Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
Hore, akhirnya vol.2 dari web novel ini dimulai juga. Mulai dari sini bakal ada banyak hal yang berhubungan dengan masa lalu Dimo, dengan kata lain vol.2 ini titik balik dimana Dimo bakal tau siapa dirinya ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Hari itu sangat
cerah.
Mungkin hari
paling cerah di bulan november ini. Suhu udara tidak terlalu panas, juga tidak
terlalu dingin. Langit begitu biru, dengan awan-awan putih bertebaran seperti
seres. Mentari bersinar terang, seakan awan bukan hambatan baginya. Saat itu
jam istirahat, dan aku berniat untuk memakan nasi uduk yang baru saja kubeli di
kantin.
Kursi di kantin
sudah penuh, dan aku sama sekali tidak merasakan keberadaan Zaki. Untungnya,
aku memilih untuk membungkus nasi uduk ini dari pada memakannya langsung
menggunakkan piring kantin.
Banyak orang
berpikir bahwa bulan november identik dengan suasana dingin karena bulan
november adalah satu bulan sebelum datangnya bulan desember—musim hujan. Tapi
menurutku tidak begitu. Hanya karena bulan ini berada tepat di belakang bulan
desember, bukan berarti bulan ini harus menjadi mendung setiap saat, bukan?
Yah, tapi itu
hanya pendapatku semata. Aku tidak punya hak untuk memaksa orang lain untuk
menyetujui pendapatku.
Meski begitu,
aku tetap berharap ada seseorang yang berpikiran sama sepertiku.
***
Aku berjalan
menghampiri sebuah kursi teduh yang letaknya tepat di bawah pohon. Entah
mengapa tidak ada seorangpun yang duduk di kursi itu, padahal kursi itu berada
di tempat yang cukup strategis dan juga teduh.
Setelah duduk,
aku mulai melepas karet yang mengikat bungkus, membukanya, lalu mulai memakan
nasi uduk tersebut. Sembari melihat orang-orang berlalu-lalang, aku memakan
nasi uduk sedikit demi sedikit. Di jam istirahat yang hanya berlangsung selana
15 menit ini, aku bisa melihat berbagai macam orang. Ada yang sedang berlarian,
ada yang sedang sibuk membaca buku sembari berjalan tanpa memperhatikan kearah
mana dia akan berjalan, ada juga seorang yang membawa bola sepak bersama dengan
teman-temannya yang mengejar dibelakang.
Nampaknya mereka berasal dari klub sepak bola.
Namun, ada
seseorang yang begitu menarik perhatianku. Seorang gadis berambut putih seperti
salju dengan seragamnya yang nampak baru. Dia berjalan dengan seorang pria tua
yang berpakaian rapi dengan jas hitamnya. Entah mengapa keberadaannya begitu
menarik perhatianku. Seakan ada semacam perasaan nostalgia saat aku menatap
wajah dan rambut putihnya. Perasaan nostalgia ini membuatku lupa dengan nasi
udukku, bahkan aku sampai lupa untuk mengunyah dan berkedip.
Tanpa kusadari,
tubuhku bergerak dengan sendirinya mengikuti alunan nostalgia yang terus
mengalir di kepalaku. Tanganku menaruh nasi uduk itu di kursi dengan
sendirinya, aku mulai berdiri dan kakiku mulai melangkah perlahan. Menginjak
rumput dan dedaunan kering serta ranting.
Mengetahui
bahwa dirinya sedang diperhatikan, gadis itupun terhenti. Dia menengok ke arahku
dengan tatapan penuh tidak percayanya. Tatapannya yang begitu terpaku kepadaku
membuat langkahku terhenti. Tak lama kemudian, dia tersenyum lalu membuka
mulutnya seakan ingin mengutarakan sesuatu. Namun, dia terhenti sejenak lalu
menutup kembali mulutnya. Dia tertunduk sembari tersenyum lega lalu berbalik.
Dia menyeka pipinya seakan sedang mengusap sesuatu. Lalu berbicara sejenak
dengan pria tua di belakangnya dan kembali berjalan.
Kalau tidak salah, arah yang gadis itu tuju adalah ruang
kepala sekolah.
Kedua tanganku
yang bergetar dan lemas, entah karena senang, atau malah sebaliknya.
***
“Baiklah
murid-murid, hari ini kita kedatangan teman baru.” Pak guru berjalan memasuki
kelas lalu menaruh kertas absensi di atas mejanya. Seketika, suasana kelas yang
sebelumnya ramai langsung berubah menjadi senyap tak lama setelah masuknya
seorang gadis berambut putih ke dalam kelas. Tatapan seluruh murid di kelas,
tak terkecuali, langsung tertuju kearahnya. Rambut putih alami nan panjangnya
yang seperti salju, mata indahnya yang berwarna hijau terang, serta kulitnya
yang terlihat putih dan mulus membuat seluruh orang bertanya-tanya siapa dia
sebenarnya.
“Wah,
cantiknya....”
“Jangan-jangan
dia seorang model.”
“Wih, bule nih kayaknya.”
“Dia seperti
seorang artis saja.”
Dia tersenyum
tulus sembari menatapku tanpa menghiraukan komentar-komentar yang ditujukan
kepadanya sedikitpun lalu dia menghela napas panjang dan mulai membuka mulutnya
“Perkenalkan, namaku adalah Anita Sari. Senang bisa berkenalan dengan kalian
semua.”
“(Ternyata dia
murid baru, ya..... pantas saja.)” Aku menatapnya sembari berpangku dagu lalu
mengalihkan pandanganku ke arah jendela—menatap langit biru nan cerah hari ini.
“Langit hari
ini begitu biru ya.”
Tiba-tiba
wajahnya muncul di hadapanku dengan senyuman manisnya. Wajahnya begitu dekat
sampai-sampai aku harus memundurkan kursi dan kepalaku. Suasana kelas langsung
menjadi ramai. Semua orang tidak percaya bahwa orang pertama yang akan diajak
bicara oleh gadis itu—Anita, adalah aku. Semuanya tidak percaya, termasuk Zaki,
dia bahkan menyorakiku dan menjelek-jelekanku karena merasa iri kepadaku.
“Dasar
Dimosaurus!!!” Ejek Zaki tepat di telinga kananku.
“Siapa yang kau
panggil Dimosaurus, hah?!” Aku meneriaki dirinya sebagai balasan lalu kembali
menatap kedepan. Tanpa kuduga, wajah Anita masih saja menatap diriku dengan
senyumannya yang manis seperti gula. Karena merasa canggung, aku langsung membuang
pandanganku dari wajahnya. “Y, ya... kau benar sekali.” Aku tersenyum kecut
sembari menggaruk pipiku lalu mengeluarkan tawa palsu. Namun, nampaknya tawaku
terlalu dipaksakan sehingga dia menyadarinya.
Meski begitu,
meski dia menyadarinya, dia tetap bersikap seperti biasa. Dia memundurkan
wajahnya lalu berjalan ke samping tempat dudukku “Ya,’kan.” Dia lalu duduk di
sebuah kursi kosong yang letaknya tepat berada di sebelah tempat dudukku.
Sepulang
sekolah.
Disaat aku
sudah memakai tas dan hendak akan bangkit dari kursiku, Anita menghampiriku
lalu menarik tangan kananku—diriku. Lagi-lagi suasana kelas kembali mendadak
ramai. Murid laki-laki dengan tatapan iri dan bencinya kepada diriku, lalu tatapan
murid perempuan yang merasa khawatir dengan Anita karena bagi mereka aku adalah
seekor predator dan Anita adalah seekor hamster mungil nan lucu dengan keimutan
tanpa batas. Leila dengan pipinya yang memerah padam, Sindy dengan tatapan tak
mengertinya, lalu Zaki dengan tatapan menyeringainya karena merasa bahwa
seluruh kelas berada di bawah kendalinya.
“Tu-tunggu
dulu—”
Anita terus
membawaku tanpa memberi tahu kemana aku dan dia akan pergi. Wajahnya yang
sangat ekspresif dan kepercayaan dirinya seakan membuatku tak berkutik sama
sekali. Namun tiba-tiba dia berhenti. Setelah kusadari, kami berdua sudah
berada tepat di depan gerbang belakang sekolah. Tempat ini adalah salah satu tempat
yang paling jarang dilalui oleh murid-murid setelah pulang sekolah. Biasanya,
murid-murid lebih suka pulang melalui gerbang depan dari pada gerbang belakang.
Itu dikarenakan lokasi gerbang belakang yang jaraknya lebih jauh dari pada
gerbang depan dari gedung kelas.
“Anu, ada apa
ya? Apa kau ada keperluan denganku?” Aku menggaruk belakang rambutku karena
masih kurang paham dengan situasi saat ini. Anita terdiam sejenak, lalu
menengok ke tangan kirinya yang menggenggam tangan kananku. Seketika wajahnya
memerah. Saking merahnya, seakan aku bisa melihat ada asap keluar dari
kepalanya.
“Maaf, aku
tidak bermaksud—” Dia tergagap-gagap karena gugup. Tingkahnya yang terbilang
lugu langsung membuatku tertawa. Seketika, perasaan gugup dan canggung yang kami
berdua miliki langsung menghilang, sementara dia yang hanya terdiam sesaat lalu
ikut tertawa.
“Maaf, habisnya
kau lucu.” Aku mengusap air mata yang keluar dari mataku karena tertawa lalu
mengusap-usap belakang leherku. Saat kubuka mataku, tiba-tiba dia memelukku.
Tawa lepasnya langsung berubah menjadi isakan tangisnya bersama dengan
tetesan-tetesan air matanya yang membasahi switerku.
“Dimo.....
akhirnya.... aku menemukanmu. Selama ini, aku selalu percaya....” Suara isak
tangisnya yang begitu dalam membuatku merasa bahwa dia sudah menahan tangisan
ini untuk waktu yang lama. Saat ini, aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku
harus membalasnya. Aku tidak tahu, reaksi apa yang harus kutujukan kepadanya.
Tapi saat itu entah mengapa aku merasa kenal dengan dirinya. Dengan segala
perasaan penuh nostalgia yang muncul saat aku pertama kali melihatnya.
“Kau....” Tiba-tiba
aku teringat dengan tulisan yang terpahat di pohon waktu itu.
Ani dan Dimo.
Jangan-jangan.....
Anita... rambut putih..... pohon dengan ukiran.... anak
perempuan berambut putih yang sedang bermain ayunan.... begitu.
Jadi dia adalah orang yang dimaksud dalam ukiran itu dan
juga anak perempuan yang muncul dalam ingatanku waktu itu.
