Minggu depan kita akan memasuki final arc :)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Sejak hari itu,
aku mulai bekerja di toko roti milik Paman Tedi. Pekerjaannya tak bisa di
bilang sulit, tapi juga tak bisa di bilang mudah. Tugasnya adalah menjaga toko
sementara Paman Tedi pergi mengantar roti pesanan. Awalnya, aku bekerja sebagai
kurir pengantar roti. Tapi karena aku mengidap amnesia, aku menjadi agak buta
arah meski sudah di beri alamat.
Di hari pertama
aku menjadi kurir, aku berangkat mengantar roti dan baru kembali ke toko saat
sore harinya. Itu juga dengan pakaianku yang sedikit sobek dan kotor.
Karena itulah,
Paman Tedi langsung berinisiatif untuk menjadikanku penjaga toko. Biasanya, aku
menjaga toko ini bersama Kak Mutia. Setiap hari dia bekerja di toko ini demi
mendapat uang tambahan. Dia jugalah yang biasanya melayani pelanggan sembari
mengajariku caranya.
Namun entah
mengapa, hari ini dia tidak datang.
Aku menunggunya
dan terus menunggunya. Sembari terduduk di sebuah kursi plastik yang menghadap
langsung ke kaca jendela besar toko, aku terus menengok kesana-kemari
memperhatikan setiap orang yang melintas melewati toko. Sesekali aku melirik
kearah jam. “(Sudah hampir jam tiga siang, tapi Kakak belum juga tiba...)” Pikirku saat melihat jarum jam panjang yang
terus-menerus berputar.
Tak lama
kemudian, Paman akhirnya tiba. Sementara dia memarkirkan motor skuter miliknya,
aku dengan cepatnya langsung berlari ke arahnya untuk menanyakan kapan Kak
Mutia akan tiba. “Mutia? Oh dia...” Balas Paman Tedi melepas helmnya lalu
sedikit membuang pandangannya. Dia memegang dagunya sembari tertunduk selama
beberapa detik seperti sedang berusaha mengingat sesuatu. “....oh ya, aku
ingat. Saat ini dia sedang libur.”
“Libur?”
Balasku dengan polosnya.
Paman Tedi
berjalan melewatiku lalu menghampiri pintu, saat memegang kenop pintu, Paman
terhenti. “Saat ini dia sedang sibuk. Karena sebentar lagi dia akan menghadapi
ujian sekolah.” Paman menengok kearahku sembari tersenyum dan menyipitkan
matanya. Setelah aku mengangguk, Paman Tedi mulai membuka pintu lalu memasuki
toko.
Beberapa hari
telah berlalu. Meski aku tahu Kak Mutia masih libur karena sedang menghadapi
ujian sekolah, aku merasa kesepian. Di toko juga membosankan, seharian ini
sangat sepi pembeli, saking sepinya sampai-sampai membuatku mengantuk.
Tiba-tiba
telepon berbunyi. Aku yang sebelumnya berada dalam keadaan setengah tertidur,
langsung melompat karena terkejut saat mendengar suara telepon yang berdering.
“Gawat.” Aku langsung berkeliling untuk mencari Paman Tedi, namun aku tak bisa
menemukannya. Akupun teringat bahwa tadi ia baru saja pergi berangkat untuk
mengantarkan salah satu pesanan. “Yah, mau bagaimana lagi...” Akupun mengangkat
teleponnya. Itu adalah seorang pelanggan yang ingin memesan roti.
Aku terus
membalas telepon dari pelanggan itu tanpa pikir panjang. Sampai akhirnya dia
selesai memesan.
Tapi, aku telah
melakukan kesalahan. Karena suatu alasan yang mendesak, pelanggan ingin pesanan
tersebut untuk segera di antar. Bahkan
aku lupa untuk mencatat apa yang pelanggan itu pesan. “(Apa aku harus menelpon
Paman Tedi dan memberitahunya?)”Aku kembali menghampiri telepon rumah yang tadi
kugunakan dan hendak berniat untuk menelpon Paman Tedi. Tapi, saat kusadari,
Paman Tedi lupa untuk membawa telepon genggamnya. Aku melihat telepon tersebut
tergeletak di atas meja. ”(Oh ya, Kak Mutia. Aku bisa meminta bantuannya.)” Aku
mulai mengangkat gagang telepon dan mendekatkannya ke telingaku. Disaat aku
akan berniat untuk menekon tombol telepon untuk memasukkan angka, aku teringat
bahwa aku tidak tahu nomor telepon Kak Mutia.
Tanpa adanya
orang dewasa di toko maupun bantuan lainnya, hanya aku yang bisa mengantar
pesanan ini.
“Ya sudahlah.
Tak ada pilihan lain. Lalu pesanannya, kalau tak salah....” Aku mengambil
sebuah kantung plastik lalu mulai memasukkan semua pesanan yang sekiranya
kuingat.
“Oh ya, roti
rasa strawbeli itu yang mana ya...? Ah! Mungkin yang ini.”
***
Keesokan harinya.
“Sudah kubilang
bukan, jangan pergi begitu saja! Kalau kau tersesat,’kan bisa bahaya.”
Kak Mutia
membuka pintu. Dengan perasaan yang riang dan damai setelah beberapa hari
mengikuti ujian sekolah, dia membuka pintunya. Saat itu adalah hari libur sehingga
Kak Mutia datang pagi-pagi sekali. Namun, hal pertama yang ia lihat setelah
sekian lama adalah diriku yang sedang dimarahi oleh Paman Tedi. Aku dimarahi karena kemarin aku dengan
seenaknya saja mengantar pesanan tanpa memikirkan kondisiku sama sekali.
Ditambah lagi, aku salah memberikan pesanan kepada pelanggan. Aku memang salah
karena tidak mencatat pesanan dan hanya bergantung pada apa yang kuingat.
Aku memang tak
berniat untuk memberi tahu Paman Tedi mengenai hal ini, tapi dia mengetahuinya setelah
pelanggan kemarin menelponnya dan meminta ganti rugi karena roti yang kuantar
salah.
“Masih pagi tapi
sudah marah-marah, pantas saja Paman tak pernah bisa menikah.” Kak Mutia
perlahan berjalan menuju ke belakang Paman Tedi lalu mengelus-elus pundaknya seakan
Paman Tedilah yang saat itu menjadi korban.
Paman Tedi
berbalik lalu membalas “Habisnya, Dimo dengan seenaknya saja pergi tanpa
memberi tahuku. Bagaimana jika dia tersesat dan terjadi hal buruk kepadanya?”
Dia menggaruk-garuk rambutnya sembari memejamkan kedua matanya dan berdecap
kesal.
“Iya, iya, aku
mengerti maksud Paman itu baik. Tapi saat ini Dimo baik-baik saja,’kan? Paman
tak perlu marah sampai sebegitunya kepada Dimo.” Kak Mutia kembali mengelus
pundak Paman Tedi lalu menghampiriku. “Kau juga, kau’kan bisa meminta bantuanku
atau menunggu Paman Tedi untuk pulang terlebih dahulu.” Kak Mutia sedikit
menunduk lalu menyentil dahiku.
“Maaf, aku
memang salah...” Aku membuang muka sembari mengelus-elus dahiku yang masih
terasa sakit. “...Lagipula, aku sama sekali tidak tahu di mana rumah Kakak, dan
lagi aku tak tahu kapan Paman Tedi akan tiba.”
“Oh iya, maaf,
aku lupa.” Kak Mutia tersenyum malu sembari mengelus-elus rambutnya lalu
tertawa kecil. Kak Mutia kembali berdiri tegak lalu menengok kearah
pintu—menatap seorang anak yang nampaknya sebaya denganku. Kalau diingat-ingat
dan dilihat dari penampilannya, dia adalah anak yang sama dengan anak yang
kulihat saat pertama kali aku terbangun di tempat ini. Rambutnya berwarna
cokelat, matanya yang nampak begitu ceria dan ramah, ekspresinya yang selalu
tersenyum tanpa sebab, serta perilakunya yang begitu enerjik. Tak salah lagi,
dia adalah orang yang sama. Dan kalau dilihat baik-baik, dia mirip dengan Kak
Mutia. “Kenapa kau masih di luar? Kemarilah, Zakarya.” Kak Mutia menghampiri
pintu lalu membukanya.
“Oh! Aku sudah
boleh masuk?” Anak itu dengan cepatnya langsung berlari memasuki toko. Dengan
polosnya, dia menghampiriku lalu mengulurkan tangannya kearahku—berniat untuk
berjabat tangan denganku. “Perkenalkan, namaku Zakarya Maulana. Namamu siapa?”
Kesan pertamaku
kepadanya adalah seseorang yang berisik dan nampak aneh. Aku bahkan sama sekali
tidak mengerti apa isi pikirannya. Namun, meski begitu dia terlihat seperti
seseorang yang bisa bergaul dan berteman dengan siapa saja, sangat berbeda
denganku.
“Dimo, Dimo
Ramadhan...” Meski awalnya agak ragu, aku membalas jabat tangannya. Dengan
semangatnya, dia mengayun-ayunkan jabatan tangan itu.
“Kalau begitu,
semoga kita bisa berteman, Dimo!”
“Ya, Za... Za...
Zaki!”
“Eeeh?? Bukan
Zaki, tapi Zakarya.” Zaki berhenti berayun lalu melepas jabatan tangannya. Dengan
cepat, dia langsung memegang pundakku dan mengayun-ayunkan tubuhku.
“Zakarya itu
ribet dan susah diucapkan, Zaki lebih singkat!” Balasku dengan nada suara yang
bergetar karena terayun-ayunkan.
***
Dua minggu
kemudian.
