Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
Semakin dekat dengan akhir.
2 chapter lagi, Vol.1 dari novel ini bakalan tamat dan akan di lanjutkan di vol.2 nanti yang akan diberi judul Arc White.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Beberapa hari kemudian, persiapan untuk
penyeranganpun selesai. Empat pasukan Divisi sudah dikerahkan untuk menyerang
gedung les yang sudah tidak terpakai tersebut. Divisi 4 dan Divisi 5 bertugas
untuk menyerang dari depan, sedangkan Divisi ke-7 dan ke-6 bertugas menyerang
dari belakang.
Dua peluru bius ditembakkan. Keduanya
mengenai leher dari kedua orang yang baru saja keluar dari gedung tersebut.
Bahkan untuk berjaga-jaga, mereka sampai meretas kamera pengawas yang berada di
sekitar gedung les. Walau begitu, entah mengapa mereka tak bisa meretas kamera
pengawas yang ada di dalam gedung.
Setelah berhasil mengikat kedua orang
tersebut dan mengamankannya untuk bisa diinterogasi, anggota-anggota dari Divisi
4 dan Divisi 5-pun mulai berjalan menuju ke pintu masuk dari gedung tersebut.
Namun, sesaat sebelum mereka memasuki ruangan, mereka memberi sinyal kepada Divisi
7 yang sudah berjaga di pintu belakang gedung. Aku merasa agak khawatir dengan
Zaki, Leila dan Sindy yang ada bersama Divisi 7, namun selagi Kak Indra bersama
mereka, aku yakin mereka pasti akan baik-baik saja.
Sesaat setelah sinyal diberikan, Divisi
6 dan 7 yang sudah siaga langsung mendobrak pintu belakang dan masuk bersamaan
dengan Divisi 4 dan 5.
Sedangkan, untukku dan Radhika, kami
memiliki rute kami sendiri. Disaat perhatian musuh sedang terpusat kepada Divisi
4 sampai Divisi 7, kami berdua sudah bersiap untuk masuk melalui jalur udara.
Di sini, kamilah yang memegang peran penting dalam melepaskan tawanan. Kami
berada di sebuah gedung yang lebih tinggi dan jaraknya tak jauh dari gedung les
dimana penyerangan berlangsung. Bahkan di atas gedung ini terasa sangat dingin,
ditambah lagi, dengan udara malam. Aku bahkan bisa melihat uap yang keluar dari
mulut dan hidungku saat aku bernafas.
“Baik, dimengerti. Dimo, penyerangan
sudah dimulai. Kita juga harus segera bersiap.” Radhika menutup saluran radio
yang dia pakai di telinga kirinya lalu mulai mengenakan tas parasut sementara
aku hanya duduk terdiam memandangi gedung tersebut. Sejak tadi—tidak, sejak
Radhika memberi tahu siapa dia yang sebenarnya, ada sesuatu yang mengganggu
pikiranku.
Melihatku yang sudah larut dalam
lamunanku, Radhika menghampiriku lalu hendak akan memegang pundakku untuk
menyadarkanku “Dimo, ada apa?”
Aku terkejut. Aku terlalu larut dalam
lamunanku sampai-sampai aku lupa dengan apa yang harus kulakukan saat ini.
“Tidak, bukan apa-apa...” Aku langsung cepat-cepat bangun dan mengenakan tas parasut.
Saat ini bukan waktunya untuk memikirkan hal
ini, aku harus fokus untuk bisa menyelamatkan para tawanan.
Itulah
yang kukira dan kupikirkan.
“Kita harus cepat-cepat karena semuanya
mengandalkan kita.” Radhika berjalan menuju ke pagar lalu menaikinya dan
bersiap untuk terjun. Namun aku hanya terdiam seperti batu. Mau bagaimanapun,
aku tetap tidak bisa menghilangkan hal
yang mengganggu pikiranku.