Kalau begitu tidak ada pilihan lain. Walau ini terdengar
kejam, aku harus mengatakan yang sejujurnya kepadanya.
“Anita,
dengar..... sebenarnya.... aku mengalami amnesia.” Seketika wajahnya terangkat.
Ekspresinya yang penuh dengan ketidak percayaan dan kesedihan bercampur aduk
menjadi satu. “Aku tahu bahwa ini terdengar menyedihkan, tapi inilah
kenyataannya.”
“Tidak
mungkin.....” Dengan lemasnya, dia melepaskan pelukannya lalu mundur dua
langkah. Dia berlutut lemas lalu berusaha mengusap air mata yang semakin deras
mengguyur wajahnya. Seberapa kalipun dia menyeka air matanya, dia tetap tak
sanggup untuk menyeka seluruh air mata itu. Air matanya yang terus mengalir
membuatku tak kuasa menahan perasaanku kepadanya.
Aku merasa bersalah karena sudah membuatnya menangis.
Aku
menghampirinya lalu berlutut di hadapannya. “Maafkan aku......” Tanpa pikir
panjang, aku langsung memeluknya dengan erat.
Walau mungkin ini tidak seberapa, tapi setidaknya aku
melakukan sesutu yang menurutku benar.
***
Rem dipijak dan
mobilpun terhenti. Aku menengok ke luar jendela, menengok ke sebuah rumah besar
nan sederhana. Rumah yang rasanya pernah kulihat sebelumnya.
“Dimo?” Anita
menepuk pundakku—membangunkanku dari lamunanku selama perjalanan. Aku menengok perlahan, menatap wajahnya yang
masih sedikit basah karena air matanya. Rasa bersalah kembali menghampiriku,
dan akupun langsung membuang muka. Namun Anita malah kembali menyentuh pundakku
sembari tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
Senyumannya
yang membuat rasa bersalahku berkurang, dan juga memberi keyakinan kepadaku
untuk melangkah maju “Maaf, ayo pergi.”
Aku membuka pintu
dan memijakkan langkah pertamaku. Kukeluarkan kepalaku dari dalam mobil dan
berdiri.
Perasaan itu tak mau hilang.
Perasaan yang
mengatakan bahwa aku pernah melewati jalan ini sebelumnya.
“Tempat
ini.....”
Aku menengok
kesana-kemari, memperhatikan jalan beserta rumah-rumah di sekitarnya dengan
seksama. Lalu aku menengok mendongkak ke atas—menatap langit biru bertaburkan
awan putih.
Sekilas aku
mengingatnya, langit ini, suasana ini, adalah suasana yang sama dengan saat
terakhir kali aku mendatangi jalan ini dengan tidak sengaja. “Kalau tidak
salah...” Aku mulai berlari menghampiri sebuah gang. Sebuah gang sempit yang di
apit oleh dua buah rumah mewah. Gang sempit yang tak terurus dengan
rumput-rumput tingginya yang setinggi pinggang. Dengan taman kecilnya dan
sebuah pohon di tengahnya. Sebuah ayunan yang terpasang disalah satu
rantingnya.
“Tidak salah
lagi.”
Angin berhembus
kencang. Angin sejuk yang membawa rasa penuh nostalgia. Aku menghampiri pohon itu.
Menyentuh sebuah ukiran yang terdapat di tubuh pohon, lalu kuhampiri pagar
untuk menatap pemandangan kota yang tak kalah indah dari sebelumnya.
“Apa kau ingat?”
Anita menghampiriku dengan rambut putihnya tertiup angin. “Dulu saat masih
kecil kita sering bermain di sini.” Dia menatap pohon itu dengan tatapan agak
sedih lalu menghampiri ayunan di sebelahnya “Oh ya, saat itu aku selalu duduk
di ayunan ini dan kau selalu menceritakanku betapa indahnya pemandangan yang
ada di sini. Tak sedetikpun waktu berlalu tanpa kau berhenti bercerita.” Dia
duduk di ayunan lalu berayun dengan perlahan. Bahkan meski angin bertiup
kencang, dia tetap menjaga agar ayunan tersebut tidak terayun dengan kencang.
“Dulu
rumput-rumput di sini tidak terlalu tinggi karena ayahku yang selalu
merawatnya, namun semenjak dirimu menghilang dan hal lain yang terjadi.... ayah
mulai berhenti merawat taman ini.” Dia menceritakan dengan wajah yang nampak
ceria. Namun nyatanya, terdapat kesedihan yang begitu nyata yang terasa dari
setiap kata-kata yang di keluarkannya. “Dulu aku tidak mempunyai banyak teman.
Mungkin kaulah satu-satunya temanku. Meski begitu, bermain bersamamu begitu
menyenangkan.” Dia mengeluarkan senyumannya yang nampak agak di paksakan karena
dia tak ingin aku kembali melihatnya menangis, senyumanya itu seakan mengiris
perasaanku.
“Dan lagi.....”
Anita menengok ke samping lalu mengusap ukiran di pohon itu. Dia mengusapnya
dengan lembut dan penuh perasaan.
Dan entah
mengapa aku hanya membatu. Aku hanya terdiam seperti orang bodoh yang tak
mengerti dengan apa yang dikatakan lawan bicaranya. Sembari tertunduk penuh
rasa bersalah dengan tangan yang terkepal seakan ingin memukul diriku sendiri.