Sejak minggu
lalu, aku mulai memasuki sekolah dasar sebagai murid baru. Tentu saja, dengan
Paman Tedi sebagai waliku. Sekolah benar-benar tempat yang menyenangkan. Aku
mendapat banyak teman dan dapat bermain bersama mereka. Yah, walau ada banyak
tugas dan PR. Meski awalnya aku sempat takut dan gugup saat baru memasuki
sekolah, ternyata sekolah tak semenakutkan yang kukira.
Tapi, hari
pertama di sekolah begitu memalukan. Aku begitu gugup dan takut disaat aku
diperintahkan oleh Ibu Guru untuk memperkenalkan diri di hadapan seluruh teman
sekelas. Maksudku, bagaimana jika mereka tak menyukai caraku berbicara,
bagaimana jika mereka menganggap rambutku yang seperti buah apel ini aneh dan
bagaimana jika mereka menjauhiku karena ini.
Karena
pemikiran itulah, aku dengan gagapnya memperkenalkan diri. Aku bahkan langsung
berlari bersembunyi di bawah meja karena rasa malu yang kurasakan. Di saat itu,
semuanya tertawa. Zaki bahkan keheranan dengan tingkah lakuku.
Saat itu,
kupikir semuanya sudah berakhir, tapi ternyata semuanya sangat ramah dan
bersahabat. Sangat berbeda dengan apa yang kupikirkan selama ini.
Sudah seminggu
berlalu sejak saat itu. Seperti biasa, aku pulang bersama Zaki. Kami biasa
pulang melalui sebuah jalan lurus yang tertuju langsung ke taman. Saat itu aku
melihat Zaki yang sedang sibuk memainkan sebuah permainan yang ada di PSP
miliknya. Aku yang penasaran dengan apa yang sedang di mainkannya-pun
mendekatinya.
“Apa yang
sedang kau mainkan?” Tanyaku.
Zaki tanpa
melirik sedikitpun dan masih memainkan permainan tersebut menjawab “Super Kario
Brothers, ini game yang baru saja di rilis oleh perusahaan Rimtendo.”
“Sepertinya
menarik, boleh kupinjam?” Aku mengulurkan tangan.
Zaki menekan
tombol pause lalu menegok kearahku sebentar dan menyerahkan PSP miliknya
“Baiklah...” Melihatku yang mulai memainkan permainan itu, Zaki tertawa kecil
lalu memejamkan matanya “...yah, itu adalah permainan yang sulit karena setiap
nyawamu habis, kau harus memulainya dari awal lagi. Jika kau mau, aku bisa
memberikanmu beberapa saran.”
Tapi, tiba-tiba
Zaki sama sekali tak mendengar suara dari permainan itu. Karena penasaran,
diapun membuka matanya dan mendapati diriku yang sudah mempause permainan
tersebut dan mengulurkan tangan—menyerahkan PSP itu kembali “Nih, sudah hampir
level bos dan sedikit lagi bisa menyelamatkan sang tuan putri.”
Zaki yang tidak
percaya dengan perkataanku langsung mengambil kembali PSP miliknya dan
memeriksa permainan tersebut “Mana mungkin—ah, benar, sudah hampir level bos.”
Zaki yang masih belum percaya dengan pencapaianku, berdiri membatu sementara
aku berjalan pergi begitu saja. Dia masih terkena syok karena dirinya yang
sudah memainkan permainan itu berhari-hari kalah dengan seorang pemula yang
baru saja mulai bermain selama beberapa menit. “Tunggu dulu, bagaimana kau
melakukannya?” Zaki berlari menghampiriku lalu menghadangku.
“Bagaimana...?
Ya, aku hanya bermain seperti biasa...” Aku menengok keatas sembari memegang
daguku. Setelah kupikir-pikir, aku memang bermain seperti biasa dan tak
menggunakkan trik sama sekali.
“Mana mungkin
seperti itu!? Memangnya kau ini titisan Kirito? Atau jangan-jangan kau adalah
seorang dokter sekaligus gamer yang berinisial ‘M’?”
“Siapa itu?”
Balasku dengan penuh bingung.
“Pokoknya, yang
baru saja kau lakukan itu hebat. Kau mungkin bisa mendapatkan uang dengan
bakatmu itu, Dimo. Coba sekali lagi kau mainkan, kali ini coba kau kalahkan
bosnya!” Zaki dengan semangatnya menghampiriku dan berniat menyerahkan PSP itu,
namun aku sudah tak tertarik lagi dan ingin segera pulang.
Aku langsung
menghindar darinya dan berlari menuju ke rumah. Agar lebih cepat sampai, aku
memotong jalan dengan melewati taman. Taman adalah tempat yang ramai dan juga
menyenangkan, atmosfirnya yang khas dapat memacu perasaan ini untuk terus
bermain. Aku berlari melewati jalan conblok dengan suara jangkrik serta burung
yang memekakkan telingaku, rumput-rumput yang subuh di sekitarnya serta
pohon-pohon tinggi yang teduh. Keteduhannya membuatmu ingin membaringkan
tubuhmu di rumput dan merasakan tiupan angin yang sejuk.
Di saat aku
sedang berlari, aku melihat seorang perempuan yang sebaya denganku. Rambut
hitamnya yang panjang serta tatapan tajamnya yang hanya terfokus kepada buku
novel yang sedang di bacanya, namun aku bisa melihat betapa berbinarnya matanya
saat membaca setiap baris dari buku tersebut. Dia duduk sendirian di sebuah kursi
kayu, kursi tersebut nampak baru, bahkan catnya masihlah cerah. Dibawah sebuah
pohon, dengan daun-daun hijaunya yang berguguran. Tanpa memperdulikan orang
yang berlalu-lalang, dia terus membaca bukunya.
Dia bahkan
nampak tak menyadari diriku yang telah berlari di hadapannya. Sesekali dia
merapihkan rambutnya tiap kali tertiup angin. Tiap lembar—tiap baris—tiap huruf
yang dia baca tak pernah membuatnya bosan. Entah mengapa aku ingin menemuinya,
namun aku tak mempunyai keberanian untuk melakukan itu.
Disaat aku
terhenti karenanya, aku teringat dengan Zaki yang saat ini sedang mengejarku.
Aku menengok ke belakang dan melihat Zaki yang sudah semakin dekat. Tanpa pikir
panjang, akupun mulai kembali melangkahkan kedua kakiku dan berlari.
***
Tak terasa,
sudah tiga tahun berlalu sejak aku mengenal Kak Mutia, Paman Tedi dan Zaki. Aku
sudah kelas 6 SD dan aku juga sudah melalui UN. Dengan kata lain, dua minggu
lagi aku akan lulus dari Sekolah Dasar.
Saat itu
waktuku kosong karena toko sedang tutup, Zaki juga hilang entah kemana. Setelah
tiga tahun tinggal di sini, rasanya buta arahku sudah mulai hilang. Aku juga
sudah biasa pergi sendirian tanpa takut tersesat. Namun, sudah tiga tahun
berlalu, tapi ingatanku sama sekali tidaklah pulih.
Disaat aku
sedang berjalan sembari menendang sebuah batu kecil yang berbentuk agak bulat,
aku tak sengaja melihat sebuah warung internet. Nampaknya warung internet itu
masihlah baru. Aku menengok
kesana-kemari, melihat jalan yang sepi tanpa ada satupun pejalan kaki. Disaat
aku berpikir untuk pergi, entah mengapa, firasatku mengatakan bahwa aku harus
memasuki warung internet tersebut.
“Baiklah...”
Perlahan aku mulai kembali berjalan memasuki warung internet tersebut. Meski
terbilang baru, namun warung internet ini sudah ramai akan pengunjung. Lagipula
warung internet ini cukuplah besar dan luas, ditambah dengan adanya lantai dua.
Setiap komputer dipisahkan oleh sebuah papan kayu yang tingginya sedikit lebih
tinggi dari monitor komputer, kursi yang ada terbuat dari kayu, dan internetnya
juga tak terlalu kencang. Di saat aku
sedang berjalan melewati komputer-komputer yang ada, aku mendengar suara dari
sebuah pertengkaran. Entah mengapa, tak ada satupun orang yang tergerak saat
mendengar pertengkaran ini. Mereka nampak tenang seakan telah terbiasa dengan
pertengkaran itu. Aku menghela napas. Tanpa pikir panjang, akupun berlari
mendekati sumber suara dan berniat untuk melerai pertengkaran tersebut.
Tapi, saat aku
melihat siapa yang sedang bertengkar, aku membeku. Meski sudah tiga tahun
berlalu, aku masih belum melupakannya. Matanya yang berbinar serta rambut
hitamnya yang panjang nan lebat. Entah ini adalah roda takdir atau hanya
kebetulan semata, namun ada satu hal yang pasti.
Aku ingin menemuinya.
Anak-anak laki
yang memarahinya terus-menerus menyalahkan perempuan itu atas kekalahan tim
mereka. Entah itu benar atau tidak. Aku memang ingin melerai mereka, namun aku
tidak tahu dimana pokok permasalahanya. Namun, jika dilihat atas reaksi
anak-anak laki kepada perempuan itu, bisa dilihat bahwa perempuan itulah yang
telah melakukan kesalahan.
Tapi, perasaan
apa ini? Akau merasa tidak terima. Mereka terus menerus mengejek dan mencemooh
perempuan itu tanpa memikirkan perasaannya sama sekali.
Aku sama sekali tidak terima...
Aku langsung
berjalan menghampiri mereka dan berdiri di tengah—diantara keduanya. Melihat
kehadiranku, anak-anak laki nampak lebih kesal dari sebelumnya. “Hei, dia
memang salah, tapi bukankah ini sudah terlalu berlebihan?” tanyaku.
“Memangnya
kenapa? Lagipula, dia memang salah.”
Aku menengok
kearah perempuan itu sembari memegang dagu. Disaat aku menengok kearahnya, dia
malah membuang pandangannya dan sama sekali tak menatapku. Kurasa dia takut
kalau dia akan disalahkan lagi. Aku tersenyum lalu kembali berbalik menghadap
anak-anak laki “Begitu ya, dia yang salah... Kalau begitu, bagaimana jika aku
juga ikut bermain. Kalian bebas menentukan di tim mana aku akan ikut bermain.”
Mereka sempat
berkumpul sebentar seakan membicarakan sesuatu, lalu kembali menghadapku.
Sembari menyeringai, merekapun setuju untuk mengajakku bermain.
Setelah
beberapa saat bermain, aku berhasil mengalahkan mereka dan ternyata benar,
kemampuan bermain anak perempuan itu memanglah payah. Aku penasaran, mengapa
dia sebegitu ngototnya ingin bermain game.
Sejak saat itu,
aku mulai mencium adanya bau persekongkolan di antara mereka. Mereka bahkan
sampai menempatkan di sebuah tim yang hanya terdapat aku dan perempuan itu.
Mereka tahu bahwa saat kau mencampurkan kue dan garam, rasa yang dihasilkan
akan mengerikan. Aku bahkan tahu betul bahwa alasan mereka membuat tim yang
berat sebelah seperti ini adalah untuk mencari alasan untuk membully-ku.
Dan pada akhirnya, aku kalah.
”Kenapa kau tak
menyalahkanku? Padahal, karena aku kita menjadi kalah....” Anak perempuan itu
menghampiriku dengan lesunya. Dia merasa bahwa kekalahan tadi benar-benar
kesalahannya.
Aku menggaruk
rambutku lalu tersenyum polos nan santai, aku membalas “Kenapa aku harus
menyalahkanmu? Lagipula, ini hanyalah sebuah game.” Mendengar jawabanku,
perempuan itu hanya terdiam. Matanya berbinar dengan indahnya serta wajahnya
yang memerah merona. Dia tertunduk sesaat lalu dengan perlahan mulai membuka
mulutnya.
“Kau...”
“Jadi itulah...
jawabanku.” Aku mengecek jamku dan menyadari bahwa sudah hampir dua jam aku
pergi. Akupun mematikan komputer lalu mulai melangkah pergi dari sana. Sesaat
sebelum aku tiba di pintu keluar, perempuan itu menghampiriku dan menangkap
tanganku.
Berbeda dari
sebelumnya, kali ini perempuan itu menghapus mendung di wajahnya dan tersenyum
tulus “Boleh aku tahu, siapa namamu?” Aku sempat terdiam sebentar. Menurut
pengalamanku di sekolah, aku selalu diejek dengan nama ‘Dimosaurus’ karena
namaku yang dekat sekali dengan ‘Dino’, karena itulah aku memutuskan untuk
menggunakkan nama belakangku agar itu tak terulang kembali. Aku sedikit tertawa
lalu membalas senyumannya.
“Panggil saja
aku Rama.”
***
Beberapa hari
sebelum kelulusan, aku terus-menerus kepikiran akan satu hal. Selama ini, Kak
Mutia, Paman Tedi dan Zaki selalu memberi kepadaku. Tempat tinggal, pekerjaan,
seorang teman dan yang paling penting, figur sebuah keluarga. Aku terus
berpikir ‘Apa tak ada satupun hal yang tak bisa kuberikan kepada mereka?’ Aku
bahkan terjaga hingga larut malam karena pemikiran ini. Aku menengok menatap
sebuah jam dinding, melihat jarum-jarumnya yang bergerak melewati detik, menit
maupun jam. Saat aku hendak akan menutup mataku untuk tidur, tiba-tiba aku
teringat dengan apa yang Zaki katakan saat dia menyatakan bahwa aku berbakat
dalam dalam bermain game.
“(Aku bisa menghasilkan uang dengan menggunakkan
bakatku ini, ya....)”
Satu hari
sebelum hari kelulusan, akhirnya aku berhasil mendapatkannya. Satu hal yang
bisa kuberikan kepada mereka. Perjuanganku selama berhari-hari tak sia-sia.
Meski aku hanya menduduki posisi ke-3, tapi hadiah uang yang kudapatkan, cukup
banyak. Hari itu, diam-diam aku menyelipkan amplop tersebut ke bawah kasurku.
“Dimo?”
Aku menengok ke
belakang—kearah Zaki yang dengan santainya sedang memakan permen karet. Dia
terus mengunyah permen karet tersebut lalu sesekali membuat balon hingga besar
dan pecah. “Amplop apa itu? Jangan-jangan...”
Gawat, aku
ketahuan “Ini—”
“Jangan-jangan
majalah JUMP edisi terbaru ya?” Potong Zaki sembari menghampiri kasurku lalu
mengambil amplopnya.
“Mana mungkin.”
Celetukku
“Begitu ya,
jadi kau mengikuti sebuah turnamen game dan mendapat juara ke-3.” Setelah
penjelasan panjang, Zaki menjatuhkan tubuhnya ke kasur lalu berbaring dengan
lemasnya. Aku yang terduduk di sebelahnya, hanya bisa terdiam seribu bahasa.
Menatap bayangan gelap dari diriku yang tercipta dari cahaya sore hari yang
terpancar melalui jendela. Aku tak menyangka, aku yang awalnya ingin
menyembunyikan ini malah ketahuan oleh seseorang yang suka berbicara.
“Jadi,
bagaimana menurutmu...?” Sembari mencengkram amplop berisi uang yang tadi di
keluarkan Zaki dari kasurku, aku mendongkak keatas, menatap plafon kosong yang
dihiasi dengan sebuah sawang yang lebar.
“Menurutku?
Menurutku sih, kau tak perlu memaksakan dirimu.” Dengan spontan aku langsung
menengok kearahnya. Aku sama sekali tak menduga bahwa jawaban seperti itu akan
keluar dari seseorang seperti Zaki. Kukira dia akan mengeluarkan sebuah candaan
receh seperti biasanya. Zaki kembali bangun dan berdiri. Dia berjalan
menghampiri pintu lalu menggenggam kenop pintu. “Lagipula, sejak awal kami sama
sekali tak menginginkan imbalan sepeserpun darimu,’kok.” Dia menengok kearahku
sembari tersenyum lebar. “Oh ya, satu lagi. Kau tak perlu khawatir, aku takkan
sedikitpun memberitahu mereka mengenai hal ini.” Zaki membuka pintu lalu keluar
dari dalam kamarku.
Aku tertawa.
Entah mengapa aku malah tertawa. Dari semua candaan receh yang keluar darinya,
aku sama sekali tak menduga bahwa hal inilah yang malah membuatku tertawa
“Dasar bodoh, kenapa juga aku meminta pendapat dari stand up komedian gadungan
sepertinya.” Aku terhenti tertawa. Meski hanya sebentar, tawa barusan
benar-benar telah membawa pergi semua beban yang ada di pundakku. Aku baringkan
tubuhku di kasur lalu menutup mataku.
***
Keesokan
harinya.
Sekolah begitu
ramai hari ini. Meski masih pagi, namun sekolah sudah ramai dan penuh dengan
adanya murid dan wali murid, pedagang, serta guru. Ada banyak pedagang
berjualan di halaman sekolah. Mulai dari pedagang kaki lima hingga pedagang
keliling. Atmosfir yang begitu penuh suka cita. Langit biru yang cerah serta
terhampar luas dengan awan tipis. Memang hari ini terdapat perkiraan cuaca di
setiap stasiun tv bahwa akan terjadi hujan lebat, tapi kurasa aku tak perlu
mengkhawatirkan itu.
Bukan hanya
pembagian rapot saja yang diadakan hari ini. Tapi juga ada acara tari
tradisional dan juga pentas drama yang dimana pesertanya adalah murid kelas 5
hingga kelas 3. Acara dimulai dengan adanya pidato dari Ibu Kepala Sekolah lalu
dilanjutkan dengan adanya tari tradisional. Tarian yang dipentaskan begitu
indah dan juga menakjubkan, perpaduan antara gerakan dan juga irama musik
menciptakan sebuah harmoni yang indah. Pentas dramanya juga bagus, meski sempat
ada beberapa kali kesalahan kecil.
Sementara
pentas berlangsung, murid kelas 6 danwali murid dipersilahkan untuk menonton di
kursi-kursi yang sudah di sediakan. Kursi-kursi yang terletak tepat di hadapan
panggung tersebut sangatlah teduh karena terdapat tenda besar yang
menauinginya.
Karena Zaki
sedang melakukan wisata kuliner dengan menggunakkan uang yang sudah dia
kumpulkan setiap hari hanya demi hari ini, saat ini yang sedang duduk hanyalah
aku, Paman Tedi dan Kak Mutia. Kami duduk di kursi paling depan agar dapat
melihat pertunjukkan dengan lebih jelas.
Di tengah
pertunjukkan, Kak Mutia meminta untuk berbagi air minum milikku yang ada di
tasku karena air minum miliknya telah habis. Sesaat setelah aku membuka rel
sleting tas dan hendak berniat untuk mengambil botol air minum yang ada di
dalam tasku, aku menyadari bahwa aku telah lupa membawa amplop itu. Aku yang
mulai panik, langsung mendekatkan tas tersebut ke kepalaku agar aku dapat
melihat isi tas tersebut dengan lebih jelas. Sayangnya, di dalam tas hanya
terdapat dua buah buku serta sebuah botol air mineral.
Keringat mulai
membawahi dahiku, mataku terbelalak karena masih belum bisa percaya. “Dimo, ada
apa?” Kak Mutia mulai menyadari bahwa ada yang aneh dari tingkah lakuku.
“Ti-tidak,
bukan apa-apa.” Aku tersenyum palsu lalu mengeluarkan botol air mineral dari
dalam tasku. “A-Aku permisi ke toilet dulu ya, Kak.” Sembari berbicara, aku
melirik kearah toilet. Tentu saja, aku tak benar-benar berniat untuk ke toilet,
tujuanku yang utama adalah mencari celah untuk bisa kembali ke rumah tanpa
dicurigai sedikitpun.
Saat sudah
dekat di toilet, aku langsung berbelok dan pergi menuju kembali ke rumah.
Untungnya, lokasi toilet bertolak belakang dengan lokasi di mana kami duduk
sebelumnya sehingga memudahkanku pergi.
Aku berlari.
Aku berlari secepat mungkin agar aku bisa sesegera mungkin tiba di rumah. Aku
menengok keatas, menatap langit yang awalnya cerah mulai berubah menjadi gelap.
Awan hitam yang menutupi langit perlahan demi perlahan semakin banyak. Aku
teringat dengan ramalan cuaca hari ini, tak kusangka ramalan cuaca itu
benar-benar terjadi.
“Dimo? Kenapa dia pergi? Jangan-jangan....”
Zaki yang baru saja selesai membeli es serut, melihatku yang dengan cepatnya
berlari meninggalkan sekolah. Dia hanya melihatku pergi tanpa melakukan apa-apa
karena dia tahu betul dengan apa yang sedang aku lakukan.
Hujanpun turun.
Meski perlahan, setiap tetesan yang turun dari langit mulai membasahi jalan. Jalanan
yang mulai becek dan berlumpur, air hujan yang terasa dingin membasahi
pakaianku dan juga rambut serta tubuhku. Meski harus basah kuyup sekalipun, aku
akan terus berlari tanpa berhenti selanngkahpun.
Cuaca cerah di
pagi hari telah berubah menjadi gelap. Aroma hujan yang menyengat dan lembab.
Juga air yang terus terserap di sepatuku. Aku terus berlari dan terus berlari,
sampai aku tiba.
“Kalau tidak
salah...” Aku mengangkat salah satu pot yang terdapat di depan toko. Seingatku,
Paman Tedi pernah bilang bahwa dia selalu menyiapkan sebuah kunci cadangan yang
dia taruh di bawah pot tanaman. Kunci tersebut disiapkan agar aku bisa masuk ke
dalam rumah saat Paman Tedi tidak ada di rumah. “Ini dia.” Aku mengambil kunci
yang tergeletak di lantai, lalu memasukkan kunci tersebut ke kenop pintu. Aku
membuka kunci lalu membuka pintu depan. Setelah menaruh kembali kunci tersebut
dengan posisi yang sama seperti sebelumnya lalu menutupnya dengan pot.
Aku langsung
memasuki rumah dan bergegas menuju ke kamarku. Rasanya rumah begitu sepi tanpa
siapapun. Begitu hening dan gelap, ditambah lagi saat ini sedang hujan lebat.
Setelah
berhasil mengambil amplop berisi uang, aku mengeringkan rambutku dengan handuk
lalu mengambil sebuah payung. Aku selipkan amplop tersebut di balik kemejaku
dan keluar rumah. Kutaruh payung tersebut lalu kembali mengambil kunci. Setelah
menutup pintu dan menguncinya kembali serta menaruh kunci seperti semula, aku
membuka payung.
Meski aku sudah
membawa dan menggunakkan payung, aku tak bisa berjalan santai begitu saja. Jika
aku tak bergegas, maka mereka akan curiga karena aku sudah cukup lama pergi.
***
“Rasanya, Dimo
lama sekali ya...” Paman Tedi berdiri lalu menengok kearah toilet.
Akibat
terjadinya hujan, dengan terpaksa pertunjukkan tari dan juga pentas drama di
tunda hingga hujan reda atau berhenti. “Ada apa?” Zaki yang mulutnya masih
penuh akibat memakan batagor yang baru saja dia beli, menghampiri Pama Tedi dan
Kak Mutia.
“Dimo tadi ke
toilet dan sampai sekarang belum kembali.” Kakak Mutia ikut berdiri. Dia begitu
khawatir dengan kondisiku. Ekspresi di wajahnya begitu menunjukkan itu. Alisnya
yang mengkerut, bibirnya yang sedikit ia gigit dan gerak-geriknya yang nampak
tergesa-gesa.
Dia langsung
bergegas berniat untuk menerobos hujan dan berjalan menuju ke toilet. Namun,
langkahnya terhenti karena Zaki yang menangkap tangannya “Tunggu dulu, sekarang
ini masihlah hujan. Setidaknya tunggulah hingga reda.” Zaki yang telah
menghabiskan batagor, langsung membuang sampah plastik bekas batagor ke tempat
sampah lalu melepaskan genggamannya dari Kak Mutia.
“Tapi, Dimo...”
Kak Mutia kembali menengok kearah toilet dimana dia pikir aku berada.
“Tenang saja,
Dimo pasti baik-baik saja. Mungkin saat ini dia sedang berteduh, jadi jangan
khawatir.” Zaki tersenyum. Meski senyumnya sedikit dia paksakan, namun dia
begitu khawatir dengan apa yang akan terjadi jika kakaknya nekat menerobos
hujan yang deras ini.
***
Beberapa menit
telah berlalu. Dan hujannya semakin deras. Udara dingin juga sudah mulai mempengaruhiku.
Aku mulai bersin-bersin dan tubuhku mulai terasa hangat. Bahkan rasanya berat
saat melangkah menggunakkan payung saat hujan deras seperti ini.
Aku
berhenti—berteduh di sebuah halte bus yang letaknya tepat berada di hadapan
sekolah. Sekolah dan Halte bus yang sederhana ini di pisahkan oleh sebuah
jalan. Jalan tersebut tak begitu sempit dan juga tak begitu luas. Jalan ini
juga biasa di lewati kendaraan beroda 4 ataupun beroda 2. Sayangnya, tak ada
jembatan penyebrangan antara halte bus ini dengan sekolah.
Sedikit lagi... sampai....
Sudah beberapa
menit berlalu sejak aku singgah di sini, namun sama sekali tak ada tanda-tanda
kalau hujannya akan mereda. Aku sudah pergi terlalu lama, semoga saja saat ini mereka
belum mulai mencariku. Aku menelan ludahku “Lakukan, atau tidak sama sekali.”
Kutatap jalan becek yang licin dan juga sedikit berlumpur yang ada di depanku. Aku
membuka payungku dan tanpa pikir panjang, aku mulai berlari menyebrang.
Itu sebuah kesalahan.
Tanpa
memperhatikan jalan atau area di sekitarnya, aku berlari.
Seorang bocah
bodoh dan juga naif itu berlari seorang diri—menyebrang melewati jalan tersebut
tanpa memastikan adanya kendaraan yang akan melintas. Bocah itu tidak sadar,
kalau saat itu roda takdir telah terhenti.
Tiba-tiba,
terdengar suara klakson mobil dari arah kananku. Aku begitu terkejut setelah
mendengar suara klakson yang kencang dan juga bising. Akibatnya, bocah itu
terpeleset dan terjatuh tepat di hadapan mobil tersebut. Payungnya terlepas
dari tangannya yang basah karena air hujan, amplop berisi uang yang aku
selipkan sebelumnya ikut terjatuh bersamaan dengan diriku yang terlepeleset.
Saat itu, bisa
kurasakan harapan yang sirna dan keputusasaan yang tiba menjemputku. Aku
seperti ikan yang terkail oleh pancing demi mendapat cacing untuk di makan.
Kututup kedua mataku sembari menangkap—melindungi amplop yang sudah basah dan
juga berlumpur itu.
Saat itu
pikiranku benar-benar kosong. Bukan penyesalan yang kuingat, tapi hari-hari
yang sudah kuhabiskan bersama Paman Tedi, Kak Mutia dan Zaki.
Aku bersyukur karena bertemu dengan mereka.
“Dimo!!”
Aku membuka
kembali mataku. Aliran air hujan yang menggenang di jalan, ada cairan berwarna
merah yang perlahan mulai bercampur. Cairan berwarna merah yang membasahi
telapak tanganku itu terus mengalir keluar. Tiada henti....
Di hadapanku
terdapat kacamatanya yang rusak dan pecah.
Aku, tidak, bukan ini yang kuinginkan. Ini pasti bohong,
mataku pasti berbohong. Benar, semua ini pasti hanyalah mimpi. Jika aku
mencubit pipiku, maka aku akan terbangun dari mimpi buruk ini.
Lho? Kenapa aku tidak terbangun? Ini....
Air mata
mengalir keluar dari mataku. Dadaku—hatiku terasa sesak. Rasanya begitu hancur
hingga tak bisa kuungkapkan dalam kata-kata. Aku ingin berteriak sekencang yang
kubisa. Namun entah mengapa, aku tak bisa.
Aku menatap
cairan berwarna merah yang mengalir dari jalan. Perlahan, aku merangkak
menghampiri tubuhnya yang terkapar lemas tak sadarkan diri. Cairan berwarna
merah itu terus mengalir keluar dari dahinya. Aku terduduk lemas di sebelahnya
tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Air hujan yang terus membasahi wajahku,
bercampur dengan air mataku. Dengan tatapan yang kosong, aku menatapnya.
Saat itu aku
tersadar, bahwa ia telah mendorongku dan menyelamatkanku. Akibatnya aku dan
amplop inipun selamat.
Tapi mengapa...
Mengapa aku sama sekali tidak merasa senang....
“Kak Mutia!!!”
Tidak, aku tak ingin ini terjadi....
Ini salahku.... Ini murni kesalahanku...
Andai saja... andai saja aku tidak bermain game dan
mendapatkan uang itu, maka ini takkan terjadi...
Ini semua salahku....
Ini karena aku bermain....
Sehingga ini bisa terjadi....
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment