Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Berhari-hari sudah berlalu, dan sejak
saat itu, Sindy selalu menghindari kami. Tak peduli seberapa keras usaha kami
untuk menemuinya, dia terus saja menghindar. Satu hari, kami bertemu di kantin
sekolah, namun walau kupanggil dia, dia tak menghiraukanku dan berjalan
melewatiku.
“Kurasa, aku harus menemuinya....” Leila
merasa bahwa dialah alasan mengapa Sindy menghindar dari mereka. Dia memintaku
dan Zaki untuk menemuinya dikelas sepulang sekolah “Luka yang dialamiku saat
itu, terasa sangat nyata..... kurasa Sindy juga menyadari itu, dan juga, kurasa
dia menyalahkan dirinya sendiri karena itu.” Aku menarik tas dan berdiri dari
kursiku.
“Tidak. Kurasa, akulah yang harus
menemuinya.”
“Tapi Di—”
“Lagipula, aku adalah teman satu
timnya.” Aku tersenyum dan berjalan keluar kelas.
“Ba-baiklah, ka-kau bisa menemuinya.
Biasanya, dia akan ada ditaman setiap hari minggu. Kau bisa menemuinya disana.”
***
Hari ini adalah hari minggu. Rumahku dekat
dengan taman, kurasa ini adalah sebuah kebetulan yang menguntungkan untukku.
Rumahku dan taman hanya dipisahkan oleh sebuah jalan raya, sehingga aku bisa
melihat aktivitas yang terjadi ditaman hanya dari depan rumah. Aku berjalan
keluar rumah, dan menengok ketaman yang sudah ramai akan pengunjung.
Walau cuaca hari ini mendung, tapi
taman masih saja penuh dengan pengunjung. Dari kalangan anak-anak sampai orang
tua ada ditaman. Biasanya untuk menghabiskan waktu mereka, tapi tak kusangka,
Sindy adalah salah satunya. Bukan berarti ini adalah hal yang buruk. Biasanya,
taman akan dipenuhi oleh orang yang sedang melakukan jogging di pagi harinya.
Di siang hari, taman akan dipenuhi oleh anak-anak yang baru saja pulang
sekolah, yang biasanya bermain pasir dan wahana seperti ayunan, perosotan, dan
sebagainya. Sore harinya, biasa diisi oleh remaja-remaja yang sedang bersantai
atau berkumpul. Sedangkan di malam harinya, taman biasa diisi oleh
remaja-remaja yang sedang berpacaran atau hanya sedang mencari wifi gratis.
Tepat tengah hari, aku mulai
melangkahkan kakiku menyebrang, dan berjalan-jalan ditaman sembari mencari
Sindy. Setelah beberapa menit aku mencarinya, aku tak bisa menemuinya. Sampai
akhirnya aku sampai disebuah jalan setapak. Jalan itu biasa aku dan Zaki lalui
disaat kami sedang masih kecil. Kami biasa melewati jalan itu setiap kami akan
memasuki taman.
Oh
iya, kalau tidak salah, anak perempuan itu biasa duduk disana. Membaca buku
yang sama.
Aku mulai menyusuri jalan itu. Sebuah
jalan yang sudah lama tak aku lalui. Akhirnya, aku menemukannya. Sindy duduk
disebuah kursi kayu, kursi tersebut agak berlumut ditelan jaman, namun masih
menjaga bentuk aslinya. Dibawah sebuah pohon, dengan daun-daunnya yang
berguguran. Membaca sebuah buku tua (Sebuah novel?) Kedua matanya terfokus
ketubuh buku tersebut, membaca setiap tulisan yang ada. Aku merasa bahwa aku
tak ingin mengganggunya, tapi mau bagaimana lagi.
Aku harus menemuinya.
Kedua mata yang awalnya hanya terfokus
kebuku tersebut, seketika langsung berpaling tak lama setelah aku tak sengaja
menginjak sebuah ranting dan membuatnya patah. Sepertinya dia mendengar suara
dari ranting yang patah itu. Dia melirikku sebentar, memastikan siapa yang
menginjak ranting itu, dan kembali membaca bukunya. Sepertinya dia tak ingin
menghindariku kali ini. Aku berjalan menghampirinya, duduk disebelahnya, lalu
mencoba berbasa-basi dengannya. Aku mencari bahan untuk berbasa-basi dengannya,
dengan mencari tahu apa yang dia suka untuk dibicarakan saat ini.
“He-hei, kau sedang membaca apa?”
