Yak, arc ini semakin mendekati akhirnya.
Sekitar 3 atau 4 chapter lagi, Vol.1 dari novel ini bakalan tamat dan akan di lanjutkan di vol.2 nanti yang akan diberi judul Arc White.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Dua hari kemudian.
Aku baru saja pulang sekolah dan hendak
akan melepas seragamku lalu menggantinya dengan kaos yang biasa kukenakan.
Disaat aku sedang merapihkan seragam pramukaku dan hendak akan menggantungnya,
tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku. Dia terus mengetuk pintu rumahku
sampai aku merespon dengan berkata “Ya, tunggu sebentar.”
Aku membuka pintu. Leila berdiri
tertunduk dengan ekspresi yang nampak campur aduk. Nampak dari seragam pramuka
yang masih dia kenakan, dia sepertinya langsung datang kemari sesaat setelah
pulang sekolah. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti ini, tak biasanya
Leila datang kerumahku dengan masih mengenakkan seragam seperti ini. Mungkin
ada sesuatu yang penting yang ingin dia sampaikan. Sesekali dia melirik
kearahku sembari membuka sedikit mulutnya, namun dia langsung mengurungkan
niatnya dan kembali menunduk. Kugaruk rambutku sembari melangkah keluar rumah
dan kututup pintuku lalu kuhampiri Leila “Ada apa? Apa ada yang mengganggu
pikiranmu?”
Wajahnya kembali terangkat sesaat
setelah mendengar pertanyaanku. Leila membuang pandangannya dengan wajah yang
sedikit memerah lalu duduk di teras depan rumahku. Melihatnya membuatku semakin
penasaran. Akupun berjalan menghampirinya dan duduk disampingnya “A-anu,
Dimo... Sebenarnya, ada yang ingin kuberitahukan padamu.”
“Sesuatu yang ingin diberitahukan
padaku?”
“Ya... ini, mengenai apa yang Dimo
Radhika beritahukan padaku.”
Angin yang berhembus kencang membawa
daun-daun. Langit yang mendung sejak pagi. Serta suasana taman yang sepi. Tanpa
kusadari, aku langsung menengok kearahnya.
“Dimo Radhika!?”
“Sebenarnya, aku sempat ragu untuk memberitahumu
ini. Tapi, sekarang aku sudah memutuskan untuk memberitahumu. Saat itu—saat aku
sedang ditawan olehnya, dia memberitahuku sesuatu.” Leila mengangkat wajahnya
lalu menatap langit yang mendung.
“Saat itu, dia berkata bahwa dia—”
Tiba-tiba smartphonekupun bergetar dan
berdering. Membuat Leila menengok kearahku dan terhenti. Setelah kuambil dari
kantungku, ternyata itu adalah panggilan yang berasal dari Kak Indra.
“Leila, tunggu sebentar, Kak Indra
meneleponku.” Aku berjalan menjauhi teras sembari menekan tombol untuk
mengangkat telepon darinya. Sementara itu, Leila kembali tertunduk. Dia meremas
rok berwarna coklat itu sembari menunjukkan ekspersi masamnya. “....baiklah,
aku akan segera kesana.” Aku menutup telepon dari Kak Indra lalu mengantungi
kembali smartphone itu sembari berjalan menghampiri Leila.
Menyadari kedatanganku, wajah Leila
kembali terangkat mendongkak menatapku “Dimo, tadi itu....?”
“Ya, lagi-lagi Dimo Radhika tak mau
angkat bicara terkecuali aku ada di sana.” Aku berjalan menghampiri pintu dan
menutupnya lalu menguncinya “Kali ini, kurasa tidak ada pilihan lain selain
menuruti permintaannya.”
Setelah mendengar penjelasanku, Leila
berdiri dan menghampiriku lalu menggenggam kedua tanganku “Dimo, bolehkah aku
ikut denganmu?” Tatapannya yang serius membuatku tak punya alasan untuk
menolak, terlebih lagi, Leila sudah terlibat terlalu jauh dengan Dimo Radhika.
“Y, ya tak masalah..... dan juga um,
bolehkah kau lepaskan tanganku?” Aku tersenyum lalu menengok kekedua tanganku
yang digenggam olehnya. Menyadari itu, wajahnya langsung berubah memerah dan
merona dan langsung melepaskan tanganku.
Leila mundur dua langkah dan
mengayun-ayunkan kedua tangannya serta menggelengkan kepalanya “Ma, maaf... aku
tidak bermaksud...” Melihat Leila yang sudah kembali seperti biasanya membuatku
tertawa. Melihat tawaku membuat Leila menjadi tersipu malu. Aku menggaruk
tambutku lalu tersenyum lega.
“Syukurlah, kau sudah kembali seperti
biasanya. Nah, ayo kita berangkat.”
***
Dimo Radhika dikurung di sebuah sel
khusus yang letaknya ada di lantai 2 gedung Bum Corp. selama ini, sejak dia
dikurung, dia tak pernah mengeluarkan sepatah kata sedikitpun. Itulah, yang
kudengar dari Kak Indra. Sel tersebut dibuat khusus untuk orang-orang pengikut
dari Shadow Player. Sel itu dapat menetralisir energi dan membuat player takkan
bisa melakukan login disaat sedang berada diwilayah sel tersebut.
Saat ini, aku, Leila dan Kak Indra
sedang berjalan menuju ke sel milik Dimo Radhika. Melewati koridor-koridor
dengan tembok berwarna putih dengan lampu yang begitu terang. Lantai yang
memantulkan refleksi dari apapun yang ada diatasnya, serta suhu ruangan yang
begitu dingin.
“Ngomong-ngomong, sekarang ada dimana
dia?”
“Siapa?”
“Zaki lho, Zaki. Tadi sepulang sekolah
dia terlihat terburu-buru sekali.”
“Oh ya, tadi saat aku sedang berjalan
menuju ke rumahmu, aku melihat Maulana sedang mengendarai motor menuju ke suatu
tempat.”
“Dasar, dia itu...”
“Maaf menyela pembicaraan kalian, tapi
sepertinya aku tahu dimana Zakarya berada.” Kak Indra tersenyum kecut sembari
memegang rambutnya.
“Sungguh...?”
“Yah, itu....”
Tanpa kami sadari, kamipun telah tiba
di depan sel milik Dimo Radhika. Namun, ada sesuatu yang lebih membuatku
terkejut. Aku mendengar suara tawa seseorang dari dalam sel tersebut. Suara yang
nampaknya sangat kukenal “Suara ini, jangan-jangan....” Aku menengok kearah Kak
Indra yang masih tersenyum. Senyumnya membuatku semakin yakin dengan seseorang
yang ada dibalik pintu ini. Aku menelan ludahku lalu menggenggam gagang pintu.
Kubuka pintu tersebut dengan penuh keyakinan.
“Dimo, kau terlalu payah bermain ini.
Tak seperti Dimo yang satu lagi.” Zaki menyeringai puas sembari menunjuk Dimo.
Dia mengangkat-angkat kartunya dengan ekspresi yang nampak begitu puas. “Lihat,
aku dapat full house.” Zaki menaruh kartu-kartu di tangannya keatas meja. Dimo
yang merasa sudah kalah langsung menghambur-hamburkan kartu miliknya.
“Aduh, ini sudah yang keempat kalinya.”
Dimo menggaruk-garuk rambutnya karena kesal sudah kalah berkali-kali saat
melawan Zaki. Kekalahan itu sangat tertera diwajahnya yang penuh dengan
coret-coretan berwarna hitam.
Zaki mengambil sebuah spidol yang
tergeletak diatas meja lalu membuka tutupnya “Hayo, sini. Aku akan menggambar
kumis Naruto diwajahmu.”
Aku menghampiri Zaki lalu menendang
kursinya hingga membuatnya terjatuh “Makan nih full house.” Semuanya hanya
terdiam melihat apa yang sudah kulakukan kepada Zaki. Mereka bingung harus
membela siapa.
“Kenapa kau ada disini, Zaki?!”
“Apa maksudmu? Tentu saja untuk bermain
poker.” Zaki berdiri sembari membersihkan kausnya lalu merapihkan kartu poker
yang berserakkan dilantai dan meja. Tanpa memperdulikan situasi, Zaki kembali
duduk lalu mengocok kartu dan membagikannya kepada Dimo dan dirinya.
“Bukan itu yang kumaksud!” Aku memukul
meja. “Maksudku adalah, kenapa kalian bisa bermain poker dan seakrab ini?” Aku
menunjuk mereka berdua dan kartu poker yang masih Zaki bagikan.
“Sudah, sudah. Ayo, kau juga ikut
bermain sini.” Zaki tersenyum lebar lalu mulai membagikan kartu kepadaku.
“Mana sudi! Dan sekarang bukanlah
waktunya untuk bermain poker.”
Leila menghampiriku dengan senyuman
polosnya lalu memegang pundakku untuk membuatku tenang. “Dimo, tenanglah. Zaki
hanya bermain poker dengannya, dan lagi, Dimo Radhika tidak sejahat yang kau
pikirkan.” Bisiknya.
“Kau juga?!”
Aku menghela napas lalu menarik Zaki
keluar dari dalam sel sementara Kak Indra tinggal untuk mengawasi gerak-gerik
Dimo. “Zaki, dengar, kenapa kau bisa ada disini dan bermain poker dengannya?”
“Tak ada alasan khusus sih....” Zaki
melirik keatas lalu bersiul seakan tidak mempermasalahkan pertanyaanku sama
sekali. Aku sangat ingin menghajarnya, tapi Leila menahanku. “Kau tahu, Dimo
dan aku sudah sangat akrab. Dan bahkan dia lebih mengasikan daripada Dimo yang
disana itu.” Zaki mendekati Dimo Radhika dan bersender padanya lalu menunjukku
dengan ekspersi menyeringai sementara aku yang sedang mengangkat kursi dan siap
untuk melemparkannya namun ditahan oleh Kak Indra.
Disaat sedang menurunkan kursi,
tiba-tiba aku teringat dengan apa yang sebelumnya Leila katakan. Aku menengok
kearah Leila lalu memanggilnya. “Oh ya Leila, sebelumnya, apa yang ingin kau
beritahu saat sedang dirumahku?”
“Ah, itu....”
“Semuanya dengar!” Tiba-tiba semuanya
tertegun dan menengok kepada Dimo Radhika bersamaan. Dia bangun dari kursinya
lalu berjalan menghampiri kami “Selagi semuanya ada disini, dan nampaknya
mereka tidak mengawasiku. Aku akan memberitahu kalian semua.”
“Apa maksud—” Leila menarik kausku,
seakan mengisyaratkan kepadaku untuk percaya pada apa yang akan dikatakan Dimo.
Aku menengok kearah Leila, lalu dia mengangguk dengan tatapan yang sangat
meyakinkan.
Jika
Leila seyakin itu, maka aku akan percaya dengan apa yang akan dia katakan.
Aku berjalan menghampiri pintu lalu
menutup pintu sel lalu kembali “Jadi, apa yang ingin kau katakan?”
“Sebelum itu, sebenarnya aku sudah
memberitahu hal ini kepada Leila.” Seketika, semuanya langsung menengok kearah
Leila, dan Leila hanya menunduk dan mengangguk. “Selama ini, menurut kalian
keberadaanku disini itu apa?”
“Keajaiban alam.” Jawabku.
“Sihir.” Jawab Zaki.
“Sebuah kesalahan.” Jawab Kak Indra.
“Ke-kembarannya Dimo.” Jawab Leila.
“Apa kalian serius menjawab seperti
itu?” Dimo menghela napas setelah mendengar jawaban dari kami semua. Dia
bingung ingin tertawa atau malah kesal atas jawaban tersebut. “Baiklah, tentu
kalian pernah melihat diri kalian saat bercermin bukan?” Aku dan yang lainnya
mengangguk. “Aku berasal dari dunia cermin, dengan kata lain bisa kalian sebut
dunia paralel.”
“Tunggu dulu, kalau begitu kau adalah
aku, namun dengan pikiran yang berbeda?”
“Ya benar. Awalnya, kedua orang tuaku
menghilang tiba-tiba saat sedang berlibur. Lalu, saat aku selidiki, ternyata
Shadow Player sudah membawanya kedunia ini. Tak lama setelah aku mengetahui
kenyataan ini, Shadow Player langsung membawaku ke dunia sini juga. Monster
licik itu menawan kedua orang tuaku dan mengancam akan membunuh mereka
terkecuali aku ikut bergabung dengannya.” Dimo mengepalkan tangannya. Wajahnya
terlihat kesal dan putus asa. Kurasa, bergabung dengan mereka adalah keputusan
yang paling masuk akal. Jika aku jadi dia, aku pasti akan melakukan hal yang
sama dengan apa yang dia lakukan saat ini.
Zaki dan yang lainnya juga hanya
tertunduk terdiam, tak tahu apa yang seharusnya mereka katakan. “Tapi, saat ini
aku punya secercah harapan untuk menyelamatkan mereka.” Dimo berlutut lalu
bersujud dihadapan kami berempat “Kumohon, bantu aku menebus semua kesalahanku
dan menyelamatkan kedua orang tuaku!!”
“Tapi, meskipun kau berkata seperti
itu. Kau sudah membunuh banyak orang. Kami tak bisa begitu saja mempercayaimu.”
Kak Indra menghampirinya lalu membantunya berdiri.
“Aku mungkin sudah lancang sampai
berkata seperti ini, tapi.... semua orang yang sebelumnya kuhabisi, masih
hidup!! Kita masih bisa menyelamatkan mereka!” Tiba-tiba pintu terbuka, Mbak
Anna langsung menerjang menghampiri Dimo dan menarik kerahnya. Dia dorong Dimo
sampai dia menabrak tembok dibelakangnya. Aku langsung berlari menghampiri Mbak
Anna untuk menghentikannya, namun Kak Indra bergeleng seakan memintaku untuk
tidak ikut campur.
“Apa-apaan kau?! Setelah apa yang sudah
kau lakukan, setelah semuanya..... kau pikir kami akan memaafkanmu dan
membantumu begitu saja?!!” Tangan Dimo yang sebelumnya mengepal mulai melemas,
sementara genggaman tangan Mbak Anna yang menarik kerah Dimo semakin kencang.
“Apa kau pikir.... apa kau pikir....” Suara Mbak Anna yang sebelumnya tegas
mulai berubah menjadi suara yang lemas diikuti dengan suara terisak-isak.
Kemejanya mulai basah. Air itu terus menetes turun dari matanya membasahi
kemeja Dimo. Mbak Anna terus mencoba menahan agar suara tangisannya tidak
terdengar. Namun dia tak kuasa menahan tangisannya “Apa kau pikir.... Andri
masih hidup.....?”
Dengan wajahnya yang terlihat memelas
karena melihat Mbak Anna. Namun, Dimo tak ingin menjawabnya dengan ekspresi
yang menyedihkan itu. Maka, dia bulatkan niatnya lalu tersenyum tulus.
“Ya.”
Sebuah jawaban yang begitu sederhana,
namun dapat menciptakan secercah harapan dihati seorang gadis. Suara
tangisannya menggema keseluruh ruangan, begitu penuh dengan rasa bahagia, dan
begitu penuh dengan rasa syukur. Mbak Hana melepaskan kerah Dimo, lalu berlutut
lemas dihadapannya. Air matanya mengalir deras menuruni wajahnya. Membasahi
lantai dan membasahi wajahnya.
Hari itu, pertama kalinya aku melihat Mbak
Anna seperti itu. Tangisannya terdengar seperti seorang gadis kecil.
***
Sejak saat itu, kami setuju untuk
mempercayai Dimo Radhika dan bersiap untuk menyerang markas dimana anggota ERASER
yang masih hidup ditawan. Selagi proyek ini sedang dijalankan, kami setuju
untuk memanggil Dimo dengan nama belakangnya yaitu Radhika. Karena terdapat dua
Dimo dengan penampilan yang sama persis, maka nama belakang ini dapat
mempermudah orang-orang dalam membedakan kami berdua.
Namun, sebelum hari penyerangan
dilaksanakan, aku, Radhika, Zaki, Kak Indra dan Mbak Anna berniat untuk meng-observasi tempat yang menurut
Radhika adalah tempat dimana anggota ERASER ditawan.
“Disinilah lokasinya. Mereka menangkap
anggota-anggota ERASER yang sudah kukalahkan dan menawannya disini, termasuk
kedua orang tuaku.” Radhika melepas teropong lalu memberikannya kepada Zaki.
Setelah menerimanya, Zaki menggunakkan teropong itu dan melihat tempat yang sebelumnya
disebut oleh Radhika.
Gedung itu adalah sebuah tempat bekas
les yang sudah tidak terpakai dan agak terbengkalai. Gedung dengan total lantai
4 lantai ini sudah berdiri sejak 6 tahun yang lalu, namun entah mengapa sejak 2
tahun yang lalu tempat les ini menjadi terbengkalai dan sudah tidak digunakkan
lagi.
“Tunggu dulu, lokasi tempat ini’kan tak
jauh dari sekolahku dan Dimo. Aku dan Dimo sering pulang melintasi tempat itu,
namun tak ada yang mencurigakan selagi kami melintasinya.” Zaki melepas
teropong dan berdiri karena terkejut. Aku menarik celananya dan memintanya
untuk kembali tiarap, karena ada kemungkinan musuh bisa melihatnya. Saat ini,
kami sedang berada diatap sebuah gadung yang letaknya cukup jauh dari gedung
tersebut. Kami juga mengenakkan jaket berwarna hitam agar bisa berkamuflase
dengan langit di malam hari. Walau begitu tak menutup kemungkinan bahwa musuh
juga bisa menemukan kami.
Mbak Anna mengulurkan tangannya “Bisa
kupinjam sebentar?” Zaki yang sebelumnya mengalungi teropong tersebut
melepasnya dan menyerahkannya kepada Mbak Anna. “Apa kau yakin ini tempatnya,
Radhika?” Dia melepas teropong lalu menengok kearah Radhika.
“Ya, tidak salah lagi. Aku bertugas di
tempat tersebut, jadi tidak salah lagi.” Radhika mengambil sebotol air mineral
dan hendak membuka tutupnya, namun tiba-tiba ada sebuah pedang cahaya meluncur
kearahnya dari arah serong kanannya. Untungnya, Kak Indra menyadari hal
tersebut dan berhasil menahan pedang tersebut menggunakkan tembok es miliknya
yang tercipta dari air mineral yang digenggam Radhika. Karena terkejut, secara
tak sengaja botol air mineral tersebut terlepas dari tangannya “Te, terima
kasih....”
“Siapa disana!?” Kak Indra yang sudah
dalam keadaan terlogin langsung berdiri dan menengok kesana kemari mencari
pelaku dari serangan ini diikuti olehku dan yang lainnya. Dari sebuah gedung
yang lebih tinggi dari gedung kami muncul seseorang dengan lingkaran berwarna
biru bercahaya dibelakangnya diikuti dengan pedang-pedang bercahaya. Rambutnya
yang pirang, dan tatapannya yang dingin menciptakan sebuah tekanan yang
mencekam. Pedang-pedang dibelakangnya bercahaya dimalam hari bagaikan rembulan.
“Di.... Dia....” Radhika melakukan
login. Tatapannya yang serius menatap orang tersebut, lalu tangannya yang
mengepal karena geram. “Begitu, jadi kaulah yang menggantikanku bertugas
disana.” Dia meneriakkan kata-kata tersebut lalu berjalan menuju kearah dimana
orang tersebut berada.
Aku yang melihatnya melewatiku dengan
tatapan yang serius seperti itu, membuatku merasakan firasat buruk. Aku
menghampirinya lalu memegang pundaknya “Ada apa, Radhika?”
“Dia adalah salah satu dari anggota
dari kelima anggota besar.”
“Lima anggota besar?”
“Ya, Lima anggota besar adalah lima
orang pengikut Shadow Player yang menjadi orang kepercayaannya. Termasuk aku,
maka sekarang hanya tersisa 4 orang.” Radhika melangkah dua langkah lalu
menunjuk orang tersebut “Kukira sang Ratu
Putihlah yang akan datang kemari, tapi ternyata itu malah kau, Dent si Ahli
Seribu Pedang.” Selagi melakukan gertakan, Radhika sedikit melirik kearahku
lalu berbisik kepadaku “Dimo, beritahu yang lainnya untuk bersiap untuk kabur.
Saat ini, percuma saja melawannya, kita takkan bisa mengalahkannya dengan jarak
yang jauh seperti ini. Dialah yang akan diuntungkan karena jaraknya dalam melemparkan
pedang-pedang tersebut sangatlah luas.”
Aku mengangguk lalu perlahan berjalan
mundur dengan tenang agar Dent tidak mencurigai gerak-gerikku. Aku menghampiri Zaki
dan yang lainnya satu-persatu dan memberi tahu mereka siapa orang itu
sebenarnnya. “Kenapa pengkhianat sepertimu berani menampakkan diri di sini?”
Dent mengangkat kedua tangannya kedepan, seketika pedang-pedang yang melayang
dibelakangnya terbang kedepan mengikuti perintah dari Dent. Radhika menengok
kebelakang, lalu aku mengangguk, menandakan bahwa kami sudah siap untuk pergi
dari tempat itu. Aku melihat dua buah bom asap yang digenggam tangan kirinya
yang dia sembunyikan dibelakang tubuhnya.
“Sekarang!!”
Radhika melemparkan kedua bom asap itu
ke lantai. Asap berwarna putih keluar bersamaan dengan ledakan dari bom
tersebut, menutupi kami semua dan membuka celah bagi kami untuk kabur. “Percuma
saja!!” Dent melemparkan setengah dari pedangnya menuju ke pintu yang terarah
langsung kepada tangga darurat. Akibatnya, pintu tersebut terkunci dan takkan
bisa dibuka dikarenakan oleh pedang-pedang tersebut. Namun, tanpa dia duga,
kami berlari keluar dari asap yang arahnya berlawanan dengan pintu tersebut.
Kami melompat terjun dari atas gedung sembari mengscan jari kami semua dan
login kedalam sistem Start Point. Kami melompat dari gedung tinggi yang
memiliki 4 lantai ini.
Melihat kami yang melakukan tindakkan
tidak terduga tidak membuat konsentrasi Dent hancur. Dia memperhatikan kami
dengan tenang dan tidak terpengaruh sama sekali dengan tindakkan kami berlima.
Dia bahkan mengumpulkan energi lebih untuk menciptakkan lebih banyak pedang
cahayanya. Walau samar, aku bisa melihatnya. Pedang-pedang cahaya itu tercipta
dari kumpulan energi yang keluar dari lingkaran berwarna biru dibelakangnya.
Sungguh energi yang besar, aku tak percaya dia bisa mengendalikan pedang
sebanyak itu. Saat 12 pedang sudah tercipta, dia meluncurkan pedang-pedang itu
kearah kami berlima. Kak Indra tidak tinggal diam saat menyadari serangan yang
akan muncul selanjutnya. Dia langsung menarik pedangnya dari dalam sarungnya
lalu mengubah pedang itu menjadi air. Dia pisahkan pedangnya dari airnya lalu
melemparkan air tersebut ke tembok.
Keluarlah sebuah tembok air yang besar
dan berbentuk persegi dari dalam tembok tersebut. Lalu, Kak Indra melemparkan
pedangnya ke tembok air itu dan mengubahnya menjadi tembok es yang keras dan
dingin. Berkat tembok es tersebut, 9 pedang cahaya milik Dent berhasil dihalau,
namun 3 pedang sisanya berbelok dan berhasil menghindar.
“Open the seal : Dark Moonlight Shard!”
Radhika melemparkan Dark Moonlight Shard dan berhasil mengenai serta
menghancurkan ketiga pedang cahaya milik Dent. Namun, tanpa diduga, puluhan
pedang cahaya berhasil menghancurkan dan menerobos tembok es milik Kak Indra.
Aku juga tak bisa tinggal diam melihat jumlah pedang yang terarah kepada kami.
Walau
ini hanya bantuan kecil, namun ini lebih baik dari pada tidak melakukan apapun
sama sekali!
Aku menarik pedangku dan mengumpulkan
energi “Open the seal : Moonlight Shard - Moonlight Speed!” Setelah energi dari
Moonlight Shard sudah tersebar keseluruh tubuhku, aku membuka inventori lalu
tangan kiriku mengambil pedang ogre sword yang sudah dimaksimalkan oleh sistem Start
Point yang baru. “Open the seal : Super Moonlight Shard!” Kedua pedangku
bercahaya. Dengan energi dari Super Moonlight Shard yang sudah tersebar rata
dikedua pedangku, dan juga dukungan dari Moonlight Speed, aku melemparkan Super
Moonlight Shard sebanyak dan secepat yang kubisa kearah pedang-pedang milik
Dent.
Namun, beban yang diterima tubuhku
terlalu berat, aku bisa merasakan tulang-tulangku berderit, otot-ototku terasa
nyeri, dan penglihatanku mulai memudar, namun aku tidak bisa berdiam diri
melihat kondisi kami yang sedang tersudut seperti ini “Zaki, apa masih belum?!”
“Sebentar lagi, aku sedang mengumpulkan
energi!” Kedua tangannya menggenggam perisai miliknya dan menyalurkan seluruh
api yang tercipta ditubuhnya kedalam perisai tersebut sementara kami berempat
melindunginya.
Tubuhku
terasa sakit. Terasa sakit dan terasa nyeri sampai aku tidak tahu lagi.
“Open the seal : Light Hand.”
Tiba-tiba, Mbak Anna meluncur kearahku dengan menggunakkan Light Boost miliknya
lalu membutakkan penglihatanku untuk sementara waktu menggunakkan Light Hand.
Akibatnya, pergerakkankupun terhenti dan skill Moonlight Speed dan Super
Moonlight Shard milikku ikut terhenti. Tak lama kemudian, dia memukul perut dan
pundakku dengan sangat kencang sehingga membuatku pingsan.
“Kak Anna, apa yang kau lakukan?!”
Protes Zaki
“Jika dia terus kubiarkan menggunakkan
skill itu, dia hanya akan membebani tubuhnya sendiri dan menghancurkan dirinya
sendiri! Pokoknya, kau fokus saja menciptakkan pelindung itu!” Mbak Anna
mengangkat dan menggendongku yang sudah pingsan dan secara otomatis terlogout
dari dalam Start Point.
“Sip, semuanya minggir! Open the seal :
Fire Element – Fire Shelter.” Zaki melemparkan perisai api miliknya keatas kami
semua, lalu perisai itu membesar dan menjadi pelindung diatas kami dari pedang-pedang
milik Dent. Bentuk dari pelindung tersebut dapat diubah Zaki sesuka hati
seperti di saat insiden duri saat melawan Radhika. Pelindung itu juga akan
terus mengikuti Zaki dan yang lainnya sampai durasi dari skill tersebut habis.
“Semuanya bersiap! Kita akan segera
mendarat!” Kak Indra mengambil pedang baru dari inventorinya dan mengubahnya
menjadi pedang air. Dia berbalik menghadap kebawah lalu melemparkan pedang
tersebut ke tanah. Tak lama kemudian tanah disekitar pedang tersebut berubah
menjadi sebuah kolam air yang cukup dalam. Yang membuat air ini berbeda dari
air biasa, air ini takkan membuat kami cidera saat kami mendarat di dalamnya.
Setelah mendarat dan berhasil kembali
ke permukaan tanah, kolam tersebut kembali menjadi tanah biasa setelah Kak
Indra mencabut pedang miliknya. Setelah itu, entah mengapa Dent tidak menyerang
kami lagi dan membiarkan kami kabur.
***
Kedua tangan Dent tak bisa bergerak.
Tubuhnya kaku dan seakan membeku karena tatapan dari orang itu “Kenapa kau menghentikanku, Ratu Putih?” Dent
menghilangkan lingkaran dibelakang punggungnya. Tak lama kemudian tubuhnya bisa
kembali digerakkan, diapun berbalik menghadap seorang gadis berjubah dan
bertudung putih.
“Kenapa? Karena mereka masih bisa
dimanfaatkan.” Ratu Putih menunduk lalu menarik tudung miliknya kebawah
sehingga semakin menutupi wajahnya. Dia berjalan ketepian lalu melihat kami
yang sedang berusaha kabur.
Dent memejamkan kedua matanya lalu
merapihkan kembali jasnya. Dia berjalan berpapasan dengan Ratu Putih lalu
berhenti “Entah apa tujuanmu yang sebenarnya, aku tidak peduli. Namun, jika kau
menghalangiku lagi, maka aku takkan tinggal diam.” Dent kembali berjalan lalu
meninggalkan tempat itu dengan terbang kembali ke markas. Ratu Putih yang hanya
terdiam membisu terus menatap seseorang diantara kami.
Dia melepas tudungnya. Membiarkan
rambut putihnya kembali tertiup oleh angin malam yang dingin. Tiba-tiba
rintik-rintik air jatuh. Ratu Putih menengok keatas, awan mendung diatasnya
yang mulai menurunkan airnya. Hujan dimalam hari yang perlahan semakin deras
itu membuat udara malam semakin menjadi dingin. Hujan deras, dengan aroma
khasnya.
“Dimo....”
~Bersambung~
No comments:
Post a Comment