Oke, oke oke...
akhirnya arc panjang ini mencapai salah satu klimaksnya juga.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
akhirnya arc panjang ini mencapai salah satu klimaksnya juga.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Perlahan mulai muncul sebuah suara. Suara
tersebut semakin jelas dan semakin jelas seiring berjalannya waktu. Dimo
menghampiri sumber suara tersebut yang letaknya nampak dari samping gedung. Dia
berpegangan ke pagar beton lalu menengok ke bawah. Kedua matanya langsung
terbuka lebar, pelipis yang berwarna hitam itu menunjukkan rasa tidak percaya
dan rasa terkejutnya. Tepat di hadapannya, ada aku. Aku meluncur kearahnya lalu
mengambil pedangku dari dalam inventori “Leila!” Aku tancapkan pedangku ke pagar
dan meraih pagar tersebut. Dengan gravitasi yang seakan menarik kakiku, aku
memanjat pagar tersebut dan sampai ditempat yang selama ini kutuju.
“Aku adalah kau, dan kau adalah aku.”
Dia mengangkat pedangnya dan menunjukku dengan pedangnya.
“Jangan bercanda!” Aku berlari kearahnya
lalu melafalkan skill Moonlight Sword. Dengan pedangku yang bercahaya yang lebih
kuat dari pedang pada umumnya, aku mengayunaknnya dengan segenap kekuatanku.
Namun, dengan mudah dia menangkis pedangku. Pedangnya yang berwarna hitam,
berkebalikan dengan pedangku, dengan mudahnya menangkis seranganku.
“Bukan hanya kau yang bisa menggunakkan
skill ini.”
Aku menendang kakinya dan berhasil
merusak keseimbangannya, lalu mendorongnya dan membuatnya terjatuh. Aku
langsung memanfaatkan momen itu untuk menyelamatkan Leila. Namun sesaat aku
melintas melewatinya, dia menebas kakiku dan membuatku terjatuh.
Luka akibat serangannya nampak berbeda
dengan serangan pada umumnya. Biasanya, luka pada tubuh sebuah avatar akan
mengeluarkan cahaya, namun pada serangannya, luka yang diakibatkan mengeluarkan
sebuah asap berwarna hitam pekat. “Apa kau bingung? Tenang saja, perlahan luka
tersebut akan menyebar keseluruh tubuhmu.” Dimo menancapkan pedangnya ke lantai
untuk membantunya kembali berdiri tegak sementara aku yang bangun dan mundur
secara perlahan menghampiri Leila. Aku melirik sebentar kearah Leila lalu
menyembunyikan tangan kiriku ke belakang tubuhku. Sebelum aku mendarat, atau
sesaat setelah Mbak Anna mendorongku, aku menyempatkan diriku untuk mengambil
revolver milikku dan menyimpannya di saku belakang celanaku. Dengan jaket
milikku, revolver dan saku belakang tersebut takkan nampak dan diketahui
olehnya.
Dengan cepat, kuambil revolver tersebut
lalu menembakkannya. Namun, dengan mudahnya dia menepis peluru tersebut dengan
pedangnya “Kau kira aku takkan menduga serangan tersebut?” Dia menyeringai lalu
mengangkat pedangnya “Seharusnya kau melakukan lebih dari itu.” Perlahan, energi
mulai terkumpul didalam pedangnya. Energi tersebut terkumpul dengan sendirinya
tanpa dia harus lafalkan terlebih dahulu.
Tanpa pikir panjang, aku langsung
mengambil kuda-kuda “Open the Seal : Moonlight Shard!” Sebelum dia selesai
mengisi energi, aku melemparkan satu serangan penuh Moonlight Shard kearahnya.
Dengan santainya, dia menatap moonlight shard milikku. Energi yang sudah
terkumpul di pedangnya membuat pedangnya menjadi berwarna hitam pekat dengan
aura berwarna merah darah.
“Open the Seal : Dark Moonlight Shard.”
Dengan cepat dan tanpa ragu dia
mengayunkan pedangnya—melempar moonligh shard miliknya. Cahaya berwarna hitam
dengan aura merah tersebut terlempar dari pedangnya dengan cepat.
Moonlight Shard miliknya nampak lebih
kuat dan lebih cepat dari milikku dan dengan mudahnya mengalahkan Moonlight Shard
milikku. Aku menyadari Leila yang sedang berada di belakangku takkan mampu
menghindari serangan yang tepat mengarah kearahku itu “(Gawat!) Open the Seal : Super Moonlight Shard – Super Moonlight
Sword.” Aku menahan serangan tersebut dengan pedangku sekuat yang kubisa.
Moonlight Shard miliknya terasa berat sampai-sampai membuatku sempat terdorong
ke belakang. Apalagi dengan kondisi luka di kakiku yang nampaknya mulai
menyebar. Kakiku mulai mengeluarkan efek samping, meski hanya sesaat, tadi aku
sempat hampir kehilangan keseimbanganku. Jika aku terus menahannya seperti ini,
aku mungkin akan terjatuh sungguhan.
Dengan sekuat tenaga aku langsung
menepis serangan itu. Akibatnya serangan tersebut berbelok kearah lain dan
menghilang. Setelah mengatur napas dan memastikan kondisi Leila yang baik-baik
saja, aku melompat mundur menghampiri Leila.
“Leila, apa kau baik saja?”
“A, aku baik-baik saja. Yang lebih
penting, kalian harus menghentikan pertarungan kalian.”
“Bertahanlah, aku akan segera
melepaskan ikatanmu setelah mengatasinya.” Tanpa mendengarkan perkataan Leila,
aku langsung berlari kearahnya. Aku melirik kesana kemari, mencari cara untuk
mengatasi lemahnya moonlight shard milikku. Namun, nampaknya dia sudah
mempersiapkan tempat ini sehingga membuatku tak bisa memanfaatkan apapun.
“Melihat apa kau?” Tanpa kusadari dia
sudah berada di belakangku dan siap untuk menebasku kapan saja. Saat dia
mengayunkan pedangnya, aku langsung menahannya dengan segenap kekuatanku.
Namun, tiba-tiba kepalaku terasa sakit tak lama setelah pedang kami beradu.
Sakit kepala ini juga nampaknya dialaminya, akibatnya dia langsung mundur
menjauh dariku. Saat sakit kepala itu menerjang, muncul beberapa ingatan yang
sangat asing di kepalaku seakan ingatan tersebut mencoba untuk mendobrak
memasuki otakku.
“(Apa
itu tadi...?)” Sembari memegang kepalaku yang masih terasa agak sakit, aku
berbalik menghadapnya. Tanpa menghiraukan sakit kepala itu, Dimo mulai
tersenyum dan tertawa lepas. “Apa yang kau tertawakan?” Dia tertawa lepas
sampai-sampai matanya mengeluarkan air mata. Setelah menyeka air mata dan
tawanya mereda dia mulai tersenyum.
“Tidak, hanya saja, aku tidak menduga
bahwa kau dulu tak bisa membaca strawberry.”
Mataku langsung terbelalak, rasa malu
bercampur rasa sedih langsung menghampiri diriku. Tak lama kemudian mulai
muncul rasa kesal, rasa kesal dan rasa sedih yang tak tertahankan. Aku menatap
tajam dia “Dari mana kau tahu itu?” Aku langsung berlari menerjang kearahnya
dengan cepat. Melihat reaksiku, senyum itu langsung terhapus dari wajahnya dan
mulai muncul tatapan serius dari matanya. Aku menyimpan kembali revolver
milikku lalu menggenggam pedangku dengan kedua tanganku. “Open the Seal :
Moonlight Shard” Aku mengayunkan pedangku secara vertikal untuk melempar skill
tersebut. Akibatnya, Moonlight Shard yang tercipta tegak lurus dan lebih tinggi
dariku.
“Kau tidak belajar dari pengalaman,
ya.” Dengan mudah Dimo menepisnya menggunakkan pedangnya yang sudah berubah
menjadi hitam, namun tanpa dia duga, aku akan muncul dari balik Moonlight Shard
yang kulempar dan sudah siap untuk menebasnya.
“Open the Seal : Super Moonlight Shard
– Super Moonlight Sword.” Tebasan tersebut berhasil mengenai pundak kirinya.
Disaat tangan kirinya siap menebasku dengan pedangnya, kulepas genggaman tangan
kiriku dari pedangku lalu mengambil kembali revolver dan langsung menembak tangan
kirinya. Akibatnya, pedangnya terlepas dan terlempar dari tangan kirinya.
“Boleh juga.”
Tangan kanannya mulai berubah menjadi
hitam lalu mencengkram pedang milikku yang tertancap di pundaknnya. Cahaya
berwarna perak yang terdapat di pedangku perlahan mulai padam seakan terhisap
kedalam tangan kanannya. Setelah seluruh cahaya yang ada di pedangku terhisap
sepenuhnya, dia dengan mudah mengangkat pedang tersebut dari pundak kirinya.
Rasa sakit lagi-lagi muncul dari luka yang mulai menyebar di kaki kiriku—membuatku
mulai kehilangan keseimbangan dan tenaga.
“Ada apa? Apa lukamu mulai menyebar?”
Sembari menahan rasa sakit, perlahan aku menodongnya dengan revolver milikku
dan berniat untuk menembaknya, namun dia menendang perutku dengan begitu
kencang dan membuatku terjatuh. Setelah mengambil pedangnya, dia langsung
mengalirkan energinya ke pedangnnya dan menyerangku. Aku yang masih dalam
kondisi terjatuh, menghindarinya dengan menggulingkan tubuhku ke belakang lalu
melompat untuk berdiri.
Sesaat tak lama setelah aku kembali
berdiri, dia berhasil menusuk pundakku dan mendorong mundur diriku. Karena efek
terkejut sehabis tertusuk, secara tak sengaja pedangku terlepas dari tangan
kananku. Dia terus mendorongku sampai aku menabrak pagar pembatas, tak cukup
sampai disitu, dia terus mendorongku sampai membuatku hampir terjatuh.
“Dimo!” Leila yang khawatir atas
kondisiku terus mencari cara untuk melepas ikatannya, tetapi tali yang mengikat
kedua tangannya terlalu kencang sampai-sampai membekas ditangannya.
Sembari terus mencoba untuk menarik
keluar pedang tersebut dari pundakku, perlahan warna hitam yang terdapat di
pedang tersebut merambat menyebar ke tangan dan pundakku “Gawat......
gawat.....” Gumamku.
Aku menendang kakinya lalu membenturkan
kepalaku dengan kepalanya. Akibatnya, aku berhasil terlepas dari genggamannya.
Aku mencabut pedangnnya dari pundakku, namun terasa sebuah sensasi yang sangat
tak mengenakkan saat aku menggenggam pedang tersebut. Pedang tersebut terasa
seperti hidup dan seperti menghisap energiku. Warna hitam yang terdapat di pedang
tersebut juga semakin menyebar di tangan kananku. Entah mengapa, instingku
mengatakan untuk segera melepas pedang tersebut. Maka kutancapkan kelantai
pedang tersebut lalu berlari mengambil pedangku. Dimo kembali berdiri lalu
menarik kembali pedang miliknya yang tertancap di lantai. Aku melihat kembali
kedua tangan dan pundakku, warna hitam yang sebelumnya menyebar ditangan dan
pundakku mulai menghilang sejak kulepaskan pedang tersebut.
“Kurasa sudah cukup bermain-mainnya.”
“Kau benar.” Aku kembali menyimpan
revolver milikku setelah mengisi ulang pelurunya lalu menggenggam pedangku
dengan kedua tanganku sambil mengambil kuda-kuda. Sementara dia yang mengangkat
pedangnya ke samping dan kembali membuat pedangnya menjadi hitam. “(Kurasa, satu-satunya pilihan untuk
menghadapi pedang tersebut adalah dengan menggunakkan Super Moonlight Shard
atau Super Moonlight Sword.) Open the Seal......” Pedangku mulai bercahaya,
cahayanya yang samar-samar karena cahaya matahari yang begitu cerah. Bersamaan
pedangnya yang mulai mengeluarkan cahaya berwarna hitam dengan aura merah yang
sangat mencolok. Perlahan, kami berdua mengangkat pedang kami berdua, lalu
mengayunkannya secara bersamaan.
“.....Super Moonlight Shard.”
“Super Dark Moonlight Shard.”
Cahaya raksasa berwarna perak yang
kulemparkan dari pedangku melesat dengan cepat bersamaan dengan cahaya berwarna
hitam dengan aura berwarna merah miliknya. Kedua cahaya tersebut beradu, antara
hitam dan putih, antara ada dan tiada, menciptakan sebuah warna baru yang
merupakan perpaduan dari keduanya. Kedua cahaya tersebut tercampur dan berubah
menjadi sebuah bola enerji berwarna abu-abu yang perlahan semakin membesar. Tak
lama kemudian, cahaya tersebut meledak. Suara ledakannya terdengar sampai ke telinga
anggota ERASER yang terdapat di bawah. Getaran akibat ledakan tersebut terasa
sampai ke bawah. Bahkan asap yang tercipta akibat ledakan sangat besar dan
padat. Akibat ledakan tersebut, Dimo terlempar terjatuh dari atas gedung.
Namun, seakan belum kehabisan ide, dia mencoba menghentikan tubuhnya yang
sedang terjatuh dengan menancapkan pedangnya ke tembok gedung lalu mengambil
pistol dari dalam inventorinya.
Dia tembak kaca jendela yang berada di sebelah
tembok dimana dia menancapkan pedangnya. Setelah melancarkan beberapa tembakkan
dan membuat kaca tersebut rentan akan kerusakan, dia mengayunkan tubuhnya dan
melompat. Dia tendang kaca tersebut hingga pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil dan membuatnya berhasil masuk kembali ke dalam gedung. Dengan pedangnya
yang masih tertancap diluar dia mengalirkan energinya keseluruh tubuhnya dan
menciptakan sebuah koneksi akan dirinya dengan pedangnya.
Pedang itu bereaksi dengan energinya
dan mulai terlepas dari tembok. Setelah terlepas, pedang tersebut berayun masuk
kedalam gedung dimana Dimo berada seakan menjawab panggilannya.
***
Aku tersadar. Aku terbatuk karena asap
yang memenuhi tempat ini. Aku mengayunkan tanganku untuk menghilangkan asap
yang ada disekitarku lalu mencari Leila “Leila, apa kau baik-baik saja?” Karena
tak ada tanggapan sama sekali, aku langsung berlari ke lokasi dimana dia
berada. Saat kutemukan, Leila ada dalam keadaan tak sadarkan diri dengan tiang
yang menimpa kakinya. Tubuhnya sedikit lecet dan kemeja putihnya kotor karena
debu. Setelah menyingkirkan tiang yang menimpa kakinya aku menghampiri Leila
yang tak sadarkan diri. Untuk membangunkannya, aku mengelus pipinya dan sedikit
mengayunkan tubuhnya “Leila, hei! Sadarlah!”
“Di...mo....”
Tak lama kemudian Leilapun tersadar.
Aku bisa bernapas lega dibuatnya. Rasa khawatir yang sebelumnya sangat
membuatku cemas langsung hilang seketika. “Apa kau sanggup berdiri?” Aku
memegang pundak Leila lalu mencoba membantunnya untuk berdiri, namun nampaknya
kakinya terkilir akibat tertimpa tiang tadi.
“Dimo, kau harus hentikan pertarungan
ini. Dia, dia terpaksa harus melakukan ini. Semua yang sudah dia lakukan kepada
kita, itu semua bukan karena dia ingin melakukannya.” Leila memegang pundakku
sementara aku yang hanya bisa terdiam seribu bahasa di hadapannya. Entah apa
yang dikatakannya itu benar atau hanya sebuah kebohongan, aku tidak tahu. Namun
untuk saat ini, aku harus mencari cara untuk pergi dari sini.
Tapi, apakah ada alasan baginya untuk
berbohong? Lagipula, dia pasti memiliki alasan untuk mengatakan itu. Dan karena
itulah, satu-satunya hal yang harus kulakukan adalah percaya kepadanya.
Aku mengangkat tangannya dari pundakku
lalu mengganggam tangannya dan tersenyum lembut “Tenang saja, aku pasti......
akan menyelamatkannya juga.”
Leila hanya terdiam dengan pipinya yang
merah merona.
“Tunggu sebentar, aku akan mencari cara
untuk membawamu pergi dari sini.” Aku kembali berdiri lalu berlari menuju ke tangga
darurat, namun nampaknya jalan menuju ke tangga darurat terhalang oleh puing-puing
akibat ledakan tadi. “Tak ada pilihan lain.” Aku menampilkan kembali sarung
pedangku lalu menyarungkan pedangku dan berlari kembali ke Leila. Aku berdiri
membelakanginya lalu jongkok. Namun, nampaknya dia masih tidak mengerti apa
maksudku dan hanya terdiam “Ayo, kita tidak bisa melewati tangga darurat dan
kau sedang tidak bisa berjalan, jadi tak ada pilihan lain selain menggendongmu
dan mencari cara lain untuk turun dari atas sini.” Setelah mendengar
penjelasanku, pipinya yang merah merona semakin menjadi-jadi.
“Ayo, kita tidak punya banyak waktu.”
Aku menengok kebelakang, entah kenapa, melihat wajahnya yang memerah membuatku
merasa sedikit malu. Leila mengangguk lalu mendekatiku.
Tiba-tiba Leila terhenti. “Tu-tunggu
sebentar....” Setelah melihat luka dikaki kiriku yang semakin menyebar, dia
langsung menyobek bagian bawah roknya dan mengikatkannya ke luka yang ada di kaki
kiriku. “Aku tak tahu ini akan berhasil atau tidak, tapi..... kuharap ini bisa
menunda penyebaran yang ada.” Leila tersenyum manis. Ikatannya yang begitu
kencang bisa kurasakan di kakiku, entah mengapa, aku enggan untuk menengok ke belakang
karena tersipu malu.
Setelah berhasil kugendong, aku
berjalan menghampiri pagar pembatas, aku melompat ke atasnya lalu menengok ke bawah.
Aku bisa mendengar suara napasnya yang bercampur dengan suara angin. Asap
akibat ledakan tadi juga sudah mulai menghilang. Aku sedikit melirik ke belakang
dan tersenyum “Apa kau siap?”
“Y,Ya.... aku siap.” Suaranya yang
pelan terdengar jelas di telingaku, membuatku sedikit merasa merinding. Gawat,
aku berpikiran yang aneh-aneh.
Aku kembali memfokuskan diriku dan
menengok ke bawah “Baiklah..... aku akan melompat!” Aku mengambil napas
dalam-dalam lalu melompat. Leila sontak berteriak bersamaan denganku yang
melompat. Angin kencang bisa kurasakan di sekujur tubuhku. Mengibarkan rambutku
dan rambut oranye miliknya. Leila memejamkan matanya dan semakin berpegangan
erat kepadaku. Dia berteriak karena sudah tak sanggup menahan rasa takutnya,
suara teriakkannya terdengar sangat kencang sampai-sampai aku tak bisa
mendengar suara gesekan udara. Namun, tiba-tiba aku teringat bahwa aku lupa
untuk mencari cara untuk mendarat. Disaat kami yang semakin dekat dengan
daratan, aku mencari cara yang aman untuk mendarat.
Asap yang masih menutupi daratan
membuatku tak tahu seberapa dekat kami dengan daratan, namun membuatku teringat
kembali dengan insiden dimana aku terjatuh dari langit saat class meeting.
“Log out....” Setelah kembali kewujud
asliku, aku melihat alat login device yang sudah kugenggam ditangan kananku
yang sedang menggendong Leila. Aku sedikit melirik ke belakang—melihat Leila
yang sedang memejamkan kedua matanya sembari berteriak. “Leila, tenanglah!”
Mendengar panggilanku, Leila kembali membuka kedua matanya. Leila nampak
bingung setelah melihatku yang sudah kembali ke wujud asliku, namun aku akan
segera menjelaskannya dengan singkat, padat, dan jelas. “Aku ingin kau
menggunakkan skill yang kau gunakkan kepadaku saat class meeting untuk
mendaratkan kita berdua. Tetapi, untuk itu aku harus melepasmu, apa kau
sanggup?”
“Y, ya. Aku akan berusaha sebaik
mungkin.” Sembari menolak untuk melihat kebawah, Leila mengangguk penuh percaya
diri.
“Baiklah, ayo mulai.” Aku melepas Leila
yang sebelumnya kugendong, lalu melemparkannya login device untuk log in.
Setelah menangkapnya, Leila langsung mengscan ibu jarinya lalu mengambil busur
dan dua anak panah. Dia arahkan busur dan kedua anak panah itu kebawah, lalu
menariknya sekuat yang dia bisa. “O-Open the Seal : Tornado Explotion Level
High.” Kedua anak panahnya mulai bercahaya, cahaya berwarna hijau yang sangat
terang. Dia tembakkan kedua anak panah tersebut ke daratan. Keduanya menembus
asap berwarna kelabu, menjadi satu-satunya cahaya di dalam asap yang kelam itu.
“Di-Dimo, bersiaplah!” Leila menyimpan busurnya lalu mulai memejamkan matanya,
sementara aku yang dengan polosnya tetap menatap kearah dimana kedua anak panah
yang dia tembakkan berada.
Tak lama kemudian, mulai muncul dua
buah tornado raksasa. Keduanya menghisap habis asap yang berada didaratan
bagaikan mesin penyedot debu. Kedua tornado itu juga menarik setiap benda yang
ada di daratan untuk menjadi salah satu bagiannya.
Dari atas, aku bisa melihat jelas
anggota-anggota ERASER yang sedang berlindung dari tornado tersebut. Tetapi,
nampaknya kedua tornado raksasa tersebut tak terlalu berpengaruh kepada monster
singa raksasa namun cukup untuk menghentikan pergerakannya karena membuatnya
harus menancapkan kuku-kukunya yang tajam kedalam tanah. Juga ada beberapa
anggota ERASER yang memasang penghalang berupa sihir di hadapan Bum Corp. untuk
mencegah tornado dari merusak gedung tersebut.
Tak butuh waktu yang lama bagiku dan
Leila untuk terhisap ke dalam tornado tersebut. Kepalaku terasa sangat pusing,
aku langsung memejamkan mataku karena tak tahan dengan perpuataran dari tornado
yang sangat kencang. Lama kelamaan, perasaan ini semakin membuatku mual. “(Gawat, aku sudah tak tahan lagi....)”
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku lalu menelan kembali muntahku.
“Ba-batalkan!” Sembari memejamkan kedua
matanya, Leila merapatkan kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian, tornado
mulai mereda dan akhirnya mengecil. Aku dan Leilapun berhasil mendarat dengan
selamat berkat tornado tersebut. Tak lama kemudian, kedua anak panah yang
ditembakkan oleh Leila kembali bercahaya dan terbang masuk kembali kedalam arrow rest miliknya.
Aku kembali membuka mataku, untungnya
aku mendarat di semak-semak sehingga rasanya tak terlalu sakit saat aku
mendarat. Setelah kembali bangun dan membersihkan kemeja putih serta celana
abu-abu milikku aku melihat Leila yang mendarat dengan aman berkat kemampuannya
sebagai seorang Archer. Walau begitu, luka dikakinya tetap membuatnya tak
sanggup untuk berdiri ataupun berjalan. Tapi, nampaknya berkat tornado tadi,
asap yang sebelumnya menyelubungi daratan sudah menghilang. Aku tersenyum
sesaat lalu berlari kearahnya yang sudah melakukan log out.
“Leila, apa kau baik-baik saja?”
“Y-ya, te-terima kasih sudah
mengkhawatirkanku.”
“Yah, ini semua berkatmu. Jika saja kau
tidak mempunyai kemampuan itu, entah bagaimana jadinya.” Tiba-tiba wajahnya
berubah menjadi merah padam, pipinya berubah menjadi merona dan matanya
berbinar. Dia langsung mengalihkan pandangannya dariku sementara aku duduk di sebelahnya.
“Dimo.... Leila..... apa kalian
baik-baik saja?” Zaki dan Sindy berlari kearah kami. Tangan Zaki yang sedang
memegang pedang dan perisai melambai. Melihanya, aku kembali berdiri dan
melambai balik.
“Ya, kami baik-baik saja. Tapi
nampaknya kaki Leila terkilir.” Leila langsung menengok kearahku dengan tatapan
penuh kegelisahan. Mungkin dia khawatir dengan luka yang terdapat dikaki kiriku
“Tenanglah, luka ini nampaknya bukan luka yang bisa disembuhkan dengan
perawatan medis biasa. Sekarang, aku lebih mengkhawatirkanmu dibandingkan
dengan luka yang ada di kakiku ini.”
Mendengar jawabanku mengenai kondisi
kami berdua Zaki langsung berbalik dan meminta bantuan kepada tim medis dari ERASER
sementara Sindy yang memberi Leila pertolongan pertama.
Setelah menjauh beberapa meter dari
mereka, aku menggulung celanaku lalu melepas perban yang sebelumnya diberikan
Leila. Berkat perban darinya, sepertinya penyebaran luka berhasil diperlambat.
Jika saja dia tidak berinisiatif melakukan ini, mungkin luka ini sudah menyebar
kesebagian kaki kiriku. Tetapi, walau aku sudah ada dalam keadaan log out, luka
ini tetap menyebar.
Setelah mengikat kembali kaki kiriku,
aku kembali menghampiri Leila yang sudah diberi perawatan dari tim medis. Zaki
dan Sindy juga nampaknya sudah pergi karena monster singa tersebut belum
berhasil dikalahkan. “Syukurlah. Untung saja mereka punya pasukan medis.” Aku
tertawa kecil sembari mengelus belakang leherku.
Tak lama kemudian Leila menarik
celanaku, lagi-lagi dia memunculkan ekspersi penuh kekhawatirannya “Tapi,
lukamu.....” Aku kembali duduk lalu memegang pundak Leila dan tersenyum lebar
untuk mencairkan suasana.
“Sudah kubilang bukan, kau tak perlu
khawatir.” Wajahnya kembali berubah menjadi merah padam, dia kembali menatap
lurus seakan aku tak berada disampingnya.
“Oh ya, Dimo......”
“Ada apa?”
“I-ini.....” Seakan menolak untuk
memandangku, Leila mengulurkan tangannya yang menggenggam login device milikku.
“Oh iya, aku hampir saja lupa.” Setelah
menerimanya, aku kembali mengantunginya. Tak lama kemudian, terjadi kehebohan.
Monster singa raksasa yang sedang dilawan oleh pasukan dari ERASER tiba-tiba
berhenti bergerak dan wujudnya mulai berkedip lalu memudar. Aku berlari
menghampiri Zaki dan Sindy yang mematung setelah melihat kejadian tersebut. Tak
ada satupun anggota ERASER yang berani mendekati monster tersebut, mereka lebih
memilih diam dan bersiap daripada memanfaatkan kejadian ini untuk menyerang.
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah.... tadi tiba-tiba ada sebuah
pedang yang terlempar, lalu monster itu mulai berhenti bergerak dan menjadi
seperti ini.” Zaki menyarungkan kembali pedangnya dan menggantungkan perisainya
ke punggungnya.
“Pedang?” Aku berlari mendekati monster
tersebut lalu berlari mengitarinya untuk mencari pedang yang dikatakan Zaki.
Sebuah pedang, pedang yang kukenal, menancap tepat di tubuh dari monster singa
tersebut. “Pedang ini....” Tak lama kemudian, angin mulai berhembus kencang,
monster yang memudar tersebut kembali menjadi padat dan mulai terhisap kedalam
pedang yang tertanam ditubuhnya. Perlahan demi perlahan, tubuh besar monster
itu terhisap kedalam pedang bagaikan pedang tersebut melahapnya.
Sesaat setelah monster tersebut
sepenuhnya dilahap oleh pedang tersebut, pedang itu mulai bercahaya. Setelah
cahaya dipedang tersebut sudah meredup, pedang tersebut mulai terjatuh.
Tanpa pikir panjang, aku langsung log
in dan berlari untuk menangkap pedang tersebut, namun pedang itu mulai terbang
saat aku melompat untuk menangkapnya. Seperti anjing yang mencari majikannya,
dengan cepat pedang tersebut mulai bergerak dengan sendirinya. Aku kembali
bangun dan membersihkan pakaianku sembari melihat kemana pedang itu menuju.
Semua orang, tanpa terkecuali, pandangannya tertuju kepada pedang tersebut.
Dengan mudahnya, Dimo menangkap pedang
miliknya itu. Aku tertegun, aku hampir saja lupa dengan dirinya. Dihadapannya,
terdapat Mbak Anna yang sudah dalam keadaan log out terkapar tak sadarkan diri
dengan luka yang cukup parah. Semua orang menjadi geram melihatnya, apalagi
anggota Divisi yang dipimpin oleh Mbak Anna. Mereka langsung berlari dan
bersiap untuk melawan Dimo, namun dihentikan oleh Kak Indra. “Pilihan yang
bijak. Kau pasti mengerti apa yang akan terjadi dengannya jika kalian berani
melawanku.” Dimo menancapkan pedangnya tepat didepan kepala Mbak Anna sebagai
gertakan kepada kami.
Aku menengok kebelakang untuk
memastikan kondisi Leila dan yang lainnya. Leila yang terduduk lemas sembari
menengok kearahku sementara Sindy dan Zaki yang mundur untuk melindungnya “(Saat ini, Leila sedang dalam kondisi dimana
dia takkan bisa bergerak, sementara Zaki dan Sindy yang sepertinya akan
melindunginya, jadi aku tak perlu khawatir.)” Aku kembali menghadap
kedepan, lalu berjalan menghampiri Kak Indra yang letaknya tak jauh dari Dimo.
“Tolong hentikan ini, dan menyerahlah.”
Sembari memberi kode kepada anggotanya untuk bersiap menyerang, Kak Indra
sepertinya mencoba cara negoisasi. Bila negosiasi yang dia lakukan tidak
berhasil, maka anggotanya akan berusaha untuk menangkap Dimo. “Sebenarnya siapa
kau dan apa tujuanmu?” Perlahan, mereka sedikit demi sedikit melangkah maju
mendekati Dimo. Namun, sebagai orang yang baru saja melawannya, kurasa Dimo
menyadarinya dan sudah memprediksi pergerakkan mereka.
“Siapa aku dan kenapa aku melakukan ini
tidaklah penting.”
“Apa maksudmu?”
“Sudah cukup basa-basinya.” Dimo
mengumpulkan energi keseluruh telapak tangannya, lalu dia genggam pedangnya
yang sudah tertanam. Akibatnya, seluruh energi yang sudah terkumpul ditelapak
tangannya langsung tersalurkan kedalam pedangnya dan menyebabkan ledakan
energi. Tanah mulai bergetar, Kak Indra langsung memerintahkan seluruh
anggotanya untuk menyerang Dimo, namun telah terlambat.
Dari dalam tanah, mulai bermunculan
duri-duri berwarna hitam dengan aura berwarna merah yang sangat tajam. “Gawat!”
Aku langsung melompat mundur menghindari duri-duri yang terus bermunculan dari
dalam tanah.
“Dimo, kemarilah!” Aku melirik
kebelakang, Zaki, Leila, dan Sindy yang nampaknya sudah berlindung di dalam
perisai api milik Zaki. Zaki membuat perisai api tersebut dengan
megkolaborasikan pengendalian apinya dengan perisai miliknya sehingga perisai
tersebut menyatu dengan api dan membentuk sebuah bungker bulat yang luarnya
tercipta dari api yang tahan dari serangan apapun.
Sembari mengulurkan tangannya dari
lubang besar yang sengaja dia sisakan dibungker tersebut, Zaki memanggilku dan
menungguku untuk ikut berlindung bersamanya. Aku langsung berlari kearahnya dan
melompat untuk meraih tangannya. Setelah berhasil meraih tangannya, Zaki
langsung menarikku masuk kedalam bungker
milikknya. Setelah berhasil naik, Zaki dan aku langsung mundur dan dia menutup
lubang tersebut.
“Astaga, yang tadi itu apa?”
“Kurasa itu salah satu kekuatannya.”
“Yang benar saja?!” Zaki terduduk lemas
dengan nafasnya yang berat. Kami berempat berlindung di bungker berbentuk bulat
yang terasa sempit dan gelap ini. Aku sedikit penasaran dengan apa yang Leila
katakan sesaat sebelum aku dan dia melompat dari atas gedung. Namun, dilihat
dari kondisi Leila, kurasa sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menanyakan
itu.
“Zaki, apa kau bisa membuka sedikit
celah untukku melihat?” Aku kembali berdiri lalu mendekat kedinding bungker.
“Oke....”
Zaki berdiri lalu menyentuh dinding
bungker. Seketika, terciptalah sebuah lubang lingkarang oval yang horisontal
yang cukup besar untuk melihat dengan kedua mata. Melalui lingkaran itu, aku
melihat kondisi diluar. Pertumbuhan duri nampaknya sudah berhenti, Dimo juga
sudah tidak menggenggam pedangnya dan terduduk. Syukurlah, walau duri terdapat
dimana-mana, namun tak ada satupun duri yang mengenai Mbak Anna yang masih tak
sadarkan diri. Anggota ERASER juga nampaknya baik-baik saja, dengan penyihir
yang mereka punya, mereka menciptakan semacam medan pelindung dari duri-duri
tersebut.
“Kurasa waktu bermain sudah berakhir.
Tak kusangka, hanya segini energi yang kudapatkan setelah menghisap monster itu.”
Dimo kembali berdiri lalu menyentuh tanah. Tak lama, duri-duri kembali memasuki
tanah seakan terhisap kedalam. Setelah semua duri sudah menghilang, Zakipun
membatalkan skill perisai apinya dan menurunkan kami. Dimo kembali menarik
pedangnya lalu dia angkat pedangnya dan menunjukku menggunakkannya “Dimo
Ramadhan, jika kau peduli dengan orang ini, maka aku menantangmu untuk
melanjutkan pertarungan kita!”
“Baiklah, aku menerimanya. Tapi, kau
harus melepaskannya terlebih dahulu!”
“Cukup adil. Baiklah, aku akan
melepaskannya.” Dimo berjalan melewati Mbak Anna sembari menyarungkan kembali
pedangnya. Kemudian, Kak Indra segera memerintahkan anggotanya untuk segera
mengevakuasi Mbak Anna.
“Ada satu hal lagi yang kuinginkan.”
Aku yang awalnya ingin menarik pedangku, namun aku langsung mengurungkan niatku
setelah teringat dengan perkataan Leila sesaat sebelum melompat bersamaku
“Siapa kau sebenarnya?”
Dia terhenti. Dirinya langsung mematung
seketika setelah aku menanyakan hal itu “Oke, kali ini akan kujawab
pertanyaanmu. Aku adalah kau, dan kau adalah aku. Apa kau ingat? Namaku adalah
Dimo Radhika, begitu juga dirimu, Dimo Ramadhan.”
Aku tersenyum kecut mendengar
jawabannya. Namun, setelah mendengarnya berkali-kali dan dengan ingatan yang
kudapatkan darinya, akhirnya aku mengerti apa maksudnya. Aku mengambil
kuda-kuda dan bersiap untuk memukul “Ayo lawan aku, Dimo Radhika!”
Kamipun berlari menuju satu sama lain,
dia menghunuskan pedangnya dan hendak berniat menebasku. Namun, aku langsung
menunduk lalu memukul perutnya. Tetapi, dia sudah mengantisipasi hal itu
sehingga pukulanku tak membuatnya goyah sedikitpun. Setelah membalik pedangnya
dan hendak menusukku, aku menendang kakinya dan membuatnya tergelincir sehingga
serangannya luput dariku. Disaat aku hendak akan melompat menjauh darinya,
sebuah duri keluar dalam tanah dan menusuk kaki kiriku. Duri tersebut muncul
bersamaan dengan pedangnya yang tertancap di dalam tanah dari serangannya yang
luput tadi.
Akibat duri itu, lompatankupun gagal
dan akupun terjatuh. Disaat aku terjatuh, dia melompat kearahku dengan
pedangnya yang sudah dilapisi dengan cahaya berwarna hitam. Aku menghindar
dengan berguling kearah yang berlawanan dari serangan itu berasal.
“Open the seal : Dark Moonlight Shard!”
Dimo melemparkan cahaya-cahaya itu kearahku yang sedang bergelindung. Melihat
serangannya, aku langsung bangun dan menarik pedangku. Kuaktifkan skill
Moonlight Sword dan menepis serangan-serangan itu. Dia muncul dibalik Dark Moonlight
Shard terakhir miliknya, lagi-lagi dengan pedangnya yang sudah menghitam. Aku
menepis pedangnya dengan sisa-sisa akhir dari Moonlight Swordku lalu
kubenturkan kepalaku dengan kepalanya. Akibatnya, kami berduapun terjatuh.
Disaat aku hendak akan bangun dengan bertumpu pada pedangku, Dimo sudah berada
dihadapanku. Tanpa pikir panjang, tanganku langsung bergerak dengan sendirinya
menepis serangannya. Aku terdorong beberapa meter setelah menerima serangannya.
“(Ada
apa ini.... serangan dan kecepatannya lebih kuat dari sebelumnya.)” Aku menyarungkan kembali
pedangku dan melompat mundur lalu berlari menghampirinya “Open the seal :
Moonlight Shard.” Karena aku menyarungkan pedangku, energi dari moonlight shard
dengan sendirinya terkumpul kedalam kedua kepalan tanganku. Disaat energi itu
sudah terkumpul sepenuhnya, cahaya yang ada dikedua tanganku mulai berubah
menjadi seperti sarung tinju. ”Moonlight Fist!” Aku mengepalkan kedua tanganku
lalu memukulnya. Tetapi, dia berhasil menghindari seranganku dengan mudah. Dia kumpulkan seluruh energi kedalam
pedangnya yang kemudian berubah menjadi hitam lalu hendak memotong tangan
kananku. Dengan sigap aku langsung menangkap pedangnya dengan tangan kiriku.
Untungnya, cahaya yang ada ditangan kiriku melapisi tanganku sehingga tak
terluka saat menangkap pedang miliknya.
Tak butuh waktu lama, warna hitam yang
terdapat dipedangnya mulai mengalir kedalam cahaya di tangan kiriku bagaikan
limbah yang mencemari sungai. Aku langsung melepaskan genggamanku dari pedang
tersebut sebelum kegelapan itu semakin melahap cahayaku. Meskipun begitu,
kegelapan itu semakin menyebar sama seperti luka yang ada dikaki kiriku.
Sebagai tindakkan pencegahan, aku menonaktifkan skill moonlight shard milikku
sebelum kegelapan melahap seluruh cahaya di tangan kiriku.
Dimo tak berdiam diri melihatku, diapun
menancapkan pedangnya kedalam tanah, lalu keluarlah duri-duri yang mengincar
kakiku. Aku melompat mundur menghindari duri-duri itu. Tetapi, rasanya itu saja
tidaklah cukup. Seberapa kalipun aku menghindar, duri-duri tersebut akan terus
mengejarku. “Kalau begitu....” Aku mengambil revolverku dan menembak tangan
Dimo yang menggenggam pedangnya. Setelah genggamannya terlepas, duri-duripun
berhenti bermunculan dan aku berhenti melompat. “Sudah kuduga. Duri-duri
tersebut bukan berasal dari pedangmu, namun berasal dari energi yang disalurkan
oleh tanganmu kedalam tanah dengan pedang sebagai media untuk menyalurkannya.”
Dimopun tertawa dan menarik pedangnya
yang tertancap. Peluru yang kutembakkan perlahan keluar dari luka yang ada
ditangannya bersamaan dengan tangan tersebut yang pulih kembali. Tangannya yang
pulih tersebut nampaknya akibat dari energi hitam yang mengalir di tangannya.
“Kau benar. Tetapi bukan itu saja yang kupunya......” Setelah menarik
pedangnya, tiba-tiba Dimo sudah berada dihadapanku dan menebasku. Karena
terkejut aku langsung menarik pedangku dan menepis pedangnya meski agak
terlambat dan melompat mundur. Namun, berkat itu aku berhasil mencegahnnya
melukaiku lebih parah lagi. Serangannya berhasil mengenai pundak kiriku.
“(Tadi
itu apa...?! Jika saja aku tidak menepisnya tadi, mungkin tebasannya juga bisa
mengenai dadaku.)” Sembari menekan luka akibat tebasannya, aku melirik luka
tersebut. Aku beruntung luka yang berada dipundakku tidak menyebar seperti yang
ada dikaki kiriku.
“Apa kau terkejut karena kecepatanku?
Biar kujelaskan, kecepatan dan kekuatan untuk mengeluarkan duri ini kudapatkan
setelah aku menyerap monster tadi.”
“Cih, apa kau berpikir bahwa aku akan
percaya kepadamu?”
“Mau percaya atau tidak, itu terserah
padamu. Aku memberitahumu karena sebentar lagi kau akan kuhabisi.”
“Coba saja kalau bisa.” Aku menyimpan
revolverku kembali kedalam inventory lalu mengambil kuda-kuda untuk menahan
serangannya. Dengan tangan kiriku yang menggenggam pedang, dan tangan kananku
yang siap untuk memukul kapan saja. Saat ini, sangatlah tidak mungkin bagiku
untuk bisa mengimbangi kecepatannya, yang bisa kulakukan hanyalah bertahan dan
mencari celah untuk menyerang.
Dimopun mulai menyerang. Dengan
kecepatannya yang tinggi, dia terus memojokkanku dan tak memberiku celah untuk
menyerang balik. Aku terus menepis serangannya sebanyak yang kubisa meski
kutahu sangat mustahil untuk menghalau seluruh serangannya. Luka yang
kudapatkan terus bertambah, dan aku sama sekali tak bisa memberikan satu
seranganpun padanya. Tapi, aku tak bisa terus seperti ini. Jika terus seperti
ini, aku akan kehabisan Hpbar dan kalah darinya. Aku harus mencari cara untuk
mengimbangi kecepatannya.
“Ada apa? Kenapa kau tak ingin
menggunakkan pedangmu dan menyerangku?”
“Aku tidak perlu menggunakkan pedangku
untuk bisa mengalahkanmu.”
“Kalau begitu, akulah yang akan
menggunakkan pedangku untuk mengalahkanmu.” Dimopun berhenti di belakangku dan sudah
siap untuk menusuk punggungku dengan pedang miliknya. Pedangnya yang sudah
berwarna hitam dan aura merah, akan menusuk punggungku.
“Dimo!” Tanpa pikir panjang, Zaki
langsung berlari kearahku untuk menghentikan Dimo. Namun, Sindy langsung
memegang tangannya dan mencegah Zaki untuk menghampiriku.
“Tunggu dulu.”
“Tapi....” Zaki menengok kebelakang dan
berusaha untuk melepaskan tangannya dari Sindy.
“Wah, Tadi itu bahaya sekali.”
Mendengar suaraku, Zaki kembali menatap lurus kearahku yang sudah berada
dibelakang Dimo. Betapa terkejutnya Dimo, pedangnya yang ditujukkan kepadaku
hanya menusuk udara kosong. Aku lalu memukul punggung Dimo dengan gagang
pedangku hingga terjatuh.
“Bagaimana mungkin....?!”
“Mudah saja. Selama ini, aku selalu
mengalirkan energi Moonlight Shard ke satu titik saja. Tapi, bagaimana jika aku
mengalirkannya keseluruh tubuhku? Aku akan mendapat kecepatan yang sama dengan
kecepatan milikmu.”
“Maksudmu....”
“Ya benar, yang tadi itu, Open The Seal
: Super Moonlight Shard – Moonlight Speed. Bahkan, karena terlalu cepat.... aku
sempat mengira bahwa aku telah memperlambat waktu. (Meski begitu, skill ini terlalu membebani tubuhku dan aku hanya bisa
bertahan selama 4 detik menggunakkannya.)”
Dimo kembali bangun dan lagi-lagi
tertawa. Suara tawanya bahkan begitu kencang. Setelah tertawa, dia mengangkat
dan membalik pedangnya. Lalu kedua tangannya menggenggam erat pedang tersebut. Pedangnya
kembali berubah menjadi hitam. Namun, ada yang berbeda kali ini. Aura berwarna
merah yang dipancarkannya begitu terang dan energi yang dipancarkan terasa
menusuk kedalam tulang-tulangku. Begitu terangnya, sampai-sampai membuat area
disekitarnya berubah menjadi berwarna merah. Kaca-kaca gedung Bum Corp.
bergetar karena energi yang dipancarkannya. “Ku akui, kau membuatku kagum.
Tapi, kau salah akan satu hal. Pedang ini bukanlah pedang biasa!” Dimo
menancapkan pedangnya kedalam tanah dengan sangat dalam. Saking dalamnya, beton
yang berada disekitar pedang tersebut retak.
“(Tunggu
dulu, jangan-jangan....)” Tanpa pikir panjang Kak Indra berlari menerjang
kearah Dimo dan berniat untuk mencabut pedang miliknya. Namun, sebelum tangan Kak
Indra sempat meraih pedang tersebut, sebuah duri muncul dan menusuk kaki Kak
Indra sehingga membuatnya terjatuh. Sesaat setelah terjatuh, Kak Indra berniat
menarik pedangnya keluar dari sarung pedangnya lalu mengubahnya menjadi pedang
air. Namun, lagi-lagi Dimo berhasil mengantisipasi itu dan menusuk kedua tangannya dengan duri yang keluar dari dalam
tanah. Melihat kondisi Kak Indra, seluruh anggota dari ERASER yang sebelumnya
mengikuti perintah untuk tidak ikut campur langsung berlari menerjang untuk
menyelamatkan Kak Indra. Tetapi, duri-duri yang besar bermunculan di hadapan
mereka seakan memang ditujukkan untuk menghalangi mereka.
“Berhentilah, jika kalian mendekat
lebih dari ini, maka akan ada sebuah duri yang menembus tengkorak kepala dari
orang yang bernama Indra ini.” Dimo menyeringai puas sembari menengok perlahan
kearah mereka.
Mendengarnya, Mbak Dinda langsung
memerintahkan kepada mereka untuk diam dan menuruti apa permintaan dari Dimo.
Dimopun sedikit bertepuk tangan lalu kembali menggenggam pedang miliknya.
“Baiklah, sekarang.... it’s show time.
Open the Seal : Sword of Fog.” Dengan cepat, pedangnya bercahaya dan
mengeluarkan kabut dari dalam tanah dimana pedang itu tertanam. Kabut itu
menelan suara dan menutupi cahaya untuk masuk kedalamnya. Semuanya seakan dalam
mode senyap. Aku bahkan hanya bisa mendengar suaraku dan tak bisa mendengar
suara orang lain. Sudah lebih dari lima kali aku berusaha memanggil yang
lainnya, namun sama sekali tidak ada tanggapan.
“(Gawat....
kabut ini, kabut yang sama dengan yang dia keluarkan saat di gua.)” Aku
menghunuskan pedangku dan mengambil posisi bersiap akan serangan. Dengan
posisiku yang sama sekali tidak diuntungkan, sangat rentan bagiku untuk bisa
menerima serangan.
Tiba-tiba, ada sebuah kilatan cahaya
berwarna hitam yang menerjang kearahku. Kilatan cahaya berwarna hitam itu
berasal dari pedang milik Dimo yang menyerangku. Untungnya, aku berhasil
menepis serangan itu karena reflek. Tapi, aku sama sekali tidak tahu apakah aku
bisa menerima serangannya yang selanjutnya atau tidak. Ditambah lagi, saat ini
sepertinya luka di kaki kiriku sudah menyebar ke seluruh betis kaki kiriku
sehingga sangat sulit bagiku untuk bisa menghindar.
“Kau pasti sudah tahu mengenai kabut
ini bukan? Namun, setelah aku menghisap energi dari monster tadi, kabut ini
telah naik ke tingkatan yang berbeda.” Sembari dia menjelaskan, dia terus
menyerangku bertubi-tubi dengan membabi buta. Namun, aku tidak bisa terus
seperti itu. Aku tidak bisa terus bertahan. Aku juga tidak bisa selalu bergantung
kepada skill Moonlight Speed karena skill itu terlalu membebani tubuhku. Aku
menarik pedangku keluar dan membuka inventory lalu mengambil pedang ogre sword
dan menggunakkannya di tangan kiriku. Aku mengambil posisi dan mulai menepis
serangan-serangan itu sembari berjalan mundur. Walau masih ada beberapa
serangan yang tak bisa kutepis, namun aku bisa meminimalisir serangan yang
kuterima.
Dengan kabut yang tebal seperti ini,
aku tak tahu saat ini aku sedang berada di mana. Aku juga tidak tahu apakah ada
tembok yang menanti di belakangku atau tidak. Saat ini, aku hanya bisa berharap
ada tembok di belakang tubuhku. Dengan adanya tembok dibelakangku, maka
serangan yang akan dilancarkannya hanya akan berasal dari depanku dan kemungkinan
besar aku bisa menepis serangan-serangannya. Aku terus mundur dan terus mundur,
sampai akhirnya aku menabrak tembok dari gedung Bum Corp.
“(Sip!)
Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight Sword.” Aku alirkan energi
moonlight shardku kekedua pedang milikku. Dengan kekuatan dari Moonlight
Swordku, aku berhasil menepis setiap serangan yang diberikannya. Tak lama
setelah semua serangannya berhasil kutepis, diapun berhenti menyerang.
“Ada apa?” Aku menyeringai.
Namun, tiba-tiba aku teringat.
Seharusnya disaat aku sedang tersudut seperti ini, dia pasti akan menggunakkan
duri-durinya untuk menterangku. Namun sejak kabut ini mulai menyebar, dia sama
sekali tidak menggunakkan duri-duri itu untuk menghentikan pergerakkanku.
Padahal, saat ini dia bisa saja menyerangku dengan duri-duri miliknya dan
membalikkan keadaan.
“(Durasi
Moonlight Swordku juga sudah mulai habis. Tunggu dulu, pedang. Untuk
mengeluarkan kabut ini, dia menancapkan pedangnya kedalam tanah. Dia juga
menggunakkan metode yang sama untuk mengeluarkan duri. Pedangnya.... disaat dia
menarik pedangnya, maka duri akan menghilang. Berarti itu juga berlaku untuk
kabut ini. Tapi kenapa... kabut ini sama sekali tidak menghilang? Padahal, tadi
jelas-jelas dia menggunakkan pedang yang sama untuk menyerangku.
Jangan-jangan.....)” Skill Moonlight Swordkupun habis, dan aku menyarungkan
pedangku serta menyimpan Ogre Swordku kedalam inventory.
Walau harus menghancurkan tubuhku,
selagi aku bisa mengakhiri situasi ini, maka ini patut dicoba.
“Open the Seal : Super Moonlight Shard
– Super Moonlight Speed.”
“(Dengan
kondisi tubuhku yang tidak baik, aku hanya bisa bertahan selama 2 detik saja.
Jika lebih dari segitu, maka tubuhku takkan bisa menahannya dan malah akan
merusaknya.)” Aku berlari dan terus berlari mengitari kabut mencari pedang
miliknya. Walau begitu, kabut ini benar-benar membutakkan arahku. Walau
kecepatanku sudah mencapai batasnya, aku tetap tak bisa menemukannya. Padahal
aku sangat yakin.
“Itu dia!”
Sesuai dugaanku, pedang miliknya yang
asli masih tertanam dan pedang yang dia gunakkan untuk melawanku tadi hanyalah
imitasi. Itulah mengapa dia tak bisa mengeluarkan duri. Sebelum Super Moonlight
Speedku habis, aku langsung berlari menuju kepedang itu tanpa pikir panjang dan
berniat untuk mencabutnya. Namun, tiba-tiba kaki kiriku mati rasa dan membuatku
terjatuh sebelum berhasil meraih pedang itu.
Dengan terjatuhnya aku, durasi dari
Moonlight Speedkupun habis. Padahal aku hampir saja berhasil meraih pedang
tersebut. Jarak antara jari-jariku dengan pedang itu hanyalah beberapa senti.
Aku benar-benar lupa dengan luka di kaki kiriku ini sampai-sampai aku tidak
menduga hal ini akan terjadi. Luka di kaki kiriku nampaknya sudah menyebar sepenuhnya
ke seluruh kaki kiriku.
Tapi sekarang bukanlah saatnya untuk
memikirkan itu. Aku merayap dengan menyeret diriku menuju ke pedang tersebut
dan akan mencabutnya. Tiba-tiba, disaat tangan kananku akan meraihnya, sebuah
pedang menusuk punggung tangan kananku dan menancapkannya kedalam tanah.
“Selanjutnya, akan kupastikan bahwa kepalamulah yang akan kena.”
Dimo mengambil pedang lainnya dari
dalam inventorinya dan menodongkannya kewajahku. Aku berusaha menahan rasa
sakit dari tangan kananku dan mencoba meraih pedang itu dengan tangan kiriku,
namun dia menginjaknya terlebih dahulu. Tanpa kusadari, aku berteriak karena
tak kuasa menahan rasa sakit di tiga titik dari tubuhku. Suara teriakanku
menggema di kesunyian kabut. Walau aku tahu, takkan ada yang bisa mendengar suaraku,
namun aku tetap berharap ada yang mendengarnya walau hanya sedikit saja dan
bergegas untuk membantuku.
“Dengan begini, aku akan menepati
kata-kataku sebelumnya.” Dimo membalik pedangnya dan mengangkatnya setinggi
mungkin. “Mati kau!!” Dia genggam erat-erat lalu mendorongnya menuju kearah
kepalaku. Saat itu, aku bahkan tak menyadari, bahwa aku menutup kedua mataku
dengan sendirinya.
“Ketemu!!” Kak Indra menepis pedang
Dimo dengan menggunakkan pedang es miliknya lalu menendang Dimo untuk menjauh
dariku. Dia menarik pedang yang tertancap di tangan kananku lalu berniat untuk
menarik pedang Dimo.
“Takkan kubiarkan!” Dengan kecepatannya
yang luar biasa, Dimo berlari menerjang Kak Indra. Tentu saja, Kak Indra sudah
mengantisipasi itu dan langsung mengurungkan niatnya untuk menangkis serangan
Dimo. Dengan kondisi Dimo yang lebih diuntungkan, dia berhasil mendorong mundur
Kak Indra sehingga menjauh dari pedang tersebut.
Sementara Dimo sibuk mengatasi Kak
Indra, aku memanfaatkan momen itu untuk menarik pedangku dan berusaha berdiri
dengan bertumpu pada pedang tersebut. Dimo yang menyadariku langsung berbalik
dan berlari kearahku. Kak Indra menancapkan pedangnya kedalam tanah dan
menghentikkan Dimo dengan membekukkan kedua kakinya “Dimo, sekarang!!!”
Tangan kiriku bertumpu pada pedangku,
aku pegang pedang miliknya lalu menariknya sekuat tenaga. Namun, tanganku
terlalu lemah akibat serangan tadi sehingga takkan kuat menarik pedang
tersebut. “Kalau begitu....” Aku membuka inventori dan mengulurkan tangan
kananku untuk menangkap Ogre Sword “Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight
Sword!” Aku mengayunkan pedangku yang bercahaya perak dengan sekuat tenaga.
“....jika aku tak bisa menariknya, maka
aku hancurkan saja!”
Pedang tersebutpun patah menjadi dua,
serpihan-serpihan pedang perlahan mulai bercahaya dan pedang itupun menghilang
bersamaan dengan menghilangnya kabut tersebut. Perlahan, aku bisa merasakan
kembali kaki kiriku dan akupun bisa kembali berdiri dengan normal. “Ini sudah
berakhir....” Aku melepas Ogre Sword lalu tertawa sejenak sebelum terjatuh
karena tak kuasa menahan lelah.
Kak Indra semakin menancapkan pedangnya
kedalam tanah dan es yang sebelumnya hanya membekukkan kaki Dimo perlahan
merambat kesetengah tubuh Dimo “Dimo Radhika, ini sudah berakhir. Kau sudah
tertangkap.”
~Bersambung~
No comments:
Post a Comment