Yak, akhirnya kita mencapai titik ini juga. Phase 2 dari novel Start Point, yaitu Arc Pararel. Salah satu arc paling panjang yan pernah saya buat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Satu tahun sudah berlalu sejak saat itu
dan dua bulan sudah berlalu sejak perilisan game Start Point keseluruh penjuru
dunia. Game Start Point mendapat sambutan hangat dari pemain dan kritikus.
Dengan gameplaynya yang unik dan memuaskan, game ini langsung menjadi salah
satu game paling populer di seluruh dunia. Servernya yang lancar dan juga
banyak membuat meledaknya jumlah pemain yang ada di dalam game. Bahkan, sudah
beberapa minggu berlalu dan Start Point tetap menjadi topik hangat di media
sosial. Bahkan saat di sekolah.
Ngomong-ngomong, sekarang aku, Zaki,
Sindy, dan Leila sudah menjadi seorang murid SMA. Di kota ini, hanya terdapat
tiga sekolah SMA sehingga membuat kami berempat lagi-lagi satu sekolah. Tapi berbeda
dari sebelumnya, kali ini kami menjadi satu kelas.
Kembali ke topik utama, dengan kacamata
khusus— tidak, dengan GFP atau Google For
Player, aku bahkan bisa melihat banyak pemain dimana-mana. Bahkan aku bisa
melihat salah satu dari mereka yang sedang bertarung di lapangan sekolah.
Melawan seekor monster singa raksasa.
Aku melepas kacamata GFP, lalu berjalan
menuju ke kantin. Aku menaiki anak-anak tangga menuju ke lantai tiga.
Melangkahkan kakiku melewati kerumunan murid-murid yang sedang asik
membicarakan game Start Point.
“(Dimana-mana,
topiknya selalu saja sama. Apa mereka tidak bosan?)” Omelku dalam hati. Sesampainya
dikantin, aku tak menyangka bahwa aku akan dihadapkan dengan sebuah antrian
panjang. Antrian ini disebabkan oleh roti-roti isi yang rasanya sangat enak
yang dijual di kedai kantin. Namun bukan itu yang menjadi masalah, tetapi
jumlah dari roti tersebut yang terbatas. Akibat dari rasanya yang enak, membuat
para murid berbondong-bondong untuk membelinya. Untuk menghindari suatu hal
yang tak diinginkan, pihak kantin terpaksa membuat sebuah sistem antrian.
Setelah beberapa menit mengantri, akhirnya aku mendapat giliranku untuk membeli
roti tersebut. Namun, ternyata roti yang enak tersbeut sudah terjual habis. Aku
menghela nafasku lalu mengambil satu kantung plastik berwarna putih yang agak
transparan. Aku isi kantung plastik itu dengan roti isi coklat yang kubeli.
Setelah membayar roti ini, aku langsung
keluar antrian untuk mencari meja untukku memakan roti-roti ini. “Dimo,
disini!” Dari sebuah meja yang letaknya tepat disebelah jendela, Zaki
melambaikan tangannya memanggilku. Sementara itu, Sindy dan Leila yang sedang
asik memakan bekalnya langsung menengok kearahku seketika setelah Zaki
memanggilku. Zaki dan Leila yang duduk di sebelah jendela dan Sindy yang duduk
bersebelahan dengan Zaki. Aku menghampiri mereka dan duduk di sebelah Leila.
Seketika pipi Leila langsung memerah, dia langsung meminta kepadaku untuk
bertukar posisi dengannya yang bersebelahan dengan jendela. Tentu saja, dengan
senang hati aku akan menerima permintaannya. Aku menaruh kantung plastik itu ke
atas meja, lalu mengeluarkan roti isi coklat yang ada di dalam kantung plastik
dan membuka bungkus plastik yang membungkus roti isi coklat punyaku ini.
Sesuai dengan apa yang kuduga, Zaki,
Sindy, dan Leila akan membicarakan game itu. Tetapi, aku sama sekali tak punya
niatan untuk bergabung dengan pembicaraan mereka.
Aku lebih memilih untuk diam dan
memakan roti isi coklatku ini sembari melihat aktivitas sekolah melalui sebuah
jendela berbentuk kotak. Walau agak berkabut, aku tetap menikmati aktivitas
sekolah seakan-akan kaca jendela yang agak berkabut ini bukanlah sebuah
masalah. Tetapi, walau begitu, aku merasa kesepian. Entah kenapa, untuk pertama
kalinya aku tidak menikmati kesendirianku ini. Tak biasanya aku merasakan
perasaan ini. Sebuah perasaan yang hampa, dan sangat tidak mengenakkan. “(Apa sebaiknya, aku kembali bermain saja, ya?)"
Seketika, penglihatanku mulai memudar,
dan kepalaku terasa sangat sakit. Saat kukedipkan mataku, tepat dihadapanku,
muncul sebuah mata dari monster raksasa dari balik jendela. Sebuah mata yang
besar tepat menatap kearahku seakan-akan menyadari keberadaanku. Tubuhku tak
bisa bergerak. Aku tak bisa berpikir jernih dan kepalaku terasa sangaat sakit.
Aku melirik ke arah Zaki dan Leila, namun nampaknya mereka tak merasakannya.
Tetapi, saat aku menengok Sindy, nampaknya dia juga mengalami sakit kepala ini.
Sindy terus menerus memegangi kepalanya sembari menengok ke arah jendela,
ketempat dimana monster itu berada.
“Dimo?” Zaki menyadari gerak-gerikku
yang aneh.
“Sindy juga....?!” Leila juga nampaknya
mulai menyadarinya.
Setelah beberapa menit mengalami sakit
kepala yang tak tertahankan, akhirnya keadaan kembali menjadi seperti semula.
Rasa sakit yang ada di kepalaku mulai hilang, dan penglihatanku kembali normal.
Monster besar yang kulihat dari balik jendela juga sudah menghilang. Sindy juga
nampaknya sudah kembali seperti biasa. “A-aku tak apa-apa,’kok. (Tadi itu, apa?)”
***
Sepulang sekolah.
Seperti biasa, aku, Zaki, dan Leila
pulang bersama-sama sepulang sekolah. Namun, nampak masih ada rasa penasaran
yang muncul dari Zaki. Dahinya terus menerus berkerut, dan dia terus saja
melamun sampai pada akhirnya Leila mengajaknya ngobrol.
Awalnya, Zaki tak menyadarinya, tapi
dia mulai menyadari itu disaat Leila menepuk pundaknya. Leila mencoba mengajak
Zaki untuk membicarakan game Start Point, namun nampaknya Zaki agak tidak
peduli karena rasa penasaran yang dimilikinya saat ini. Dia sesekali menanggapi
pembicaraan itu, namun nampak sekali dia tak peduli. Leila yang menyadari tingkah
Zaki langsung meminta maaf dan berhenti mengajaknya mengobrol. Akibatnya, Zaki
mulai merasa bersalah dan berbalik meminta maaf. “Maaf, Leila. Hanya saja, ada
sebuah pertanyaan yang terus mengganjal dipikiranku sejak tadi.” Zaki berhenti
berjalan dan menengok kearahku “Dimo, sebenarnya, tadi itu apa?” Mengikuti
Zaki, langkahku dan Leila serentak ikut berhenti.
Aku menggaruk rambutku, lalu kembali
berjalan. Aku melangkahkan kakiku seakan-akan aku sendiri tidak peduli dengan
sakit kepala tadi, namun sebenarnya, akulah yang paling penasaran dengan apa yang
terjadi tadi “Entahlah...”
Aku, Zaki, dan Leila melanjutkan
perjalanan. Sebuah perjalanan yang tenang dan sunyi tanpa adanya sepatah
katapun yang keluar. Namun, seketika perjalanan yang tenang itu menjadi berubah
menjadi sesuatu yang tak terduga sama sekali. Lagi-lagi, perasaan yang sama
dengan apa yang terjadi tempo hari. Kepalaku mulai sakit, dan penglihatanku
mulai memudar. Tubuhku terasa lemas, dan berat. Aku tak sanggup
menggerakkannya, sampai-sampai aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
“Dimo?!” Zaki dan Leila langsung
menaruh tasnya dan menghampiriku yang terkapar lemas di jalan. Walau
samar-samar, aku melihat seorang pemain dan seekor monster yang sedang
bertarung tepat di seberang jalan. Tak lama, semuanya mulai menjadi hitam, aku
tak bisa melihat apa-apa.
Apakah
aku pingsan? Atau hanya imajinasiku saja?
Aku terbangun. Melihat sebuah atap besi
yang dingin yang biasa kulihat dipagi hari. Dengan kasur yang empuk dan selimut
yang hangat menutup sekujur tubuhku. Aku menengok ke laci yang tepat ada di sebelah
kasur. Di atasnya, terdapat semangkuk bubur yang dibungkus oleh plastik
transparan. Di sampingnya, terdapat sebuah secarik kertas—sebuah catatan. Dari
gaya tulisannya yang berantakan, tak salah lagi, ini adalah tulisan Zaki.
“Dimo,
semoga kau baik-baik saja. Oh ya, ini ada semangkuk bubur ayam hangat yang aku
dan Leila beli. Kami patungan untuk membelinya, jadi aku dan Leila berharap kau
memakannya sampai habis. Temanmu, Zaki dan Leila.”
Aku tersenyum lalu menaruh kembali
secarik kertas itu ke atas laci “Dasar mereka itu... Terima kasih.” Aku
berjalan menghampiri lemari, lalu aku mengambil pakaian biasaku. Aku melepas
kancing-kancing kemeja sekolahku, lalu aku menggantungkannya di samping lemari.
Aku mengganti celana abu-abu sekolah dengan celana biasa, lalu aku pakai
pakaian biasa. Aku memakai sepatu, lalu keluar dari rumah containerku. Berjalan
menyeberang jalan menuju ke taman.
Kurasa,
lebih baik aku mencari udara segar di taman.
Udara dingin yang ada, keadaan taman
yang sepi, dan lampu-lampu taman yang menerangi jalan. Bintang-bintang dan
bulan yang menghiasi langit malam sekan menjadi kesan tersendiri.
Tak lama kemudian, angin mulai
berhembus kencang. Membuat satu persatu daun yang ada di pohon mulai
berguguran. Sebuah angin kencang yang nampak tak normal. Tiba-tiba, sebuah
dentuman besar mulai muncul. Sebuah suara yang sangat kencang dari tempat yang
jauh. Aku yang awalnya berjalan langsung menghentikan langkahku dan mengengok
kearah dimana suara dentuman itu berasal. Seketika, putih menjadi hitam, dan
hitam menjadi putih. Warna-warna yang ada berubah menjadi warna inverse.
Rambut hitamku berubah menjadi putih,
langit malam yang berwarna hitam berubah menjadi putih, bulan dan bintang yang
memancarkan cahayanya berubah menjadi berwarna hitam. Daun-daun dan rerumputan
yang berwarna hijau berubah menjadi berwarna merah muda, celana dan sepatuku
yang berwarna coklat berubah menjadi biru. Terjadi dentuman kembali, dan
seluruh warna yang ada kembali menjadi normal.
Untuk mencari jawaban, aku langsung
berlari menuju ke rumah. Aku menengok kesana kemari, semua orang mulai keluar
dari rumahnya, dengan satu pertanyaan yang sama.
“Apa itu tadi?”
Lalu lintas menjadi kacau, kemacetan terjadi
dimana-mana. Keadaan sangatlah bising. Suara dari klakson mobil dan motor
dimana-mana. Tak hanya itu, makhluk-makhluk dan monster mulai bermunculan
dimana-mana. Masyarakat yang panik mulai berlarian kemana-mana. Untuk
menghilangkan kepanikan publik, polisi mulai mengerahkan pasukannya untuk
memberantas monster-monster yang muncul. Tanpa kusadari, muncul seekor monster
ular di belakangku. Monster itu mengibaskan ekornya kearahku, namun aku
langsung menunduk dan berlari bersembunyi dibalik pohon.
“(Gawat,
jika terus begini...)” Aku mengambil sebuah batu bata, lalu melemparkannya
kearah yang berlawanan dengan arah kemana aku akan pergi. Suara dari benturan
antara rumput dan batu bata itu menarik perhatian monster ular. Monster itu
langsung menghampiri sumber suara. Sementara aku langsung berlari menuju kearah
rumah. Walau terjadi kemacetan dimana-mana, aku beruntung karena tidak terjadi
kemacetan di jalan yang terdapat di depan rumahku. Aku menekan tombol untuk
menyalakan televisiku. Di saluran manapun, berita yang disampaikan hampir sama.
“Selamat
malam pemirsa. Malam ini, terjadi sebuah ledakan di perusahaan Bum Corp.
keadaan perusahaan yang baru-baru ini mengeluarkan gamenya yang berjudul Start
Point sangat mengkhawatirkan. Akibat dari ledakan ini, seluruh server dari
permainan itu terputus dan membuat seluruh pemain di seluruh dunia terputus
dari game. Berikut video amatir detik-detik sebelum ledakan terjadi.”
Sebuah video diputar. Di video itu,
terjadi sebuah gempa di area sekitar perusahaan selama beberapa menit. Tak lama
kemudian, keluar sebuah bola berwarna hitam dari dalam gedung. Bola hitam itu
terus menerus membesar seakan-akan melahap gedung itu. Warna dari area gedung
yang sudah terlahap bola hitam itu berubah menjadi warna inverse. Bola tersebut semakin membesar dan semakin membesar.
Merasa terancam, sang perekampun mulai berlari menjauhi bola hitam yang
perlahan-lahan semakin besar. Disaat bola hitam itu sudah berukuran dua kali
lebih besar daripada gedung Bum Corp. bola hitam itupun meletus dan membuat
efek inverse menyebar keseluruh dunia. Semakin merasa terancam, sang perekam
semakin mempercepat langkahnya sembari merekam seluruh kejadian sebisa mungkin.
Tak lama setelah semuanya kembali seperti semula, sang perekampun berhenti
berlari dan berbalik. Namun, sesuatu yang tak diharapkannya muncul tepat di hadapannya.
Sebuah makhluk berwarna hitam yang menyerupai manusia menyergapnya dan
melemparkan sebuah bola hitam kearah kamera. Membuat seluruh layar kamera
menjadi berwarna hitam tanpa setitik cahaya.
“Tak salah lagi, itu ulahnya....”
“Untungnya,
tak ada korban jiwa. Bum Rahmatullah, selaku pemilik perusahaan Bum Corp.
diketahui mengalami luka-luka. Walau begitu, sampai sekarang masih belum
diketahui pe—” Aku langsung
mematikan televisi dan tidur. Ada sesuatu yang harus kuhadiri besok.
Sejak malam itu, keadaan telah berubah.
Menurut komentar Pak Bum diawak media, ledakan yang terjadi menyebabkan dimensi
game dan dimensi dunia nyata menyatu menjadi satu. Sekarang, orang-orang dapat
melihat pemain dan monster tanpa harus menggunakkan GFP. Namun, Pak Bum sudah
menjamin bahwa dia akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Beliau berjanji
akan mencari cara untuk mencegah adanya korban dengan menciptakan sebuah tim
khusus bernama Eraser. Sebuah tim yang bertugas untuk melindungi warga sipil
dari ancaman monster. Hari ini, sehari setelah malam itu, aku berniat untuk
menanyakan kebenaran yang ada kepada Pak Bum.
***
Kaca-kaca pecah, tembok beton yang
tebal nan kokoh menjadi hancur, sebuah gedung paling tinggi yang pernah kulihat
sebelumnya, sekarang berubah menjadi sebuah gedung yang berbeda. Sebuah keadaan
yang sangat kacau.
Aku membuka pintu berwarna cokelat,
memasuki gedung Bum Corp. menurut berita, aku yakin bahwa Pak Bum baik-baik
saja. Akibat insiden semalam, pegawai yang bekerja diliburkan sehingga membuat
gedung sangat sepi. Insiden itu juga membuat server dari game Start Point
menjadi kacau. Apalagi monster yang mulai bermunculan dimana-mana. Aku berharap
bisa menemui Pak Bum sehingga aku bisa menanyakan secara langsung mengenai apa
yang terjadi semalam.
Di lorong-lorong yang sepi aku berjalan
melangkahkan kakiku menuju keruangan Pak Bum. Lampu yang menerangi terkadang
mati dengan sendirinya, namun lampu akan menyala kembali tak lama setelahnya.
Ruangan turnamen yang kemarin bahkan sampai hancur. Sampai-sampai aku tak bisa
memasuki ruangan tersebut dikarenakan puing-puing yang memenuhi ruangan.
“Dimo?” Suara seorang perempuan muncul
dari belakangku. Suara yang nampaknya kukenal. Membuatku harus menghentikan
langkah kakiku untuk menengok kebelakang. Sindy berdiri memegang sebuah buku
novel yang nampak sangat baru, menatapku dengan tatapannya yang seperti biasa
seakan-akan dia sudah tahu bahwa aku akan pergi kesini.
“Ha, Halo...”
Aku memasukkan koin-koin uang kedalam
mesin penjual minuman kaleng. Memasukkannya sesuai dengan harga minuman coklat
yang kubeli.
“Jadi, apa yang kaulakukan disini?” Aku
mengambil kedua minuman kaleng yang kubeli, lalu duduk disebuah kursi yang
tepat bersebelahan dengan mesin penjual minuman. Aku membuka salah satu minuman
kaleng dan memberikan yang satunya kepada Sindy. Dia berterima kasih, menerimanya,
lalu lanjut membaca novel yang dibawanya.
“Sama dengan apa yang ingin kau lakukan
disini.” Dengan suara yang pelan dia berkata, membuka minuman kaleng lalu
meminumnya perlahan-lahan. Aku tersenyum kecut. Sebenarnya aku tahu bahwa dia
akan berkata seperti itu, namun aku malah menanyakan hal yang sudah jelas
seperti itu
“Benar juga...”
Sindy menaruh minuman kaleng itu di kursi,
lalu membuka kembali novelnya “Kau juga menyadarinya bukan?”
Aku menyeruput minuman kaleng yang
sedang kupegang sampai habis lalu melemparnya kearah tempat sampah yang letaknya
tak jauh dari kami berdua “Ya....”
Disaat yang bersamaan, Kak Indra keluar
dari sebuah ruangan yang letaknya tepat bersebelahan dengan tempat sampah itu.
Menyadari ada kaleng minuman yang baru saja masuk kedalam tempat sampah, dia
langsung menengok kearah asal dari minuman kaleng itu berasal—kearah kami
“Kalian.....”
“.... Jadi begitulah...”
Mendengar penjelasan Sindy, Pak Bum
hanya terdiam. Duduk diatas kursi rodanya menatap mejanya dengan tajam melalui
kacamatanya, tak lama, dia melepas kacamatanya lalu mengusap wajah “Baiklah,
aku akan menceritakan semuanya.” Dia meminta kepada Kak Indra untuk mengambil
sebuah benda, dengan cepat, Indra mengangguk dan pergi keluar ruangan Pak Bum.
“Semua ini bermula dari kemarin sore.
Tiba-tiba, terjadi sebuah error yang tak wajar didalam server Start Point.
Entah kenapa, error ini mengakibatkan beberapa orang pemain mulai mengalami
sebuah sakit kepala yang amat sangat.”
Sindy terdiam, sedikit menggigit
bibirnya. Tangannya mulai mengepal dan alisnya mulai mengkerut, seakan-akan dia
masih teringat dengan rasa sakit itu.
“Lalu, apa bapak tahu apa penyebab dari
semua itu?” Aku mencoba mencairkan suasana dengan pertanyaan itu, tapi
nampaknya itu tidak membantu.
Pak Bum kembali memakai kacamatanya dan
melanjutkan penjelasannya “Beberapa jam kemudian, terjadi sebuah error yang
sangat besar di arena bertarung. Error itu mengakibatkan para pemain tak bisa
memasukinya. Untuk memperbaikinya, kami terpaksa harus membuat seluruh pemain
log out. Seusai diperbaiki, aku meminta Indra dan Dinda untuk masuk ke dalam
game dan mengecek arena. Dari situlah, keadaan mulai kacau.” Entah kenapa Pak
Bum berhenti dan menghela nafas. Tak lama kemudian Kak Indrapun tiba. Membawa
sebuah tablet, tablet yang sama dengan sebelumnya.
“Pada awalnya, semua berjalan lancar.
Sampai dia muncul.” Kak Indra membuka sebuah file video yang terdapat di tablet
yang dipegangnya, lalu menyerahkannya kepada kami “Video itu kami dapatkan dari
salah satu drone. Sampai saat ini, kami belum menunjukkan video tersebut kepada
pihak kepolisian.”
Didalam video rekaman tersebut, Shadow
Player tepat berdiri didepan drone tersebut, mengacungkan pedang hitamnya yang
panjang kearah drone. Dari wajahnya yang kosong, muncul sebuah lekukan berwarna
merah, sebuah lekukan yang nampak seperti sebuah mulut. Lekukan tersebut mulai
membesar sampai seukuran dengan setengah wajahnya “Mulai sekarang, rencanaku
akan segera dimulai. Akan ada perubahan besar! Dan kalian, manusia, bukan
bagian dari rencana tersebut.” Dengan suaranya yang berat dan mengerikan, dia
mengayunkan pedangnya dan menghancurkan drone tersebut bersamaan dengan
berakhirnya video.
“Menyadari kejadian itu, aku langsung
memerintahkan Dinda dan Indra untuk segera keluar dari dalam game. Namun,
Shadow Player berhasil meretas sistem dan membuat mereka berdua tak bisa keluar
dari dalam game. Dia juga meretas sistem teleportasi dan merusaknya, membuat
sistem tersebut tak berfungsi kembali. Aku langsung berinisiatif dengan
mematikan server untuk mengeluarkan mereka berdua, namun disaat yang bersamaan,
aku terlambat. Shadow Player seketika tepat berdiri di belakangku.”
***
Kemarin
“Ba-bagaimana mungkin?” Pak Bum
membalik kursi rodanya, dengan perlahan-lahan dia memundurkan kursi rodanya
mendekati tombol evakuasi yang tertempel di tembok yang ada di belakangnya.
Sesekali dia sedikit menengok kebelakang untuk memeriksa apakah arah yang
ditujunya sudah benar. Tanpa menyadari maksud tersembunyi dari Pak Bum, Shadow
Player berjalan mendekatinya. Dia menarik pedang hitam keluar dari dalam
tubuhnya, disaat bersamaan Pak Bum sudah tiba di depan tombol.
Tangan kirinya meraba ke belakang
mencari tombol tersebut, sementara matanya tak bisa mengalihkan pandangannya
dari Shadow Player untuk memastikan bahwa dia tak menyadari niatan tersembunyi
itu. Shadow Player mengangkat pedangnya keatas, setinggi yang dia bisa, lalu
membaliknya.
“Dimensi bukan masalah lagi bagiku!”
Dia menancapkan pedangnya ke dalam lantai, tancapan pedangnya itu
mengguncangkan area disekitarnya. Mencipatkan sebuah gempa. Menyadari situasi
yang semakin genting, Pak Bum langsung berbalik dan menekan tombol evakuasi.
Suara nyaring mulai muncul, lampu-lampu berwarna merah mulai keluar dari plafon
ruangan. Memancarkan cahaya merahnya keseluruh gedung. Menandakan kepada
seluruh orang untuk segera pergi meninggalkan gedung.
Dari dalam lantai yang tertancap
pedang, muncul sebuah bola berwarna hitam. Bola tersebut mulai membesar,
seakan-akan memakan semua yang ada disekitarnya. Sementara itu, Pak Bum
menyadari bahwa Shadow Player sudah menghilang dari tempat itu. Dia langsung
menggerakkan kursi rodanya untuk masuk kedalam elevator, namun, akibat gempa
jalan yang akan dilaluinya terhalang oleh puing-puing akibat runtuhnya lantai
atas. Dia mencoba untuk mencari jalan lain, tetapi seketika ada sebuah
puing-puing yang jatuh diatasnya. Pak Bum langsung melompat menuruni kursi
rodannya untuk menghindar.
Bola hitam itu semakin membesar, sampai
akhirnya berukuran lebih besar dari gedung Bum Corp. saat mencapai puncaknya,
bola hitam itupun meletus dan mengakibatkan seluh warna di seluruh dunia
berubah menjadi warna inverse selama
beberapa detik.
“Pak Bum...?”
“Pak Bum??”
Indra menggeser puing-puing yang
sedikit menimpa Pak Bum. Pak Bum beruntung puing-puing yang berat dan dingin
itu tak memberinya luka berat. “Apa anda baik-baik saja?” Dinda mengambil
sebuah kubus dan menekan tombol lalu menaruh kubus tersebut.
Seketika, kubus itu berubah menjadi
sebuah kursi roda. Indra mengangkat Pak Bum dan membuatnya duduk kembali di atas
kursi roda. “Ya, aku baik-baik saja. Yang lebih penting, kita harus segera
mencari biang keladi dari semua ini, yaitu Shadow Player.” Pak Bum membersihkan
pakaiannya lalu menepuk pundak Dinda. Tak lama kemudian, datang salah seorang
pegawai. Berlari dengan tergesa-gesa seperti habis baru saja melihat hantu. Dia
membawa sebuah tablet, dan menunjukkan berita yang terdapat ditablet tersebut.
“Dunia
gempar! Teror monster di mana-mana.”
Headline isi dari berita tersebut
membuat Kak Indra, Mbak Dinda dan Pak Bum tak bisa mempercayai apa yang mereka
lihat. Dengan refleks, Kak Indra langsung berlari mendekati jendela dan
membukanya. Lagi-lagi dia semakin tak bisa mempercayai matanya sendiri. Karena
apa yang dia lihat saat ini, sesuai dengan apa yang tertera didalam berita.
Monster ada dimana-mana, sejauh mata memandang, selalu ada monster. Dia
menyadari, walaupun server dari Start Point sudah terputus, itu tak berpengaruh
sama sekali.
***
Saat
Ini
Aku menaruh kembali tablet ke meja. Aku
tak tahu apa lagi yang harus kukatakan mengenai semua ini. Semuanya benar-benar
kacau. Aku menunduk karena tak tahu lagi apa yang harus aku katakan atau aku
lakukan.
“Ada satu hal lagi.... yang ingin
kutanyakan....” Suara lantangnya membuatku kembali mengangkat wajahku untuk
menengok kearahnya. Sindy menatap Pak Bum dengan tatapannya yang fokus seperti
biasa. Nampak tangannya terus menutup buku novel yang dia baca sebelumnya
seakan-akan menolak untuk menyentuh selembar halaman dari novel tersebut
“....lebih tepatnya apa, yang akan anda lakukan setelah ini?”
Pak Bum lagi-lagi melepas kacamatanya
lalu membersihkannya. “Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas insiden ini.
Aku akan membuat sebuah asuransi gratis bagi yang terkena dampak dan serangan
dari monster-monster tersebut dan membentuk sebuah komisi penanggulangan khusus
yang bertugas untuk menumpas monster-monster dan menghentikan Shadow Player.
Aku akan membuat seluruh player yang terdaftar sebagain anggota kesatuan khusus
itu menjadi level maksimal sehingga mereka dapat mengeluarkan sepenuhnya
kemampuan mereka. Aku takkan membiarkannya merenggut lebih banyak nyawa lagi
menggunakkan permainan yang sudah kuciptakan dengan susah payah ini.”
Untuk mencegah monster-monster yang
terus-menerus bermunculan dimana-mana, Pak Bum akan menciptakan sebuah komisi
penanggulangan khusus bernama ERASER. Komisi itu bertugas untuk melindungi
penduduk sipil dari serangan monster dan tidak hanya itu, ERASER juga bertugas
untuk menupas monster-monster yang ada dan menghapus titik-titik dimana monster
ter-respawn.
Kelompok ini terdiri dari para
pemain-pemain yang handal dan sangat mahir dalam bermain game. Pak Bum juga
memperbarui sistem log in dari game dan menyesuaikannya dengan kondisi saat
ini. Untuk log in, sekarang sudah tidak membutuhkan sofa atau kursi lagi.
Sekarang ada sebuah alat portabel berbentuk persegi. Bentuknya seperti sebuah
tablet, namun lebih kecil sampai-sampai benda tersebut bisa muat di dalam
kantung celana. Untuk log in, pemain hanya tinggal menempelkan salah satu
jarinya di salah satu sisi dari benda tersebut. Benda itu akan meng-scan jari
pemain selama beberapa saat. Setelah itu, tubuh pemain akan mulai bercahaya dan
berubah menjadi avatar dan terlogin sepenuhnya kedalam game. Di minggu
pertamanya, ERASER melakukan pekerjaan yang cukup memuaskan, mereka berhasil
menumpas hampir seluruh monter yang ada di Kota Rempah.
Akibat hasil yang memuaskan ini, ERASER
disambut hangat oleh pemerintah dan ditetapkan sebagai lembaga resmi milik
pemerintah dunia. Akibatnya, mulai muncul organisasi kecil seperti KPM atau
Komisi Penanggulangan Monster. Organisasi milik kepolisian itu beranggotakan
para gamer-gamer yang handal dan sudah teruji keahliannya. Dampak dari
keputusan pemerintah itu juga menjalar ke dunia pendidikan. Pemerintah
memutuskan untuk membuat mata pelajaran dan metode belajar yang baru. Didalam
mata pelajaran tersebut, pelajar akan diajarkan dasar-dasar dari permainan Start
Point dan informasi mengenai monster yang ada. Para pelajar juga diwajibkan
untuk memiliki satu akun Start Point sebagai perlindungan diri dari monster.
Aku sempat diajak oleh Zaki untuk ikut
masuk kedalam ERASER sepertinya, namun aku menolaknya mentah-mentah.
***
Di sekolah.
Kelas sangat ramai akibat tugas
matematika. Apalagi karena guru di kelas kami sedang dipanggil ke ruang guru
karena suatu urusan. Disaat aku baru saja mendapatkan salah satu jawaban dari
kelima soal yang ada, tiba-tiba Zaki menepuk pundakku dari tempat duduknya yang
tepat berada di belakang tempat dudukku.
Awalnya, aku memutuskan untuk
mengabaikannya dan tetap fokus kepada soal-soal ini, tetapi dia terus-menerus
menepuk pundakku. Semakin aku mengabaikannya, semakin kencang dia menepuk
pundakku. Dia juga mulai memanggil namaku melalui bisikan-bisikannya “Dimo...
hei....” Lagipula, kenapa pula dia berbisik? Padahal tak ada guru di ruangan
ini.
Semakin lama, tingkah lakunya semakin
menjadi. Aku menangkap tangan kanannya yang terus saja menepuk pundakku dan
mencengkramnya sekencang yang kubisa. Aku perlahan menengok kebelakang, walau
tetap mencoba untuk menahan rasa kesalku akibat ulahnya, rasanya aku tetap tak
bisa melakukannya. Aku terlalu kesal untuk bisa berpura-pura tenang. Dengan
tatapan penuh kekesalan dan alis yang mengkerut keatas, aku mencoba menggigit
bibirku untuk mengurangi rasa kesal yang ada “Apaan....?”
“Aduduh, sakit, sakit....” Zaki mencoba
menarik tangan kanannya dari cengkramanku, bahkan dia mencoba dengan
menggunakkan kedua tangannya. Dia terus menarik sekencang yang dia bisa,
sampai-sampai kursinya terus bergonyang dan hampir jatuh.
“(Kurasa,
dia sudah menariknya cukup kencang.)”
Aku melepas tangan Zaki bersamaan saat
dia menariknya sekuat yang dia bisa, mengakibatkannya terdorong kebelakang
akibat daya tarik yang dia buat sendiri. Akibatnya, dia terjatuh ke belakang
bersama dengan kursinya.
Aku memutar kursiku berlawanan dengan
mejanya, membuatku lebih mudah berkomunikasi dengan manusia sepertinya “Kali
ini apa? Game lagi?” Zaki merapihkan kembali kursinya dan membersihkan seragam
putihnya. Dia mengambil pulpennya dan mengambil buku catatan miliknya. Entah
untuk apa dia melakukan itu.
Dia berbalik, seakan-akan sedang menulis
sesuatu yang penting. Setelah selesai, dia menutup kembali pulpennya dan
membantingnya kemeja lalu mengulurkan tangan kirinya yang memegang buku catatan
miliknya yang terbuka lebar membuka sebuah halaman yang baru saja dia isi.
“Ini.... Ini.....” Aku tak bisa
mempercayai apa yang sedang kulihat saat ini. Tulisan itu....
Zaki tertawa, suara tawanya yang
kencang lebih kencang dari murid-murid lainnya, lalu dia menunjuk kearah
tulisan yang baru saja dia tulis. Seketika perhatian seluruh kelas langsung
tertuju kearahnya. Bahkan Leila dan Sindy yang menyadari tingkah laku Zaki ini,
menolak untuk tidak melewatkannya. Sebuah tulisan kramat yang tertulis di bukunya
mengambil alih seluruh kelas. Tulisan yang berisikan :
Dimo,
jawaban dari no. 1 sampai no. 5 dong....
Aku langsung menarik buku tersebut dan
melemparkannya kearah Zaki. Aku sungguh tak percaya dengan apa yang aku lihat.
Aku tak percaya aku bisa mempunyai teman sepertinya.
Sungguh....
Memalukan....
Maka, aku kembali memutar kursiku
menghadap kembali ke posisi awal, lalu kembali melanjutkan tugas matematika
ini. Tak lama kemudian, Pak guru kembali memasuki kelas. Membuat suasana kelas
yang sebelumnya ramai, kembali menjadi tenang. Tapi, kali ini dia membawa tamu
bersamanya. Kak Indra dan Mbak Dinda memasuki ruang kelas bersamaan dengan Pak
guru. Dengan pakaian jas yang rapih nan formalnya, mereka memasuki ruang kelas.
Seluruh kelas langsung tertuju kepada mereka berdua.
Banyak yang bertanya-tanya siapa mereka
sebenarnya, namun aku, Zaki, Leila, dan Sindy tahu betul siapa mereka “(Kak Indra dan Mbak Dinda, apa yang
sebenarnya mereka lakukan disini?)” Aku memutuskan untuk tidak
memperhatikan dan kembali melanjutkan tugasku. Namun, isi dari pensil mekanikku
yang terus patah sepertinya bukanlah pertanda baik. Tetapi aku rasa aku
hanyalah berlebihan. Selagi aku masih memiliki cadangannya, itu bukanlah
masalah sama sekali.
“Dimo Ramadhan.”
Aku langsung mengangkat wajahku menatap
lurus kearah depan. Kurasa lagi-lagi aku mematahkan isi pensilku “Y-ya...?” Perhatian
seluruh kelas yang awalnya hanya tertuju kepada Kak Indra dan Mbak Dinda
langsung berpindah kearahku.
“Dipersilahkan untuk maju!”
“Ba-baiklah....” Dengan firasat buruk,
aku berdiri—bangun dari kursiku. Melangkahkan kakiku secara perlahan melintasi
kursi dan meja. Aku menengok kepada semuannya, satu-persatu. Tatapan-tatapan
yang aneh mulai dikeluarkan. Sebuah tatapan yang tak menyenangkan. Mereka juga
mulai berbisik diam-diam. Aku memutuskan untuk diam dan tak menegur mereka
seakan-akan aku tak melihat apa-apa. Semua itu menggangguku, sampai akhirnya
aku menengok kepada Sindy, Leila, dan Zaki.
Berbeda dengan yang lainnya, ekspresi
yang mereka keluarkan adalah ekspresi kekhawatiran. Menunjukkan betapa
pedulinya mereka kepadaku. Tatapan itu menghilangkan rasa tak nyaman yang dari
tadi terus menghantuiku. Sekarang, yang harus kulakukan adalah, mencari tahu.
Apa yang sebenarnya terjadi disini.
Kami menaiki sebuah mobil dan pergi
menuju Bum Corp. yang saat ini adalah salah satu markas besar dari ERASER. Aku
masih tidak mengetahui alasan mengapa mereka membawaku kesana. Disaat aku
bertanya, Kak Indra dan Mbak Dinda hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah
kata sedikitpun. Setelah beberapa menit mengalami perjalanan, akhirnya kami
sampai di depan pintu gerbang Bum Corp.
Akibat insiden tahun lalu, membuat
gedung Bum Corp. harus direnovasi. Sekarang, Bum Corp. sangatlah berbeda dengan
yang dulu. Sekarang ini adalah sebuah markas besar, yang mengemban tugas besar
yaitu menyelamatkan masyarakat dari seluruh monster yang ada. Setiap hari,
pintu gerbang tak pernah tertutup. Hampir setiap jam, setiap menit, dan setiap
detik, orang berlalu lalang melintasi pintu gerbang yang besar dan megah ini.
Dari pekerja kantoran, sampai anggota ERASER selalu melintas melaluinya.
Tetapi, walau begitu, dengan sistem keamanan yang baru, membuat tempat ini tak
bisa dilalui sembarang orang begitu saja.
Aku keluar dari dalam mobil. Menapakkan
sepatuku dari mobil, kejalan setapak. Sudah lama sejak aku terakhir kali
ketempat ini. Walaupun banyak yang sudah berubah, namun rasanya tempat ini selalu
membuatku takjub. Aku tahu bahwa Pak Bum memanglah seorang milyuner, tapi, aku
tak menyangka dia sampai bisa membuat tempat semegah dan seluas ini.
Sementara aku sedang melihat
sekeliling, Kak Indra menghampiriku dan menepuk pundakku “Kemarilah.” Aku
langsung menuruti perintah Kak Indra dan Mbak Dinda untuk masuk kedalam gedung.
Dengan statusnya sebagai pegawai lama, Kak Indra dan Mbak Dinda sangat
dipercaya sampai-sampai mereka tak harus melewati sistem keamanan terlebih
dahulu.
Walau begitu, ekspresi muram yang terus
mereka tunjukkan dari tadi, tak pernah berubah. Disaat aku sudah melalui
gerbang, seketika firasat tak enakku muncul kembali. Orang-orang dari ERASER
yang melintas dan melihatku langsung berhenti dan menatapu dengan tatapan penuh
kebencian. Bahkan mereka sampai melupakan aktivitas mereka dan melihatku dengan
tatapan penuh kebencian. Aku berhenti dan menengok kearah sekitar. Aku
menyadari bahwa seluruh orang yang berada disana sudah berhenti melangkahkan
kakinya dan menatapku dengan tatapan yang sama. Tatapan kebencian.
Menyadari aku yang berhenti berjalan, Mbak
Dinda menghampiriku dan mencoba menghiburku “Dimo, jangan pikirkan mereka.
Ayo.” Aku menuruti perkataan Mbak Dinda dan kembali melanjutkan langkah kakiku
menuju kedalam Bum Corp. tetapi aku tak mengerti sama sekali.
Kenapa
mereka menatapku dengan tatapan seperti itu.
Sesampainya didepan pintu, kami
dihadapkan dengan salah seorang ketua Divisi dari ERASER yang sedang bertugas
menjaga pintu. Kak Indra dan Mbak Dinda berdiri dengan tegak dihadapannya, lalu
memberi hormat. Ketua Divisi itu membalas hormat mereka, lalu Kak Indra dan Mbak
Dinda melaporkan diri mereka sebagai ketua dan wakil ketua Divisi 7 kepadanya. Ketua Divisi itu melirik
kearahku lalu mengambil sebuah foto dari kantung celananya. Dia lalu melirik
lagi kearahku dan kearah foto yang dipegangnya secara bergantian seakan-akan
dia sedang membandingkanku dengan foto itu. Tak lama setelah dia mengantungi
kembali foto itu, mereka mengangguk satu sama lain dan mempersilahkan kami
untuk masuk.
Setelah melewati pintu, mataku langsung
ditutupi oleh sebuah kain berwarna hitam yang diikatkan kekepalaku.
Dengan mata yang tertutup, mereka
menuntunku berjalan menuju ke sebuah tempat yang kurasa cukup jauh dari pintu
depan. Tanpa tahu kearah mana aku menuju, aku melangkahkan kedua kakiku secara
perlahan. Sampai akhirnya, mereka memintaku untuk berhenti berjalan. Kak Indra
melepas kain yang menutup mataku ini, lalu memintaku untuk duduk di sebuah
kursi yang ada di hadapanku. Aku berada disebuah ruangan yang cukup gelap.
Satu-satunya penerangan adalah lampu yang ada diatas kursi itu. Aku memeriksa
sekitar, tetapi aku tak bisa menemukan pintu keluar karena gelapnya ruangan.
Setelah melepas kain penutup mata, Kak Indra mundur memasukki bayang-bayang.
Aku memutuskan untuk menuruti apa kata
mereka dan duduk di kursi tersebut. Tak lama, Pak Bum menghampiriku. Beliau
memegang pundakku dan berkata “Dengar, Nak Dimo. Katakan yang sejujurnya.”
Setelah itu, beliau kembali menggerakkan kursi rodanya memasuki bayang-bayang.
Beberapa menit kemudian, muncul sebuah cahaya di hadapanku. Sebuah video
rekaman.
***
Isi video.
Suatu hari, ERASER mendapat informasi
mengenai keberadaan Shadow Player. Informasi itu menuntun mereka ke sebuah gua
yang ukurannta lebih luas dari luas sebuah lapangan sepak bola. Berdasarkan
informasi itu, ERASERpun membuat serangan berskala besar demi menangkap akar
permasalahan dari ini semua, yaitu Shadow Player. Sesuai informasi, banyak
monster yang keluar menghadang dari dalam gua tersebut. Membuat ERASER semakin
yakin dengan informasi tersebut. Panah-panah ditembakkan, pedang-pedang ditarik
dari sarangnya, peluru-peluru berjatuhan, perisai dihadapkan dengan segala yang
ada, bahkan sihir yang paling kuatpun dikerahkan demi menangkap monster itu.
Kak Indra yang memimpin regu penyergap
memimpin pasukan dengan berani dan semangat juang yang tinggi. Sementara Mbak
Dinda yang memimpin regu penembak siap mendukung serangannya dari belakang.
Mereka terus menekan monster-monster sampai mereka masuk kedalam titik dimana
cahaya tak sanggup memasuki gua. Penyerangan yang berjalan mulus itu berjalan
terlalu mulus sampai-sampai tak jatuh satupun korban dipihak ERASER.
Seakan-akan mereka memang mengundangnya untuk makan malam.
Setelah beberapa menit beristirahat,
merekapun melanjutkan penelusuran lebih dalam. Mereka sampai di sebuah
persimpangan. Membuat kedua regu yang ada harus membelah menjadi dua untuk
menelusuri persimpangan tersebut. Pilihan ini dianggap pilihan yang paling
tepat karena bisa menghemat waktu. Sebelum berpisah, mereka menyiapkan dua
drone untuk masing-masing tim. Drone tersebut digunakan untuk dokumentasi, dan
juga sebagai perantara untuk melakukan video call jika diperlukan. Regu
penyergap dan penembak yang bersama Kak Indra menelusuri terowongan bagian
kanan sementara Mbak Dinda sebaliknya.
Saat ditelusuri lebih dalam, Kak Indra
mulai merasakan keganjilan. Mulai dari menghilangnya monster-monster, sampai
sekan-akan mereka terus menerus berputar-putar. Akibat keanehan ini, Pak Bum
menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dan disengaja. Dari radio, muncul
suara panggilan dari markas pusat yang memerintahkan mereka untuk segera
mundur. Namun, sebelum perintah selesai diucapkan, komunikasi terputus.
Tiba-tiba komputer-komputer di markas pusat mengalami error. Membuat sistem
komunikasi terputus. Tentu saja ini bukanlah pertanda baik. Komunikasi sangatlah
dibutuhkan dalam kondisi seperti ini. Kak Indra terus-menerus mencoba memanggil
kantor pusat melalui radio, namun dia tetap tak bisa menghubunginya. Sistem
teleportasi juga rusak akibat insiden saat itu sehingga mereka harus
menggunakkan kaki mereka untuk pergi dari tempat itu.
Kak Indra langsung memerintahkan regu
yang bersamanya untuk segera pergi keluar dari dalam gua. Namun, saat mereka
berbalik, jalan yang mereka cari sudah tak ada lagi. Semua jalan yang mereka
lalui sebelumnya, berubah menjadi sebuah jalan buntu dari gua. Bahkan tak
terdapat celah sekecilpun. Kak Indra berusaha menghancurkannya menggunakkan
pedang airnya, namun itu percuma. Mereka berbalik dan mencari jalan lain, namun
setiap jalan yang mereka lalui selalu menuntun mereka ke jalan buntu lainnya.
“Sial...!” Kak Indra melampiaskan
kekesalannya dengan menendang sebuah batu yang terdapat di pinggir gua “Apa
yang harus kita lakukan?!” Tak lama, kabut mulai bermunculan dari celah-celah
yang ada di gua. Kabut yang awalnya tipis itu mulai menebal dan menyebar
keseluruh gua. Menyadari itu, Kak Indra langsung memerintahkan regu yang
bersamanya untuk tetap tenang dan berkumpul di satu titik untuk menghindari hal
yang tak diinginkan.
“Semuanya, tetap tenang dan tetap
bersama!” Tetapi semuanya terlambat. Saat dia sadari, kabut sudah memenuhi gua
dan menghalangi penglihatannya “(Gawat.
Aku terlambat.)” Di gua yang pada awalnya sunyi tersebut, mulai bermunculan
suara-suara teriakkan. Sebuah suara yang tak pernah diinginkan. Suara kesakitan
dari para anggota regu.
Suara tersebut satu persatu
bermunculan. Suara teriakkan yang memekakkan telinga itu semakin dekat dan
semakin kencang mendekati Kak Indra. Kak Indra menghitung jumlah dari teriakkan
yang muncul dan menyesuaikannya dengan jumlah anggota regu yang ada.
Walau tak bisa mempercayainya, jumlah
yang dia hitung dan jumlah dari anggota regunya, sama. Satu-satunya yang
tersisa hanyalah dia. Suara yang memekakkan telinga itu menghilang seketika.
Tergantikan dengan suara langkah kaki yang menggema di seluruh gua. Merasa
terancam, Kak Indra langsung menarik pedangnya keluar dari sarung pedang, lalu
dia memanipulasi pedang tersebut, mengubahnya menjadi pedang air yang sanggup
membelah batu sekalipun.
“Siapa kau sebenarnya?” Bersamaan
dengan pertanyaan yang dilontarkan, suara dari langkah kaki itu terhenti.
“Siapa aku? Kau tahu dengan pasti siapa
aku.” Langkah kaki yang terhenti itu muncul kembali dengan langkah yang lebih
cepat dari sebelumnya.
Dari serong kiri Kak Indra, pedangnya
membelah kabut dengan cepat. Namun dengan sigap Kak Indra langsung menepisnya.
Pedang itu kembali menghilang tertelan kabut. Menyadari itu, Kak Indra langsung
menebas pedangnya kearah dimana pedang itu berasal, namun dia tak bisa
menemukkan siapa-siapa disitu. Walaupun begitu, dia tetap tak mengurangi
pengawasannya. Kak Indra menengok kesana kemari, mewaspadai area disekitarnya,
menghitung kemungkinan dari arah mana serangan berikutnnya akan dilancarkan.
“Apa yang sudah kau lakukan kepada
rekan-rekanku?” Ada sebuah pedang dilemparkan kearahnya, pedang yang berbeda
dari yang sebelumnya. Kak Indra langsung menunduk dan tiarap. Saat dia sadari,
ternyata itu hanya pengalih perhatian. Pedang yang sama dengan serangan
sebelumnya tepat sedang diayunkan di atas kepalanya. Dengan tergesa-gesa, Kak
Indra menggelindingkan tubuhnya untuk menghindari serangan tersebut. Akibat
tindakannya yang tergesa-gesa, membuatnya menabrak dinding gua. Serangan itu
menyusulnya. Lagi-lagi dari dalam kabut, pedang-pedang dilemparkan kearahnya. Kak
Indra melompat menjauhi serangan tersebut “Jawab aku!”
“Bagaimana ya.... singkatnya sih...”
“....Mem-bu-nuh-nya....!” Dari
belakang, sebuah ayunan penuh dikerahkan kearahnya. Ayunan penuh yang membelah
kabut dan membuatnya semakin memudar. Membuat sebuah sayatan besar dipunggunya.
Akibat serangan itu, Kak Indra langsung reflek melompat menjauhi lokasi
serangan itu berasal.
Kak Indra memeriksa luka dipunggungnya
“Oi, oi, ini gawat....”
“Open the seal : Focus eye.” Mata Kak
Indra berubah menjadi berwarna biru, lalu bersinar. Membuatnya bisa melihat
setiap gerakkan yang ada disekitarnya. Bersamaan dengan kabut yang semakin menipis,
serangan terus menerus dikerahkan kearahnya. Dengan pedang airnya, Kak Indra
terus-menerus menepis serangan yang terus diarahkan kepadanya. Terus menunggu
celah muncul dari serangan tersebut. Tak lama kemudian, diserangannya yang
kesekian kali ini, celahpun muncul. Kak Indra langsung menepis serangan
tersebut dan menebas penyerang dicelah yang ada. Serangan itupun berhasil
dilancarkan. Membuat penyerang terluka dan harus mundur. Saat Kak Indra sadari,
kabut sudah menghilang sepenuhnya. Dia menyadari, inilah saatnya untuk melihat
siapa penyerang sebenarnya.
Dengan senyuman liciknya dan tatapannya
yang fokus kepada satu tujuan, yaitu membunuh, dia mengayunkan pedangnya
kesamping. “Kau....” Kak Indra tak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Luka
yang baru saja dia berikan kepada penyerang, sembuh begitu saja. Bahkan jaket
yang seharusnya sobek akibat serangan tadi, seakan-akan tak pernah sobek
sekalipun. Rambut dan wajah yang dikenalnya, tepat berdiri didepannya “Apa sekarang
kau sudah kenal denganku?”
“Dimo...?!”
“Kenapa kau melakukan ini?” Kak Indra
mengangkat pedang airnya, menunjuk Dimo yang berdiri tepat di hadapannya.
Dengan santai, Dimo menyarungkan kembali pedangnya.
“Apa masih belum jelas? Sudah pasti
untuk menghabisi kalian.” Dia membuka inventori miliknya, mengambil sebuah
pistol dan menembakkannya kearah Kak Indra.
Namun, dengan mudahnya Kak Indra
menangkap peluru-peluru tersebut menggunakkan pedang airnya. Sementara Kak
Indra yang sedang sibuk mengatasi peluru-peluru itu, Dimo langsung melesat kearahnya.
Sambil menembakkan peluru-peluru dari pistol di tangan kirinya, tangan kanannya
menarik pedang dan mengayunkannya dengan cepat kearah Kak Indra.
Serangan kombinasi itu membuat Kak
Indra harus melompat mundur menjauhi ayunan pedangnya. Akibatnya, satu peluru bersarang
dipundak kanan dan kaki kirinya. Disaat Kak Indra baru saja mendarat, Dimo
sudah tepat berada di hadapannya. Ayunan pedang dari Dimo langsung ditahan oleh
Kak Indra. Sementara serangannya tertahan, Dimo langsung menembakkan peluru
kearah kaki kanan Kak Indra untuk menghancurkan keseimbangannya. Menyadari itu,
Kak Indra langsung berbalik menendang tangan kiri Dimo dan membuat pistol yang
digenggamnya terlepas dan terlempar kesisi lain dari gua. Setelah itu, Kak
Indra langsung mendorong pedang Dimo yang dia tahan dengan pedang airnya.
Dengan segenap kekuatannya dia mendorong Dimo sampai punggungnya menabrak
dinding gua “Keparat, siapa kau sebenarnya?”
“Lho, apa kau tidak mengenalku? Aku ini
Dimo.” Pedangnya langsung bercahaya. Cahaya berwarna merah gelap seperti darah.
Cahaya berwarna merah itu menerangi seluruh gua sampai ketempat gelap
sekalipun. Kak Indra langsung menyadari bahwa pedang air yang dipegangnya mulai
mendidih akibat menahan cahaya berwarna merah itu.
“(Pedangnya....)”
Kak Indra mengubah pedangnya menjadi
pedang biasa lalu melompat menjauh. Dengan sigap, Dimo merespon gerakan Kak
Indra dengan mengayunkan pedangnya yang sudah bercahaya. Cahaya yang terdapat
di pedangnya langsung terlempar setelah dia mengayunkan pedangnya. Cahaya
berwarna merah itu mulai berubah menjadi seperti pecahan-pecahan kecil dari
bulan itu melesat dengan kecepatan tinggi. “(Itu... Moonlight Shard?!) Open the seal : Water Sword.” Pedang yang
Kak Indra pegang di tangan kanannya kembali berubah menjadi air. Lalu, dia
menancapkan pedangnya kedalam tanah. Seketika, air yang terdapat di pedangnya
langsung mengalir masuk kedalam tanah.
Tak lama kemudian, air yang sebelumnya
terserap kedalam tanah mulai keluar di depan pedang. Air tersebut memancur
keluar dari dalam tanah, menciptakan sebuah tembok air yang besar. Kak Indra
menarik kembali pedangnya dari dalam tanah lalu menusukkannya kedalam tembok
air kokoh yang tepat didepannya.
Air yang dingin itu langsung berubah
menjadi es yang dingin dan keras yang cukup kuat untuk menahan serangan
Moonlight Shard. Es itu meledak. Dari balik asap akibat ledakan es, Dimo sudah
siap mengayunkan pedangnya. “Gawat....!” Akibat ledakan yang terjadi sebelumnya,
pedang yang tertancap di tembok es langsung terlempar ketempat dimana Kak Indra
tak bisa menggapainya. Kondisi ini membuatnya harus menunduk menghindari ayunan
serangan dari Dimo. Dia beruntung, itu adalah detik-detik terakhir sebelum
kemampuan fokusnya habis sehingga membuatnya dapat selamat dari serangan
tersebut.
Namun, efek samping dari kemampuan
fokus mulai muncul disaat yang tak diinginkan. Efek samping dari kemampuan itu
membuat penglihatan Kak Indra mengalami rabun selama beberapa menit.
Keadaan
gua yang gelap saja sudah menyulitkannya, apalagi kondisi seperti ini.
Kak Indra kehilangan keseimbangannya
dan terjatuh akibat terpeleset setelah menginjak salah satu bongkahan es.
Disaat penglihatannya yang mulai memburuk, Kak Indra melihat pedangnya tepat
ada di belakangnya. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Kak Indra langsung
bangun dan berlari untuk menggapai pedang tersebut.
Tetapi Dimo sudah mendahuluinya dan
menendang pedang tersebut menjauh dari Kak Indra. Dia mengangkat
pedangnya—mengacungkannya kearah Kak Indra lalu berjalan perlahan mendekatinya
“Ini sudah berakhir...!” Dimo mengayunkan pedangnya kearah Kak Indra tanpa ragu
sedikitpun.
Besi dingin berwarna perak itu
diayunkannya tanpa adanya rasa ragu sedikitpun. Tetapi, tiba-tiba Kak Indra melihat
sebuah cahaya berwarna merah terpantul dari pedang tersebut. Dia sadar bahwa
refleksi tersebut berasal dari suatu tempat yang tak jauh darinya.
“Open the seal : Fire punch.”
Mbak Dinda mendarat disampingnya.
Dengan kepalan tangannya yang membara, dia memukul wajah Dimo. Dorongan dari
api ditangannya yang panas itu membuat Dimo terlempar sejauh beberapa meter dan
menabrak dinding gua. Mbak Dinda langsung memanfaatkan momen tersebut dengan
mengambil pedang milik Kak Indra lalu mengambil bom asap dari inventorinya.
Dari jari telunjuknya keluar kobaran api seperti sebuah pemantik. Dia
menyalakan sumbu dari bom asap tersebut menggunakkan api yang muncul dari jari
telunjuknya lalu melemparkan bom asap tersebut ke tanah. Dia membantu Kak Indra
untuk berdiri, lalu langsung pergi dari tempat itu sebelum asap yang dihasilkan
bom asap mulai habis.
Setelah berhasil meloloskan diri dan
beberapa menit berjalan menelusuri gua yang gelap, Kak Indra dan Mbak Dinda
memutuskan untuk beristirahat selama beberapa saat. Mereka berhenti berjalan
dan duduk di pinggiran gua. Sempat terjadi kesunyian sesaat diantara mereka.
Udara di gua yang dingin menambah kesan tersendiri dikesunyian itu. Tetasan air
menetes dari langit-langit gua, melubangi batu yang ada di bawahnya sehingga menciptakan
sebuah lubang besar yang penuh dengan genangan air. Mbak Dinda yang mulai
merasa canggung dengan kesunyian ini mulai mencari cara untuk memulai obrolan.
Dia melirik kearah Kak Indra, dan tak sengaja melihat luka yang ada di
punggungnya. “I-ini, ambillah! Walau ini takkan mengobati luka di tubuh aslimu,
setidaknya ini bisa menghilangkan rasa sakitnya untuk sementara waktu.” Mbak
Dinda mengambil sebuah botol ramuan penyembuh dari inventorinya.
“Terima kasih...” Kak Indra membalasnya
dengan senyuman hangat lalu menerimanya lalu meminum ramuan berwarna merah
tersebut.
“Te-tetapi, apa tadi itu benar-benar
Dimo?”
Kak Indra selesai meminum ramuan itu,
lalu melihat kepada refleksi dari dirinya yang terpantul di botol kaca ramuan
tersebut. “Aku tidak yakin....” Tak lama, ramuan yang sudah selesai diminumnya
mulai bercahaya lalu menghilang. Walau hanya sebentar, cahaya itu menerangi
seluruh area gua. “Ngomong-ngomong, Dinda.... kemana perginya anggota regu yang
sebelumnya bersamamu?”
“Aku memerintahkan mereka untuk pergi
keluar terlebih dahulu.”
“Tunggu dulu, maksudmu kau pergi
sendirian hanya untuk menyelamatkanku? Kenapa? Kau seharusnya pergi bersama
mereka.” Kak Indra langsung menengok kearah Mbak Dinda. Dengan suaranya yang
lantang dan kencang, dia mengatakan semua itu.
Mendengar teguran itu, Mbak Dinda
langsung tertunduk dengan pipinya yang agak memerah “Maaf, hanya saja.... aku
ingin menyelamatkanmu....” Melihat reaksi Mbak Dinda yang tak diduganya, Kak
Indra tersadar bahwa yang sudah dikatakannya sudah berlebihan. Dia menghela
nafas dalam-dalam dan memalingkan wajahnya.
“Maafkan aku.... Kurasa aku sudah
terlalu berlebihan.” Lagi-lagi, keheningan tercipta diantara mereka berdua. Tak
ada satupun dari mereka yang tahu bagaimana cara untuk memulai kembali
pembicaraan. Yang ada hanya suara tetesan air.
Tak lama, mulai muncul suara dari
radio. Seketika, Mbak Dinda yang sebelumnya hanya terdiam tertunduk menatap
ketanah, langsung terangkat bersamaan dengan munculnya suara itu. Begitu pula
dengan Kak Indra, dia langsung melupakan apa yang sebelumnya sudah terjadi
seakan-akan itu tak pernah terjadi sama sekali. “Halo? Apa ada yang mendengar?” Suara panggilan dari markas mulai
muncul. Dengan sigap, Kak Indra langsung membalasnya, memberitahu kondisi
mereka, dan meminta bala bantuan secepatnya.
***
“(Apa-apaan.....)”
Sebuah video rekaman dari insiden
penyerangan yang diduga dilakukan olehku. Dengan mata kepalaku sendiri, aku
melihatnya. Aku melihat seseorang yang nampak sama sepertiku sedang bertarung melawan
Kak Indra.
“Itu adalah rekaman dari insiden
penyerangan yang terjadi tiga hari yang lalu. Kami berhasil merekam insiden
tersebut dengan sebuah drone.” Kak Indra mematikkan rekaman tersebut lalu
menghampiriku. “Dimo, jawab sejujurnya. Apakah benar, orang yang dilawanku itu
adalah kau?” Sontak, aku langsung berdiri dan membantah pertanyaannya.
“Te-tentu saja bukan aku!”Aku
menjawabnya dengan penuh terbata-bata. Saat itu aku begitu panik. Tiba-tiba
dihadapkan dengan tuduhan seperti ini benar-benar membuatku kacau. “Aku bahkan
sama sekali tak tahu mengapa bisa ada sosok yang menyerupai diri—”
Tiba-tiba, kursi yang berada di belakangku
menjadi hancur. Hancurnya kursi itu langsung membuatku sepenuhnya bungkam. Aku
menengok ke belakang, dan menemukan seorang wanita yang membelah kursi itu
dengan pedang besarnya.
“Anna?! Apa yang kau lakukan disini?” Kak
Indra langsung berjalan ke depanku, dan mendorongku ke belakangnya.
“Menuntut keadilan!”
“Dimo, lari!” Kak Indra mengscan
jarinya lalu mendorongku menjauh dari tempat itu. Aku tak mengerti apa yang
sebenarnya sedang terjadi, tapi aku memutuskan untuk menuruti perintah dari Kak
Indra dan pergi menjauh. Lampu-lampu menyala kembali, ruangan yang awalnya
gelap berubah menjadi penuh penerangan. Aku melihat ada sebuah pintu di sudut
ruangan, tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke pintu tersebut.
“Takkan kubiarkan!”
Dari belakangku, muncul dua orang
berjubah dan bertudung berlari mengejarku. Mereka melompat lalu menembakkan
bola-bola api kearahku. Aku menghindar dengan melompat menjauh saat bola api
tersebut ditembakkan kearahku.
Aku menengok ke belakang dan melihat
lantai-lantai yang gosong akibat terkena bola api yang panas itu “Hampir
saja... (Aku tak bisa membayangkan
bagaimana jadinya jika aku terkena bola api itu...)” Namun, walau aku bisa menemukan lantai yang
gosong, aku tak bisa menemukkan kedua orang bertudung yang menyerangku tadi. Aku
kembali menengok ke depan, dan menemukkan mereka yang sudah berada didepan
pintu—bersiap untuk menembakkan laser kearahku “Gawa—” Aku menunduk sesaat
laser itu ditembakkan sehingga aku berhasil menghindarinya.
Sambil menunduk, aku merangkak
menghampiri mereka lalu kutendang kaki mereka. Setelah mereka terjatuh, aku
langsung berlari mememasukki pintu. Aku berlari dari satu lorong ke lorong
lainnya tanpa tahu arah kemana aku pergi. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah
persimpangan. Aku menengok kebelakang dan tak menemukan dua orang berjubah yang
mengejarku. Aku rasa aku sudah berhasil melarikan diri dari mereka.
“Kenapa mereka mengejarku?”
Aku mengatur nafasku lalu membeli sebuah
minuman kaleng rasa jeruk dari mesin penjual minuman yang terdapat di pinggir
lorong. Sambil meminum es jeruk, aku melanjutkan perjalananku melalui salah
satu persimpangan dari dua persimpangan yang ada.
Namun, disaat aku sedang meneguk es
jeruk, tiba-tiba kaleng dari es jeruk tersebut terlempar dari genggamanku. Air
jeruk tertumpah dari dalam kaleng tersebut. Saat aku sadari, terdapat sebuah
lubang besar di tubuh kaleng. Perlahan, aku menengok ke belakang sambil
berharap bahwa dugaanku ini salah.
Bola api ditembakkan, aku langsung
menunduk menghindar dari serangan yang berbahaya tersebut. Dengan segenap
tenaga yang tersisa, aku langsung mengambil langkah seribu.
***
“Apa yang terjadi?” Zaki berhenti
berlari sesaat setelah dia melihat para anggota ERASER yang terus berlarian
kesana kemari. Perilaku mereka yang nampak sangat kewalahan membuat pertanyaan
bermunculan dibenak Zaki.
“Ada apa, Zaki?” Leila dan Sindy ikut
menghentikan langkah kakinya seketika setelah Zaki berhenti berlari. Pertanyaan
itu membangunkan Zaki dari lamunannya, membuatnya kembali teringat dengan
tujuan awal mereka kesana.
“Tidak, tidak ada apa-apa. Ayo!” Zaki
yang awalnya terhenti kembali melangkahkan kakinya menghampiri pintu depan dari
Bum Corp. Kondisi didalam gedung yang tak jauh berbeda dengan kondisi diluar
tak membuat Zaki terkejut. Diapun merogoh saku celananya, mengambil smartphone
miliknya lalu mencoba menelponku. Namun, telephone tersebut tak kunjung
mendapat tanggapan. Diapun mencoba cara lain dengan mencari Kak Indra dan Mbak
Dinda. Untuk itu, Zaki bertanya ke salah satu ketua Divisi mengenai lokasi Kak
Indra saat iini.
“Kalian....” Disaat Zaki sedang
bertanya kesalah satu anggota, Kak Indra tak sengaja melintas melaluinya. Dia
langsung terhenti seketika setelah melihat kedatangan Zaki, Leila, dan Sindy.
“Kak Indra?!” Zaki yang awalnya hendak
akan bertanya langsung mengurungkan niatnya. Namun, dia menyadari satu hal
penting yang menghilang “Tunggu dulu, dimana Dimo?”
Kak Indra menghela nafas lalu kembali
berjalan “Ayo, ikut aku. Akan kujelaskan semuanya di jalan.” Tanpa pikir
panjang, Zaki, Leila, dan Sindy langsung pergi mengikuti Kak Indra tanpa tahu
kemana mereka akan pergi. Diperjalanan, mereka bertemu dengan Mbak Dinda yang
juga sedang hendak mencariku.
“Apa kau sudah menemukannya?”
“Belum, tapi mereka mungkin bisa
membantu kita.” Kak Indra menengok kearah Zaki, Leila dan Sindy. Zaki langsung
berjalan menengahi mereka lalu memotong pembicaraan.
“Tunggu dulu, sebenarnya apa atau siapa
yang sedang kita cari?”
Tetapi, Kak Indra dan Mbak Dinda tak
kunjung menjawab pertanyaan itu. Melihat reaksi mereka berdua semakin membuat
Zaki merasa bahwa ada yang tak beres. Tak lama kemudian, Sindy yang awalnya
diam, mulai berjalan menghampiri Zaki “Zakarya benar, kita tak bisa begitu saja
mengikuti kalian tanpa tahu apa yang sedang terjadi.” Kata-kata itu langsung
membuat Kak Indra dan Mbak Dinda tersadar bahwa tak ada pilihan lain selain
menjelaskan seluruh situasi yang terjadi.
“Baiklah, akan kujelaskan....”
“Gaswat, gaswat, gaswat, gaswat, gaswat.....!!!
Kapan ini akan berakhir?” Aku berlari menyusuri gedung tanpa tahu arah
sebenarnya aku pergi. Bagaikan domba yang tersesat di hutan yang penuh dengan
serigala dimalam hari. Sambil berlari, aku menengok kebelakang. Berharap bahwa
aku sudah berhasil melarikan diri dari mereka. Tetapi, kedua orang berjubah dan
bertudung tersebut masih saja mengejarku. Mereka melemparkan dua bola api
berukuran raksasa kearahku, namun aku menyadari itu dan langsung berbelok
kekoridor disebelah kananku. Hasilnya, kedua bola api itu berhasil kuhindari.
Namun, tanpa kuduga, aku melihat seorang perempuan di ujung koridor. Perempuan
yang nampaknya pernah kujumpai sebelumnya. Aku terus berlari dan terus berlari
tanpa menghiraukannya sampai pada akhirnya aku teringat. Dia adalah perempuan
yang menghancurkan kursi dimana aku duduk saat diinterogasi tadi. “Gaswat.....”
aku langsung menghentikan langkah seribuku dan berbalik, mencoba untuk
menghindari perempuan itu. Tapi nampaknya aku lengah, aku lupa bahwa dua orang
berjubah dan bertudung itu masih mengikutiku. Kurasa takkan ada yang membantuku
dikarenakan mereka menghancurkan setiap kamera pengawas yang mereka lalui. Tak
ada pilihan lain selain menghadapi mereka.
Akupun berhenti berlari, mencoba
mencari cara untuk mengecoh mereka bertiga. Dengan penuh percaya diri, aku
mulai kembali berlari kearah dua orang berjubah tersebut.
Disaat mereka melafalkan mantra dan
mengumpulkan energi untuk membuat bola api, aku tetap berlari kearah mereka.
Sejak berlari tadi, aku terus menghitung waktu yang dibutuhkan untuk mengisi
energi bola api dan waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkannya, dan tentu saja,
membawa bola api berenergi tinggi seperti itu membutuhkan konsentrasi yang tinggi.
Lalu, aku melihat efek yang terjadi kepada tembok ketika bola api tersebut
mengenainya. Tembok akan mulai terkikis dan hancur dengan sendirinya karena tak
kuat menahan energi dari bola api yang amat panas. Dengan data yang sudah
kukumpulkan itu, aku terus berhasil menghindar dari serangan tersebut.
“Kalau begitu....” Aku berlari melintas
diantara mereka berdua, membuat mereka harus berbalik untuk mengejarku.
Tetapi, disaat mereka berbalik, mereka
tak menemukanku. Tanpa mereka duga, aku berada ditengah-tengah mereka. Menunduk
diam dan menunggu waktu yang tepat. Aku menarik kaki mereka, membuat mereka
terjatuh dan membuat mereka kehilangan konsentrasi. Akibatnya, bola api yang
awalnya mereka bawa tertembak ke plafon koridor, membuatnya mulai runtuh. Tentu
saja aku sudah menduga itu dan segera berlari mundur. Sementara puing-puing
mulai berjatuhan, mereka mencoba untuk berdiri dan berlari menghindar.
Namun, mereka tak sanggup berdiri
maupun berlari karena kaki mereka yang kuikat satu sama lain dengan sabukku
saat aku menunduk tadi. Dengan begitu, mereka tertimpa puing-puing dan tak
sadarkan diri. Kondisi mereka itu membuat sistem memutus koneksi dan membuat
mereka terlog-out dengan sendirinya. Tapi, aku yakin mereka akan baik-baik saja
karena sistem Start Point yang akan meminimalisir luka yang terjadi terhadap
tubuh asli. Yah, kurasa aku harus membeli sabuk baru.
Dengan begini, runtuhnya plafon tadi
membuat salah satu jalan kaburku menjadi terhalang oleh puing-puing yang ada.
“Kurasa tinggal kita berdua.” Aku
berbalik dan melihat perempuan yang sejak tadi terus-menerus terdiam di ujung
koridor. Perempuan berambut ungu sepanjang pundak itu terus terdiam menatapku
dengan tatapannya yang penuh kebencian kepadaku. Entah apa yang sudah kulakukan
sehingga membuatnya membenciku seperti itu. “Kenapa kalian mengejar dan
menyerangku?” Aku berjalan menghampirinya sembali membersihkan seragam putihku
dari debu.
“Jawablah!” Aku mencoba membentaknya
sampai-sampai membuat suaraku bergema di seluruh koridor, namun dia tak
menjawab maupun mengeluarkan suara sama sekali.
Aku terus mengulang pertanyaanku,
sampai akhirnya dia mulai angkat bicara “Diamlah....” Tetapi volume suaranya
yang kecil membuatku tak sanggup mendengarnya.
“A-apa? Apa kau bisa mengulanginya
lagi?”
“Diam kau!!” Dia meneriakkan kata-kata
itu dengan sangat kencang sembari berlari kearahku dengan kecepatan yang tak
biasa. Kakinya bercahaya begitu terang.
“Ap—” Tanpa kuduga, perempuan itu sudah
berada di hadapanku. Kecepatannya yang luar biasa membuatku tak berkutik dan
tak sanggup menghindar. Dia menarik pedang dari sarungnya, lalu mengayunkannya
kearahku dengan cepat. Serangan itu nyaris saja mengenaiku, untungnya, serangan
itu hanya menggores baju putih dan dasi abu-abuku. Aku melirik kearah bajuku
sebentar, lalu dengan cepat kembali melihat kearah perempuan tersebut. Namun,
dengan cepat dia sudah disampingku dan siap mengayunkan pedangnya. Dengan kedua
tanganku, aku langsung menahan tangan kanannya yang memegang pedang tersebut.
“Te-tenanglah..... Ma-maafkanlah apapun
yang sudah kulakukan kepadamu sehinga membuatmu marah seperti ini.” Aku terus
menahan tangan kanannya yang memegang pedang, tetapi dia terus memusatkan
energinya ke pedang tersebut sehingga membuatku semakin kewalahan menahan
serangan itu. Pedangnya yang kutahan sedikit demi sedikit semakin mendekati
leherku “Ki-ki-kita bisa membicarakan ini baik-baik....” Kataku terbata-bata.
Aku langsung menendang kaki kanannya dan membuatnya setengah berlutut, sehingga
pedang tadi berhasil dijauhkan dari leherku. Tetapi, dengan cepat dia
membalikkan keadaan dengan memukul perutku menggunakkan gagang pedangnya.
“Open the seal : Light Hand.” Telapak
tangan kirinya mulai bercahaya, cahaya berwarna putih yang sangat terang. Dia
mengarahkan telapak tangannya kedepan mataku, menggunakkan cahaya tersebut
seperti efek flash yang timbul dari
kamera saat memotret.
“Mataku—”
Cahaya tersebut langsung membuatku tak
bisa melihat apa-apa. Aku langsung terjatuh kebelakang akibat tersandung salah
satu puing-puing.
“Menyerahlah! Tenang saja, aku pasti
akan memberimu kematian yang cepat!” Tak lama kemudian, penglihatanku mulai
kembali. Tetapi, itu hanyalah kabar baik sementara. Hal pertama yang kulihat
adalah mata pedang dari perempuan itu yang menghadap langsung kearahku. Saat
kusadari, kedua tanganku sudah diikat dengan tali.
“A-anu..... Apakah ada pilihan yang
lain?” Perlahan, aku mencoba berdiri sementara mata pedang tersebut
terus-menerus diarahkan keleherku. Aku melangkah mundur perlahan-lahan sampai
akhirnya aku menabrak tembok dibelakangku. Perempuan itu tak mendengarkan
kata-kataku dan dengan perlahan mengangkat pedang. Kedua tangannya memegang
pedang itu dengan sangat erat, matanya tepat tertuju kearahku sampai-sampai tak
ada keraguan sedikitpun terpancar. Sampai akhirnya pedangnya mencapai puncak.
Aku memejamkan kedua mataku, berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi dan aku
akan terbangun setelah aku membuka kembali mataku.
“Dimo!” Aku mendengar suara Zaki. Entah
kenapa aku mendengar suara manusia
seperti dia. Aku memberanikan diriku untuk membuka kedua mataku. Tak ada yang
berubah dari yang kulihat. Perempuan itu masih saja berdiri di hadapanku dengan
mengangkat kedua tangannya yang siap untuk menebasku.
Tunggu
dulu, kenapa dia tak melakukannya?
Perlahan, aku menengok kearah pedang
yang dia genggam. Pedang tersebut tertahan oleh sebuah aliran air. Seakan-akan
air tersebut menahan pedang itu untuk tidak diayunkan. Aku melihat aliran
panjang air tersebut yang berasal dari koridor dimana perempuan itu berasal.
Dari salah satu belokan, Kak Indra datang dengan kondisi log in. Saat kusadari,
aliran air tersebut berasal dari pedang miliknya “Sudah cukup, Anna!” Dari
belakang, Mbak Dinda, Zaki, Leila dan Sindy datang mengikutinya.
Zaki langsung berlari kearahku dan
melepas tali yang mengikat tanganku “Apa kau tidak apa-apa, Dimo?” Melihat Zaki
yang kesulitan melepas tali yang mengikatku, Sindy dan Leila langsung
membantunya.
”Ya, berkat kalian, aku masih utuh.”
Aku tertawa kecil, merasa lega karena mereka datang menyelamatkanku. Sementara Kak
Indra menarik pedang itu dari genggaman Mbak Anna dan melemparnya menjauh dari
dia.
“Kenapa kau menghentikanku, Indra si
Hantu Air?“
“Kau harus tenang, bocah ini tidak tahu
ap—”
“Tidak tahu apa-apa?” Anna berbalik dan
membentak Kak Indra. “Tidak salah lagi, dialah pelakunya! Kenapa kau
menghentikanku untuk membunu—”
“Membunuhnya? Apa dengan membunuhnya
akan membuat Andri kembali?” Samber Indra dengan tegasnya. Kak Indra
menyarungkan kembali pedangnya, lalu memegang pundak Mbak Anna. “Apa kau yakin
ini yang diinginkan Andri? Apa kau yakin, dia akan senang melihat dirimu
menjadi seorang pembunuh berdarah dingin?” Seketika, Mbak Anna langsung
tertunduk. Rasa benci yang terpancar dari kedua matanya langsung sirna. Dia
menjatuhkan lututnya, lalu mengusap wajahnya. Tanpa dia sadari, air mata mulai
mengalir jatuh dari matanya. Perasaan sedih yang selama ini terbendung oleh
rasa bencinya langsung tertumpah.
“Sebenarnya, apa yang terjadi.....?”
Aku berbisik ke Zaki, Leila dan Sindy. Mbak Dinda yang tak sengaja mendengar
pertanyaanku langsung menghampiriku.
“Dia adalah Anna Nirmawati, ketua dari Divisi
ke-4. Dua hari yang lalu, wakil divisinya sekaligus tunangannya yang bernama
Andri, telah dibunuh oleh orang yang berpenampilan mirip denganmu.” Aku
tertegun. Sekarang aku mengerti, mengapa dia menatapku dengan tatapan yang
penuh dengan kebencian. Sekarang aku mengerti mengapa dia sangat ingin
menghabisiku. Aku menghampiri Mbak Anna, lalu mengulurkan tanganku. Mbak Anna
yang menyadarinya, langsung mengusap wajahnya lalu menengok kearahku.
“A-anu, mungkin ini terdengar lancang
tapi..... Aku akan membuktikan bahwa diriku tidaklah bersalah, dan aku
berjanji, aku akan membantumu menangkap pelaku sebenarnya.” Mbak Anna meraih
tanganku, lalu membantingku.
“Kau tidak perlu repot-repot jika
kaulah pelakunya.” Dia lalu pergi meninggalkanku dan yang lainnya “Sampai jumpa
lagi. Tuan penangkap pelaku sebenarnya.”
Setelah itu, aku, Kak Indra, Mbak
Dinda, Zaki, Leila, dan Sindy kembali kedalam ruang interogasi. Setelah
dilakukan beberapa tes, terbukti bahwa aku berada di tempat yang berbeda saat
penyerangan di gua terjadi. Tetapi, tetap dilakukan pengawasan terhadapku.
Selama 12 jam sehari, aku akan diawasi oleh salah satu ketua Divisi dan
divisinya. Orang yang bertugas mengawasiku adalah Mbak Anna, kurasa dia
mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan dalam misi ini. Dan karena kondisi
yang terjadi, aku terpaksa harus menjadi salah seorang anggota ERASER di Divisi
yang dipimpin oleh Mbak Anna, karena itulah dia yang bertugas menjadi
pengawasku. Berbeda denganku, Zaki, Leila, dan Sindy berada di Divisi 7 yang
diketuai oleh Kak Indra.
***
Mulai saat itu, setiap hari, selama 12
jam, Mbak Anna akan terus mengawasiku. Dari pagi, hingga sore hari. Mau di
sekolah, di rumah, di toko swalayan, di jalan, di manapun, dia akan terus
mengawasiku.
“Anu.... kurasa sudah lebih dari 12 jam
deh.” Aku memergoki Mbak Anna yang sedang membuntutiku di taman di jam 8 malam.
Saat itu sudah melampaui waktu pengawasan. Dia yang sedang terduduk di sebuah
kursi yang bersebelahan dengan mesin penjual minuman. Sembari meminum sebuah es
jus lemon, dia langsung berpura-pura bahwa dia tak mendengar pernyataanku tadi
dan bersiap untuk pergi meninggalkanku.
Penampilannya yang mencoloklah yang
membuatku mudah menemukannya. Bayangkan saja, orang macam apa yang mengenakkan
mantel tebal, berkacamata hitam, memakai masker, dan memakai topi dimalam hari
yang dingin seperti ini. Sebelum dia sempat meninggalkanku, aku menarik
mantelnya “Kau mau pergi kemana, Mbak Anna?” Dia berbalik lalu berprilaku
seolah-olah tidak pernah mendengar nama itu dengan berpura-pura mengingat lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ti-tidak, sepertinya kau salah orang.”
“Oh, begitu ya...” Aku langsung menarik
kacamatanya, lalu melepas topinya “....sekarang, apa aku masih salah orang?”
Karena sudah tidak punya cara untuk
mengelak, Mbak Anna melepas masker dan mantelnya lalu duduk kembali di kursi
”Baiklah, kau menang.”
“Kenapa kau masih mengikutiku? Bukankah
ini sudah lewat jam pengawasan?” Aku membeli dua buah jus dari mesin penjual
minuman lalu memberikan satu kepada Mbak Anna.
“Terima kasih....”
Aku membuka minuman kaleng itu lalu
meminumnya sementara Mbak Anna yang terus terdiam—enggan meminumnya dan menaruh
kaleng itu di sebelahnya. Sebuah lampu jalan menjadi satu-satunya penerangan di
tempat itu, aku melihat sebuah serangga ngengat yang terus terbang mengitari
lampu itu tanpa tahu kapan akan berhenti. Cahaya berwarna putih kekuningan yang
dipancarkan oleh lampu yang nampak seperti matahari-lah yang membuat ngengat
itu begitu tertarik dengan cahayanya.
Aku melirik kearah Mbak Anna yang terus
terdiam—menunduk menatap kearah genangan air yang memantulkan pancaran cahaya
dari lampu dan cahaya bulan yang berwarna perak terang “Hei, mengenai seseorang
yang telah... kau tahu.... membunuh tunanganmu..... Bagaimana penampilan orang itu...?”
Wajahnya langsung terangkat dan menengok kearahku, seketika dia terbangun dari
lamunannya setelah mendengar pertanyaan dariku. Tetapi, ekspresinya yang kosong
langsung berubah menjadi ekspresi kekesalan. Kurasa aku telah menekan tombol
yang seharusnya tak pernah kutekan.
“Wajah yang sama dengan wajah yang
sedang kutatap saat ini.” Mendengar jawabannya dan ekspresinya saat ini membuat
diriku merasa sedikit tidak nyaman.
“Be-begitu ya....” Aku membuat senyum
palsu dan langsung mundur beberapa meter menjauh darinya, namun dia terus
mendekatiku dengan ekspresi kesalnya yang menyeramkan. Aku terus-menerus mundur
sampai akhirnya aku menabrak mesin penjual minuman di belakangku. Aku kembali
menengok kearah ngengat tadi yang rupanya sudah tidak mengitari lampu dan
berhinggap di tiangnya. Aku kembali melihat kearah Mbak Anna yang sudah tepat
berada dihadapanku.
Aku memejamkan mataku, karena aku tak
ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pluk
Aku mendengar sebuah suara pembuka
kaleng yang terbuka. Aku buka kedua mataku dan melihat Mbak Anna yang sedang
meneguk minuman kaleng yang kubeli tadi. Dia meneguk habis seluruh jus dan
melemparnya kearah tempat sampah yang terletak tak jauh dari kursi dimana kami
berada. “Yah, begitulah. Sampai nanti, Dimo.”
Mbak Anna berdiri dan pergi
meninggalkanku begitu saja. Aku menghela nafas lega atas kepergian Mbak Anna,
lalu meneguk minuman kaleng yang sedang kugenggam. Tetapi, tanpa kusadari, itu
hanyalah sebuah kaleng kosong. Seluruh isi dari minuman tersebut sudah tumpah
sesaat aku mundur tadi. Akupun melirik kembali ke arah tiang. Kusadari bahwa
ngengat yang hinggap tadi sudah menghilang. Kulihat tempat sampah tadi, lalu
kulempar kaleng minuman ini kearahnya. Tetapi, lemparanku meleset sehingga
kaleng minuman itu membentur tubuh dari tempat sampah dan terjatuh di depannya.
Kuambil kaleng minuman tersebut, lalu memasukkannya kedalam tempat sampah.
***
“Dimo, hari ini pergi berburu monster
bersamaku, yuk.” Aku menengok ke belakang, melihat Zaki yang seperti biasa
bersandar di kursinya yang menghadap terbalik.
Sudah kuduga akan begini jadinya. Saat
aku sedang mencari alasan, aku tak sengaja melirik ke luar jendela—melihat awan
mendung yang menutup langit. Membuatku teringat dengan ramalan cuaca tadi pagi.
“Tidak, aku tidak ikut. Ramalan cuaca hari ini mengatakan bahwa hari ini akan
turuh hujan deras.” Aku utarakan kata-kata menjadi alasanku untuk menolak
ajakanannya. Aku kembali menengok kedepan untuk merapihkan buku-buku dan alat
tulisku dan bersiap untuk pulang.
“Sungguh?! Gawat, aku tidak membawa
payung.” Zaki langsung berlari keluar ruang kelas dan melihat langit yang
nampak mendung. Tak ada satupun awan putih yang menyelimuti langit, hanya
terdapat awan berwarna hitam kelam yang menyelimuti langit tanpa ada celah
sedikitpun.
Aku sedikit menjitak kepala Zaki
menggunakkan payung yang kupegang. Setelah Zaki berbalik, dia melihat payung
milikku yang kupegang.
“Ambil ini....”
“Apa kau yakin? Lalu, bagaimana
denganmu?”
“Hari ini aku membawa dua payung.” Aku
menunjuk kearah payung yang tersimpan di dalam tas milikku. Zaki tersenyum lega
lalu meraih payung yang kugenggam.
“Sip, terima ka—”
“Tetapi, dengan satu syarat. Selama
seminggu ini, jangan sekali-sekali kau mengajakku untuk bermain game online
maupun offline.” Aku memotong kata-katanya, lalu menarik mundur payung yang
hendak akan kupinjamkan.
Zaki mengangkat jempolnya lalu
mengambil payung milikku “Oke.”
Tak lama kemudian, hujan turun. Di perjalanan
menuju ke gerbang sekolah, aku melihat Leila yang sedang berteduh di depan pos satpam. Walau begitu, nampak
pakaiannya sudah sedikit basah karena hujan. Sesekali dia mengulurkan tangannya
kedalam hujan untuk memeriksa tingkat kederasan hujan. Disaat dia sedang
memeriksa kederasan hujan, tiba-tiba tak ada satupun air hujan yang menetes di
telapak tangannya. Diapun menengok keatas dan melihat ada sebuah payung yang
menaungi dirinya. Perlahan, Leila menengok kearah payung itu berasal dan
menemukanku yang tersenyum ramah kepadanya “Mau pulang bareng?”
Suara dan aroma hujan yang menyelimuti,
serta orang-orang dan kendaraan yang melintas terus menghiasi perjalanan kami.
Apalagi suara khas dari air hujan yang dihasilkan dari perbenturannya dengan
payung. Wajah Leila yang memerah sepanjang perjalanan membuatku merasa khawatir.
Kenapa
wajahnya selalu memerah? Apa dia demam?
Sebuah perjalanan yang sangat canggung,
dimana tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua. Aku kembali
menengok kearah Leila, namun aku tak bisa menemukannya.
“Dimo....”
Aku mendengar suaranya dari belakang.
Aku berbalik dan melihatnya yang nampak dalam keadaan hampir basah kuyup karena
hujan. Tentu saja, aku langsung berjalan menghampirinya.
“A-apa yang kau lakukan, kalau kau
kehujanan, nanti kau bisa terkena demam—”
“A-apa ada.... o-orang yang kau suka?”
Seketika, langkahku terhenti. Pertanyaan yang baru saja dia ajukan, membuatku
diam seribu bahasa. Rambutnya yang basah menutupi matanya, membuatku tak bisa
melihat bagaimana ekspresinya saat ini.
Tetapi,
wajahnya yang semakin memerah. Apa dia baik-baik saja?
“A-anu... so-soal itu..... ba-bagaimana
ya menjawabnya....”
“Ka-kalau begitu..... Ba-bagaima
pendapatmu mengenai Sindy?”
“Sindy? Ku-kurasa dia itu baik, hebat,
dan seorang pemberani. Ba-bahkan mungkin kemampuannya dalam bermain game lebih
hebat dibanding diriku. A-aku tidak membenci tipe perempuan sepertinya.”
“Be-begitu ya....” Suaranya yang kecil
dan uap yang dikeluarkan darinya saat bernapas menunjukkan betapa dinginnya
suasana saat itu. Akupun menghampirinya dan menaunginya menggunakkan payung
milikku tanpa berpikir panjang.
“Me-memangnya ada apa, tiba-tiba kau
bertanya hal seperti ini.”
Leila menggelengkan kepalanya lalu
tersenyum manis “Ti-tidak, aku hanya iseng.”
***
“Dimo, terima kasih karena mau
mengantarku.” Leila mengambil handuk yang tergantung sembari membuka pintu
depan rumahnya lalu mengeringkan rambutnya.
Aku memberinya jempol lalu tersenyum
“Ya. Tak masalah.” Leila tertawa kecil melihat tanggapanku, lalu tersenyum
ramah.
“Kalau begitu, sampai jumpa di
sekolah.”
~Bersambung~
Mantap ngarang novel juga ternyata.
ReplyDeleteBoleh saya copas bawa ke word? terus dibaca lewat hp?
Thanks
Silahkan mas. Bdw, bukan aing yang nulis sih tapi admin laen.
DeleteYang penting ijin dulu kang. Kl ga ijin kan namanya mencuri :D
DeleteKalo baca doang sih gak perlu minta ijin gan :D Kalo repost baru harus minta ijin.
Delete