Sindy menaruh sebuah bulu unggas
(angsa?) diantara kedua halaman yang sedang dia baca, dan menutup bukuny lalu
menengok kearahku dengan tatapannya yang nampak sangat dingin “Kau sendiri
sedang apa?”. Gawat, aku tak menduga bahwa dia akan balik bertanya kepadaku.
“Yah... itu.... ke-kebetulan saja rumahku
dekat dengan taman. Jadi kupikir akan menyenangkan jika berjalan ditaman dihari
minggu begini....” Aku mencoba mengeluarkan sebuah senyuman, tapi nampaknya dia
tahu bahwa itu hanyalah sebuah senyuman palsu.
“Oh.....” Sindy kembali mengalihkan
pandangannya kebukunya, dan membukanya. Awan mendung mulai mengeluarkan isinya.
Air hujan yang dingin mulai jatuh membasahi taman. Membuat rumput, daun, dan
segala yang ada bersamanya menjadi basah. Udara berubah menjadi semakin dingin
dan semakin dingin. Aku bisa melihat pengunjung taman langsung pergi berteduh
dan pulang. Kami beruntung, daun-daun dari pohon yang ada tepat dibelakang
kursi ini membuat air hujan tak dapat membasahi kursi beserta kami. Namun
kelihatannya Sindy tak terlalu memikirkannya.
Dia terlihat tidak perduli jika dirinya
harus basah karena hujan. Bahkan dia tak sedikitpun melirik kearah lain selain
kepada bukunya. Benar-benar keadaan yang canggung. Disaat seperti ini, kurasa
lebih baik jika aku langsung keinti pembicaraan saja.
“Sindy, sebenarnya ada yang ingin
kutanyakan kepadamu. Kenapa sejak saat insiden itu, kau bertingkah seakan-akan kau menghindariku, Zaki dan Leila?”
Sindy langsung tertegun. Jarinya yang awalnya sedang mengganti halaman seketika
terhenti ditengah setelah mendengar pertanyaanku.
“Tidak, aku sama sekali tidak
menghindari kalian.” Dengan suara yang datar dan pelan, dia memalingkan
wajahnya dariku, melanjutkan bacanya. Jarinya yang terhenti kembali bergerak,
mengganti halaman yang lama dengan yang baru.
“Begitu ya. Tidak, Hanya saja, kurasa
kau terus menerus menghindari kami sejak kejadian itu.”
“Bukankah itu bagus? Kau tak perlu
menemui orang sepertiku lagi.”
“Tunggu dulu, apa maksudmu?”
“Bukankah kalian membenciku? Karena akulah,
Leila menjadi seperti itu.”
“Tidak, ini bukanlah salahmu ataupun
salah siapapun. Tak satupun dari kami yang menyala—”
“Jangan berbohong! Kalian pasti
membenciku,’kan? Karena akulah, Leila menjadi terluka!” Sindy langsung menutup
kedua bukunya tanpa pikir panjang dan menatapku dengan tatapan tajam. Dia
menarik bajuku dan dengan cengkraman yang kuat, lalu melepaskannya tak lama.
“Karena akulah.... Leila menjadi terluka..... Jika saja aku tak ikut.... jika
saja aku tidak egois....” Sindy menaruh bukunya disebelahnya, lalu menatapnya.
“Aku ini egois.... dari dulu, maupun sekarang.... aku tak pernah berubah....”
***
Beberapa
Tahun yang lalu
“Gara-gara kau, kita jadi kalah!”
Disebuah warung internet, Sindy kecil dimarahi sekumpulan anak laki-laki.
Setiap komputer dipisahkan oleh sebuah papan kayu yang tingginya sedikit lebih
tinggi dari monitor komputer, kursi yang ada terbuat dari kayu, dan internetnya
juga tak terlalu kencang. Anak-anak itu menyalahkannya atas kekalahan tim
mereka disebuah pertandingan game online.
Mereka beranggapan, bahwa Sindylah yang
membuat tim mereka menjadi kalah. Bahkan anak-anak tersebut mengejeknya dan
memerintahkannya untuk bermain masak-masakan sama halnya dengan apa yang biasa
dilakukan oleh anak perempuan. Sindy kecil tahu bahwa kekalahan ini bukan
sepenuhnya salahnya, namun dia tak mengerti, kenapa semua kesalahan itu
sepenuhnya dilimpahkan kepadanya.
Kemampuannya dalam bermain game memang
payah. Bahkan dia pernah tak sengaja menjatuhkan karakternya kedalam jurang. Namun
dia sangat suka bermain game. Karena itulah, dia terus menerus bersikeras untuk
tetap bermain, walau selalu saja disalahkan. Dia yakin bahwa semakin dia
bermain, maka kemampuan payah yang dimilikinya pasti akan membaik.
Dia mencoba untuk berpindah dari satu
tim ke tim lainnya. Namun, dimanapun dia berada, dia selalu saja diusir dari
tim tersebut karena kemampuannya yang payah. Sedemikian sering dia ikut
bermain, semakin banyak ejekan yang diterimanya. Sampai akhirnya tak ada lagi
tim yang mau menerimanya. Sekeras apapun dia memohon, tak ada lagi tim yang mau
menerimanya. Dia mulai menyadari, bahwa semuanya sudah kesal terhadapnya. Hal
ini membuatnya mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Dia mulai percaya bahwa
dialah penyebab dari semua ini terjadi. Keegoisannyalah yang membuat ini
terjadi. Dia mulai berpikir bahwa jika dia mendengarkan anak-anak itu dan
berhenti bermain game, maka mereka takkan membencinya.
Tetapi suatu hari, muncul seorang anak
laki-laki. Tak satupun ada anak yang mengenalnya. Seorang anak aneh, yang
tiba-tiba muncul dan seenaknya ikut bermain bersama mereka. Kemampuan
bermainnya sangatlah menakjubkan. Kemampuan bermainnya yang menakjubkan itu,
mulai membuat anak lainnya menjadi iri kepadanya. Merekapun bersekongkol
membuat anak itu menjadi satu tim bersama Sindy yang sangat payah saat bermain
game. Mereka tahu bahwa saat kau mencampurkan kue dan garam, rasa yang
dihasilkan akan mengerikan. Tujuan sebenarnya dari mereka adalah untuk
menciptakan sebuah alasan untuk membully anak laki-laki itu. Mereka
memanfaatkan kemampuan Sindy yang payah untuk membuat anak itu menjadi kalah.
Dengan kekalahan itu, mereka mempunyai sebuah alasan untuk membullynya.
Sindy bingung, kenapa anak itu tidak
membela dirinya sendiri dengan melimpahkan semua kesalahan kepadanya. Padahal
sudah jelas bahwa kekalahan mereka disebabkan olehnya. ”Kenapa kau tak
menyalahkanku? Padahal, karena aku kita menjadi kalah....” Namun, dengan
senyuman polos nan santai anak itu membalas.
“Kenapa aku harus menyalahkanmu?
Lagipula, ini hanyalah sebuah game.”
“Kau... (Ini hanyalah... game...?)”
“Jadi itulah.... jawabanku.” Anak itu
mengecek jamnya, dan menyadari bahwa dia harus segera pergi dari sana. Maka,
diapun mematikan komputer dan berjalan melangkahkan kakinya menuju ke pintu
keluar. Sebelum dia sampai ke pintu keluar, Sindy menghampirinya dan menangkap
tangannya.
Berbeda dari sebelumnya, kali ini Sindy
menghapus mendung di wajahnya dan tersenyum tulus “Boleh aku tahu, siapa
namamu?” Anak laki-laki itu sempat terdiam sebentar. Nampak seperti sedang
berpikir.
“Panggil saja aku Rama.” Diapun keluar
tak lama setelah memberitahu namanya. Sejak saat itu, diwaktu yang sama, Rama
selalu datang ke warung internet dimana Sindy bermain. Anak-anak lainnya masih
bersekongkol untuk membully Rama dengan cara membuatnya satu tim bersama Sindy.
Selama itu, akibat kedatangan Rama, Sindy mulai kembali mendapatkan kepercayaan
dirinya. Dia mulai kembali percaya bahwa masih ada harapan baginya untuk tetap
bermain game. Untuk tetap bermain hal yang disukainya.
Namun suatu hari, beberapa hari setelah
hari kelulusan di SDnya Sindy, Rama tak kunjung bermain di warung internet
biasa dia bermain. Sindy berasumsi bahwa Rama sakit, karena akhir-akhir ini
hujan sering turun. Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Rama kembali
bermain. Tetapi, dia nampak berbeda dari biasanya. Rama tampak lemas dan lesu,
rambutnya yang seperti apel sangat kacau. Bahkan, cara bermainnya sangat
berbeda dari biasanya. Seakan-akan, dia sudah tak memiliki semangat untuk
kembali bermain. Sindy yang khawatir atas kondisi Rama, langsung menanyakan
kondisinya. Namun, kekhawatiran itu hanya dibalas dengan satu kata.
“Maaf, tolong jauhi aku....” Sindy
tertegun. Tak biasanya Rama mengatakan hal aneh seperti ini. Seperti ada
sesuatu yang sangat buruk telah menimpanya.
“Rama... Ka-kalau ada masalah, tolong
ceritakan kepadaku.... barang kali, aku mungkin bisa membantumu...” Sindy
mengambil sebuah kursi, dan duduk disebelahnya. Rama hanya terdiam, menunduk
tanpa memperhatikan layar monitor sedikitpun. Tak ada satupun tombol keybord
yang dia tekan, dan mouse yang dia pegang, tak dia gerakkan seincipun.
“Kemarin... Aku....” Rama mengangkat
kedua tangannya dari keybord dan mouse, lalu menjatuhkan tangannya “Maaf, aku
tak bisa mengatakannya. Maaf....”
Rama langsung bangun dari kursinya dan
berlari keluar warung internet meninggalkan Sindy. Sindy mencoba mengejarnya,
namun dia sudah pergi. Dibelakangnya, anak-anak yang lainnya mulai
membicarakannya.
“Lihat, anak laki-laki yang biasa
bersama Sindy pergi meninggalkannya”
“Tentu saja, pasti dia sudah lelah
menjadi satu tim dengannya. Sindy’kan sangat payah saat bermain.”
“Benar juga.”
Disaat mereka tertawa lepas, Sindy
langsung berlari keluar mencari Rama. “Jangan pikirkan... jangan pikirkan
kata-kata mereka....” Sindy mencoba menutup telinga akan apa yang sudah dia
dengar tadi dan mencoba fokus untuk mencari Rama, namun dia tak tahu harus
mulai mencari dimana. Kalau dipikir-pikir lagi, Sindy tak pernah tahu dimana
Rama tinggal. Setiap hari, dia hanya bertemu dengan Rama di warung internet
biasa mereka bermain. Namun, walau begitu, Sindy tak boleh menyerah. Dia harus
tetap fokus untuk mencari Rama.
Untuk
permulaan, dia memutuskan untuk mencari di taman. Mencari di setiap area yang
ada. Namun, dia tak bisa menemukannya. Sindy mulai bertanya-tanya, apakah semua
ini salahnya. Apakah yang dikatakan yang lainnya itu benar bahwa dialah
penyebab mengapa Rama pergi. Apakah dikarenakan keegoisannyalah dia mulai
kehilangan teman-temannya. Apakah karena keegoisannyalah dia dibenci. Apakah karena
kelemahannyalah dia dibenci. “Apakah semuanya membenciku karena keegoisanku ini...?”
Sejak saat itu, Rama tak pernah datang
lagi ketempat dimana Sindy bermain. Seberapa lama Sindy menunggu, Rama tak
pernah datang kembali. Namun, walau begitu, Sindy tak ingin kehilangan temannya
lagi. Maka dari itu, Sindy mulai mencoba untuk menghilangkan egonya dan mulai
mencoba untuk bermain bersama, mencoba untuk bekerja sama, walau seberapa
kalipun dia diejek, dia terus dan terus mencoba bermain lebih baik dari
sebelumnya. Karena dia berjanji, agar saat Rama datang kembali. Jika saat dia
bertemu lagi dengannya, dia akan menjadi seorang teman yang lebih baik dan
partner tim yang lebih baik.
***
Masa
kini
Setetes air mengalir keluar dari matanya,
sebuah air yang terasa hangat yang membasahi pipinya. Entah itu sebuah air
mata, atau sebuah tetesan hujan, aku tak tahu. Yang bisa kulakukan saat ini
hanyalah memberikannya sebuah sapu tangan untuknya mengelap wajah. Sindy dengan
perlahan menerima sapu tangan itu dan mengusap wajahnya yang sedikit basah. Itu
adalah sebuah keheningan sesaat yang tak pernah kualami sebelumnya. Tidak,
kurasa tak cocok jika disebut sebuah keheningan sesaat. Kurasa, aku hanya
terlarut oleh aroma hujan.
“Te-terima kasih.....” Sindy memberikan
kembali saputangan itu kepadaku. Aku menyimpannya kembali kedalam saku celanaku
lalu berdiri. Aku berjalan mendekati tetesan-tetesan hujan, lalu aku mengangkat
tanganku meraih tetesan-tetesan itu. Merasakannya membasahi telapak tanganku
dan mengalir diatasnya.
“Dengar, aku mungkin tidak tahu apapun
tentangmu ataupun masalahmu. Tetapi, ada satu hal yang kutahu. Kau adalah
temanku. Kau adalah Sindy Adhelani, seorang cewek yang sangat mahir bermain
game.” Aku berbalik menghampirinya, dan kembali duduk disampingnya. “Kalau
tidak salah, dulu aku juga punya teman, sama sepertimu, dia sangat suka bermain
game online. Tetapi dia agak payah dalam bermain. Yah, sudah lama sekali aku
tidak bertemu dengannya, kuharap dia sehat-sehat saja.”
“Apa kau ingin bertemu dengannya?”
“Tentu saja, aku pasti akan melakukan
apapun agar bisa bertemu lagi dengannya. Tetapi aku tak tahu dia tinggal
dimana. Aku juga sama sekali tak punya petunjuk dimana dia tinggal saat ini.”
“Begitu....”
“Dibandingkan dengannya, kurasa cara
bermainmu sangat berbeda dengannya. Caramu bermain sangatlah hebat, bahkan
pemain terhebat yang pernah kutemui.”
“Te-terima kasih.”
Aku tersenyum dan berdiri lalu aku
menggaruk rambutku. Saat kusadari, hujan sudah berhenti dan cahaya matahari
yang awalnya tertutup oleh awan-awan berwarna kelabu mulai menerangi taman
sampai ketempat tergelappun. Udara dingin yang ada mulai pudar dan berganti
dengan hangatnya cahaya mentari di sore hari. Langit biru juga mulai
menampakkan dirinya bersamaan dengan sinar matahari. Aku berjalan keluar dari teduhan pohon dan
memeriksa cuaca, apakah masih ada hujan atau tidak. Tetapi, syukurlah, hujan
benar-benar sudah berhenti “Jadi itulah, pendapaku tentangmu.” Sindy terdiam
sesaat, mendengar sebuah kata-kata yang sudah lama tak dia dengar. Membawa
sebuah atmosfir penuh dengan kenangan bersamannya.
“Kau.....” Dia berdiri dengan bukunya
yang dia bawa, menghampiriku.
Tak lama kemudian, smartphoneku yang
ada disaku celanaku mulai bergetar dan berdering. Mengeluarkan sebuah suara
yang kencang. Aku merogoh sakuku untuk mengambilnya, saat kuperiksa, ternyata
itu adalah sebuah telephone dari Zaki. Aku mengangkat telephone itu dan mendekatkannya
ketelinga kananku “(Zaki? Tumben
sekali....)”
“Halo,
Dimo? Apa kau sedang bersama Sindy?”
“Ya, memangnya ada apa?”
“Kau
dan Sindy cepatlah ke Bum Corp.! Aku dan Leila sudah duluan sampai.”
“Memangnya ada apa?”
“Ini
penting! Ada hubungannya dengan insiden di class meeting kemarin!”
Sesampainya disana, aku dan Sindy
menemui Zaki dan Leila di ruangan bekas turnamen kemarin. Zaki dan Leila sedang
duduk disebuah kursi dipojok ruangan seperti sedang membicarakan sesuatu.
Mereka berhenti berbicara tak lama setelah aku dan Sindy menyapa mereka. Dari
tangga menuju ke lantai dua, Kak Indra datang menghampiri kami. Dia meminta
kami untuk mengikutinya ke lantai dua, tempat dimana Pak Bum dan Mbak Dinda
saat ini berada. Aku, Zaki, Leila dan Sindy berjalan menaiki satu-persatu anak
tangga. Di ujung terdapat sebuah pintu kayu yang dikunci dengan sebuah sistem
keamanan khusus. Kak Indra mengeluarkan sebuah kartu pengenal miliknya dari
saku celananya, lalu dia menempelkan bagian depan kartu tersebut kepintu
berwarna coklat itu. Dibagian depan kartu terdapat foto, nama, alamat, tanda
tangan, dan sidik jari. Kartu tersebut juga terbuat dari sebuah bahan khusus
yang membuatnya sulit untuk diduplikat.
Tak lama, pintu kayu yang awalnya
terkunci itu mulai terbuka. Menghubungkan ruangan di belakangnya dengan tangga
dimana kami berada. Diruangan tersebut terdapat Pak Bum yang duduk di kursi
rodanya didepan meja. Dahinya berkerut
dan matanya tertutup seperti sedang memikirkan sesuatu hal yang penting.
Sedangkan Dinda yang sedang terduduk membaca sebuah berkas disebuah sofa
dipojok ruangan. Menyadari kehadiran kami, dahi Pak Bum berhenti berkerut dan
matanya kembali terbuka. Beliau sempat mengelap kacamatanya sebelum
mempersilahkan kami berempat untuk duduk. Seusainya kami duduk, Pak Bum
menggerakkan kursi rodanya menghampiri kami sementara Kak Indra menutup kembali
pintu berkeamanan tingkat tinggi itu. “Seperti yang kalian ketahui, aku meminta
kalian untuk hadir disini untuk membicarakan insiden yang terjadi kemarin.”
“Anu, apa bapak tahu, siapa dalang dari
penyerangan waktu itu?” Zaki mengangkat tangan kanannya dengan cara yang nampak
kaku dan formal.
“Ya, bisa dibilang begitu.” Kak Indra
menghampiri kami dengan sebuah tablet. Dia memutar sebuah video rekaman dan
menunjukkannya kepada kami. “Ini adalah, sebuah rekaman dari salah satu drone
pada insiden kemarin.”
Video tersebut memunculkan salah satu
kejadian dimana aku disergap oleh ogre. Namun, ada yang aneh dalam video
tersebut. Disaat aku sedang sibuk melawan ogre yang menyergapku, drone menengok
kearah lain seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dibalik pohon,
muncullah sesuatu. Suatu makhluk yang wujudnya menyerupai manusia. Berwarna
hitam kelam dengan aura berwarna merah gelap. Dia tak memiliki wajah, dan tak
berekspresi. Menyadari keberadaannya telah diketahui oleh drone pengawas,
makhluk itu menarik sebuah pedang berwarna hitam keluar dari tubuhnya. Dia
hampiri drone tersebut, lalu menebasnya, membelahnya menjadi dua bersamaan
denganku yang sedang menyerang ogre. Dia memanfaatkan suara tebasanku untuk
menyamarkan suara tebasannya. Drone yang terbelah menjadi dua itu terjatuh
kererumputan. Walau terbelah menjadi dua dan sistem perekam gambar dari drone
tersebut sudah rusak, sistem perekam suara dari drone masihlah aktif dan
menyala. Sekarang aku mengerti mengapa saat itu, drone itu menghilang begitu
saja. Tak lama setelah aku pergi, drone tersebut kehabisan baterai dan mati.
“Sebenarnya, makhluk apa tadi itu?”
Tanya Sindy.
Pak Bum menghela nafas, lalu merapihkan
kaca matanya “Kami menyebutnya Shadow Player. Dia adalah makhluk yang tercipta
akibat perbenturan antara dimensi dunia nyata dan dimensi dari game Start Point.”
Kak Indra menaruh tablet tersebut kembali kemeja “Kami berhasil menangkapnya
dan mengurungnya disistem keamanan terkuat dari game, tetapi, meski begitu,
sampai sekarang kami masih belum mengetahui cara untuk menghapus makhluk
tersebut.” Pak Bum menggerakkan kursi rodanya kembali kemejanya perlahan demi
perlahan “Kalian mungkin sudah merasakannya, dia adalah makhluk yang sangat
berbahaya. Saat kalian terkena serangan dari makhluk itu, rasa sakit yang
didapat dari serangannya akan terasa nyata. Bahkan mungkin... dapat menyebabkan
kematian.” Sindy dan Leila tertegun mendengarnya. Entah apa yang sedang mereka
pikirkan, mereka hanya menunduk terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Mbak Dinda yang sudah selesai membaca
berkas berdiri dan menaruh berkas itu kembali ke meja “Tapi, kami sudah berhasil
mengatasinya, jadi kalian tak perlu khawatir lagi.”
“Apa bapak akan tetap merilis game
ini?”
“Ya. Tetapi, akibat dari insiden ini,
kurasa kami akan mengundur perilisan game ini sampai server kembali menjadi
stabil.”
Dengan begini sudah jelas. Pelaku
penyerangan yang terjadi saat class meeting, adalah Shadow Player. Sebuah
makhluk misterius berwarna hitam yang sangat berbahaya. Entah sampai kapan dia
akan terus berada di sistem kemanan dari game. Namun, akibat ini perilisan dari
game Start Point harus diundur selama satu tahun. Entah apa yang akan terjadi
selanjutnya, tak ada yang tahu.
~Bersambung~~
No comments:
Post a Comment