“Radhika, sebenarnya ada satu hal yang
ingin kutanyakan.” Mendengar kata-kataku, Radhika langsung menengok dan
berbalik menghadapku. Aku yang terdiam mulai melangkahkan kakiku
menghampirinya. Aku bersandar di pagar lalu menatap gedung les tersebut. Disana
terdapat anggota-anggota ERASER yang ditawan, bahkan kedua orang tuanya Radhika
juga berada di tempat itu. “Sebenarnya, siapa aku ini? Itulah pertanyaan yang
selama bertahun-tahun ada di benakku.”
“Dimo...” Radhika menatap wajahku yang
penuh dengan kekosongan. Ekspresiku yang datar dan murung, entah mengapa membuatnya
ikut merasa sedih.
“Dulu sekali, sebelum aku bertemu
dengan Zaki, dengan kakak dan yang lainnya. Aku sebatang kara. Aku bahkan tidak
ingat siapa diriku ini.”
***
Disaat itu, tiba-tiba aku terbangun.
Hujan deras membasahi tanah dan seluruh tubuhku. Aroma hujan dan aroma tanah
serta rumput yang basah begitu menyengat. Pakaianku penuh dengan lumpur, bahkan
penglihatanku begitu kabur. Diriku yang kecil tiba-tiba mendengar sebuah suara
ledakan. Aku yang saat itu tidak tahu apa-apa langsung mencoba berdiri. Dengan
kedua tangan dan kakiku yang begitu terasa lemas, aku mencoba untuk berdiri.
Walau aku bisa merasakan ada cairan kental berwarna merah mengalir jatuh di
wajahku. Tubuhku yang juga lebam serta dengan pikiranku yang kosong, aku
mencoba mengikuti sumber suara ledakan tersebut.
Saat
itu aku kehilangan ingatanku.
Hujan deras yang tak kunjung henti,
sudah seperti lagu pengantar tidur bagiku. Aku bahkan bisa mencium aroma yang
juga menuntunku ke sumber suara ledakan tadi. Sembari menekan luka di pundak
kiriku, aku berjalan dan terus berjalan. Bahkan walau harus merangkak
sekalipun, aku rela melakukannya asalkan aku bisa sampai ke sumber suara tadi.
Entah mengapa firasatku mengatakan bahwa aku harus pergi ke sana.
Entah mengapa, sumber suara ledakkan
tersebut tak jauh dari tempatku terbangun. Aku melihatnya. Aku melihat seorang perempaun
dewasa dan lelaki dewasa yang terbaring lemas di tak jauh dari mobil yang
terbakar. Asap berwarna hitam pekat yang keluar dari mesin mobil yang terbakar,
mulai menyebar ke segala arah. Aku menghampiri kedua orang tersebut lalu
menatap keduanya. Pakaiannya tidak terlihat mewah namun entah mengapa terdapat
kesan bahwa mereka akan pergi ke suatu tempat untuk berlibur. Tiba-tiba,
perempuan dewasa yang sebelumnya tak sadarkan diri itu batuk dan tersadar.
Tubuhnya yang terluka dan juga kaki kanannya yang terkena sedikit luka bakar
membuatnnya tak sanggup lagi berdiri.
Tanpa pikir panjang, aku langsung
menghampirinya.
Perempuan dewasa itu langsung tersenyum
tulus saat melihatku. Entah mengapa keberadaanku disana membuatnya merasa
bahagia. Tangannya yang hangat perlahan meraih dan mengelus pipiku “Dimo....”
Tiba-tiba air mata mulai mengalir keluar dari kedua matanya. Aku tidak tahu
apakah itu air mata bahagia atau air mata kesedihan. Air mata dan senyumnya
yang begitu tulus itu entah mengapa membuat hatiku terasa sakit. Padahal, tidak
ada luka yang bisa membuatku merasa sesakit itu, tapi kenapa aku merasakannya.
Seakan-akan rasa sakit yang dialami tubuhku tak sebanding sama sekali dengan
rasa sakit yang ada di hatiku. Aku meremas pakaianku. Kedua tanganku bergerak
dengan sendirinya memegang tangan perempuan itu. Tangannya yang hangat dan
lembut perlahan mulai menjadi dingin.
“Dimo... syukurlah... kau selamat....
syukurlah. Tapi.... maafkan.... Ibu..... nampaknya Ibu... tak bisa ikut
bersamamu...” Tangannya yang sebelumnya memegang pipiku dengan kuat mulai melemas
dan akhirnya terlepas. Cahaya yang terpancar dari matanya mulai memudar.
Matanya yang sebelumnya menatapku perlahan mulai menutup. Namun walau begitu,
senyuman tulus itu tetap terjaga. Ekspresinya yang sungguh hangat membuat
hatiku terasa hancur.
Saat itu, entah mengapa air mataku
mengalir dengan sendirinya. Rasa sakit di dadaku yang tak tertahan membuatku
tak bisa menahannya. Entah mengapa aku tak ingin tangannya terlepas dari
pipiku. Entah mengapa aku menangis.
Ibu....
***
“Radhika, menurutmu, siapa sebenarnya
aku ini?”
Angin berhembus kencang, meniup rambut
gondrongku dan Radhika. Tatapan serius yang kukeluarkan tak membuat Radhika
terganggu sedikitpun. Dia tetap berusaha tenang dalam segala keadaan. Bahkan,
walau saat ini kedua orang tuanya sedang ditahan, dia tetap tenang dan tidak
bertindak ceroboh.
Radhika kembali menatap langit hitam
berhias bintang-bintang. Rembulan yang terang memancarkan cahayanya, membuat
malam menjadi terang. “Benar juga ya. Kau adalah aku dan aku adalah kau.”
Radhika kembali tertunduk dan menengok gedung les tersebut. Mendengar
jawabannya, membuatku merasa dilema, aku tak ingin mengakui hal itu, namun mau
tidak mau itulah kenyataan.
Aku menggigit bibirku, tanganku
mengepal karena kenyataan ini dan entah mengapa aku tidak berani untuk menatap
ke depan. Namun tak lama kemudian, dia menengok ke arahku dan tersenyum.
“Tapi, mau bagaimanapun juga, kau
adalah Dimo Ramadhan. Terlepas dari siapa diriku ini. Kenyataan bahwa siapa dirimu
yang sebenarnya memang tidak bisa diubah, namun bukan berarti kau harus hidup
sebagai diriku. Kehidupanmu adalah kehidupanmu, kehidupanku adalah kehidupanku.”
Wajahku terdongkak, kata-katanya yang
tak terduga membuat dilemaku menghilang. Aku menatapnya lalu tersenyum lega
“Benar juga, ya....”
“Ayo, kita harus segera pergi.” Radhika
menunjuk gedung les itu dengan menggerakkan kepalanya. Dia mundur beberapa
langkah lalu melompat terjun diikuti olehku. Setelah jarak antara kami dengan
atap gedung sudah cukup dekat, kami menarik dan membuka parasut. Angin-angin
dengan kencang meniup kami. Aku bahkan bisa mendengar suara gesekan udara
dengan sangat jelas.
Setelah mendarat dan merapihkan
parasut, kamipun melapor dan mulai masuk dengan melalui tangga darurat.
Tiba-tiba, terdengar sebuah ledakkan dari dalam gedung. Asapnya yang berwarna
putih kecoklatan meluap keluar melalui sebuah kaca yang pecah.
***
Terdengar suara teriakkan yang menggema
ke seluruh koridor. Bahkan Sindy, Zaki dan Leila yang terpisah dari Divisi 7
akibat ledakan tadi bisa mendengarnya dengan jelas dari sisi lain gedung yang
terpisah akibat ledakan. Hawa panas menyengat yang berasal dari api yang
tercipta akibat ledakan tadi seakan-akan membuat tubuh mereka meleleh.
“Suara apa itu?!” Zaki yang penasaran
langsung berlari menghampiri sumber suara tersebut.
“Tunggu dulu!” Sindy mengangkat
tangannya dan berniat untuk meraih kerah Zaki, namun dia terlambat. Tiba-tiba
terjadi ledakan kembali. Membuatnya terasa tak mungkin untuk bisa dipadamkan
dalam waktu dekat. Sindy dan Leilapun mengurungkan niatnya untuk menunggu Kak
Indra memadamkan api tersebut dan pergi mengejar Zaki.
Suara teriakkan itu menuntunnya menuju
ke sebuah tangga yang mengarah langsung ke lantai di atasnya. Satu demi satu
anak tangga dia naiki. Sampai akhirnya, dia sampai di lantai dimana suara itu
berasal. Zaki melihat orang-orang dari anggota Divisi terbaring tak sadarkan
diri di ruangan itu. Dia langsung menghampiri satu persatu anggota dan berusaha
untuk membangunkannya, namun tak berhasil. Tiba-tiba, terdengar lagi suara
teriakkan seseorang. Dia juga melihat sebuah cahaya berwarna merah berkedip di
ruangan tersebut.
“Siapa kau?!” Zaki menarik pedangnya
dan mengambil perisai miliknya. Di hadapannya, terdapat seseorang yang memakai
topeng dan jubah yang tangan kirinya menggenggam wajah dari salah seorang
anggota Divisi 6 yang nampak berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan tangan
orang itu dari wajahnya. Namun tak lama kemudian, tangan kanan dari orang itu
menyentuh sebuah pilar disampingnya.
“Open the Seal : Craft – Stone Sword.”
Tiba-tiba dia menarik sebuah pedang batu dari dalam pilar tersebut dan hendak
akan menusuk orang yang digenggamnya.
“Hentikan!!!” Zaki langsung berlari
untuk menghentikannya, namun dia terlambat. Pria bertopeng itu tepat menusuk
leher orang yang digenggamnya dan melepaskannya bersamaan dengan pedang batu
yang tertancap di lehernya. “Siapa kau sebenarnya?” Menyadari keberadaan Zaki, Pria
Bertopeng itu melepas jubahnya dan mengusap percikan darah yang mengotori
topengnya. Dia berlutut lalu kedua tangannya menyentuh lantai. Melihat sarung
tangan putih yang dikenakkannya, Zaki mendapat satu kesimpulan “Begitu ya...
Jobmu adalah Alchemist.”
“Open the Seal : Craft – Stone Sword
and Stone Shield.” Lagi-lagi, dia menarik pedang batu dan perisai batu dari
dalam tanah. Wujud dari pedang dan perisai itu nampak persis seperti pedang dan
perisai milik Zaki. Bahkan hampir seperti dua benda yang sama. Dia kembali
berdiri. Melihat itu, Zaki langsung bersiap dan mengambil kuda-kuda untuk
menyerang. Setelah melihat kuda-kuda Zaki, diapun mengambil posisi yang sama
persis.
Zaki berlari menghampirinya. Lalu dia
ayunkan pedangnya, namun berhasil dihindari Pria Bertopeng. Zaki tetap
memanfaatkan momen. Dia ayunkan perisainya ke wajah Pria Bertopeng, tapi Pria
Bertopeng itu sudah memperkirakannya dan menahannya menggunakkan perisai
miliknya. Pria Bertopeng itu mengayunkan pedangnya dan berhasil menggores perut
Zaki. Merasa gawat, Zaki langsung menendang orang itu dan melompat menjauh
darinya.
Dia kembali berlari menghampiri Pria
Bertopeng lalu kembali menyerangnya dengan pedang. Namun setiap serangannya
berhasil dibaca dan ditepis dengan mudah oleh Pria Bertopeng “(Apa-apaan orang ini?)” Di sela-sela penyerangan,
tiba-tiba Zaki berjongkok dan menendang kaki orang itu. Namun, tiba-tiba Pria
Bertopeng melempar perisainya ke bawah untuk melindungi kakinya. Tapi, itu sama
seperti yang sudah Zaki harapkan.
Zaki melempar pedangnya ke arah orang
itu dan berhasil menggores pundaknya. Tak berhenti di situ, Zaki memanfaatkan
perisai milik musuh dengan mengambilnya dan menggunakkannya. Dia kembali
berdiri dan memukul perut Pria Bertopeng menggunakkan perisainya lalu dia pukul
wajah orang itu dengan perisai batu. Akibatnya, orang itu terpental beberapa
meter dan menabrak tembok.
Tiba-tiba, pedang batu miliknya terlempar
keluar dari asap dan menusuk paha kiri Zaki. Akibatnya, dia berlutut karena tak
sanggup berdiri. Dia taruh kedua perisainya dan menarik pedang itu keluar dari
pahanya. Setelah pedang itu dicabut, perlahan pedang dan perisai batu mulai
terurai menjadi debu. Melihat itu, Zaki semakin waspada. Dia hendak akan mengambil
perisainya, namun tiba-tiba “Open the Seal : Craft – Stone Wall.” Tercipta
sebuah tembok batu diantara dirinya dan perisai miliknya.
Tembok batu yang tinggi itu
mengelilingi perisai miliknya sehingga membuatnya tak bisa mengambilnya lagi.
Ditambah lagi, saat ini pedangnya tergeletak jauh darinya. Inventorinya juga
kosong dan tak ada senjata pengganti.
“(Gawat,
apa yang harus kulakukan?)” Zaki kembali berdiri, dia langsung berlari
menghampiri pedangnya dan berhasil mengambilnya. Asap sudah menghilang. Pria
Bertopeng itu berjalan dengan santainya seakan tak terjadi apa-apa. Sembari
membersihkan rompi dan kemejanya dari debu, dia berjalan menghampiri Zaki. Zaki
yang masih dalam kedaan siaga, langsung mengayunkan pedangnya tanpa pikir
panjang. Namun, dengan keadaan masih membersihkan rompinya, dia menangkap
pedang Zaki. Zaki mencoba untuk menarik pedangnya, namun genggaman orang itu
begitu kuat sampai-sampai dia tak sanggup untuk menarik pedangnya.
Pria Bertopeng itu memukul perut Zaki
lalu menendangnya sekuat tenaga hingga membuat genggamannya terlepas dari
pedangnya dan terlempar hingga menabrak salah satu pilar. Pria Bertopeng menaruh
pedang milik Zaki lalu kembali berlutut serta menyentuh lantai. “Open the Seal
: Craft – Stone Leash.” Dari Pilar dibelakang Zaki, muncul sebuah batu yang
mengikat seluruh tubuh Zaki. Sekuat apapun, Zaki tak sanggup untuk menggerakkan
tubuhnya, bahkan kedua tangan dan kakinya. Satu-satunya yang bisa dia gerakan
hanyalah kepalanya. “Sudah berakhir.” Dia mengambil pedang milik Zaki dan
berjalan menghampirinya.
Dia angkat pedang itu tinggi-tinggi dan
hendak akan menusuk Zaki. Daripada melihat pedang itu, Zaki lebih memilih untuk
menutup kedua matanya. Tiba-tiba “Hentikan!” Sindy menembak tangan milik Pria
Bertopeng itu dan mengakibatkan pedang milik Zaki terlepas dari genggamannya
dan terjatuh ke lantai.
“Open the Seal : Triple Wind Arrow.”
Anak panah itu ditembakkan kearah Pria Bertopeng. Melihat serangan itu, dia
melompat mundur untuk menghindar. Bersamaan dengan mundurnya Pria Bertopeng
itu, Leila dan Sindy langsung berlari menghampiri Zaki. Sementara Sindy mencari
cara untuk menghancurkan batu yang mengikat Zaki, Leila mengarahkan busur dan anak
panahnya ke Pria Bertopeng “Apa kau baik-baik saja, Maulana?”
“Ya, berkat kalian.” Zaki tertawa lega.
“Siapa kau sebenarnya?” Sindy berbalik
dan mengangkat tangan kanan yang menggenggam pistol.
Pria Bertopeng itu tertawa setelah
melihat Sindy “Ironi sekali. Lama tak berjumpa, Sindy. Sekarang kau sudah besar
ya.” Dia menghampiri salah satu pilar dan bersandar.
“Jawab saja! Siapa kau sebenarnya?”
Bentak Sindy sembari mengangkat tangan kirinya.
“Oi, oi, kau ini kejam sekali karena
tidak mengingatku. Ya sudahlah, lupakan saja. Perkenalkan, namaku adalah The Mask aku adalah salah satu dari
kelima Anggota Besar. Karena kalian adalah teman Sindy, kalian boleh
memanggilku Seno.” Seno membelakangi Sindy dan yang lainnya lalu melepas
topengnya untuk memamerkannya. Lalu, dia kenakan kembali topeng itu dan kembali
menghadap Sindy.
“(Seno?!)
Jawab, bagaimana caranya untuk menghilangkan batu ini?!”
“Jika itu adalah maumu, Dek Sindy” Dia
menepuk pilar di sebelahnya, lalu tak lama kemudian batu yang mengikat Zaki
serta tembok batu yang mengelilingi perisai milik Zaki mulai mengurai menjadi
debu. Setelah terurai sepenuhnya, Zaki langsung kembali berdiri dan mengambil
perisai serta pedangnya. Semuanya terheran-heran, mengapa Seno dengan mudahnya
melakukan hal yang diinginkan oleh Sindy. Namun, semuanya juga tak mau
memikirkan hal itu, saat ini yang terpenting adalah mengalahkan orang itu.
Disaat Sindy, Zaki dan Leila hendak akan maju bersama, tiba-tiba ada batu yang
keluar dari lantai yang mengikat Zaki dan Leila. Melihat itu, Sindy langsung
terhenti dan berbalik “Tunggu dulu, tahan dulu. Aku hanya tertarik untuk
bertarung melawan Dek Sindy.”
“Jangan bercanda! Kau kira kami akan
bersedia begitu saja?” Sindy berbalik dan mulai menembaki Seno. Namun walau
begitu, Seno langsung menghindar dengan bersembunyi di balik pilar.
“Siapa bilang aku butuh persetujuanmu?”
Tiba-tiba, batu yang mengikat tubuh Leila dan Zaki semakin kencang dan semakin
kencang. Membuat Zaki dan Leila semakin tak kuasa bernapas.
Sindy terdiam. Kekesalannya semakin
memuncak setelah melihat kondisi Leila dan Zaki. “Baiklah! Akan kuturuti
permintaanmu!” Bentak Sindy. “Tapi sebelum itu, lepaskan dulu teman-temanku.”
“Baiklah, cukup adil.” Dia menepuk
pilar dan batu yang mengikat Leila dan Zakipun mulai mengurai. Dia berjalan
menjauhi pilar dengan kedua tangan terangkat ke atas. Setelah terlepas, Zaki
dan Leilapun terjatuh lemas. Mereka terbatuk-batuk karena sebelumnya tak bisa
bernapas.
“Zaki, Leila, pergilah duluan. Aku yang
akan menanganinya.” Sindy berjalan maju sembari mengisi ulang amunisi
pistolnya.
“Sindy....” Zaki mencoba untuk berdiri
dengan bertumpu dengan pedangnya lalu membantu Leila untuk berdiri.
“Tenang saja, aku pasti akan menyusul
kalian.” Sindy sedikit menengok dan tersenyum tulus. Melihat senyuman tulusnya,
membuat Zaki tak bisa berkata-kata. Saat ini yang bisa dia lakukan adalah
mempercayakan semuanya kepada Sindy.
“Tapi—”
“Baiklah, kami mengerti. Kami akan segera
pergi dari sini.” Potong Zaki sembari menggantung perisainya dan menyarungkan
pedangnya sementara Leila menyimpan panahnya di Arrow Rest “Oh ya, Sindy. Pastikan kau menghajar orang itu dan
segeralah susul kami.” Zaki dan Leilapun berlari menuju ke sebuah lorong yang
terhubung dengan ruangan lain.
“Tentu saja.” Sindy melambaikan
tangannya saat Zaki dan Leila pergi. Tak lama kemudian tatapannya berubah.
Dengan kedua tangannya yang menggenggam pistol, dia tatap Seno dengan fokusnya
yang tinggi.
“Baiklah, ayo kita mulai permainan
ini.”
***
Sebuah pedang cahaya melesat dengan
cepat dan menggores pundak Mbak Anna. “(Gawat....)
Semuanya, berlindung!” Mbak Anna melompat memasuki sebuah ruangan kelas untuk
menghindari pedang-pedang cahaya sementara anggota-anggota Divisi 4 dan 5
berlindung dengan bersembunyi di balik ruang kelas. “(Pedang itu, tidak salah lagi....)” Mbak Anna menarik pedang dari
sarung lalu sedikit menengok ke luar ruangan—memastikan bahwa anggotanya
baik-baik saja lalu menengok kearah dimana pedang cahaya itu berasal.
Di lorong antar kelas, seorang pria
berjalan dengan santainya. Lingkaran berwarna biru yang ada dibelakangnya terus
menciptakan pedang-pedang cahaya bagaimanapun keadaannya. Suara langkah kakinya
yang menggema keseluruh lorong membuat atmosfir semakin mencekam.
“Mau sampai kapan kalian bersembunyi?”
Dent mengambil sebuah pedang cahaya, lalu perlahan pedang cahaya itu berubah
menjadi pedang yang nampak elegan dan juga baru. Mbak Anna melempar sebuah meja
keluar lalu berlindung di belakangnya.
“Open the Seal : Light Sword.” Dari
tangan kirinya tercipta sebuah pedang cahaya. Lalu, dia lempar pedang tersebut
ke arah Dent. Melihat itu, Dent melempar salah satu pedang cahayanya untuk menahan
pedang cahaya milik Mbak Anna. Tak cukup sampai disitu, kali ini Mbak Anna melempar
tiga pedang sekaligus. Namun, lagi-lagi pedang itu berhasil ditepis olehnya.
“Hmm... kemampuan yang sama dengan
milikku. Menarik.” Dent menunduk dan melihat pedang-pedang cahaya milik Mbak
Anna. Tanpa dia sadari, Mbak Anna sudah tepat dihadapannya.
“Open the Seal : Light Boost” Dengan
cepat dia menarik pedangnya dari dalam sarungnya lalu mengangkat pedangnya.
“Open the Seal : Light Sword” Disaat pedang yang digenggamnya mulai bercahaya, Mbak
Anna langsung mengayunkan pedangnya dan hendak akan menebas Dent. Namun, Dent
dengan mudahnya menahan serangan itu menggunakkan pedang yang digengamnya. Mbak
Anna berdecap kesal “Open the Seal : Light Hand.” Dia mendekatkan tangan
kirinya yang bercahaya kewajah Dent lalu melompat mundur. Sementara Dent yang
sibuk mengusap matanya akibat serangan tadi “Aku tak punya waktu untuk
meladenimu.” Mbak Anna membuka inventori lalu mengambil sebuah pedang untuk
digunakan di tangan kirinya.
“Begitu. Kalau begitu, aku akan
mengakhirinya dengan cepat.” Tiba-tiba Dent sudah berada di belakang Mbak Anna.
Saat Mbak Anna menyadarinya, sudah terlambat. 3 Pedang cahaya milik Dent
langsung menusuk tubuh Mbak Anna.
Dengan perlahan, Mbak Anna menengok ke
bawah—melihat ketiga mata pedang yang sudah tertusuk di tubuhnya. Tubuhnya
terasa lemas, pandangannya mulai kabur, pikirannya mulai kosong, tak lama
kemudian Mbak Anna terjatuh lemas. Melihat kondisi Mbak Anna, dua orang
berjubah yang merupakkan anggota Divisi 4 langsung berlari menghampiri Mbak
Anna.
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment