Padahal baru bulan agustus, tapi malah udah tahun baru aja. Yah, anggep aja sekarang ini udah desember :v
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Keesokan
harinya.
Anita akhirnya
siuman. Dia begitu terkejut saat menyadari bahwa saat ini dia berada di rumah
sakit. Saat itu pukul 4 sore, dan matahari sudah mulai memancarkan cahaya
keemasan, walau hanya sedikit. Dia menatap sebuah jam dinding yang letaknya
tepat di pertengahan kasurku dan kasurnya. Menyadari bahwa waktu sudah sore,
diapun bangun dan hendak akan turun dari kasur, namun dia langsung mengurungkan
niatnya setelah aku tiba-tiba membuka gorden yang memisahkan kasur diantara kami berdua.
Akibat gorden
yang sudah terbuka, cahaya langsung menyinari wajah dan rambut putihnya. Cahaya
tersebut begitu cerah sehingga memberikan warna kekuningan dirambutnya.
“Syukurlah,
akhirnya kau sudah siuman.” Aku melemparkan sebuah apel dari kantung plastik
yang kudapatkan dari Zaki. Dia menangkap apel tersebut dengan ekspresi polos
nan bingung miliknya.
“Dimo, apa
ini?”
“Apel, lho,
apel.” Kuayunkan apel tersebut sembari tersenyum lebar dan mata yang
disipitkan.
“Tidak, bukan
itu maksudku. Kukira kau be—”
“Tenang saja.
Aku sama sekali tidak benci kepadamu.” Potongku. “Lagipula, itu tidaklah
sepenuhnya salahmu. Aku juga sudah tahu bahwa matamulah yang menarik
monster-monster tersebut.” Aku mulai memakan apel tersebut sedikit demi
sedikit. Bahkan suara yang kukeluarkan karena mulutku yang penuh dengan apel
terdengar aneh.
“Begitu ya.
Tapi seandainya saja kalau tidak ada aku, maka hal ini tidak akan terjadi.”
Dengan murungnya, dia menggenggam apel tersebut dengan kedua tangannya.
Terlihat jelas dari wajahnya yang tertunduk dan nada suaranya yang rendah.
“Tenang saja.
Kau lihat, aku baik-baik saja. Jadi kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri.”
Aku melompat turun dari kasur lalu melakukan sedikit senam. Aku berharap bahwa
yang kulakukan ini bisa meyakinkannya. Diapun sedikit tertawa setelah melihat
kelakuanku. Wajahnya yang mendung langsung berubah menjadi cerah. Jika
diibaratkan, maka Anita adalah air hujan yang terbias dengan cahaya sehingga
terlahirlah pelangi, yaitu senyumannya.
“Oh ya, aku
sudah memutuskannya.”
“Memutuskan
apa...?”
Kubuang sisa
apel yang telah kumakan dan kembali kekasur. Aku baringkan tubuhku dengan
santainya seakan tak ada beban sama sekali. Dengan kepala yang berpangkukan
tangan, kutarik napas dalam-dalam lalu menengok kearahnya “Aku akan menerima
permintaanmu untuk pindah kembali.”
Anita nampak
terkejut setelah mendengar jawabanku. Dia sama sekali tidak mengira bahwa aku
akan menjawabnya secepat ini. Mulutnya sempat terbuka untuk sesaat lalu dia
mulai tersenyum “Sungguh? Syukurlah. Aku senang kau bisa kembali.”
Aku memutuskan
hal ini bukan tanpa alasan. Alasan yang paling utama adalah rumah itu yang
lokasinya berdekatan dengan rumah Anita sehingga memungkinkanku untuk
menjaganya jika terjadi sesuatu.
“Oh ya,
sebenarnya aku berniat untuk mengenalkanmu kepada teman-temanku.”
“Tu-tunggu, aku
masih belum percaya diri.”
“Tenang saja,
kau pasti bisa.” Aku mengangkat tangan kananku yang sedang memegang smartphone
milikku. Dilayar smartphoneku, dengan jelas terlihat bahwa aku telah mengirim
pesan kepada Zaki dan yang lainnya bahwa Anita sudah terbangun. Setelah
beberapa saat melihat smartphoneku, wajah Anita mulai memerah. Entah seberapa
kecil kepercayaan dirinya hingga membuatnya hingga seperti ini. Dia bahkan
sempat panik sembari memegang dagunya dan membisikkan kata-kata yang
samar-samar terdengar seperti mantra guna-guna agar dia mendapat kepercayaan
diri.
Aku bersykur
bahwa dia sudah tidak murung dan kembali ceria seperti biasanya. Menurut Pak
Bum, tak lama setelah aku pingsan, kondisi tubuh Anita langsung memburuk karena
telah menggunakkan cursed eye. Sebagai ganti mana, cursed eye menyerap energi kehidupannya
hingga membuatnya sangat lelah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dia tak bisa
terus-menerus menggunakkan cursed eye. Maka dari itu, nyawanya akan terancam
jika dia terus bergantung kepada kekuatan cursed eye.
Sudah lewat
dari sepuluh menit berlalu. Zaki, Leila dan Sindypun akhirnya tiba. Anita
langsung berhenti bergumam setelah mengetahui kehadiran mereka dan langsung
berubah menjadi tegang. Bahkan denagan gugupnya dia berusaha untuk
memperkenalkan diri.
“Pe-perkenalkan
namaku Anita Sa—”
Tiba-tiba Leila
melompat memeluknya—sehingga membuatnya langsung terdiam. Gadis berambut putih
itu sama sekali tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi. Leila melepaskan
pelukannya lalu tersenyum manis “Namaku Leila Fitriyani, aku sangat senang bisa
berkenalan denganmu Anita.” Dengan riang gembira, Leila memperkenalkan dirinya.
Diikuti oleh Zaki dan Sindy yang tepat ada dibelakangnya.
Tak lama
kemudian Sindy menengok kearahku dengan tatapan yang serius. Dia menghampiriku
lalu mengambil sebuah kursi untuk dia duduki. Namun sebelum duduk, dia dengan
cekatan langsung menutup gorden yang memisahkan ranjangku dan ranjang Anita.
“Apa kau sudah
memberitahunya?”
“Tidak, belum.
Ternyata aku masih belum sanggup memberitahunya.”
Sesaat sebelum Pak
Bum dan yang lainnya pergi, Pak Bum sempat terhenti dan memberitahu satu hal.
Satu hal fatal yang begitu membuat kami terkejut. Hal itu adalah :
“Oh ya, aku hampir lupa. Jika cursed eye
terus berada ditubuhnya, maka kurasa sisa hidupnya takkan lebih dari satu
setengah tahun.”
Hal itu
membuatku, Zaki, Leila dan Sindy sempat berdiskusi dan memutuskan untuk mencari
waktu yang tepat untuk memberitahunya hal itu. Pada awalnya, kami berniat untuk
memberitahunya secepat mungkin. Namun, semuanya langsung ragu setelah melihat
senyuman Anita karena mereka tak ingin menghapus senyuman itu sedikitpun.
Kalau dipikir
baik-baik, sudah hampir setahun sejak dentuman besar terjadi. Maka dari itu
waktu yang tersisa bagi dia dan bagi kami untuk memberitahunya hanya setengah
tahun atau lebih. Kurun waktu itu juga berlaku bagi ERASER yang saat ini sedang
mencari penyelesaian dari masalah ini.
“Sampai kapan
kau akan merahasiakan hal ini?”
Aku terkejut.
Sindy tiba-tiba bertanya kepadaku yang sedang melamun. Pertanyaannya yang
lantang itu langsung membuat wajahku terdongkak dan menengok kearahnya.
“Entahlah....”
“Kita tidak
bisa terus seperti ini Ra—Dimo. Kita harus memberitahunya sesegera mungkin.”
“Aku tahu itu!”
Kucengkram selimut sekuat yang kubisa. Meski aku tahu bahwa tindakkan yang
kulakukan saat ini tidaklah bijak, aku tidak punya pilihan lain. Sementara itu
Sindy yang begitu terkejut setelah mendengar bentakkanku hanya bisa terdiam
membeku. “Hanya saja, saat ini, aku tak ingin menghapus senyumannya begitu
saja. Aku tak ingin senyuman tulus itu berubah menjadi senyuman sesaat.”
Kupaksakan senyuman ini kepadanya. Sebuah senyuman yang sekilas terlihat
memelas.
“Baiklah, aku
mengerti.” Dengan nada yang sedikit datar dan ekspresi senyumnya, dia menjawab.
Aku tahu bahwa nada suara yang dikeluarkannya setiap dia berbicara memang
selalu datar, namun entah mengapa kali ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda.
Beberapa detik
kemudian, Zaki sedikit menggeser gorden. Dengan ekspresi penuh keingin
tahuannya. Termasuk Leila dan Anita yang menghentikan obrolan mereka dan
menengok kearahku dan Sindy “Ada apa, Dimo? Kenapa kau tiba-tiba membentak?”
Tanya Zaki.
“Tidak, bukan
apa-apa.”
Dengan
kompaknya, kami berdua menjawab pertanyaan Zaki sembari menggelengkan kepala.
Melihat tingkah kompak kami, Zaki mulai menyeringai. Seakan ada ide kotor
lainnya yang baru saja terlintas dipikirannya “Oh, jangan-jangan pertikaian
rumah tangga?” Dengan santainya dia bertanya sembari mengeluarkan nada mengejek.
“Siapa yang
pertikaian rumah tangga, hah?”
Lagi-lagi kami
kompak. Menyadari kekompakan kami, kamipun langsung menengok kearah satu sama
lain. Kami tak menyangka jawaban kami lagi-lagi malah menjadi bumerang.
Bukannya memperbaiki keadaan, malah lebih memperkeruhnya. Bahkan Zaki menjadi
semakin menyeringai “Tuh kan, intuisiku tak pernah sala—” Tiba-tiba sebuah
bantal terlempar dan berhasil mengenai wajahnya hingga membuat dirinya terjatuh
dari kursi. Itu adalah bantalku dan akulah yang melemparnya.
“Intuisi
apanya? Kau hanya ingin mengejekku bukan?” Aku berdiri lalu mengambil kembali
bantal tersebut. Disaat kami sedang bertengkar, Anita dan Leilapun tertawa.
Mereka tak kuasa menahan tawa mereka melihat pertikaian antara aku dan Zaki.
Kami baru menyadari tawa mereka disaat aku telah menaruh kembali bantal
tersebut seperti semula. Kami bertiga menatap satu sama lain lalu ikut tertawa.
***
Pukul 5 sore.
Satu jam sudah
berlalu sejaki Zaki dan yang lainnya tiba menjenguk. Karena sudah sore,
merekapun pulang.
Di perjalanan
pulang, tiba-tiba Zaki terhenti. Leila dan Sindy yang menyadari perilaku Zaki
langsung berbalik. Leila menghampirinya lalu bertanya “Maulana? Ada apa? Apa
ada barangmu yang tertinggal di rumah sakit?” Namun Zaki hanya terdiam seribu
bahasa sembari menunduk. Remaja berambut cokelat itu membuang pandangannya dari
mereka. Tak lama kemudian dia menghela napas lalu mengangkat kembali wajahnya.
“Terima kasih.”
“Berterima
kasih untuk apa?” Sindy menghampirinya. Pertanyaannya yang dikeluarkan dengan
nada datar itu sempar membuat Zaki mengurungkan niatnya. Namun tidak, dia sudah
berniat melakukan ini sejak mereka pertama kali bertemu.
“Sudah lama
sekali sejak terakhir kali aku melihat Dimo tertawa seperti itu. Dulu sekali,
sebelum dia bertemu dengan kalian, dia adalah orang yang murung dan pendiam.
Dia terus terbayangi dengan insiden itu
dan menutup dirinya dari dunia luar.” Nampak alisnya berkerut dan wajahnya
terlihat sedih. Bahkan Sindy dan Leila tak dapat melihat sedikitpun kebohongan
terpancar dari wajahnya “Namun, sejak bertemu dengan kalian, aku sudah mulai
bisa melihat perubahan sikapnya.”
“Aku tahu ini
terdengar egois dan aku semata-mata terlihat seperti sudah memanfaatkan kalian.
Jadi, apapun jawaban kalian, aku pasti akan menerimanya.” Zaki kembali menunduk
lalu memejamkan kedua matanya.
Sindy dan Leila
hanya bisa terdiam. Keadaan begitu canggung dan mereka tak tahu bagaimana
caranya untuk bisa menanggapi pernyataan Zaki. Namun, Sindy yang awalnya
terdiam, mulai menghampiri Zaki dengan ekspresi datarnya. Zaki yang menyadari
kedatangan seseorang sedikit membuka matanya. Disaat Sindy mulai mengangkat
tangannya, dia kembali memejamkan matanya karena dia tahu bahwa tindakan
egoisnya tak mungkin bisa diterima begitu saja.
Dia sudah
menyiapkan dirinya untuk menerima satu atau dua tamparan, bahkan mungkin lebih.
Namun, bukan
tamparan yang dia dapatkan. Dia menyadari situasi dan mulai membuka kedua
matanya. Sindy tersenyum dengan tulus nan indahnya sembari memegang pundak
Zaki.
“Jangan
khawatir. Lagipula kita ini teman.” Senyumannya yang dihiasi oleh cahaya
kekuningna di sore hari membuat senyumannya nampak begitu menawan.
“Ya, benar.
Kami pasti akan selalu siap membantumu dan Dimo.” Leila menghampiri Zaki dengan
riang gembira seakan Zaki tidak bersalah sama sekali.
“Terima
kasih.... aku bersyukur bisa berteman dengan kalian.”
***
Dua hari
kemudian, aku dan Anita sudah boleh dipersilahkan untuk pulang. Hari itu
mendung dan begitu dingin. Awal desember adalah saat-saat dimana hujan biasa
turun dan cuaca menjadi mendung. Bahkan tak jarang terjadi banjir di area
tertentu di kota ini.
Saat itu kami
sedang menunggu tumpangan dari Zaki. Sebelumnya aku telah menelponnya untuk
menjemput kami berdua, namun aku sama sekali tak menduga bahwa ini akan memakan
waktu lebih lama dari yang kubayangkan. Aku menengok kearahnya. Walau sudah
lewat beberapa hari, namun nampaknya dia masih merasa bersalah karena
penyerangan itu. Wajahnya masih nampak murung dan mendung. Kulepas syal milikku
lalu mengalungkannya kepadanya.
Anita yang
sebelumnya sedang melamun baru menyadari syal tersebut tak lama setelah
kupakaikan kepadanya. Dia menengok kearahku dengan wajah polos nan bingungnya
“Sejak kapan...?”
“Hari ini
begitu dingin, jadi sebaiknya kau mengenakkan itu.”
“Tapi bagaimana
denganmu?”
“Tenang saja,
bagi lelaki sepertiku, dingin bukanlah masalah.” Aku tersenyum lebar sembari
menggesek-gesekkan kedua tanganku agar hangat. Tak lama kemudian, Zakipun tiba.
Dia memarkirkan motornya tepat dihadapan kami berdua dan sedikit menghalangi
jalur dimana kendaraan biasa berlalu. Bahkan dengan santainya dia duduk di
motornya sembari melepas helmnya dan bersiul. Entah reaksi seperti apa yang harus
kukeluarkan saat itu atas apa yang baru saja dilakukannya. Namun saat itu aku
merasa sangat malu karena ulahnya.
Aku berjalan
menghampiri Zaki dengan wajah yang tertunduk. Sementara Zaki mengambil helm
yang akan kugunakkan yang sebelumnya dia gantung di jok motornya. Tiba-tiba
wajahku terdongkak seketika teringat dengan Anita. Aku belum bertanya kepadanya
mengenai dengan siapa dia akan pulang. “Oh ya Anita, kenapa kau tidak pulang
bersamaku dan Zaki saja? Motor ini masih muat untuk satu orang lagi, kok.”
“Ah, maaf, tapi
nanti Pak Alfred sebagai supirku akan menjemputku.” Dia menggelengkan kepalanya
perlahan. Dengan matanya yang tertutup dan alisnya yang sedikit terangkat, dia
tersenyum kaku.
“Kalau begitu,
sampai jumpa jam 3 sore nanti ya.” Kukenakkan helm yang diberikan Zaki lalu
menaiki motornya. Kulambaikan tanganku sesaat setelah motornya sudah mulai
berjalan. Kulambaikan tanganku hingga akhirnya aku dan Zaki berbelok dan pergi
meninggalkan Anita.
“Jam 3, ya....”
Anita mengambil smartphonenya dari dalam kantung jaketnya lalu menatap jam yang
terdapat dilayarnya.
***
Pukul 3 sore.
Mobil bak yang
dikendarai Paman Tedipun tiba di depan rumah lamaku dengan aku yang berada
bersamanya. Mobil tersebut membawa barang-barang milikku dari rumah kontainerku.
Barang-barang tersebut seperti lemari, meja, pakaian dan masih banyak lagi.
Sesaat setelah
mobil sudah diparkirkan, Anita keluar dari dalam rumah dan menyambutku dan
Paman Tedi. Sementara itu, Zaki yang membuntutiku menggunakkan motornya,
langsung memarkirkannya dan berlari memasuki rumahku seakan rumah tersebut
rumahnya sendiri.
Entah mengapa,
aku mendapat firasat bahwa dia akan langsung segera mengacak-acak rumahku.
Akupun langsung berlari mengejarnya memasuki rumah dan mencegahnya untuk tidak
melakukan hal yang sembrono.
Namun, yang
kudapatkan hanyalah Zaki yang sedang terduduk lemas di sofa. Aku bertanya-tanya
kemana hilangnya semangat miliknya tadi sampai akhirnya kusadari bahwa kulkas
yang ada di dapur terbuka lebar. Kuhampiri kulkas tersebut lalu menutupnya.
“Kulkasnya...
kosong.” Gumam Zaki.
“Tentu saja
kosong, memangnya apa yang kau harapkan?” Aku kembali keluar dari dapur lalu
berjalan kembali keluar rumah karena kurasa semuanya akan baik-baik saja selagi
Zaki tak mendapatkan semangatnya kembali.
Anita yang
melihatku keluar dari dalam rumahpun menghampiriku “Dimana Zakarya?”
“Di dalam,
sedang merenungi nasibnya.”
“Dimo,
kemarilah! Bantu aku mengangkat barang-barangmu ini.”
Aku mendengar
suara panggilan dari Paman Tedi yang sedang berusaha mengangkat barang-barang
milikku. “Baik.” Aku berlari menghampiri Paman Tedi lalu membantunya.
Kamipun mulai
mengangkut barang-barang dan memasukkannya kedalam rumah. Satu jam kemudian,
Sindy dan Leilapun tiba. Sebelumnya, mereka berniat berangkat bersama kami,
namun karena suatu alasan, mereka menjadi terlambat satu jam.
Berjam-jam
berlalu tanpa kami sadari. Dan akhirnya seluruh barang telah berhasil diangkut
kedalam rumah.
“Akhirnya....
selesai juga.” Kujatuhkan tubuhku yang letih kesofa dan berbaring diatasnya.
Empuknya sofa seakan langsung membuat rasa letihku lenyap.
“Rumahmu besar
ya.”
Aku angkat
tubuhku dan duduk di sofa. Kutengok sumber suara itu berasal yang ternyata
adalah Sindy yang sedang duduk di sofa sembari terus mengganti channel tv.
“Ya, benar.”
Aku bersandar sembari menengok keatas—menatap plafon ruang tamu yang sedikit
berdebu.
“Hei...”Aku
kembali tertunduk menatap Sindy yang memanggilku. Wajahnya yang tertunduk dan
sedikit memerah. Poni rambutnya yang menutupi matanya membuatku tak tahu ekspresi
seperti apa yang sedang dikeluarkannya saat ini. “Ka-kau tahu, dulu kau pernah
bilang bahwa kau punya teman yang sangat suka bermain game, namun dia memiliki
kemampuan yang payah,’kan?”
“Ya.... kurasa
aku memang berkata seperti itu.” Aku menggaruk rambutku sembari melirik keatas.
Entah mengapa aku tak sanggup menatap wajah Sindy. Saat ini, aku merasakan
sebuah suasana yang sangat canggung diantara kami berdua. Aku bahkan sama
sekali tidak mengerti mengapa Sindy tiba-tiba menanyakan hal itu.
“Apa
jangan-jangan.... kau ini Ram—”
“Wah....”
Tiba-tiba
suasana canggung langsung pecah bersamaan dengan munculnya suara Zaki. Sindy
yang sebelumnya menunduk langsung terangkat dan menengok kearah suara Zaki
berasal. Zaki sedang bersembunyi di balik sebuah sofa yang arahnya bertolak
belakang dengan arah dimana sofaku menghadap. Sementara Leila dan Anita yang
berdiri di belakangnya. Wajah Leila yang nampak merah merona sementara Anita
yang wajahnya begitu tenang seakan tak bisa mengerti situasi yang sedang
terjadi.
Aku perlahan
berjalan mengendap-endap menghampiri sofa dimana Zaki bersembunyi, lalu
kudorong sofa tersebut sehingga jatuh menimpa Zaki dan kunaiki sofa tersebut
sehingga dia tidak bisa bangun kembali. “Sudah kubilang untuk berhenti melakukan
candaan itu! Apa kau sudah bosan hidup?”
“Maaf, maaf,
iya aku kapok! Pokoknya angkat dulu sofa ini.” Kata Zaki dengan nada suara
seperti orang yang sedang sesak. Dia menepuk-nepuk sofa tersebut sembari
mencoba mangangkatnya, namun dia tak sanggup. Dia tidak tahu bahwa saat itu
sofanya sedang kutindihi.
Merasa sudah
cukup puas membalasnya, aku turun dari sofa lalu kuangkat sofa tersebut. Akupun
kembali duduk disofa sembari menghela napas panjang. Sementara Zaki kembali
berdiri dan membersihkan pakaiannya.
Aku teringat
kembali dengan kata-kata Sindy. Andai saja dia dapat menyelesaikan
kata-katanya, aku mungkin bisa mengerti apa maksudnya. “Oh ya, Sindy, tadi kau
mau bilang apa?”
“Ti-tidak,
bukan apa-apa.” Sindy dengan cepatnya merespon jawabanku sembari tersenyum dan
menggelengkan kepalanya. Namun rasanya ada yang aneh dari senyumannya.
“(Bukan apa-apa, ya.....)”
***
Beberapa hari
kemudian.
Karena insiden
penyerangan yang terjadi, murid-murid mulai menjaga jarak dengan Anita. Aku dan
Dia menjadi terkenal karena kamilah satu-satunya korban dari insiden tersebut.
Ditambah lagi, insiden penyerangan ini terjadi tak lama setelah dia masuk ke
sekolah ini. Karena itulah mulai bermunculan gosip dan rumor mengenai Anita.
Saat itu kami
sedang istirahat di kantin sekolah. Seperti biasa, semuanya membawa bekalnya
masing-masing terkecuali aku. Namun Zaki lupa membawa bekalnya dan
meninggalkannya di dalam tasnya yang ada di kelas.
Sembari membuka
bungkus dari roti yang baru saja kubeli, aku melihat Anita yang hanya tertunduk
terdiam menatap bekalnya. Nampaknya dia terpikir dengan segala gosip dan rumor
buruk mengenai dirinya. “Tenang saja, tak usah pikirkan perkataan mereka.”
“Maaf, hanya
saja....” Wajahnya langsung terdongkak menatapku sembari tersenyum kaku. Dia
menggaruk pipinya dengan jari telunjuknya. Senyuman kakinya yang begitu nampak
membuatku sadar bahwa dia begitu memikirkan rumor dan gosip buruk mengenai
dirinya.
“Yo, semuanya.
Maaf sudah membuat kalian menunggu.” Zaki datang dengan napas yang berantakan.
Itu membuatnya terlihat bahwa dia baru saja berlari kesini dengan sekuat tenaga.
Meski begitu, tak ada seorang pun terkecuali Leila yang membalas salam Zaki
dengan riang. Leila jugalah satu-satunya yang tidak memakan bekalnya demi
menunggu Zaki
“Walah, kalian
semua kejam karena tidak menungguku.” Zaki duduk di sebelah Leila “Lihat, hanya
Leila yang baik padaku.” Zaki menunjuk Leila yang sedang mulai membuka
bekalnya. Menyadari itu, Leila tersenyum sembari memberi jempol.
“Oh ya,
ngomong-ngomong tadi di kelas kudengar harga Happyland untuk malam tahun baru
nanti akan diskon.” Zaki mulai membuka bekalnya.
“Sungguh?”
Tanya Leila dengan penuh Antusias.
“Ya, tadi aku
sempat mencari informasi dari web resmi Happyland, dan ternyata itu benar.”
Zaki menaruh sendoknya kembali kedalam kotak bekal lalu merogoh kantung
celananya untuk mengambil smartphone miliknya. Dia tunjukkan jadwal tersebut
kepada kami satu-persatu.
“Coba
kuperiksa.” Sindy mengulurkan tangannya kepada Zaki untuk mengambil Smartphone
milik Zaki. Zaki berikan Smartphone itu lalu kembali melanjutkan makannya.
Sementara kami
sedang asik membicarakan Happyland, Anita hanya terdiam sembari memakan
bekalnya. Seakan dia berusaha menjaga jarak dari kami agar kami juga tidak
terkena imbas dari gosip dan rumor buruk miliknya. ”Oh ya, bagaimana jika Anita
juga ikut?”
Anita tertegun.
Leila, Zaki dan Sindy yang sebelumnya sibuk mengobrol langsung menengok
kearahku dan Anita. Merasa tak nyaman, Anita membuang muka dari kami lalu
mencengkram rok miliknya. Dia sangat yakin bahwa takkan ada seorangpun yang
setuju dengan usulanku. Tapi....
“Ide bagus!
Makin banyak cewek makin mantep.” Zaki tersenyum lebar sembari mendongkak
kearahku dan menepuk-nepuk pundakku.
“Boleh juga, mengapa
tidak?” Sindy berpangku dagu sembari menatap Anita dengan senyum lembutnya.
“Ani...!” Leila
langsung dengan cepatnya mendekati Anita lalu memeluknya.
Melihat reaksi
mereka bertiga, Anita langsung menengok kearah mereka dan tidak membuang
pandangan. Wajahnya menjadi merah merona dan matanya yang lesu berubah menjadi
berbinar. Ekspresi mendungnya langsung terhapusakn dan digantikan dengan
ekspresi yang begitu cerah seperti langit biru. Dia nampak begitu tak menduga
bahwa dia akan mendapat reaksi seperti itu dari Zaki dan yang lainnya. Meski
sudah beredar rumor dan gosip buruk tentangnya, mereka tetap menganggap Anita
sebagai teman.
Dan begitulah,
kami termasuk Anita setuju untuk merayakan tahun baru di Happyland.
***
Hari yang
nantipun telah tiba.
Sebelum pergi
berangkat, kami memutuskan untuk berkumpul terlebih dahulu di rumahku. Terlebih
lagi, Anita yang tak terbiasa melakukan hal seperti ini. Karena itulah kami
memutuskan rumahku sebagai tempat berkumpul. Kami akan berkumpul di rumahku
pada pukul 19:00. Tentu saja, Anitalah yang pertama kali tiba di rumahku.
Dengan mengenakkan jaket dan switer berwarna hitam, meski begitu, wajahnya
nampak memerah karena gugup. Beberapa menit kemudian, Sindy dan Leilapun tiba.
Sindy dengan kemeja berwarna merah dengan motif kotak-kotaknya serta celana
levis berwarna hitam. Sedangkan Leila dengan kemeja putih yang dipadu riaskan
dengan switer berwarna oranye.
Sepuluh menit
kemudian Zaki akhirnya tiba. Dengan santainya ia melepas helmnya serta berjalan
menghampiri kami sembari melambai-lambaikan tangan kanannya yang memegang 5
buah tiket menuju Happyland. Padahal, dialah yang memegang tiket, namun dia
jugalah yang datang terakhir. Dengan pakaiannya yang nampak mencolok yaitu
jaket berwarna hijau dan juga headphone yang terkalung di lehernya.
Di Happyland.
Aku, Sindy,
Leila, Zaki dan Anita begitu terkejut saat melihat keramaian. Kami memang sudah
tahu bahwa tempat ini akan ramai pada saat malam tahun baru, namun kami sama
sekali tidak menduga akan seramai ini. Tempat ini sudah seperti permen yang
dikelilingi oleh sekumpulan semut. Diantara kami berlima, Anitalah yang
nampaknya begitu terkesima dengan keadaan seramai ini. Wajahnya memerah dan
berkeringat dingin. Dia terus melirik kesana-kemari seakan saat-saat itu begitu
langka baginya.
“Ada apa,
Anita?” tanyaku.
Dia yang
awalnya tak merespon pertanyaanku, langsung terdongkak saat aku menyentuh
pundaknya. “Ti, tidak, bukan apa-apa. Hanya saja... ini pertama kalinya aku
melihat orang seramai ini.” Anita menggeleng lembut sembari tersenyum kecut.
Entah apa yang sedang dipikirkannya saat melihat kerumunan orang sebanyak itu.
“Hei kalian
berdua, lewat sini!” Zaki memanggil kami. Dia, Leila dan Sindy yang sedang
mengantri untuk memasuki gerbang utama. Akupun mengangguk lalu menggandeng
Anita menuju antrian melewati keramaian.
Pertama, kami
menaiki wahana Rollercoaster. Kami berempat begitu antusias untuk menaiki
wahana tersebut terkecuali Zaki. Disaat Rollercoaster sudah mencapai puncak,
angin mulai berhembus kencang dan membuat sekujur tubuhku merinding. Semuanya
terkecuali Zaki, mulai mengangkat kedua tangannya. Sementara semuanya
mengangkat kedua tangannya, Zaki lebih memilih menunduk dan berpegangan kencang
kepada pengaman, dia bahkan sampai membaca ayat kursi.
Semuanya
berteriak begitu kencang saat Rollercoaster mulai melaju begitu kencang
menuruni puncak rel. Angin berhembus begitu kencang meniup wajah dan pakaian
kami. Suasana begitu riuh sekaligus menyenangkan, tentu saja hal ini tidak
berlaku kepada Zaki. Disaat Rollercoaster mulai melaju, bacaan doanya semakin
kencang. Bahkan dia sempat salah membaca doa dan hampir saja muntah akibat
guncangan dari Roller Coaster. Disaat itu, wajahnya mulai memucat dan dia mulai
melemas seperti daun.
Setelah menuruni
Rollercoaster, Sindy, Leila dan Anita nampak begitu menikmatinya. Mereka terus
berbincang-bincang mengenai wahana tadi. Sementara itu, aku membantu Zaki yang
nampak pucat sejak menuruni wahana tersebut. Akupun membeli air minum dan
memberikannya kepada Zaki agar dia merasa baikan.
Wahana
selanjutnya adalah rumah hantu. Zakilah yang dengan bangganya menyarankan
wahana ini. Setelah apa yang terjadi sebelumnya, nampaknya rasa malu miliknya
sudah setipis kertas majalah. Dia juga menyarankan agar kami memasuki rumah
hantu secara berpasang-pasangan. Sementara yang lainnya setuju dengan saran
Zaki, apalagi Leila yang langsung setuju setelah melirikku. Aku bisa melihat
dengan jelas motiv dibaliknya. Dia pasti berharap untuk memasuki rumah hantu
itu bersama salah satu diantara Sindy, Leila dan Anita. Lalu, disaat hantunya
muncul, dia akan merasa sangat senang jika pasangannya langsung memeluk dirinya
karena ketakutan.
Dan beginilah,
kami akhirnya melakukan undian dengan cara hompimpa.
Nahas baginya,
harapannya langsung hancur saat dia tak memiliki pasangan sama sekali. Dia lupa
bahwa jumlah kami ganjil sehingga mau tidak mau salah satu orang pasti akan
masuk sendirian. Tak mau rencananya gagal, diapun meminta undian ulang, namun
tak ada satupun dari kami yang menghiraukannya.
Hasil dari undian tadi yaitu aku berpasangan
dengan Sindy, lalu Leila dengan Anita, sementara Zaki sendirian. Namun, untuk urutan masuk, kami berdualah yang
mendapat urutan terakhir.
Oh ya, aku
penasaran reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan oleh Sindy. Selama ini, dia
tak sering menunjukkan ekspresinya. Terakhir kali aku melihat dirinya penuh
ekspresif adalah disaat insiden ledakan di penyerangan saat itu, lalu saat dia
salah paham tentang hubunganku dengan Anita, disaat dia tahu bahwa aku belum
memberi tahu Anita tentang waktu kehidupannya yang tersisa dan yang terakhir
adalah saat dia mengajakku mengobrol saat pindahan.
Oh ya, aku masih penasaran dengan apa yang ingin
dikatakannya saat itu.
Kamipun masuk.
Hantu-hantu terus bermunculan menghadang kami berdua. Namun tanpa kuduga sama
sekali, tak ada satupun hantu yang membuatnya takut. Sebaliknya, tanpa
terkecuali semua hantu yang ada justru membuatku takut. Wajahnya begitu tenang.
Tanpa kami
sadari, kami berdua akhirnya tiba di pintu keluar dari rumah hantu. Disaat aku
akan membuka pintu dengan meraihnya dengan tangan kananku, tanpa kusadari Sindy
yang selama ini berpegangan pada lengan kausku. Dia mencubit kausku dengan kencang. Aku
terlalu fokus dengan ekspresi di wajahnya tanpa menyadari bahwa masih ada cara
lain untuk menunjukkan perasaannya. Dia juga nampaknya tak sadar bahwa selama
ini dia melakukan itu dan baru menyadarinya saat aku mengangkat tangan kananku.
Dengan cepat,
dia langsung melepaskan cubitannya lalu menunduk. Aku juga bingung dengan apa
yang sebaiknya kukatakan untuk memecah kecanggungan diantara kami berdua. “Se-sebaiknya
kita segera keluar, yang lainnya pasti sudah menunggu kita.” Aku langsung
meraih kenop pintu lalu membukannya.
***
Tanpa terasa,
waktu sudah berlalu. Tak terasa sekarang sudah pukul 11 malam. Oh ya, khusus
malam tahun baru, Happyland akan buka hingga pukul 2 malam. Karena itulah
banyak orang yang lebih memutuskan untuk menghabiskan malam tahun barunya di
sini.
Tepat pukul 12
malam nanti, akan dinyalakan petasan. Mulai dari petasan bambu hingga petasan
pelontar. Petasan akan diadakan tepat di Kastil Boneka, tepat di hadapan Kastil
Boneka terdapat sebuah halaman dan taman luas yang mampu menampung banyak orang
sekaligus. Disaat petasan dinyalakan di atas kastil boneka, maka pengunjung
bisa menontonnya sembari menyambut tahun baru.
Namun tanpa
kami duga, pengunjung tahun ini sangatlah ramai sehingga membuat taman maupun
halamannya penuh dengan orang. Saking penuhnya, hingga membuat satu sama lain
berdesak-desakkan. Jika begini terus, maka akan sulit untuk melihat petasan.
Saat kusadari,
aku sudah terpisah dari yang lainnya. Nampaknya aku terlalu terbawa arus dan
dorongan sehingga membuatku terpisah dari Zaki dan yang lainnya. Tiba-tiba,
smartphoneku berdering. Kuambil smartphone tersebut dari kantung celanaku lalu
memeriksa siapa yang menelponku “Zaki...?” Sebelum mengangkat telepon tersebut,
aku langsung menepi ke tempat yang sepi agar terhindar dari suara keramaian
ini.
Aku jawab
panggilan telepon itu lalu kudekatkan smartphoneku ke telingaku “Halo, Zaki?
Dimana kau?”
“Halo, Dimo? Saat ini aku, Sindy, Leila dan
Anita sedang beristirahat di taman. Bisakah kau segera ke sini?”
Aku menengok
menuju ke arah dimana taman berada, namun jalan menuju ke tempat itu terlalu
ramai sehingga tak memungkinkan bagiku untuk bisa pergi kesana “Tidak, tidak
bisa. Kurasa tempat ini terlalu ramai. Apa kau punya ide lain untuk melihat
petasan tanpa ada gangguan?”
“Sebentar, aku akan meminta saran kepada yang
lainnya.....”
Beberapa menit
kemudian.
“....Begini saja, bagaimana jika kita melihat
petasannya dengan menaiki Biang Lala saja?”
“Apa kau yakin?”
“Ya, saat ini perhatian semua orang sedang
berpusat ke tempat ini. Kita pasti bisa menaiki Biang Lala tanpa harus
mengantri terlebih dahulu. Di tambah lagi, lokasi wahana Biang Lala yang tak
jauh dari tempat ini.”
“Baiklah, aku
akan segera kesana.” Kuputus telepon darinya lalu kukantungi kembali
smartphoneku. Sembari mencari jalur paling sepi untuk kesana, akupun mulai
berlari.
***
Aku akhirnya
tiba.
“Gawat,
sekarang pukul 23:52....” Sembari menengok kesana-kemari mencari Zaki dan yang
lainnya, aku memeriksa jam di smartphoneku. Aku berlari menghampiri loket masuk
wahana agar bisa lebih mudah mencari mereka.
Tak lama
kemudian, merekapun tiba. Meski ngaret beberapa menit, ini lebih baik dari pada
tidak sama sekali. Tak mau membuang waktu, kamipun langsung membeli karcis dan
menaiki Biang Lala sebelum pesta petasan malam tahun baru di mulai. Diantara
kami berlima, Anitalah yang nampaknya begitu tertarik dengan malam pergantian
tahun ini. Sesaat setelah Biang Lala mulai berputar, Anita terus menerus menatap
kearah jendela—kearah dimana pesta petasan diadakan, yaitu Istana Boneka.
Meski Biang
Lala sudah mencapai puncaknya dan berhenti berputar, dia sama sekali tidak
memalingkan wajahnya. Seperti tenggelam di dunianya sendiri.
Aku menengok
kearah Zaki, Leila dan Sindy yang sedang asik bersiap untuk menghitung mundur.
Aku mengambil smartphoneku kembali, sekarang pukul 23:58, pantas saja mereka
begitu berantusias.
Terompet-terompet
diluar mulai berbunyi dan semakin keras. Menunjukkan bahwa semakin banyak orang
yang mulai meniupnya. Meski sudah hampir tengah malam, tak ada satu orangpun
yang nampak sudah lelah. Selain terompet, banyak juga yang mulai menyalakan
petasan pelontar miliknya sendiri yang sudah mereka bawa dari rumah. Petasan
yang saat mencapai puncaknya akan meletus dan berubah menjadi percikan-percikan
api kecil berwarna-warni nan indah seperti bunga. Suara terompet dan petasan
yang memekakkan telinga begitu terdengar hingga ke dalam Biang Lala. Bahkan
untuk berbicara satu sama lain, kami harus mengeluarkan suara yang kencang.
Suara terompet
semakin kencang dan petasan pelontar yang semakin banyak banyak bermunculan
menunjukkan bahwa malam tahun baru semakin dekat setiap detiknya.
“5.... 4....
3.... 2.... 1.... Selamat tahun baru!”
Keramaian mencapai
puncaknya. Semua orang berteriak menserukan selamat tahun baru. Petasan
pelontar dan yang lainnya yang ada di atas Istana Boneka akhirnya dinyalakan.
Warna-warni indah yang terus bermunculan dan mewarnai langit malam yang kelam.
Seakan bunga terus bermekaran di langit. Cahayanya begitu terang hingga tak
kalah terang dengan cahaya bulan.
Tak lama
kemudian, Anita dengan lembutnya menengok kearahku. Dengan senyuman di wajahnya
serta pipi yang begitu merona dan begitu cerah. Matanya yang berbinar dan wajahnya
yang terus dihiasi oleh cahaya petasan yang terus-menerus berganti. Cahayanya
seakan menari-nari dengan indahnya.
Dia membuka
mulutnya. “Dimo, aku.....” Seakan berkata-kata, mulutnya terus bergerak
menciptakan setiap kata yang tak bisa kudengar. Suaranya yang begitu kecil
membuatya tertutup oleh suara petasan dan terompet. Beberapa kata yang tak bisa
kudengar itu, entah mengapa membuat kedua mataku terbelalak. Aku tak bisa
memalingkan wajahku sedikitpun darinya.
Entah mengapa,
rasanya ada sesuatu, ada sebuah perasaan yang tak bisa tersampaikan dan
terungkapkan melalui kata-kata itu. Jika kubayangkan, rasanya begitu
menyedihkan dan juga menyakitkan.
Aku menengok
kearah Zaki dan yang lainnya yang juga nampak tak mendengar kata-kata yang
diucapkan olehnya. Mereka terus mengobrol sementara aku disini, tak
berkata-kata.
Aku kembali
menengok kearah Anita. Dia hanya tersenyum lembut sembari menutup kedua matanya. Lalu kembali menengok
menengok kearah petasan.
Sementara itu,
aku hanya terdiam membisu tanpa bisa bertanya balik kepadanya. Rasanya, jika
aku melakukan itu, ada sesuatu, akan ada sesuatu yang hilang dariku.
Rasanya aku akan menjadi kopong.
Setelah itu,
kamipun bersiap untuk pulang. Namun sebelum itu, kami melakukan foto-foto
terlebih dahulu untuk bisa mengabadikan momen-momen yang tak terlupakan ini.
Aku bersyukur mempunyai teman seperti mereka.
Kamipun pulang.
Sebelum pulang
ke rumah masing-masing, kami sempat berkumpul terlebih dahulu di rumahku untuk
beristirahat. Setelah beberapa menit berlalu, kamipun akhirnya berpisah.
Aku kembali
teringat dengan momen-momen itu. Kata-kata yang tak bisa kudengar tersebut.
Anita, dia nampak begitu bahagia. Mungkin ini pertama kalinya dia merasakan
momen-momen bahagia seperti ini.
Aku merasa
bersalah. Aku tak ingin menghapus kebahagiaan itu dari wajahnya, namun betapa
egoisnya aku jika aku tidak memberitahunya. Kurasa sekarang sudah saatnya
bagiku untuk memberitahu Anita mengenai kondisi tubuhnya. Disaat Anita hendak
akan membuka pagar untuk pulang, aku berlari menghampirinya.
Mendengar suara
langkah kakiku, diapun berbalik. Menatap diriku yang nampak kehabisan napas
akibat berlari. “Anita, ada yang harus kuberitahukan kepadamu sebenarnya tu—”
“Apa kau, masih
punya teh?” Dia menutup pagar lalu tersenyum kepadaku.
***
“Ini... awas,
masih panas.” Aku menyerahkannya teh. Dia menerima teh tersebut lalu kembali
menatap bintang-bintang di langit malam. Sembari bersender di pagar lantai dua
ini, dia menatap langit dengan dalamnya. Sesekali dia menyeruput teh miliknya, uap
keluar dari mulutnya karena dinginnya malam. Angin malam yang dingin berhembus
kencang meniup rambut putihnya yang terang. Aku menghampirinya dan berniat
untuk memberi tahunya “Anita....”
“Apa kau suka
novel?” Potong Anita. Dia menengok kearahku dengan penuh penasaran. Pertanyaan tiba-tibanya itu lagi-lagi memotong
kata-kataku.
“Um, aku tak
terlalu suka membaca novel.... tapi aku suka membaca komik.” Kugaruk rambutku
lalu ikut bersender di pagar kayu ini “Memangnya ada apa? Tiba-tiba sekali.”
“Sejak dulu,
aku selalu ingin menjadi novelis. Aku ingin membayangkan betapa indahnya dunia
ini dan menyusun serta mengungkapkannya melalui kata-kata.” Dia menengok
kearahku lalu mengedipkan salah satu matanya “Lalu saat novel tersebut sudah
rampung, kaulah orang pertama yang akan membacanya.”
“A-aku? La-lalu,
kenapa kau ingin menjadi novelis?” Aku tersenyum kecut sembari tersipu malu,
perasaan malu serta khawatir bercampur menjadi satu.
“Karena kau.
Kau tahu, sejak dulu kau selalu menceritakan kepadaku betapa indahnya
pemandangan dan segala hal yang ada di dunia ini. Kaulah orang yang telah
memotivasiku untuk menjadi seorang novelis.”
“Lalu bagaimana
pendapatmu mengenai dunia ini?”
“Indah, sangat
indah. Bahkan lebih indah dari yang kubayangkan.” Anita kembali menatap lurus
kedepan sembari berpangku dagu lalu tersenyum.
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment