Yak, dengan begini, berakhir sudah vol.1 dari novel ini. Minggu depan vol. 2 chapter 1 akan dimulai.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Sisa waktu : 2 menit 40 detik.
“Sial, padahal dia sudah terluka
seperti itu, tapi kenapa dia kuat sekali.” Aku mencoba berdiri dengan bertumpu
pada pedangku. Meski aku dan Kak Indra sudah mengerahkan segala yang kami bisa,
kami tetap tak sanggup memberi luka yang fatal kepada Dent. Bahkan nampaknya
anggota-anggota Divisi 6 dan 7 sudah kelelahan.
“Sudah waktunya ya....” Dent melihat
arloji di lengan kanannya lalu menatapku dan Kak Indra. “Kurasa sudah waktunya
kita mengakhiri ini.” Tiba-tiba, seluruh ruangan di area itu bergetar. Bahkan
aku bisa merasakan tekanan yang luar biasa. Tembok-tembok mulai retak, tekanan
udaranya begitu terasa, bahkan aku dan yang lainnya tak bisa bergerak
sedikitpun.
Namun tiba-tiba semua itu terhenti.
Dent yang sebelumnya nampak tenang berubah menjadi kesal. Dia menengok
kesana-kemari seakan mencari seseorang. Lalu tak lama kemudian dia berteriak
“Keparat kau, Ratu Putih!!!” Tak lama kemudian dia mulai menghela napas lalu
kembali tenang.
“Kurasa, cukup sampai disini saja. Kita
akan melanjutkannya lain waktu.” Dent menggerakkan lingkarannya mendekati
tembok lalu menempelkannya. Tak lama kemudian, tercipta semacam portal berwarna
hitam. Dengan santainya, dia berjalan memasuki portal tersebut. Dan entah
mengapa, tak ada satupun dari kami yang berani mencegah kepergiannya. Tak ada
satupun dari kami yang sanggup bernapas dengan lega setelah apa yang sudah dia
lakukan. Bahkan tak ada satupun keringat yang menetes dari tubuh kami.
Setelah kepergiannya, kami semua
terjatuh lemas. Kami mengatur napas kami meski masih dihantui oleh perasaan
tadi. Tak lama kemudian, Radhika, Zaki, Leila dan seluruh tawananpun tiba. Dia
langsung memberitahu keadaan saat ini. Saat itu, secara tidak sengaja aku
bertemu dengan kedua orang tua Radhika. Wajah Ibunya sangat mirip dengan wajah
seorang wanita yang kutemui waktu itu. Bahkan
mereka napak kebingungan saat melihat diriku. Melihat kondisi yang canggung
ini, Radhikapun memberi tahu keadaan yang sebenarnya kepada kedua orang tuanya.
Mbak Anna yang sudah siuman langsung memeluk Kak Andri dan menumpahkan seluruh
perasaan yang dibendungnya selama ini.
***
Sisa waktu : 45 detik.
“(Ada
apa ini... dia bisa dengan mudah membaca seluruh pergerakanku.)” Sindy
mengisi ulang amunisi dari pistolnya lalu kembali berlari sembari menembaki
Seno, namun Seno dapat dengan mudah menangkis peluru-peluru Sindy menggunakkan
sarung tangan batunya, ditambah lagi tak lama kemudian sarung tangan itu
kembali menjadi pulih. Tak lama kemudian, Seno melompat dan hendak akan memukul
Sindy menggunakkan sarung tangan batu miliknya. Sindy dengan mudah menghindari
serangan itu, lalu mengisi ulang amunisi, namun saat dia sadari ternyata itu
adalah amunisi terakhir miliknya.
“Apa kau tahu? Elemen tanah lemah
terhadap elemen petir?” Sindy menembakkan satu peluru menggunakkan pistol
kanannya lalu tak lama kemudian menembakkan satu peluru lagi dengan pistol
kirinya.
“Lalu mengapa?” Seno lagi-lagi berusaha
untuk menahan peluru itu dengan menggunakkan sarung tangan batunya. Dia
berhasil menahan peluru pertama “Percuma saja.”
“Sungguh? Open the Seal : Thunderstorm
Bullet” Seketika, peluru kedua yang ditembakkan Sindy berubah menjadi banyak
dan berubah menjadi petir. “Awas badai.” Sindy tersenyum.
“Apa?!” Peluru-peluru petir itu
langsung menghujani Seno. Aliran listriknya membuat sarung tangan batu milik
Seno menjadi tak bisa beregenerasi dan hancur. Kejutan listrik itu terus
mengalir ke seluruh tubuh Seno hingga membuat tubuhnya terluka cukup parah.
Bahkan membuat topeng batu milik Seno menjadi rusak.
“Aaah.... Sial, kalau begini aku harus
membuat topeng baru.” Seno melepas topengnya lalu membuanya dengan santainya.
“Dan dengan begini, kau jadi melihat wajahku.”
“Kau....” Sindy terdiam. Dia terjatuh
lemas karena tidak percaya dengan apa yang sudah dia lihat. Mulutnya ingin
berkata banyak, namun terlalu kaku untuk bisa berkata-kata. Pikirannya menjadi
kosong. Matanya tidak berkedip sedikitpun. Bahkan dia tidak bisa bergerak
karena syok.
“....Kakak.”
Waktu habis.
Terjadi ledakan di mana-mana. Asap
berwarna hitam mulai memenuhi seluruh ruangan di gedung. Suara gemuruh yang
memekakkan telinga. Api mulai menjalar kemana-mana, menjilat apapun yang ada di
sekitarnya. Ruangan yang gelap langsung menjadi terang karena datangnya si jago
merah.
“Nampaknya waktunya sudah habis. Maaf
Sindy, aku harus pergi.”
Mendengar itu, Sindy tak bisa berdiam
diri saja. Dia ingin berdiri dan mengejar Seno. Namun kakinya tak mau di
gerakkan, kakinya terasa kaku seakan menolak untuk bergerak. Sindy mengangkat
tangannya dan mengepalkannya seakan menangkap Seno, namun jarak diantara mereka
terlalu jauh. “Tidak... kakak... Kak Seno...” Sekuat tenaga, Sindy mencoba
untuk berdiri. Dia mencoba menggerakkan kakinya untuk mengejar Seno. Napasnya
mulai sesak karena asap, panasnya api sangat menyengat, suara ledakan yang
memekakkan telinga begitu terasa. Tiba-tiba, Sindy tersandung sebuah bongkahan
batu yang tercipta karena ledakan. Disaat mencoba untuk kembali berdiri,
terjadi sebuah ledakan yang membuat jalan antara dirinya dan Seno hancur dan
runtuh.
“Sindy, dimana kau?” Aku berlari ke
tempat Sindy yang sudah diberitahu oleh Zaki dan Leila. Meski asap sudah
memenuhi ruangan dan kadar oksigen yang ada tinggal sedikit, aku tidak peduli.
Aku melihatnya yang terduduk lemas. Aku
berniat untuk memanggil namanya, namun aku langsung mengurungkan niatku setelah
melihat adanya tetesan air mata. Aku berjalan menghampirinya lalu memegang
pundaknya. “Sindy, ayo pergi.” Menyadari keberadaanku, Sindy perlahan menengok.
Air matanya yang jernih mengaliri wajahnya dan turun menetes membasahi lantai
yang panas.
“Dimo....”
Ini pertama kalinya aku melihat Sindy
hingga seperti ini. Sindy yang kukenal adalah seseorang yang selalu tenang dan
tak pintar mengekspresikan diri, namun sebenarnya dia adalah orang yang baik
dan peduli dengan semua temannya.
Entah
apa yang sudah dialaminya hingga sudah membuatnya seperti ini, namun hanya satu
hal yang bisa aku lakukan saat ini.
Aku mengulurkan tanganku lalu tersenyum
tulus dan mengatakan satu hal “Ayo pulang.”
Dia tertuntuk sejenak lalu mengusap air
matanya. Dia angkat wajahnya lalu mempersiapkan hatinya. Setelah cukup tenang,
dia tersenyum lalu meraih tanganku “Ayo.”
***
Sebulan telah berlalu sejak saat itu. Hari
ini, alat antar dimensi yang akan mengantar Dimo Radhika dan kedua orang tuanya
kembali ke dunia asalnya telah jadi. Alat itu begitu kecil dan hanya bisa
sekali pakai saja. Untuk membuatnya saja dibutuhkan waktu selama sebulan.
Ritual pengiriman kembali Radhika ke dunia asalnya di adakan di ruang turnamen
milik Bum Corp. menurut Pak Bum, hanya ruangan inilah yang cukup besar untuk
membuka portal menuju ke dunia cermin.
Radhika menaruh alat itu di lantai,
lalu tak lama kemudian keluarlah sebuah portal yang ukurannya hampir besar
dengan ukuran ruangan ini. Angin yang berhembus kencang keluar dari dalam
portal tersebut. Aku hampir tidak mempercayai apa yang kulihat, portal
berukuran besar dan berwarna putih itu terhubung langsung dengan dunia
cermin—dunia dimana Radhika seharusnya berada. Semuanya menyaksikan proses
kepergian Radhika. Bahkan Mbak Anna sekalipun.
“Baiklah, aku pergi ya.” Radhika dan
kedua orang tuanya melabaikan tangan kepada kami sesaat sebelum pergi. Namun,
saat kedua orang tua Radhika sudah pergi, dia terhenti lalu berbalik.
“Dimo, sebelum aku pulang ada yang
ingin kuberitahu padamu.” Mendengar itu, aku langsung berjalan maju
mendekatinya. “Ini mengenai seseorang...” Radhika tertunduk sejenak sembari
menggigit bibirnya.
“Seseorang? Siapa?”
Radhika memejamkan kedua matanya
sembari tersenyum ragu “Ah, tidak. Kurasa tidak sopan jika aku memberi tahu
tentangnya tanpa ada persetujuannya.” Lalu dia buka kembali kedua matanya
sembari tertawa dan menggaruk-garuk rambutnya.
“Oi, oi, kau mau pergi dengan membuatku
penasaran?” Aku mengatakannya dengan kesal sembari mengelus-elus belakang
leherku.
“Ya, begitulah.” Radhika menyeringai
sembari berbalik dan melambaikan tangan kanannya “Sampai jumpa.” Dia mulai
berjalan menuju ke portal.
“Jangan bercanda!!” Balasku dengan
kesal. Aku hendak ingin mengejarnya, namun Zaki menahanku dengan mengkunci
kedua tanganku.
Karena tingkahku, dia tertawa. Lalu
lambaian tangannya berubah menjadi sebuah jempol sebagai ucapan terima kasih
kepadaku.
“Berlibur?” Zaki menjilat es krim
miliknya sembari memberikan es krim milikku sementara Leila dan Sindy masih
mengantri membeli es krim. Sinar mentari yang cerah membuat hari ini terasa
panas. Bahkan seakan-akan aku bisa memasak telur di atas meja. Suara jangkrik
begitu keras, lebih keras dari biasanya. Saat aku menatap ke atas langit, tak
ada satupun awan bisa kulihat. Mungkin, ini adalah hari paling panas di tahun
ini. Es krim yang begitu dingin seakan menjadi penawar racun bagi kami. Sekali
aku menjilatnya, rasanya seakan panas yang sedang terjadi bukan apa-apa.
“Ya, setelah kami diskusikan, kami
memutuskan untuk libur sejenak untuk melupakan semua masalah yang ada.” Mbak
Anna memakai sunglass lalu memakai topi musim panas.
“Kami berdua juga ikut lho.” Entah
bagaimana Ani dan Eni tiba-tiba muncul dari belakang Mbak Anna dengan pakaian
hawainya yang begitu mencolok, ditambah dengan pose mereka saat muncul dari
belakangnya.
“Kalian ya... oh ya, kalian masih belum
minta maaf karena sudah mengejarku dan sudah menumpahkan minumanku.” Aku
berusaha mengejar mereka berdua dan melakukan perhitungan dengan menggelitik
mereka, namun mereka malah mencoba berlari menghindariku.
“Ngomong-ngomong, memangnya Kak Anna
dan Kak Andri ingin berlibur di mana?” Leila datang sembari menjilat es
krimnya.
“Hmmm.....” Mbak Anna berpikir dengan
menggaruk pipinya menggunakkan telunjuk lalu tersenyum “ ....Kepulauan Seribu.”
“Wah, romantis sekali....” Leila
menggenggam kedua tangan Mbak Anna dengan ekspresi yang begitu senang.
“Aku juga berpikir begitu.” Balas Mbak
Anna dengan semangatnnya.
Melihat Leila dan Mbak Anna membuat
Sindy terheran-heran. Diapun menghampiri Zaki lalu berbisik kepadanya “Bukankah
sudah wajar?”
“Yah, Sindy, kau ini sama sekali tidak
mengerti ya.” Zaki menepuk-nepuk pundak Sindy hingga tak sengaja membuat kemeja
Sindy terkena es krim. Melihat itu, Zaki langsung terhenti dan bertingkah
seakan-akan kejadian tadi tidak pernah terjadi. Sementara Sindy hanya terdiam
tanpa kata-kata. Mbak Anna tersenyum melihat tingkah laku kami semua, sampai
akhirnya dia teringat satu hal.
“Dimo, kemarilah.” Aku beserta Ani dan
Eni terhenti setelah mendengar permintaan Mbak Anna. Tanpa pikir panjang, aku
langsung menghampirinya.
“Ada apa?”
Tiba-tiba, dia memukul perutku. Aku
memejamkan mataku, karena aku tahu bahwa dia pasti akan melakukan lebih dari
hanya memukul perutku.
Eh,
tunggu. Apa ini? Kenapa dia tidak memukulku lagi?
Aku membuka kedua mataku. Hal yang
tidak pernah kuguda sebelumnya terjadi. “Tu—Apa?!” Rambutnya yang berwarna ungu
begitu dekat denganku. Aku bisa mendengar suaranya saat bernapas. Kulitnya yang
putih dan jernih. Serta aroma sampo dari rambutnya.
Ditambah lagi wajah Leila yang menjadi
merah merona, ekspresi Zaki yang begitu terkejut, dan Sindy yang pipinya
menjadi merah merona, lalu Ani yang berusaha menutup mata Eni dengan tangannya.
Saat itu aku tersadar, bahwa dia sedang
memelukku.
“Terima kasih.... dan maaf karena sudah
melakukan hal buruk kepadamu.” Kata-kata yang diucapkannya begitu terdengar
lembut dan tenang. Begitu berbeda dengan saat pertama kali aku dan dia bertemu.
Memang saat itu begitu kacau, bahkan kami tidak berkenalan sama sekali. Karena
itulah aku sama sekali tidak menyangka ini akan terjadi.
Entah mengapa wajahku memerah, rasa
malu dan senang ikut bercampur bersama menjadi sesuatu yang lain “Y-ya,
ti-tidak masalah. Ya-yang lalu biarlah berlalu.” Entah mengapa rasa malu ini
membuatku menjadi susah berkata-kata.
“Kalau begitu, sampai berjumpa lagi.” Mbak
Anna, Ani dan Eni melambaikan tangannya bersama sesaat sebelum memasuki mobil.
Aku, Zaki, Leila, dan Sindy yang menyaksikan kepergiannya membalas dengan
melambai balik.
Tak lama setelah dia pergi, Zaki dengan
santainya menepuk pundakku lalu berbisik “Cie-cie, menang banyak.”
“Ya enggak lah!” Aku membantahnya lalu
menangkap tangannya untuk ku pelintir sebagai balasan.
“Jadi ini yang namanya kesempatan dalam
kesempitan.” Sindy menunduk kebawah sembari memegang dagu seakan sedang
berpikir keras.
Aku melepas tangan Zaki lalu berbalik
“Kenapa kau memikirkannya sampai seperti itu?”
“Di-Dimo.... mesum.” Leila membuang
pandangannya dariku sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Yah, mesum dari mananya?!”
Melihatku yang selalu membuat tanggapan
tajam atas komentar mereka, merekapun tertawa. Entah mengapa, tawa mereka
membuat rasa kesalku menghilang begitu saja. Aku tersenyum lalu kututup kedua
mataku. Aku mendongkak keatas lalu memandang langit dengan mentarinya yang
terik. Setelah kulihat-lihat, langit hari ini begitu biru. Seperti Laut.
***
“Dimo..... Akhirnya kita akan bertemu
lagi.” Gadis berambut putih itu menengok ke arah pohon—melihat sebuah ukiran
“Dimo dan Ani.”
Rambut putihnya tertiup angin. Dia
memandang langit biru cerah tanpa awan.
“Langit hari ini begitu biru ya.
Seperti Laut saja.”
~BERSAMBUNG KE VOL.2~
No comments:
Post a Comment