sudah berkali-kali mengetuk namun
tak mendapat respon sama sekali, diapun langsung membuka pintu dan masuk
kedalam rumahku. Zaki langsung melihatku yang sudah dalam keadaan hibernasi
disofa dan dalam keadaan login. Menyadari rencanaku, Zaki langsung bergegas
kembali keluar, menutup pintu rumahku, dan berlari kembali kesekolah.
Sementara itu, Leila yang tak bisa
menemukanku di sekolah, diapun langsung pergi kelapangan olahraga untuk
membagikan kacamata khusus itu. Diperjalanan, Leila tak sengaja bertemu dengan
Sindy yang baru saja selesai berganti pakaian dari seragam tim basket menjadi
seragam sekolah. Leila langsung berinisiatif untuk meminta bantuan kepada Sindy
untuk membantunya membagikan kacamata-kacamata khusus. Leila dapat bersyukur
karena Sindy dengan senang hati bisa membantunya. Diapun menceritakan situasi
kepada Sindy.
Beberapa menit setelah kacamata selesai
dibagikan, Zakipun tiba membawa kubus miliknya “Ma-Maulana, dimana Di-Dimo?”
Zaki menjelaskan keadaan lalu dia menekan tombol dari kubus, dan menaruhnya
ditengah-tengah lapangan yang berada tepat didepan sebuah panggung. Sebuah
lokasi dimana semua penonton bisa melihatnya dengan mudah ”Semoga firasatku
benar... Dimo beberapa menit lagi akan segera muncul.” Dia duduk disofa
tersebut lalu mengscan jarinya untuk login. Melihat itu, Leila langsung
menghampirinya dan mengikuti apa yang dilakukan Zaki. Namun, sebelum Leila
sempat mengscan jarinya, ada salah seorang penonton yang sudah memakai kacamata
berteriak bahwa dia melihat ada sesuatu yang sedang jatuh dari atas langit.
Akibatnya, seluruh penonton yang awalnya hanya terfokus kearah Leila dan Zaki
langsung menengok keatas, termasuk Leila.
Sementara Sindy yang awalnya hanya
terdiam menonton didepan sebuah kelas, langsung berlari kesuatu tempat. Namun,
dia tak melihat siapa-siapa. Menyadari bahwa yang sedang terjatuh itu adalah
bagian dari game Start Point, Leila langsung mengscan jarinya dan login kedalam
game.
Dia melihat Zaki yang sudah dalam
bentuk avatar terus menengok keatas dengan mulutnya yang terbuka seakan-akan
tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu. Leila menengok keatas sekali lagi
untuk memastikan siapa atau apa yang sedang jatuh tersebut. Setelah beberapa
menit memperhatikan, dia menyadari bahwa yang sedang jatuh itu adalah
seseorang. “Apa ini....?! Apakah ini bug.....?!” Zaki langsung menyadari bahwa
suara yang keluar dari orang itu adalah suara dari seseorang yang sangat
dikenalnya.
“Di-Dimo?!” setelah mendengarnya, Leila
langsung reflek menengok ke Zaki. Angin berhembus kencang meniup rambut dan
tudung jaketku, membuatnya bergerak tak karuan mengikuti arah angin. Yang
kubisa hanyalah melihat kebawah, tak ada satupun skill yang bisa kugunakan untuk
memuluskan pendaratanku, dan aku tak bisa menggunakkan teleportasi karena ada
cooldown yang cukup lama.
“Gawat, gawat, gawat, gawat....!
Bagaimana ini? Jika aku terjatuh, aku akan terkena fall damage. Fall damage itu
sudah cukup untuk membuat hpbarku habis. Jika begitu, aku akan terespawn
disebelah tubuh asliku kembali. Karena teleportasi tidak bisa, maka aku harus
berjalan dari rumah ke sekolah. Itu saja sudah cukup menguras waktu dan
mengacaukan semuanya.” Sementara aku mengomel sendiri, ternyata jarakku dengan
dataran sudah cukup dekat. Aku mencoba mencari cara dengan memperhatikan
seluruh pakaianku. Pada awalnya aku berniat untuk menggunakkan jaketku sebagai
parasut.
“Open the seal : Tornado Explosion
Level Low!”
Leila menembakkan salah satu anak panahnya
ditanah yang berada tepat dibawahku lalu perlahan pusaran angin berwarna hijau
mulai keluar dan mengarah kepadaku. Aku terbawa oleh angin itu beberapa meter.
Namun, akibat dari itu, aku berhasil dihindarkan dari fall damage dan mendarat
dengan agak mulus. “Terima kasih, Leila. Untung saja ada kau.” Aku
menggaruk-garuk belakang rambutku sembari bangun setelah terjatuh tadi.
“Y-ya, tak masalah....” Leila menyimpan
busurnya kedalam inventorinya sementara Zaki yang menghela nafas lega. Zaki
maju beberapa langkah, mendekati penonton untuk memulai
“Kami adalah perwakilan E-Sport dari
kelas 3B. Kami akan mempertunjukkan game terobosan baru dari Bum Corp. yang
bernama Start Point. Sesuai dengan apa yang kalian lihat, game ini dapat
beradaptasi dengan dunia nyata.” Tak lama, salah seorang penonton mengangkat
tangannya sambil berdiri.
“Jika game ini benar-benar di dunia
nyata, bukankah ini berbahaya?”
“Pertanyaan bagus. Sebenarnya, game ini
tidak sepenuhnya berada di dunia nyata. Contohnya....” Zaki menarik pedangnya
lalu menghancurkan lantai panggung yang ada di belakangnya dengan satu ayunan
bagian tumpul dari pedangnya lalu dia menyarungkan kembali pedangnya.
Akibatnya, penonton yang melihat melalui kacamata khusus langsung panik. Namun,
sebelum kepanikan mulai diluar kendali, Zaki langsung memerintahkan semua
penonton untuk melepas kacamata mereka.
Betapa terkejutnya mereka, lantai
panggung yang awalnya hancur remuk karena hantama logam itu sudah pulih kembali
seakan-akan tak pernah ada serangan sedikitpun. Bahkan ada beberapa penonton
yang terus menerus memakai dan melepas kacamatanya secara bergantian hanya
untuk memastikan apa yang dilihatnya nyata. Tak lama setelah semuanya memakai
kembali kacamatanya, Zaki langsung memberikan penjelasan atas apa yang terjadi “Disaat
kalian melepas kacamata kalian, kalian akan melihat bentuk nyata dari benda
tersebut yang tidak hancur. Lantai hancur yang kalian lihat tadi, hanyalah
salah satu bagian dari game Start Point. Lagipula, lantai yang hancur ini akan
pulih kembali dalam beberapa menit. Kami—para player, takkan bisa menyentuh
tubuh manusia asli tanpa adanya persetujuan dari manusia tersebut. Tanpa adanya
persetujuan itu, tubuh avatar hanya akan menembus tubuh dari manusia asli tanpa
bisa menyentuhnya sedikitpun.”
Tahap selanjutnya adalah pengenalan
login dan logout, kami menunjukkan bagaimana cara untuk login dan logout yang
benar. Sempat ada beberapa kendala, namun akhirnya kami berhasil menjelaskan tata
cara untuk login dan logout. Yang bertugas untuk menjelaskan tahapan-tahapan
untuk login dan logout adalah aku. Sampailah kami pada tahap yang terakhir,
namun bukan yang paling akhir. Yaitu menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari
seluruh job yang ada, termasuk sistem double job yang rahasia.
Awalnya, akulah yang ditunjuk untuk
menjelaskan job-job ini. Namun, akhir-akhir ini aku punya masalah dengan ingatanku
sehingga membuatku payah dalam hal menghafal. Untungnya, Leila dengan senang
hati mengajukan diri untuk mengemban tugas ini. “Na-namaku adalah Le-Leila
Fitriyani. Di-Disini aku akan menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing job yang ada.” Seakan-akan sedang menghitung, Leila setengah
mengangkat tangan kirinya dan mengangkat jari telunjuknya. Menciptakan sebuah
angka satu.
“Sa-satu, Sword Master. Sword master
adalah seorang ahli pedang yang menjunjung tinggi agility dan strengh. Elemen dari job ini adalah cahaya, sehingga membuat
seorang sword master yang sudah ahli sebagai seorang kesatria cahaya. Jo-job
ini cocok untuk seorang player yang menyukai kecepatan tanpa mengurangi
kekuatannya.”
Leila lalu mengangkat jari tengahnya
mengikuti jari telunjuknya, membuat angka dua. “Du-dua, Gunner. Gunner adalah
sebuah job yang mengandalkan strengh dan intelegent. Elemen dari job ini adalah
listrik atau petir. Hanya orang dengan pikiran yang tenang dan pengendalian
emosilah yang bisa disebut sebagai seorang Gunner sejati. Ti-tiga, Archer.
Walau cara menyerangnya sama dengan Gunner, Archer memiliki agility dan
intelegent yang lebih tinggi. Ini membuat Archer menjadi sangat cepat dan
lincah serta memiliki keakuratan yang lebih tinggi dari pada Gunner. Empat,
Wizard. Witch/Wizard adalah sebuah job yang unik. Mana dan skill yang dimiliki
oleh Witch/Wizard lebih banyak dari job-job lainnya. Witch/Wizard juga bisa
berteleportasi tanpa harus mengatakan mantra. Walau kekuatan fisiknya lemah,
namun serangan magisnya diatas rata-rata dan tak bisa diremehkan. Li-Lima,
Alchemist. Alchemist adalah sebuah job yang bisa menyerang menggunakkan dua
cara, yaitu jarak dekat dan jarak jauh. Alchemist juga memiliki intelegent yang
tinggi dengan agilitynya yang tak main-main. Enam, Healer. Healer adalah sebuah
job yang sebenarnya tak dikhususkan untuk bertarung. Job ini adalah sebuah job
yang mendukung dari belakang, menyembuhkan anggota tim atau teman dan
memberikan buff-buff yang dapat meningkatkan kekuatan fisik ataupun magis.”
Jari-jari di tangannya terus naik mengikuti nomor dari job yang sedang dia
sebutkan. Dan pada akhirnya, dia sampai kepada titik ini. Walau begitu, hanya
ini informasi yang bisa kami dapat mengenai double job.
“Ya-yang terakhir.... Double Job.
Double job adalah sebuah sistem rahasia yang hanya bisa didapatkan dari random
job saat pembuatan karakter. Kesempatan untuk mendapatkan job ini sangatlah
tipis. Sesuai namanya, Double job adalah sistem yang membuat dua job yang
berbeda untuk menyatu menjadi satu job yang baru. Namun, Dari kedua job itu,
terdapat job yang aktif dan job yang pasif. Mi-misalkan dalam ka-kasus temanku
ini, Di-Dimo. Jobnya yang aktif adalah job Sword Master, dan jobnya yang pasif
adlah job Gunner. Job pasif itu
membuatnya dapat menggunakkan dua senjata secara bersamaan. U-umumnya, seorang
Sword master hanya bisa menggunakkan satu senjata, yaitu pedang. Na-namun,
dengan job pasifnya ini, di-dia dapat menggunakkan pistol dan pedang secara
bersamaan.” Kamipun sampai pada tahap yang paling akhir dari pertunjukkan ini.
Yaitu pertandingan antara aku melawan Zaki dan Leila. Pertarungan dua lawan
satu yang menurutku cukup adil ini akan segera dimulai beberapa menit lagi.
Untuk pertandingan ini, kami sudah
memutuskan untuk melaksanakannya di tempat yang lebih luas, yaitu arena
turnamen kemarin. Sebelumnya, kami sudah menyiapkan sebuah tv yang besar
dipanggung yang ada dibelakang kami sehingga para penonton dapat menontonnya
dengan mudah. Di arena, sudah disiapkan 5 robot cctv yang akan berputar
mengelilingi hutan tanpa henti. Melalui robot itulah, pertandingan akan
disiarkan.
Aku, Zaki, dan Leilapun berbaris
menghadap kearah penonton. Bersiap untuk melakukan teleportasi menuju ke arena.
Serentak, kami bertiga meneriakkan kata teleportasi untuk membuka tabel
teleportasi. “Tunggu dulu....!” Dari samping kami, datanglah Sindy yang sudah
siap dalam wujud avatarnya yang nampak agak kelelahan akibat berlari kesini
dikarenakan teleportasi yang tak bisa digunakkan untuk kesini. Seketika seluruh
perhatian langsung terpusat kepada cewek berambut panjang berwarna hitam itu. Setelah
mengatur pernafasan, Sindy berjalan ketengah-tengah kami.
“Aku ikut! Bukankan tidak adil jika dua
lawan satu?”
Dia membawa sebuah senjata api ditangan
kirinya yang dia sandarkan dipundaknya sementara jempol di tangan kanannya
menunjuknya. “Tapi, aku memiliki dua job. Kurasa ini sudah cukup adil.” Aku
menutup tabel teleportasi lalu menengok kearahnya sembari menggaruk-garuk
belakang rambutku.
“Tetap saja, dua lawan satu tidaklah
adil. Lalu, apa aku salah jika aku ingin membantumu?”
“Ti-tidak salah sih.....” Aku menutup
mulutku yang sudah kehabisan kata-kata untuk membalas perkataanya. Aku tak bisa
menemukan satu patah katapun untuk membalasnya sehingga membuatku terpaksa
harus menurutinya “Ba-baiklah.... Kau menang.” Aku kembali menghadap kearah
penonton dan membuka tabel teleportasi. Sementara Sindy datang kesampingku dan
membuka tabel teleportasinya. Tak lama setelah itu, kami berempat
berteleportasi ketempat masing-masing. Terpisah dikarenakan lokasi kordinat
yang berbeda-beda. Lagi-lagi, aku dihadapkan dengan hutan yang lebat ini.
Rumput-rumput yang kuinjak, dan daun-daun yang berguguran dari pohon-pohon yang
ada disekitarku melengkapi suasanaku kali ini. Hewan-hewan seperti tupai dan
rusa yang melintas menambah kesan alami yang ada. Aku bahkan dapat menghirup
aroma dari kayu-kayu yang basah karena hujan tadi malam. Saat ini, Sindy
menjadi teman setimku sementara Zaki dan Leila adalah musuhku.
Cukup
merepotkan mencari 3 orang dihutan yang lebat, mereka juga bisa dimana saja.
~Bersambung~
No comments:
Post a Comment