Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Aku berhenti di sebuah lampu merah.
Menunggu saat dimana pejalan kaki diperbolehkan untuk menyebrang. Sepatuku yang
sudah penuh dengan air mulai membuatku merasa tak nyaman. Suara dari
mobil-mobil dan motor yang terus saja melintas menyatu dengan suara hujan.
Diseberang jalan, aku melihat ada
seorang perempuan yang berpenampilan sangat mencolok. Dengan mantel tebal,
masker, serta kacamata yang dia pakai membuatnya menjadi pusat perhatian.
Diantara orang-orang yang berkumpul untuk menunggu lampu merah, dialah yang
berpenampilan paling mencolok. Aku tahu siapa dia, tak lain dan tak bukan
adalah Mbak Anna. Entah mengapa dia berpikir dengan penampilannya yang mencolok
itu dapat membuatku tak menyadari keberadaannya. Kenapa dia tak belajar dari
pengalaman sebelumnya?
Lampupun menjadi merah,
kendaraan-kendaraan yang melintas mulai berhenti dan pejalan kaki mulai
melangkahkan kakinya menyebrangi jalan. Kehadiran Mbak Anna membuatku
mengurungkan niatku untuk menyebrang. Sementara pejalan kaki yang lainnya mulai
menyebrang, aku berbelok dan mengambil jalan memutar. Melihat tingkahku, Mbak
Anna langsung menyebrang berlari mengejarku.
Aku mempercepat langkahku—menyamakan
kecepatanku dengan langkah kaki Mbak Anna. Aku tahu bahwa ini adalah salah satu
kesepakatan dengan ERASER, tetapi entah mengapa aku mempunyai firasat buruk
disaat aku melihat Mbak Anna. Aku terus berlari dan terus berlari, dengan
sepatu yang basah dan nafas yang mulai terasa berat, kulangkahkan kedua kakiku
menuju rumah. Namun, tiba-tiba aku tersandung sebuah batu. Akibatnya, payungku
terlepas dari genggamanku dan aku terjatuh.
Dengan senyuman pahit aku mencoba
menyapanya “Yo.... Halo.....”
“Kau masih belum menjawab pertanyaanku,
kenapa kau lari dari—” Tiba-tiba, seekor monster singa langsung menabraknya.
Memotong pembicaraan dan membuat Mbak Anna terlempar ke sebuah lapangan luas
yang penuh dengan rerumputan yang setinggi pinggang.
“Mbak Anna....!” Melihat ada salah
seorang monster singa yang hendak akan mencakarku, aku langsung menangkap
payungku dan menahan cakaran itu menggunakkannya. Aku tak bisa terus berada di
posisi seperti itu karena semakin lama aku menahannya, semakin lebar sobekan
yang ada di payung akibat cakarnya. Namun, saat aku sedang mencari cara untuk
melawannya, muncul satu monster singa lainnya di belakangku.
“(Gawat.....)”
Sebuah pedang cahaya yang terlempar
kearah kakinya yang hendak akan mencakarku. Dengan cepat pedang tersebut
membelah dan memotongnya. Tak lama setelah pedang tersebut tertancap di tanah,
pedang cahaya tersebut mulai menguap dan menghilang. Aku menengok kearah asal
dari pedang tersebut, yaitu lapangan dimana Mbak Anna berada “Jangan
berani-berani menyentuhnya. Dia milikku!” Dengan kondisi yang sudah ter log in
kedalam Start Point, Mbak Anna melempar pedang cahaya itu kearah monster singa
yang hendak akan mencakar punggungku. Pedang tersebut tepat menembus tubuhnya
bagaikan pisau yang membelah tahu.
“Open the seal : Light Boost.” Dia menghentakkan
kakinya yang mulai bercahaya ke tanah, lalu mendorong tanah tersebut sekuat
yang dia bisa. Dorongan tersebut membuatnya bergerak dengan sangat cepat. Saat
aku sadari, Mbak Anna sudah tepat berada di belakangku. “Open the seal : Light
Sword.” Dia menarik sebuah cahaya keluar dari dalam pedangnya. Sebuah cahaya
yang bentuknya nampak menyerupai pedangnya. Perlahan, pedang tersebut mulai
menggandakan dirinya menjadi banyak dan berkumpul di belakang Mbak Anna. Dengan
cepat, Mbak Anna berpindah ke belakang monster singa yang sedang kutahan, lalu
menusukkan pedang-pedang cahaya ke tubuh sang monster singa. Tubuh monsterpun mulai
bercahaya lalu menghilang.
“Terima kasih. Lalu, apa kau baik-baik
saja?” Masih dalam kondisi panik, aku menutup payungku.
“Kau bisa tanyakkan itu nanti.”
Seakan tak memberikan waktu untuk
bernapas, monster singa lainnya datang sesaat setelah monster singa sebelumnya
menghilang. Aku menyimpan payungku kedalam tasku lalu memindai sidik jariku untuk
log in kedalam Start Point. Kutarik pedangku dan aku keluarkan pistol dari
dalam inventori, lalu kuberlari kearah salah satu monster. Meyadari seranganku,
monster tersebut berinisiatif untuk menyerangku terlebih dahulu dengan
mencakarku, namun aku menunduk dan merosot di bawahnya. Jalan yang basah karena
hujan menjadi nilai plus tersendiri karena membuatku lebih mudah dan lebih cepat
merosot di bawah cakar tajam monster singa itu. Sembari merosot, aku menebas
kaki-kaki dari monster singa tersebut. Sampai akhirnya aku terhenti di bawah
tubuhnya. Agar tak tertimpa tubuh singa yang sudah tak kuat berdiri, aku
langsusng menggelindingkan tubuhku ke samping—menjauhinya. Namun, aku telah
menggelindingkan tubuhku kearah yang salah.
Seekor monster singa telah menungguku
dan siap menerkamku kapan saja. Karena jarakku dengannya yang cukup dekat,
monster tersebut mulai melompat untuk menerkamku. “Gawat...!” Sebelum monster
itu berhasil menerkamku, aku berhenti dan menancapkan pedangku kedalam tanah sebagai
pegangan untuk membantuku berdiri. Tetapi sudah terlambat, jarak antara aku
dengan terkaman monster singa tersebut sudah sangat dekat sehingga tak
memungkinkanku menghindar.
Mbak Anna melemparkan pedang-pedang
cahayanya kearah monster singa yang akan menerkamku, membuatnya terbawa oleh
pedang tersebut dan berhasil dijauhkan dariku. Mbak Anna berlari kebelakangku
seakan melindungiku.
“Jangan lengah! Dasar bodoh.” Bentak
Mbak Anna
“Terima kasih. Tapi kenapa lagi-lagi
kau melindungiku....? Bukankah kau membenciku?”
“Jangan salah paham dulu. Aku terpaksa
melindungimu karena itu salah satu tanggung jawabku. Memangnya kau kira, siapa
disini yang begitu ingin menghabisimu selain aku....?”
Aku tertawa geli “Benar juga.... Kalau
begitu, mohon bantuannya ya, Kak Anna.” Aku menarik kembali pedangku yang
tertancap dari dalam tanah. Air hujan yang terus turun membasahi
pedangku—membersihkannya dari lumpur-lumpur yang tersisa akibat ditancapkan
tadi. Aku menembakkan pistolku kearah monster-monster singa tersebut, namun
nampak tak terlalu berdampak kepada mereka. “(Kalau begini....) Open the seal : Moonlight Shard.” Aku menyalurkan
seluruh energi yang dihasilkan oleh moonlight shard kedalam pistolku. Membuat
pistol tersebut menjadi bercahaya. Cahaya peraknya bersinar di cuaca yang
mendung dan gelap ini. Aku mulai menembakkan pistolku yang sedang dilapisi oleh
energi dari moonlight shard. Peluru yang dikeluarkan berbentuk seperti sebuah
cahaya yang amat terang. Peluru cahaya tersebut kutembakkan kearah
monster-monster singa. Peluru tersebut menembus tubuh mereka—menyisakan sebuah
titik atau lubang di tubuh mereka. Menghabisi mereka hanya dengan satu peluru.
***
“Gawat.... mereka tak ada
habisnya.....” Nafas kami terasa berat, mana kami tersisa sedikit, tubuh kami
yang basah karena air hujan juga sudah mulai lelah. Peluru dari pistol yang
kumiliki juga sudah habis. Namun, monster-monster singa ini terus menerus
berdatangan. Mereka terus saja berdatangan bagaikan air hujan. Aku mendongkak
kearah langit yang masih dipenuhi oleh awan hitam. Tak ada tanda sama sekali
bahwa hujan akan reda.
Kami bersembunyi di antara rerumputan
di lapangan dimana Mbak Anna terlempar tadi. Rumput yang cukup tinggi membuat
kami mudah untuk bersembunyi dari monster-monster singa itu. Untungnya, hujan
yang nampaknya takkan reda ini menghapus bau kami dari penciuman mereka “Dimo,
apa kau masih sanggup...?”
“Tidak bisa dibilang begitu sih....
tapi dengan manaku yang tersisa, aku masih bisa bertarung.”
“Bertahanlah, aku sudah menghubungi
anggota divisiku, mereka pasti akan tiba beberapa menit lagi.”
Oh iya, hari ini aku hanya menemui Mbak
Anna. “Kenapa mereka tak bersamamu.....? Bukankah divisimu yang bertugas
mengawasiku?”
Mbak Anna terdiam sesaat lalu sedikit
membuang pandangan “Karena hujan, aku meminta mereka untuk mengambil hari
libur.”
“Lalu kau bisa mengawasiku sendirian?”
“Tak sopan sekali, padahal kau sudah
kuselamatkan.” Mbak Anna menjitak kepalaku.
“Sakit, kenapa kau ini....?!” Aku
menekan bagian kepalaku yang barusaja dia jitak. Aku ingin membalas
perbuatannya, namun aku sadar bahwa itu hanya akan memperburuk suasana hatinya.
“Hei....”
“Apa...?”
“Mungkin sudah terlambat untuk
mengatakannya tapi, aku turut berduka.... mengenai tunanganmu.....” Mendengar
itu, ekspresi yang ditunjukkan wajahnya langsung berubah menjadi tenang. Nampak
ada kesedihan yang dipancarkan, namun nampaknya dia tak ingin menunjukkannya.
“Begitu..... Terima kasih.....” Mbak
Anna menggeser beberapa rerumputan agar membuatnya dapat melihat sekitar.
Nampak monster-monster singa masih mencari keberadaan kami. “Gawat...”
“Ada apa?” Aku ikut menggeser
rerumputan untuk melihat alasan mengapa Mbak Anna terkejut. Aku berharap bahwa
yang dia lihat bukanlah hal yang berbahaya dan dapat mengancam kami berdua.
Namun, yang kulihat adalah situasi yang tak diharapkan yang bahkan lebih buruk
dari dua kemungkinan tadi. Seorang anak perempuan melintas membawa boneka
beruangnya. Dengan polosnya anak tersebut melintas tanpa mengetahui bahaya yang
mengancamnya. Aku langsung menengok kesana kemari mencari orang tua dari anak
tersebut namun aku tak bisa menemukannya. Tak lama kemudian, anak perempuan itu
jatuh terpeleset. Akibat suara cipratan air yang tercipta akibat dirinya yang
jatuh, monster-monster singa menyadari keberadaan anak tersebut. Mereka mulai
melupakan kami dan mulai berlari menuju keanak tersebut.
“(Apa
yang harus kulakukan....? Light boostku takkan bisa menggapai jarak yang cukup
dekat untuk menyelamatkan anak itu.)” Mbak Anna berdiri lalu menyiapkan
Light Sword dan hendak akan menembak monster-monster singa. Tapi akankah dia
sempat melakukan itu? Apakah tak ada yang bisa aku lakukan? Apakah aku hanya
bisa menunggu di sini tanpa melakukan sesuatu?
“Dimo, kau tunggu di sini—”
Melihat salah satu singa yang sudah
siap mencakar anak itu, tubuhku tergerak dengan sendirinya. Berlari secepat
mungkin, secepat yang kubisa “(Sial....
Aku terlalu lambat. Kalau begini terus, aku takkan sempat....)” Dengan
kecepatan ini, aku takkan bisa mencapai dirinya. Apalagi rumput-rumput yang
tinggi ini yang membuat lariku semakin lambat. Sial, andai sistem teleportasi tidaklah
rusak.
“Open the seal : Light Boost.” Wajahku
terdongkak seketika. Mendengar mantra yang dilafalkan oleh Mbak Anna, aku
sontak menengok ke belakang. “Bersiaplah, Dimo!” Dengan kecepatan tinggi, Mbak
Anna melesat menuju kearahku.
“Eh?!”
Apa maksudnya dengan bersiap? Dengan
kecepatan yang tinggi, Mbak Anna mendorongku. Membuatku terlempar dengan
kecepatan yang cukup untuk mengejar monster-monster singa tersebut. Aku
langsung menarik pedangku keluar dari sarungnya dan menghadap lurus
kedepan—kearah monster-monster singa yang sedang berlari mendekati anak
perempuan itu. Merasa di dorong seperti ini benar-benar terasa aneh, angin berhembus
dengan kencang, tetesan hujan mengenaiku seraya aku terlempar. Aku bahkan
merasa agak mual karena ini.
Namun, situasi ini mirip dengan
adegan-adegan yang ada di komik. Kira-kira, apa yang biasa tokoh utama dalam
komik lakukan dalam kondisi seperti ini? Benar, berteriak sekeras mungkin.
“Kalian.... menjauh dari anak itu!!!”
Mendengar suaraku, monster-monster singa itu langsung menghentikan larinya dan
berbalik menghadangku. Termasuk monster yang hendak menyerang anak itu. “Open
the seal : Super Moonlight Shard - Super Moonlight Sword.” Aku mengangkat
pedangku setinggi yang kubisa lalu kutebas monster-monster tersebut saat aku
melesat melewati mereka. Pedangku yang sudah dipertajam dengan super moonlight
shard menebas mereka satu persatu tanpa terkecuali. Lalu kubalik pedangku,
mengarahkan mata pedang kebawah dan kutancapkan pedang tersebut ketanah untuk
menghentikan tubuhku yang masih terlempar.
Monster-monster singa yang sudah
kutebas mulai bercahaya dan menghilang—berubah menjadi butiran-butiran cahaya
kecil bersamaan dengan hujan yang mulai berhenti. Kutarik keluar pedangku,
menyipratkan sisa lumpur yang menempel di pedang ke tanah, lalu menyarungkannya
kembali. Langit mulai memancarkan cahayanya kembali. Awan-awan hitam yang
selama akhir-akhir ini menaungi langit mulai menghilang dan cahaya mentari yang
hangat kembali bersinar. Aku berbalik dan menghampiri anak perempuan yang
terjatuh tadi. Aku mengulurkan tanganku untuk membantunya kembali berdiri.
Walau malu-malu, anak perempuan yang masih polos tersebut menerima bantuanku
dan kembali berdiri tanpa tahu bahaya yang baru saja mengancamnya. Dan itulah
yang terbaik. “Apa kau baik-baik saja.” Dengan lugu, anak itu mengangguk-angguk
bersamaan dengan senyum polosnya.
“Apa kalian baik-baik saja?” Tak lama, Mbak
Anna berlari menghampiri kami.
Aku tersenyum lebar lalu mengacungkan
jempolku “Ya, kami berdua ok.”
Melihatku, anak perempuan itu menirukan tingkahku dengan polosnya.
Tak lama kemudian, anggota Divisi Mbak
Annapun tiba. Setelah menjelaskan situasi, Mbak Anna memerintahkan mereka untuk
mengantar anak perempuan itu kembali kerumah sementara dia akan
mengantarku—mengawasiku sampai ke rumah.
***
Keesokan harinya, aku mengalami demam
tinggi karena hujan deras kemarin. Berbeda dengan kemarin, cuaca saat itu
sangat cerah dan mendukung untuk melaksanakan aktivitas. Andai saja tak ada
penyerangan kemarin, mungkin aku takkan mengalami demam ini dan tetap
bersekolah. Gejala ini mulai muncul saat tengah malam. Awalnya aku menganggap
enteng demam ini dan kembali tidur, tetapi aku terbangun jam 3 pagi dan demamku
semakin parah. Aku mengecek kotak obatku yang terdapat di atas kulkas, namun
aku tak menemukkan adanya obat demam. “Gawat.....” Aku mengambil smartphoneku
dari atas meja belajarku, lalu aku langsung menelpon Zaki untuk memintanya
membeli obat demam.
“Halo,
ada apa Dimo? Tumben sekali kau menelfon pagi buta begini.”
“Ah, halo Zaki.... maaf, apa kau bisa
belikan aku obat demam.....?” Tanyaku dengan nada suara yang bergetar karena
kedinginan. Aku berjalan menghampiri kasurku lalu menarik selimut dan kututup
seluruh tubuhku.
“Lho
Dimo, kenapa kau?”
Aku terdiam sejenak lalu kubuka selimut
untuk memeriksa jam dinding. Kututup kembali selimutku lalu kudekatkan
smartphoneku ke telingaku “Jadi, bisa tidak?”
“Oke,
kau sakit demam. Baiklah, tunggu saja, aku akan segera belikan.” Zaki menutup telepon tak lama setelah dia membalas.
Beberapa menit kemudian aku mendengar
suara ketukan dari pintu containerku. Dengan tubuh yang tertutup selimut yang
tebal nan hangat, aku berjalan menghampiri pintu. Karena merasa tak ada
tanggapan sama sekali dari dalam rumah, ketukan di pintu semakin kencang dan
semakin cepat. Mendengar ketukan itu membuat kepalaku semakin menjadi sakit. Ya
ampun, sekarang masihlah pukul 3 pagi dan dia sudah membuatku kesal. “Ya, ya,
sabar.” Aku mengambil kunci dari dalam sakuku lalu membuka pintu yang masih
terkunci. Ketukan itu terhenti setelah mendengar suara crek yang berasal dari pintu yang kuncinya telah dibuka. Aku
kantungi kembali kunci itu lalu kubuka pintu. Zaki terdiam sesaat setelah
melihat kondisiku. Kulitku pucat, tubuhku lemas dan menggigil kedinginan, serta
aku yang menggunakkan selimut seperti kura-kura menggunakkan tempurungnya. Zaki
menguap karena masih merasa mengantuk, dia menutup mulutnya yang masih menguap
dengan tangannya lalu dia mengusap wajahnya. Rambutnya masih acak-acakan karena
baru bangun tidur, matanya juga masih nampak merah karena kantuk. Bahkan
pakaiannya masih rangkap dengan pakaian tidurnya.
“Ah, maaf. Ini obat demamnya.” Zaki
mengangkat tangan kanannya yang membawa sebuah kantung plastik yang berisikan
obat demam yang kuminta. Aku menerimanya dan sempat memeriksa isinya.
Aku merogoh kantung belakang celanaku
dan mengambil dompetku “Ini semuanya berapa? Biar kuganti.” Zaki dengan
santainya tersenyum dan menggaruk-garuk rambutnya.
“Tidak, tidak perlu Dimo.”
“Apa kau yakin?”
“Ya, tenang saja.” Zaki mengangkat
jempolnya lalu berbalik. “Sampai jumpa.” Dia mulai berjalan pergi meninggalkan
rumahku.
Aku memang merasa tak enakan, tapi mau
bagaimana lagi? Aku kantungi kembali dompetku dan baru saja menyadari hal
penting yang sudah kulupakan “Zaki, tunggu dulu.” Mendengar panggilanku, Zaki
berhenti berjalan dan berbalik lalu kembali menghampiriku. Aku mengambil sebuah
surat izin dari meja belajarku yang sebelumnya sempat kutulis lalu kuserahkan
kepada Zaki “Ini, surat izin tak masuk sekolahku. Aku masih butuh tanda tangan
dari Paman Tedi sebagai waliku.” Zaki menerimanya lalu tersenyum.
“Oke, tenang saja, aku pasti akan
menemuinya sesaat sebelum berangkat ke sekolah”
“Aku mengandalkanmu. Kalau begitu,
sampai jumpa lagi.”
“Ya, sampai jumpa lagi.” Zaki kembali
berbalik sambil melambaikan tangannya dan kembali berjalan pulang. Aku membalas
lambaiannya dengan melambai balik lalu menutup pintu dan menguncinya kembali.
Setelah meminta tanda tangan dari Paman
Tedi, Zaki sampai disekolah. Zaki menggantung tasnya di samping mejanya. Lalu
dia buka rel sleting dari tasnya dan hendak mengambil surat izin milikku.
Tetapi, tiba-tiba ada tangan yang menangkap
tangan kananya yang hendak akan mengambil surat izin itu seakan-akan
melarangnya untuk melanjutkan lebih jauh lagi. Perlahan Zaki melihat ke atas—melihat
wajah dari orang yang menghentikannya itu “Di-Dimo?! Kenapa kau bisa ada
disini? Bukankah kau demam?” Dimo tersenyum lalu melepaskan genggaman tangannya
dari Zaki. Dia kembali berjalan menuju ke mejanya lalu menggantung tasnya di samping
mejanya. Lalu dia memutar balik kursinya menghadap kearah Zaki dan duduk.
“Tenang saja, aku sudah sembuh, kok.”
Sindy terus memperhatikan mereka dari
mejanya sejak Dimo memasuki kelas. Dia merasa ada suatu hal yang berbeda dari
Dimo kali ini. Mungkin banyak yang tak terlalu memperdulikannya, namun Sindy
sadar kalau seragam, tas dan segala sesuatu yang berasal dari Dimo nampak baru.
Diam-diam, Sindy terus memperhatikan
gerak-gerik Dimo. Tetapi sejauh ini, belum ada hal yang mencurigakan yang
nampak dari Dimo. Zaki mulai membuka bekal miliknya, begitu pula dengan Leila.
Sementara Sindy yang sejak awal jam istirahat terus terdiam memperhatikan Dimo.
Roti yang dia beli dari kantin sekolah juga terus dia genggam “(Ini aneh.... apa hanya perasaanku saja? Zaki
dan Leila sepertinya tak merasakan hal yang aneh dari Dimo.)”
“Sindy, ada apa?” Pertanyaan yang
diajukan oleh Leila membangunkan Sindy dari lamunannya. Sindy menengok kearah
Zaki, dan Leila yang nampak terdiam melihat kearahnya. Diapun tersadar bahwa
tanpa dia sadari, dia telah meremas roti yang sejak tadi digenggamnya. Dia
kembali menengok kearah Dimo yang ada di hadapannya. Reaksi yang dimunculkannya
sama dengan Zaki dan Leila, dia berhenti memakan rotinya dan memperhatikan
Sindy dengan ekspresi penuh tanya.
“(Ada
yang aneh...)”
Keesokan harinya, sepulang sekolah,
Sindy melihat Dimo yang keluar kelas sendiri seakan menghindar untuk pulang
bersama Zaki dan Leila. Dia melirik ke Zaki dan Leila yang nampak tak menyadari
Dimo yang baru saja keluar kelas. Sindy berkemas dan memakai tasnya, lalu pergi
membuntuti Dimo. Sesekali, Dimo menengok kesana kemari untuk memastikan tidak
ada yang mengikutinya, disaat itu Sindy langsung bersembunyi di balik tembok
atau masuk kedalam kelas lainnya yang sudah kosong. Sindy terus mengikuti Dimo
sampai akhirnya dia memasuki sebuah ruangan “Perpustakaan...?” Sindy melihat
label yang tertera di plakat yang ada di atas pintu ruangan yang dimasuki Dimo.
“(Kenapa dia ke sini....?)” Sindy melepas sepatunya lalu mengikat
rambutnya. Dia taruh tasnya lalu mengambil kacamata komputer miliknya dari
dalam tas. Setelah memakai kacamata, Sindy kembali memakai tas lalu mengikuti
Dimo memasuki perpustakaan.
Dia melihat Dimo yang terduduk meminum
sebuah minuman kaleng yang dibelinya sesaat sebelum memasuki perpustakaan. Dimo
nampak sedang membaca sebuah buku. Sebuah buku yang nampak sudah agak tua
dilihat dari warna kertasnya yang sudah agak kekuningan. Sindy mengambil sebuah
buku dan duduk di meja yang letaknya tak jauh dari Dimo sembari berharap bahwa
penyamarannya tidak ketahuan. Sembari berpura-pura membaca, Sindy memperhatikan
Dimo dengan tajam. Matanya melihat dengan detil setiap gerak-gerik yang
dikeluarkan Dimo.
Merasa tak cukup, Sindy mengambil
smartphonenya lalu membuka kamera. Dia mengsenyapkan smartphonenya sehingga tak
menimbulkan suara saat dia memotret Dimo. Pertama dia memotret buku yang dibaca
Dimo, lalu memotret wajah Dimo dan yang terakhir memotret keduanya. Setelah
memeriksa hasil potretan, Sindy kembali mengalihkan pandangannya kearah Dimo,
tetapi, tanpa dia duga Dimo sudah pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.
Anehnya, dia meninggalkan buku yang dibacanya begitu saja. Sindypun menutup
bukunya dan menaruhnya kembali ke dalam rak. Dia hampiri meja sebelumnya
diduduki Dimo dan melihat sampul buku yang dibacanya “Teori Dunia Paralel.... Apa ini....? Kenapa dia membaca ini?” Sindy
duduk dan membuka buku tersebut. Sindy bertanya-tanya mengapa Dimo membaca buku
yang nampak tebal dan agak tua ini. Dia melihat daftar isi dan menyadari suatu
hal yang ganjal. Ada beberapa huruf yang dilingkari dengan pensil “(Mungkin dia melingkarinya saat aku sedang
memeriksa hasil foto tadi.)” Sindy mengambil buku catatan dan pulpen lalu
dia tulis dan urutkan setiap huruf yang sudah dilingkari dibuku tersebut.
“GRZNAZH NQN CNQNXH.... apa maksudnya?”
Sindy menutup buku yang itu lalu memperhatikan setiap huruf yang dia dapat
dibuku catatannya ini. Disaat dia sedang berpikir dan sedikit bermain-main
dengan pulpennya, Sindy tak sengaja melihat Mbak Anna yang hendak akan keluar
dari perpustakaan “Dia....” Sindy mendapat ide untuk memberitahu ini kepada Mbak
Anna, orang yang sedang bertugas untuk menjaga dan mengawasi Dimo. Disaat Mbak
Anna akan keluar, dia memanggil Mbak Anna dan meminta bantuannya secara
blak-blakkan.
“Jadi begitu....” Mbak Anna menarik
mundur kursi lalu duduk. Dia tarik buku yang dibaca Dimo dan melihat daftar isi
yang diberitahu oleh Sindy.
“Apa Kak Anna tahu, apa maksud dari
huruf-huruf ini?” Sindy mendorong buku catatannya mendekati Mbak Anna yang
sedang sibuk menelaah buku tentang teori dunia paralel tersebut. Tak lama
kemudian, Mbak Anna menutup buku tersebut dan melirik buku catatan milik Sindy.
Setelah beberapa menit menatap buku
tersebut, Mbak Anna mengambil handphonenya lalu memotret huruf-huruf tersebut
“Maaf, aku tak tahu. Tapi aku akan mencari tahu lebih lanjut.” Setelah
memotret, Mbak Anna berdiri dan merapihkan kembali kursi yang dipakainya.
Sindy menarik kembali bukunya dan
menutupnya “Begitu ya....”
Mbak Anna tersenyum lalu memegang
pundak Sindy “Tenang saja, aku akan beritahu kau jika sudah mengerti maksud
dari tulisan tersebut.” Mbak Anna lalu merapihkan pakaiannya, menaruh sebuah
secarik kertas berisikan nomor hanphonenya. “Lagipula, jika yang kau katakan
benar—jika ada yang aneh dengan Dimo, aku takkan berdiam diri begitu saja.”
Tegas Mbak Anna sambil menatap lurus kearah pintu keluar. “Jadi begitulah,
sampai jumpa lagi.” Dia tersenyum kecil lalu berjalan keluar sembari
melambaikan tangan. Sindy membalasnya dengan tersenyum dan melambaikan tangan
juga.
Keesokan harinya, Akupun sembuh.
Setelah sampai ke sekolah aku langsung berjalan ke kelas untuk menanyakan
tugas-tugas kepada Zaki, namun aku sama sekali tidak menemukannya. Padahal, dia
biasa tiba terlebih dahulu ke sekolah dibandingkan aku.
Aku berjalan ke mejaku dan menggantung
tasku. Sembari menunggu Zaki tiba, aku mengeluarkan buku catatan dan sebuah
pensil dari dalam tasku. Namun, disaat aku melihat mejaku, terdapat sebuah
coret-coretan yang sebelumnya tidak ada. Sebuah coret-coretan yang tidak biasa.
Sebuah tulisan. “Pecahkan teka-tekiku, atau kau takkan bertemu lagi dengannya.
(Apa maksudnya...?)” Aku menganggap
tulisan itu hanyalah tulisan iseng dan segera menghapusnya.
“Hei, Dimo. Hari ini seragam dan tasmu
tak baru ya.” Zaki menepuk pundakku lalu menaruh tasnya di atas meja. Tunggu
dulu, ada yang aneh dari perkataannya barusan. Apa dia mengejekku?
“Kau ini, yang aneh-aneh saja. Oh ya,
Zaki, boleh aku pinjam catatanmu?”
“Oke.” Zaki membuka rel sleting tasnya
dan mengambil buku catatan miliknya. “Ngomong-ngomong, kemana saja kau kemarin?
Aku mencarimu saat pulang sekolah.”
“Apa katamu?!” Aku tertegun, aku bahkan
tak bisa percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Perkataannya semakin aneh
saja, sebelumnya mengenai seragam dan tas baru, sekarang perihal ini. Ada apa
ini?
Tanpa kusadari, tubuhku langsung
berdiri dengan cepat dan mendorong kursiku hingga terjatuh. Seketika, seluruh
kelas terdiam, semuanya menatap kearahku karena apa yang sudah kulakukan.
Bahkan Zaki yang letaknya paling dekat denganku tak bisa menyembunyikan rasa
terkejutnya. Gawat, aku terlalu menarik perhatian. Dengan tenang, aku langsung
memperbaiki kursiku lalu menarik Zaki keluar dari dalam kelas.
“Tunggu dulu Dimo, kau ini kenapa?”
Zaki menarik tangan kanannya— melepaskan cengkramanku dari tangannya.
“Baiklah Zaki, jelaskan secara rinci
aktivitasku kemarin!” Aku merapihkan pakaianku lalu duduk dis ebuah kursi yang
terdapat di depan kelas. Zaki yang masih bingung dengan maksudku, langsung
duduk di sebelahku dengan polosnya.
“Apa maksudmu....?”
“Aku—tidak, orang yang mirip aku, yang
kau temui kemarin bukanlah ak—”
“Bukanlah Dimo.” Sindy datang memotong
kata-kataku.
Dia keluar dari kelas sambil membawa
sebuah buku catatan lalu duduk di sebelahku. “Bagaimana kau tahu?” Aku dan Zaki
menengok kearahnya.
“Sejak awal, aku memang sudah curiga
kepadanya, jadi aku mengawasi dia sampai akhirnya aku mendapatkan ini.” Sindy
membuka buku catatannya, lalu dia menunjuk beberapa huruf yang tertulis dengan
tinta hitam dari pulpennya.
Zaki meminjam buku tersebut lalu memperhatikan
setiap kata yang ada “GRZNAZH NQN CNQNXH.... Apa ini...?”
Melihat tulisan yang terdapat dibuku
catatan itu membuatku teringat dengan tulisan yang terdapat di mejaku “(Teka-teki.... Jangan-jangan....) Sindy,
bisa pinjam pulpenmu?” Aku mengulurkan tanganku sementara Sindy menarik
pulpennya yang tergantung di saku kemejanya. Setelah menerima pulpen itu, aku
langsung menerjemahkan setiap huruf yang ada. Kalau dugaanku ini benar, maka huruf-huruf
ini adalah Rot13. Jangan tanya mengapa aku bisa mengetahui ini, oke? Aku hanya
kebetulan menemukannya di internet dan kupikir ini cukup menarik.
Jadi ininya, ini adalah sebuah
algoritma enkripsi sederhana sandi abjad-tunggal dengan pergerseran huruf A diganti
dengan N, huruf B dengan O dan seterusnya. Dan jika ini benar, maka huruf G
yang ada di sini adalah T.
“Selesai.” Aku menutup pulpen milik
Sindy lalu menyerahkannya kembali.
“Ini.....”
Temanmu
ada padaku.
Itulah, kata-kata yang kudapat dari
susunan huruf tersebut. Tapi, apa maksudnya?
“(Temanku?
Tapi siapa?)” Aku menyerahkan kembali buku catatan milik Sindy lalu
mengambil smartphoneku dari dalam kantung celanaku untuk memeriksa jam. “Jam
7:03” Aku kembali berdiri lalu menengok kedalam kelas melalui jendela. “(Hampir semuanya sudah hadir, Zaki dan Sindy
juga ada bersamaku..... Tunggu dulu.....)” Aku langsung berlari
meninggalkan Zaki dan Sindy.
“Dimo, tunggu!” Zaki dan Sindy langsung
ikut berlari mengejarku. Aku terus berlari keluar dari sekolah dan tiba di
depan rumah Leila. Dengan nafas yang masih terasa berat, aku bersandar di pagar
beton depan rumah Leila. Tak lama kemudian, Zaki dan Sindy tiba. Dengan
napasnya yang masih terasa berat, Zaki langsung memegang pundakku dengan erat
lalu mendorongku ke pagar beton “Dimo, jelaskan dulu kepada kami!”
Setelah mengatur pernapasan, Sindy
menyadari bahwa mereka tepat berada di depan rumah Leila, dia menghampiriku dan
memegang tangan Zaki yang mencengkram pundakku. “Zaki, tenanglah. Dimo pasti
punya alasan yang kuat mengenai semua ini.”
Zaki melemaskan cengkramannya lalu
melepaskan pundakku. Tanpa memperdulikan pernapasanku yang masih terasa berat,
aku langsung menjelaskan kepada mereka.
“Jadi begitu, dengan ancaman itu, kau
merasa bahwa Leilalah targetnya.”
“Ya, sekarang sudah pukul 7 lebih dan
Leila belum tiba di sekolah. Sudah lagi catatan itu menyatakan bahwa dia
memiliki temanku—teman kita.” Aku memeriksa jam di smartphoneku lalu menengok
kearah rumah Leila. “Kurasa aku harus memeriksa apakah Leila ada di rumah atau
tidak.” Aku mengantungi kembali smartphoneku dan berjalan menuju pintu gerbang
rumah Leila.
Tiba-tiba, Sindy berjalan melewatiku
dan menghentikanku “Biar aku saja. Kau telepon saja Kak Anna dan beri tahu dia
situasi saat ini.” Sindy menyerahkan
smartphonenya yang sedang menelpon Mbak Anna, setelah itu dia mulai memasuki
gerbang untuk menanyakan kondisi Leila kepada ibunya. Setelah kudekatkan
smartphone itu ketelingaku, Mbak Annapun menjawab panggilan dari Sindy.
Setelah menjelaskan situasi, aku
meminta bantuan kepada Mbak Anna dan divisinya untuk mencari Leila dan
memberitahu situasi kepada Kak Indra, Mbak Dinda dan Pak Bum. “Ibunya bilang
bahwa dia sudah pergi berangkat ke sekolah dengan Dimo tadi pagi.” Sindy
menutup kembali pintu gerbang lalu menghampiri kami.
“Bagaimana ini, Dimo?” Zaki
menggaruk-garuk rambutnya seakan bingung dengan apa yang harus dia lakukan.
“Aku sudah memberitahu situasi kepada Mbak
Anna, dia dan divisinya akan mencari Leila ke seluruh kota. Tentu saja, kita
juga tidak tinggal diam.” Aku tersenyum lalu memberikan kembali smartphone
milik Sindy. Setelah itu, kamipun berpencar dan mencari ke seluruh kota.
Setelah mencari selama berjam-jam, aku
dan yang lainnya masih belum bisa menemukan Leila. Walau banyak anggota ERASER
yang sudah dikerahkan, rasanya masih kurang cukup untuk mencarinya. Wajar saja,
ini adalah kota yang besar dengan penduduk yang padat. Mencari Leila saat ini
sama saja seperti menari jarum di tumpukan jerami, aku butuh magnet untuk
mendapatkan jarum itu.
Aku menelpon Zaki, Sindy dan yang
lainnya untuk menanyakan situasi, tetapi hasilnya nihil. Mereka juga masih
belum bisa menemukan keberadaan Leila. “Sial, kenapa dia menculik Leila?
Sebenarnya, apa maunya?” Omelku geram. Aku tersadar, bahwa untuk melawan orang
sepertinya, aku membutuhkan alat login device untuk log in kedalam Start Point.
Setelah kuperiksa seluruh kantung celanaku, aku sama sekali tidak bisa
menemukan alat untuk log in itu. Aku memeriksa kantung di kemejaku, namun tak
ada juga. Aku teringat bahwa aku lupa untuk membawanya karena terburu-buru ke
sekolah untuk mencatat pelajaran yang sudah kulewati dan mengerjakan PR yang
ada.
***
Setelah sampai di rumah, aku terkejut
bahwa pintu rumahku yang seharusnya sudah terkunci malah tidak terkunci. Aku
menelan ludahku dan menyeka keringatku lalu perlahan memasuki rumahku. Walau
begitu, tak ada banyak perubahan yang terjadi di dalam rumahku. Lampu masih
mati, sprei dan selimutku juga masih tertata rapi. Tak lama, aku mendengar
sebuah suara getaran dan suara lantunan musik. Setelah kunyalakan lampu, aku
melihat sumber dari suara tersebut. Suara itu berasal dari sebuah telepon
genggam yang tergeletak di atas meja belajarku. Handphone tersebut tergeletak
begitu saja bersebelahan dengan alat login device untuk log in. Seakan dia tahu
bahwa aku akan kembali untuk mengambil alat itu. Aku mengambil handphone itu
lalu kudekatkan ketelingaku. Dengan keringat yang terus bercucuran, aku
memberanikan diriku untuk menekan tombol untuk menjawab panggilan.
“Akhirnya,
kau menjawabku juga.” Suara yang
sama dengan suaraku langsung muncul tak lama setelah aku menjawab panggilan
itu. Aku langsung menarik kursi belajarku dan duduk.
“Apa maumu dan siapa kau sebenarnya?
Dan dimana kau menyembunyikan Leila?”
“Kukira
aku akan mendapat sambutan hangat darimu, tetapi yang kudapatkan hanyalah
pertanyaan yang menyusahkan.”
“Jawab pertanyaanku!” Bentakku.
“Baik,
baik. Pertama, kau harus ingat ini. Aku adalah kau, dan kau adalah aku. Kedua,
mauku? Maaf sekali, tetapi aku tak bisa menjawab itu. Ketiga, temui aku diatas
gedung Bum Corp.”
Aku langsung mengambil alat login
device untuk log in dan mengantungi handphone tersebut lalu langsung berlari
menuju ke Bum Corp. Sembari berlari, aku langsung menghubungi semuanya untuk
memberitahu lokasi dalang dari semua ini dan Leila.
“Dimana..... ini?”
Leila terbangun, dia melihat tas
miliknya dan tas milik Dimo yang tergeletak di sudut lantai “(Apa yang sebenarnya terjadi?)” Angin
berhembus dengan kencang mengibarkan rambutnya, suara dari angin yang
bergesekan dapat didengarnya dengan jelas, cahaya matahari yang terik seakan
membakar kulit, langit biru yang luas membentang seakan tak ada batasnya. Leila
menyadari bahwa kedua tangannya sudah terikat kepada tiang di belakangnya.
Dia menengok kesana kemari, mencari
cara untuk membuka ikatan kencang yang mengikat kedua tangannya. Tak sengaja,
dia melihat Dimo yang sedang berada di pinggir—berpegangan kepada pagar sembari
menatap ke bawah “Oh, kau sudah bangun? Tenang saja, kita ada di Bum Corp.” Dia
menatap kearah langit lalu berbalik sembari mengscan jarinya. Setelah ter-log
in, Dimo berjalan secara perlahan menghampiri Leila. Dia sedikit menyeringai
lalu menarik napas dalam-dalam “Disini sangat tenang ya.” Setelah menghampiri
Leila, diapun duduk di sebelahnya.
“Dimo— tidak, siapa kau sebenarnya?”
“Tenang saja, aku adalah Dimo, tetapi
bukan Dimo yang kalian kenal.”
“Apa maksudmu dan apa maumu?”
“Tenang saja.” Dia kembali berdiri lalu
berjalan menuju ke pagar, dia membuka inventori miliknya dan mengambil sebuah
telur berukuran bola sepak “Nanti, kau juga akan tahu.” Telur tersebut dia
jatuhkan, lalu setelah pecah, asap langsung keluar dari dalamnya. Asap tersebut
semakin membesar dan semakin membesar sampai-sampai menutupi seluruh area di sekitar
Bum Corp.
Karena kejadian itu, lalu lintaspun
menjadi padat. Kemacetan terjadi dimana-mana karena adanya kecelakaan yang
diakibatkan oleh asap tersebut. Dan akibat kemacetan ini juga, angkutan kota
yang sedang kutumpangi tak bisa bergerak lebih jauh lagi. Setelah keluar dan
membayar ongkos, aku langsung berlari menuju Bum Corp. untungnya, tempat dimana
aku turun dan gedung Bum Corp. tidak terlalu jauh “(Sebenarnya, berasal dari mana asap itu?)”
Diperjalanan, aku bertemu dengan Sindy
dan Zaki. Sindy baru saja mendapat informasi dari Mbak Anna bahwa tiba-tiba
telah muncul sebuah monster tak dikenali di halaman depan gedung Bum Corp. Tak
lama kemudian, kami tiba. Asap yang menyelimuti tempat itu berangsur-angsur mulai
memudar dan menghilang. Betapa terkejutnya aku melihat wujud dari monster
tersebut.
Monster tersebut nampak seperti monster
singa yang menyerangku dan Mbak Anna kemarin, namun kali ini ukurannya
berkali-kali lebih besar dan lebih kuat. Bahkan anggota-anggota ERASER yang
sudah tiba ditempat tersebut tak sanggup untuk melawannya. Aku tersadar, bahwa
semua ini sudah direncanakannya. Begitu pula dengan serangan monster dua hari
yang lalu. Monster tersebut terus mengamuk dan memporak-porandakan Bum Corp. serta
semua yang ada disekitarnya. Untungnya, para pegawai di Bum Corp. sudah di
evakuasi. Melihat itu, Zaki dan Sindy langsung log in kedalam Start Point dan
segera membantu anggota ERASER yang ada. Tiba-tiba, telepon genggam yang
kukantungi mulai bergetar. Aku langsung mengambilnya dan mengangkat telepon
tersebut.
“Keparat........ Siapa kau sebenarnya?”
“Kalau
kau ingin tahu, tunggu apa lagi? Kemarilah, lawan aku!” Dia langsung memutus telepon. Dengan rasa kesal yang tak
tertahankan, aku langsung berlari memasuki Bum Corp. namun, aku tak bisa
menggunakan lift dikarenakan sistemnya yang rusak. Akibatnya, aku harus memutar
balik dan pergi melalui tangga darurat.
“Sial, kalau terus begini.... bisa-bisa
aku kehabisan tenaga sebelum menyelamatkan Leila.” Aku mengatur napasku yang
terasa berat. Sembari berpegangan ke pagar tangga, aku menengok ke atas—melihat
jumlah lantai yang masih harus aku lewati.
Tiba-tiba, ada seseorang yang menjitak
kepalaku dari belakang “Jika semangatmu hanya bisa sampai disini saja, sebaiknya
kau tak perlu melakukan apapun dari awal.”
Sembari menengok kebelakang, aku
menekan kepalaku yang baru saja terkena jitakan “Mbak Anna, toh.” Aku menghela nafasku lalu berdiri
tegak.
“Bukan hanya kau saja yang memiliki
urusan disini.” Mbak Anna memegang pundakku lalu berjalan melewatiku. Dia
berjalan menaiki anak-anak tangga tanpa adanya rasa ragu sedikitpun. Aku
tersenyum lalu kutelan ludahku dan menatap lurus ke anak-anak tangga yang akan
kulalui. Aku mulai kembali berjalan menaiki anak-anak tangga menyusul Mbak
Anna.
Setelah melewati beberapa lantai,
tiba-tiba kami diserang oleh sekumpulan monster singa yang muncul dari koridor
lain yang terhubung dengan tangga dimana kami berada. Sama seperti kemarin,
monster-monster tersebut tak mudah untuk dikalahkan dan terus-menerus
bermunculan. “Sial, lagi-lagi monster singa ini.” Sambil melafalkan kemampuan Moonlight
Shard, aku menghunuskan pedangku lalu menebas beberapa monster bersamaan.
Tetapi, beberapa monster singa menerkam kearahku.
“Open the seal : Light Sword.” Mbak
Anna melemparkan pedang-pedang cahaya kearah monster-monster yang hendak
menerkamku. Pedang-pedang tersebut berhasil menikam monster-monster itu dan
membunuhnya.
“Te-terima kasih.” Aku melompat
menghampiri Mbak Anna.
“Berterima kasihlah nanti. Sekarang,
kita harus mencari cara untuk menghentikan monster-monster ini bermunculan
seperti kemarin.” Akibat sempitnya koridor di tangga, aku dan Mbak Anna berlari
ke sebuah ruangan yang lebih luas dan lebih memudahkan untuk bertarung.
“Gawat, kalau begini terus....” Aku
menutup pintu dan mendorong sebuah lemari yang berada di sebelah ke depan
pintu. Walau tak terlalu membantu, namun ini cukup untuk mengulur waktu.
“Dimo, bersiaplah, aku akan melemparmu
dengan menggunakkan Light Boost milikku.” Mbak Anna menghampiri sebuah jendela
dan menengok kebawah dan keatas—memeriksa jarak antara lantai yang paling atas
dan yang paling bawah dengan lantai dimana kami berada. Setelah yakin, dia
menggunakkan skill Light Swordnya dan menghancurkan jendela tersebut. Angin
kencang langsung menerpa dari luar, seakan menarik kami untuk keluar dari
gedung. “Ayo, kemarilah.” Mbak Anna bersiap dengan mengikat dirinya dengan
sebuah pilar di ruangan tersebut menggunakkan sebuah tali yang cukup panjang
dan berjalan ke jendela yang sudah dihancurkannya untuk melompat keluar dan
melafalkan Light Boost miliknya, namun aku tak bergerak sedikitpun dari
tempatku berada.
“Tidak, kita tidak bisa menjamin kau
akan selamat setelah kau mendorongku keatas.” Aku menyimpan kembali pedangku
kedalam inventoriku dan bersiap di hadapan lemari yang menghalang pintu.
“Apa yang kau lakukan? Kita tak punya
pilihan lain, bukan?” Tak lama kemudian, pintu yang terhalang oleh lemari itu
mulai terdobrak. Nampaknya monster-monster singa tersebut sudah mulai mencoba
mendobrak memasuki ruagan dimana kami berada. Aku mendorong lemari tersebut
agar tidak terjatuh dengan seluruh tubuh dan tenagaku.
“Dimo, cepatlah!” Karena bingung, aku
terus menerus menengok kearah pintu dan Mbak Anna secara bergantian.
“Persetaaaaan!!”
Aku langsung melepaskan diriku dari
lemari yang kudorong dan berlari kearah jendela yang sudah dihancurkannya lalu
melompat keluar. Mbak Anna langsung tersenyum dan ikut melompat keluar. “Raih
tanganku!” Dia mengulurkan tangannya kearahku yang tepat berada di bawahnya.
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya dengan erat.
“Oke, Open the Seal : Light Boost.”
Seketika, tangannya yang sedang
berpegangan dengan tanganku mulai bercahaya. Cengkramannya semakin menguat
bagaikan cakar elang yang mencengkram mangsanya. Dia menarikku dan melemparku
ke atas dengan kecepatan yang luar biasa.
***
“Dimo, tolong hentikan semua ini!”
Dengan tangannya yang masih terikat, Leila mengdongkak menghadap kearah Dimo
yang hendak berjalan kearahnya.
“Tenang saja, semuanya akan berakhir
sebentar lagi.”
Dimo memegang pundak Leila lalu
tersenyum. Dia menengok kesana kemari, seakan sedang memastikan sesuatu lalu
kembali menatap dalam Leila. Dia mendekatkan wajahnya kesamping Leila lalu
berbisik “Leila, dengar ini.... aku akan memberitahumu semuanya....” Leila
memejamkan matanya, seakan tak mau mendengar semua perkataan yang terlontar
dari mulutnya, ingin dia tutup telingannya, namun tangannya yang terikat tak
mengizinkan itu. Tapi, perlahan matanya terbuka kembali karena semua yang
dikatakannya. Dimo kembali menjauhkan kepalanya lalu tersenyum kaku. Dia
dekatkan jari telunjuknya ke depan bibirnya lalu mengubah senyum kakunya
menjadi sebuah senyum yang hangat “Tolong.... rahasiakan ini ya.” Suaranya yang
sebelumnya terkesan kasar dan berat langsung berubah menjadi suara yang halus
dan lembut. Setelah itu, Dimo kembali berjalan pergi.
“Kenapa.... kau menceritakan ini
kepadaku?” Mendengar pertanyaan Leila, Dimo langsung terhenti dan berbalik.
“Entahlah..... mungkin, karena aku suka
padamu.” Angin kembali berhembus kencang, meniup rambut Leila dan rok
abu-abunya, di langit yang cerah dengan sedikit awan ini, Leila tak dapat
mempercayai apa yang sudah didengarnya.
~Bersambung~
No comments:
Post a Comment