“Bukan salahmu,
kok.”
Wajahku
terdongkak. Aku langsung menengok kearahnya dengan tatapan penuh tidak percaya.
“Apa yang sudah terjadi terhadapku, sama sekali bukan salahmu.” Anita tersenyum
polos. Senyumannya yang begitu berbeda dengan senyumannya yang sebelumnya. Dia
kembali berdiri sembari membersihkan roknya lalu menghampiri gang sempit tadi.
Namun, dia terhenti sesaaat sebelum memasuki gang tersebut dan menengok
kearahku “Ayo, sudah waktunya bagimu untuk pulang.”
***
Anita merogoh
sakunya untuk mengambil sebuah benda. Dia keluarkan sebuah kunci perak yang
nampak terawat. Kunci itu begitu terawat sampai-sampai dapat memantulkan cahaya
dengan sangat jelas.
“Apa kau sudah
siap?” Anita menengok kearahku sembari memasukkan kunci ke dalam kenop pintu.
Aku membulatkan tekad sembari menghela napas panjang, tak lama kemudian aku menatap
Anita dalam-dalam sembari mengangguk dengan penuh yakin. “Baiklah kalau begitu,
akan kubuka pintunya.” Dia membuka kunci pintu lalu membuka pintu secara
perlahan. Aku menelan ludah, suara pintu yang berdecit saat dibuka menambah
ketegangan yang kurasakan.
Rasanya cukup aneh untuk merasa gugup saat memasuki rumah
sendiri.
Aku mulai
melangkahkan kakiku memasuki rumah. Anehnya, perabotan, foto, serta segala segala
benda yang ada di dalam rumah begitu bersih dan terawat tanpa ada debu
sedikitpun. Seakan ada seseorang yang baru saja membersihkan tempat ini.
Aku menghampiri
sebuah foto yang tergantung di tembok. Itu adalah foto kecilku yang sedang
bermain lumpur di halaman rumah. Ekspresiku yang tergambar di dalam foto begitu
polos dan ceria. Aku begitu bersyukur ketika melihat diriku yang masih kecil
itu. Aku berbalik dan tak sengaja melihat sebuah pintu dapur yang terbuka
lebar, seakan ada yang baru saja memakainya berjam-jam yang lalu. Setelah
memasuki dapur, aku mendapati ada beberapa piring dan sendok yang tertata
bersih seperti sudah dicuci—tidak, kurasa piring dan sendok ini juga baru saja
dicuci beberapa jam yang lalu.
“Ini.....” Aku
mengusap sebuah piring dengan jari telunjukku untuk memastikan bahwa piring itu
benar-benar bersih. Sesuai dugaanku, piring ini baru saja di bersihkan. “Anita,
ini—” Aku menghampiri pintu lalu hendak akan memanggil Anita untuk menanyakan
hal ini, namun ternyata dia sudah berdiri di depan pintu dengan kakunya sembari
membuang pandangan seakan tak mau menatap wajahku.
“Ada apa?” Aku
menghampirinya lalu memegang pundaknya, dia nampak sangat gugup. Mulutnya terus
terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu hal yang penting namun ragu untuk
dikatakannya.
Diapun mundur
dua langkah lalu membungkukkan badannya “Dimo, maaf. Sebenarnya akhir-akhir ini
aku tinggal di sini karena rumahku mengalami kerusakkan saat dentuman terjadi.”
“Ta-tapi tenang
saja, aku tidur di kamar kosong yang ada di lantai 2’kok.” Dia kembali berdiri
tegap lalu bergeleng-geleng sembari mengayun-ayunkan kedua tangannya. Lagi-lagi
aku dibuat tertawa oleh tingkahnya. Sifatnya yang dengan polosnya telat
menyadari suatu hal begitu lucu dan aneh.
Aku teringat
akan satu hal. Satu hal yang begitu penting. Tanpa pikir panjang aku langsung
berlari melewatinya dan pergi ke sebuah ruangan. Sebuah ruangan yang sudah lama
tidak tersentuh.
“Di-Dimo?”
Anita berbalik lalu mengejar diriku. Dia mengejarku sampai akhirnya tiba di
sebuah ruangan. Setelah membuka pintu dan masuk ke dalam, dia melihatku yang
sedang berdiri terdiam menatap sebuah foto yang sudah terbingkai rapi. Foto
yang sebelumnya berdiri tegak di atas sebuah meja lemari. “Dimo, foto itu....”
Anita menghampiriku lalu menatap foto yang sedang kugenggam.
Sebuah foto
yang penuh dengan kenangan. Foto keluarga.
Entah mengapa,
tak ada satupun air mataku yang menetes. Seakan ada sebuah bendungan besar yang
menghalangi air itu untuk tumpah.
Namun, perasaan apa ini?
Rasanya sangat sesak. Dadaku terasa sesak dan sakit.
Perasaan yang sama dengan waktu itu. Begitu sakit, menusuk sampai hatiku yang
terdalam.
“Anita,
beritahu aku....” Aku menaruh kembali foto itu lalu berbalik menatap Anita.
“....dimana, kedua orang tuaku? Apa mereka baik-baik saja?” Ekspresinya yang
sebelumnya biasa mulai berubah menjadi tampak sedih begitu mendengar
pertanyaanku. Wajahnya tertunduk seakan tak tega untuk menjawab pertanyaanku.
“Mereka...
sudah meninggal dalam kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu. Kecelakaan
yang sama yang membuat dirimu menghilang.” Anita menghampiri kasur lalu duduk
di atasnya, dia mencengkram selimut kasur sesaat setelah menjelaskan kematian
kedua orang tuaku. “Saat ini, mereka dimakamkan di pemakaman umum Kota Rempah.”
“Begitu,
ya.....” Dengan lemasnya aku berbaring di atas kasur. Sesaat setelah mendengar
penjelasannya, air mataku mulai mengalir. Seketika tercipta sebuah lubang besar
di bendungan itu yang mengakibatkan air dapat mengalir dengan deras. Entah
mengapa, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Seakan tubuhku tak ingin
orang lain mengetahui bahwa saat ini aku sedang menangis.
“Dimo....”
Beberapa menit
telah berlalu. Aku menyeka air mataku lalu bangun dari kasur. Aku menengok
kearah Anita lalu memegang pundaknya dengan kedua tanganku “Anita.... bisakah
kau mengantarku ke tempat kedua orang tuaku dimakamkan?”
“Aku mengerti.”
***
Angin berhembus
kencang dihari yang begitu cerah ini. Terasa panas, namun juga terasa sejuk
disaat yang bersamaan. “Jadi ini.... makam kedua orang tuaku.” Aku berjalan
menghampiri kuburan keduanya yang tepat bersebelahan. Nampak ada beberapa
rumput liar yang tumbuh di atasnya. Batu nisannya yang sudah agak keropos dan
juga berdebu, serta sebuah pohon yang tumbuh di belakangnya. Aku berlutut lalu
mulai mencabuti rumput-rumput liar itu satu persatu dan membersihkan batu nisan
milik keduanya. Entah mengapa aku merasa begitu tenang. Perasaan tenang ini
telah membuat rasa sedih yang sebelumnya melanda diriku menjadi reda.
Seperti sebuah
obat yang sudah menutup lubang dihatiku.
“Ayah, ibu, aku
mungkin tidak ingat akan kebersamaan yang sudah kita lalui bersama....”
“....Tapi aku
yakin bahwa kalian selalu berada disisiku dan mengawasiku.”
“Tenang saja,
aku makan dengan teratur,’kok. Aku juga.... memiliki teman yang baik dan juga
peduli padaku. Pokoknya, aku baik-baik saja. Jadi, aku.... pasti takkan pernah
membuat kalian khawatir lagi, apapun yang terjadi.” Aku tersenyum sembari
menaruh bunga di antara kedua batu nisan mereka.
Setelah itu,
aku memanjatkan doa lalu kembali menghampiri Anita yang menungguku di depan
mobil. Dia menyambutku dengan senyuman sembari sedikit melambaikan tangannya.
Aku dan Anita
memasuki mobil. AC mobil yang dingin terasa menyengat dan sangat berbeda dengan
suasana panas di luar. Setelah apa yang baru saja terjadi, terasa begitu
canggung untuk memulai percakapan antara aku dengannya. Tapi, kurasa sudah
tanggung jawabku untuk mengatakan satu hal.
“Terima kasih.”
“Tidak, kau
tidak perlu berterima kasih padaku.” Anita bergeleng sembari memejamkan kedua
matanya. “Lalu bagaimana? Apa kau akan kembali tinggal di rumah lamamu?”
Pertanyaannya yang begitu tiba-tiba membuat diriku hampir tersedak. Itu adalah
sebuah pertanyaan yang sama sekali tak pernah kuduga sebelumnya.
“Tu-tu-tunggu
dulu, tahan dulu, bukankah ini berarti aku dan kau akan tinggal satu atap?”
Dengan wajah yang merah padam, aku menengok kearahnya sembari bergeser
menjauhinya karena merasa canggung untuk menjawab pertanyaannya.
“Apa ada
masalah?” Dengan polos dan santainya, Anita melontarkan pertanyaan itu. Seakan
tak ada keanehan sama sekali dengan keadaan yang baru saja kujelaskan padanya.
“Yah, bukannya
aneh jika ada dua orang yang tidak memiliki hubungan darah seperti kita tinggal
satu atap. Dan lagi, nanti tetangga pasti akan mulai bergosip, lalu mungkin
akan ada pencidukan, dan akhirnya kita akan mendapat bad end dan lalu....”
Setelah mendengar
omelanku, Anita malah tertawa dengan lembut. Aku semakin dibuat bingung oleh
tawanya. “Maaf, maaf. Aku tidak menyangka bahwa kau akan bereaksi sampai
seperti itu.” Dia menengok ke luar jendela selama sesaat lalu menengok kearahku
sembari bersenyum seakan dia sudah merencanakan semua itu “Sebenarnya, beberapa
hari yang lalu rumahku sudah selesai diperbaiki. Tapi bukannya pindah, aku
malah kebablasan tinggal di rumahmu. Te hee.”
“’Te hee’
apanya?! Kau malah membuatku super salting.” Aku menghela napas panjang lalu
berpangku dagu sembari menatap ke luar jendela. “Entahlah, aku tidak tahu
apakah sebaiknya aku kembali atau tidak. Dan lagi, ini terlalu mendadak dan aku
belum memberi tahu siapapun. Aku tidak bisa begitu saja bilang kesemuanya bahwa
aku akan pindah.”
“Begitu ya,
kalau begitu keputusanmu, maka aku akan menerimanya dengan senang hati.”
“....Jadi,
sampai kau memutuskan untuk pindah ke sana, maka aku akan siap menunggumu
kapanpun.”
“Terima kasih,
Anita.”
***
“Assalamualaikum”
Zaki membuka
pintu dan memasuki sebuah toko roti sederhana. Suara bel yang berbunyi sesaat
Zaki membuka pintu terdengar dengan sangat jelas. Sebuah toko roti yang nampak
sedikit bergaya kuno dan tua. Aroma roti yang sudah biasa diciumnya di toko itu
sudah tidak membuatnya merasa terkejut. Toko yang sepi pengunjung serta tanpa
adanya satupun pegawai yang bekerja di toko tersebut.
Mendengar suara
bel, orang yang sedang terduduk disebuah kursi di pojok ruangan sedikit
menurunkan koran yang sedang dibacanya untuk melihat seseorang yang datang
berkunjung ke tokonya. Mengetahui bahwa Zakilah yang berkunjung, dia dengan
acuhnya menyeruput secangkir kopi lalu menaikkan korannya kembali
“Waalaikumsalam”
Zaki dengan
santainya bersiul sembari menghampiri orang tersebut, lalu duduk di kursi di
sebelahnya. Sesaat setelah Zaki duduk, orang itu langsung berbalik membelakangi
Zaki seakan tak menganggap keberadaannya sama sekali. Merasa diejek, Zaki
berdiri lalu berjalan menghadap orang tersebut. Dia genggam koran itu dan
sedikit mendorongnya kebawah. Namun, dia mendapat perlawanan. Mereka terus
berseteru seperti itu sampai akhirnya koran tersebut sobek menjadi dua.
“Zakarya, anak
ini ya....” Dia berdiri lalu menaruh kopi miliknya di kursi dimana dia duduk
tadi. Dia gulung koran yang sudah terbagi menjadi dua kubu tersebut, lalu
menyerahkannya kepada Zaki.
“Eh?! Tu-tunggu
dulu, paman... aku tidak bermaksud—aku hanya ingin bertanya mengenai Dimo.”
Zaki dengan kakunya menatap Paman Tedi yang perlahan menghampiri dirinya. “O-oh
ya, ba-bagaimana jika nanti aku beli
satu rotimu? Tidak?! Bagaimana jika dua? Tidak?! Ba-bagaimana ji-jika ku lem
kembali koran ini.” Zaki mengangkat
koran yang digenggamnya sembari tersenyum kecut dan keringat yang dengan deras
mengalir turun. Saat itu pikirannya benar-benar kosong karena tekanan yang
diberikkan oleh Paman Tedi. Satu-satu kata yang tersirat disaat itu adalah
“(Mati dah aku.)”
Instingnya
mengatakan bahwa dia harus segera kabur dari tempat itu. Dengan sendirinya,
kakinya melangkah maju menuju ke pintu depan. Adrenalinnya terpicu dengan
kencang. Meski tubuhnya merinding karena merasakan bahaya yang ditimbulkan oleh
raja iblis di belakangnya, hanya ini yang bisa dia lakukan.
Dia meraih kenop
pintu dan membuka pintu dengan segenap kekuatannya. Zakipun berhasil melangkah
keluar dan hendak akan mengeluarkan langkah seribunya, namun Paman Tedi
berhasil mengunci pergerakkannya dengan menangkap kedua tangan Zaki.
Disaat mereka
berdua sedang sibuk dengan perseteruan mereka, sebuah mobil melintas dengan
pelannya menuju kearah yang sama dengan lokasi dimana rumah containerku berada.
Zaki dan Paman Tedipun langsung terdiam sesaat setelah melihat diriku yang
perlahan keluar dari dalam mobil diikuti dengan Anita.
“Itukan....
Dimo?” Zaki yang sudah terlepas dari genggaman Paman Tedi hanya terdiam kaku
karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kukira dia sudah pulang, tapi
aku tidak bisa menemukannya. Jadi kupikir aku akan bertanya kepada paman, tapi
ternyata dia masih bersama dengan anak baru yang cantik itu ya.”
“(Tunggu dulu,
jangan-jangan mereka pacaran?! Bagaimana mungkin.... orang seperti Dimo....
bahkan orang sepertiku saja belum punya pacar.....)” Zaki berlutut kecewa
karena masih tidak percaya dengan apa yang sudah dilihatnya.
“Bukankah sudah
wajar?”
Zaki
menengok—Paman Tedi yang bersandar di pintu sembari menyeruput secangkir kopi.
“Lagipula, mana ada cewek yang mau sama orang random sepertimu Zaki.” Paman
Tedi menyeringai mengejek Zaki, lalu berjalan mengambil koran yang sebelumnya
terjatuh di tanah saat Zaki tertangkap olehnya.
“Lucu sekali,
Paman sendiri masih melajang, padahal Paman sudah bau tanah. Sebuah ironi yang
keluar dari seorang jomblo abadi seperti Paman.” Zaki kembali berdiri lalu
bersandar dikaca toko sembari memejamkan mata seakan membalas ejekan pamannya
tadi. Mereka terus menatapku dan Anita yang sedang berbincang-bincang seperti
seorang macan yang sedang mengawasi mangsanya.
“Pokoknya, jika
kau sudah memutuskannya, bilang saja kepadaku.” Anita tersenyum tulus.
“Y-ya,
baiklah.” Aku membalas senyumannya lalu mengulurkan tanganku “Aku bersyukur,
bisa bertemu denganmu, Anita.”
Tiba-tiba,
Anita langsung berjalan menghampiriku dan memelukku dengan erat “Aku juga.”
Melihat itu, Zaki
dan Paman Tedi langsung membeku seakan menjadi kopong. Namun sebenarnya,
didalam hati mereka, mereka berdua berteriak dengan sangat kencang karena
sangat iri dengan apa yang sedang terjadi kepadaku.
“Ka-kalau
begitu, sampai jumpa besok Anita.” Anita melepaskan pelukannya lalu melangkah
mundur dengan riangnya.
“Sampai jumpa,
Dimo.” Dia melambaikan tangannya dengan riang dan wajah penuh senyuman lalu
masuk kedalam mobil. Tak lama setelah Anita pergi, tiba-tiba ada seseorang yang
berlari kearahku lalu menendangku dengan kencang.
“Apa-apaan kau
ini, Zaki?” Aku kembali bangun lalu membersihkan celanaku yang kotor karena
ditendangnya tadi.
“Kau yang
apaan. Enak sekali baru kenal sehari tapi sudah punya pacar.”
“Pa-pacar?!
Di-dia bukan pacarku. (Yah walaupun syukur sih kalau beneran begitu. Lagipula,
kurasa dia cukup manis.)”
“Cih, dasar
pembohong. Kalau mau pamer sih bilang saja.” Zaki menendang kakiku lalu
menepuk-nepuk punggungku dengan kencang.
“Aku tidak
berbohong. Dan juga, bisakah kau berhenti menyiksaku?” Aku menangkap tangannya
lalu membalasnya dengan memelintir tangannya.
“O-o-o-oke,
berenti coy, sakit.”Aku melepas tangannya lalu mundur untuk berjaga-jaga agar
tidak ada balasan darinya.
Meski begitu,
kurasa aku tidak bisa melupakan begitu saja ajakannya untuk kembali tinggal di
rumah lamaku. Aku tidak tahu mana keputusan yang benar. Kembali ke rumah yang
lama atau tetap tinggal di sini. Aku, tak bisa memutusaknnya.
“Ada apa? Kau
terlihat seperti sedang ada banyak pikiran. Lagipula, sebenarnya apa yang
terjadi antara kau dan gebetanmu itu?”
“Tidak,
sebenarnya....”
“Jadi begitu.
Lalu bagaimana? Apa kau akan benar-benar pindah?” Zaki duduk di teras depan
rumahku lalu berbaring sembari mengemut sebuah permen.
“Entahlah. Aku
kurang yakin.” Aku menghampirinya lalu duduk di sebelahnya.
“Apanya yang
salah? Lagipula itu adalah rumah dimana kau seharusnya berada, bukan?” Zaki
bangun lalu menengok kearahku.
“Aku tahu,
tapi... hanya saja....”
***
Dua hari
kemudian, saat dikantin, aku sedang memakan uduk bersama Anita. Keadaan masih
begitu canggung hingga tak ada satupun dari kami yang sanggup memulai
pembicaraan. Dia sesekali menengok kearahku dan sempat membuka mulutnya, namun
dia mengurungkan niatnya setelahnya.
Suasana kantin
begitu ramai hingga membuat semua meja makan yang ada penuh. Dipenuhi oleh
suara langkah kaki dan suara orang-orang yang sedang mengobrol. Antriannya juga
panjang dan ramai, murid-murid berlomba berebut antrian demi mendapatkan makan
siang mereka. Di dalam suara-suara tersebut, terdapat suara dari orang yang
begitu kukenal sedang berjalan kemari. Seperti biasa, dia melewati antrian
kantin dengan santainya sembari membawa bekal miliknya. Dia berlagak dengan
bangganya berjalan menuju kearahku sementara dua orang di belakangnya sedikit menunduk
karena merasa malu oleh ulahnya.
“Yo Dimo, lagi
pacaran? Ngajak-ngajak, dong.” Zaki melambai kearahku dengan wajahnya yang
tersenyum lebar dan kedua matanya yang tertutup seakan menambah kesan ramah
yang ditampilkan diwajahnya. Tapi aku tahu betul bahwa dia sangat berniat untuk
menyindirku. Sementara itu, Leila dan Sindy yang berjalan di belakangnya
langsung tertegun saat mendengar kata ‘pacar’ yang di lontarkan Zaki.
Aku langsung
berdiri lalu menarik napas dalam-dalam, aku tunjuk dia lalu berkata “Diam kau,
dasar jomblo ababil.”
Zaki terdiam
sejenak, lalu tertawa dengan sangat kencang. Suara tawanya tak kalah kencang
dengan suara keramaian kantin sementara Leila dan Sindy yang malah terdiam
kebingungan saat melihat tawa Zaki “Bukankah kau sama saja, Dimo?” Seakan
mengabaikan Zaki, Leila dan Sindy berjalan melewatinya lalu menghampiri meja
makanku.
Namun,
tiba-tiba Anita berdiri “Maaf Dimo, aku lupa kalau ada yang harus kulakukan.”
Dia merapihkan bekalnya lalu berjalan pergi meninggalkan kantin dengan
cepatnya.
“Eh?! Tunggu—”
Aku melihatnya pergi tanpa bisa melakukan apa-apa. “(Kenapa dia? Padahal dia
ingin kukenalkan kepada Zaki dan yang lainnya.)” Sementara Sindy dan Leila yang
mulai duduk di meja makanku. Leila yang
duduk di hadapanku dan Sindy yang duduk di sebelah kananku. Leila dengan
wajahnya yang sedikit tertunduk dan Sindy yang dengan acuhnya memakan bekalnya.
Lagi-lagi atmosfir ini muncul lagi, canggung.
Entah karena
kenapa mereka tidak berbicara kepadaku dan hanya terdiam seakan menutupi
sesuatu. Sesekali mereka melirik kearah dimana Anita sebelumnya pergi lalu
melirik kearahku. Aku tidak tahu apa maksud sebenarnya dari mereka dan
memutuskan untuk melanjutkan makan siangku. “Ada apa? Kenapa kalian canggung
seka—” Zaki langsung menutup mulutnya saat Sindy dan Leila dengan sontaknya
menengok kearahnya dengan tatapan yang sinis. Seakan langsung terdapat tanda
silang di mulutnya dan dia langsung dengan tenangnya duduk di sebelah Leila.
Sindy menghela
napas panjang lalu menengok kearahku “Kau benar-benar payah dalam hal
percintaan ya. Bukankah kau seharusnya mengejarnya? Kau’kan pacarnya?” Nada
datar yang keluar dari mulutnya seakan mengatakan bahwa saat ini dia sedang
berbicara serius kepadaku.
“Yah, tapi....”
“Tunggu apa
lagi?” Sindy dengan cepatnya langsung berdiri dan menghadap kearahku. Aura
mengintimidasi yang keluar darinya membuatku secara tak sadar mundur hingga
akhirnya mentok di tembok.
Disaat dia
menatapku dengan dalamnya, aku langsung menutup wajahku lalu berkata dengan
cepatnya “Maafkan aku yang mulia Sindy tapi aku bukan pacarnya.” Tiba-tiba
suasana mencekam yang tadi muncul langsung hangus dan berubah menjadi sesuatu
yang lain. Sebuah suasana yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Saat aku
membuka wajahku, nampak wajah Sindy yang berubah menjadi tenang dan sedikit
memerah serta Leila yang wajahnya terangkat. Sementara di ujung meja, aku
melihat Zaki yang memegangi perutnya karena tak kuasa menahan tawanya.
Kalau
dipikir-pikir lagi, semua kesalah pahaman ini memang berawal darinya. Karena
dia berkata bahwa Anita adalah pacarku yang membuat Sindy dan Leila menjadi
salah paham. Zaki sialan itu benar-benar tau bagaimana caranya untuk
mempermainkan perasaan orang lain.
“Jadi, kau dan
dia...” Sindy menunjuk kearahku lalu menunjuk kearah dimana Anita pergi.
Aku memejamkan
kedua mataku lalu bergeleng “Tidak pacaran.” Sindy langsung mundur dengan
lemasnya lalu duduk dan melamun seakan merasa malu dengan apa yang sudah
dilakukannya tadi. Sementara wajah Leila yang sebelumnya nampak murung kembali
menjadi cerah dan merona.
“Kalau begitu,
hubungan kalian....” Leila membuka bekalnya lalu sembari bertanya kepadaku.
Nampak rasa ingin tahu yang besar terpancar dari wajahnya. Aku bahkan bisa
menyadarinya hanya dengan sekali melihat wajahnya.
“Sebenarnya
begini.....”
“Jadi, dia adalah teman masa kecilmu....?”
“Begitulah.
Tapi rasanya memang aneh ya, mengenal seseorang tanpa ingat sama sekali
mengenai orang tersebut.” Aku berpangku dagu sembari melipat bungkus nasi uduk
yang sudah selesai kukakan. Lalu kulempar
bungkus tersebut ke tempat sampah. “Sebenarnya tadi aku berniat untuk
memperkenalkannya kepada kalian, tapi dia malah pargi.”
“Mungkin dia
merasa bersalah setelah melihat reaksiku dan Leila setelah Zaki berkata bahwa
dia adalah pacarmu.” Sindy menatap Zaki dengan sinisnya lalu menginjak kaki
Zaki dengan kencang.
“Sudahlah,
maafkan aku. Mana kutahu kalau akan menjadi seperti ini.” Dia memang bilang
bahwa dia meminta maaf, namun ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan bahwa
dia menyesal sedikitpun. Dia malah sempat menutup mulutnya karena tak kuasa
menahan tawa saat mengingat kejadian tadi. Melihat ekspresi Zaki, Sindy
lagi-lagi menginjak kaki Zaki dan membuat tawanya langsung menghilang.
“Selama ini,
dia tak punya teman selain aku. Bahkan saat aku menghilang, dia terus
menungguku, dia terus menungguku selama bertahun-tahun. Meski begitu, dia terus
percaya bahwa suatu hari dia pasti akan bertemu kembali denganku.”
“Tapi yang bisa
kukatakan kepadanya saat aku bertemu dengannya, pasti begitu menyakitkan
baginya.”
“Jadi aku
ingin, menebus kesalahanku. Aku ingin dia punya banyak teman dan dapat menikmati
masa mudanya seperti remaja pada umumnya.”
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment