Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
Waduh sori, telat update lagi wkwkwkwkwk.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waduh sori, telat update lagi wkwkwkwkwk.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
4 hari telah
berlalu sejak saat itu. Aku terus mengurung diri di rumahku dan tak pernah
keluar sekalipun. Tanpa tahu apa yang harus kulakukan.
Televisi terus
menyala hampir 24 jam. Meski sudah 4 hari berlalu, tapi berita yang ditampilkan
masihlah sama. Akibat dari pengumuman dari Shadow Player 5 hari yang lalu,
terjadi demo hampir di seluruh kota. Bahkan di ibukotapun, terjadi demo yang
menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini. Kericuhan hampir
terjadi di mana-mana. Jalanan macet karena banyaknya pengungsi yang berusaha
kabur dari kota tersebut. Bahkan, stasiun kereta dan transportasi lainnya penuh
karena pengungsi.
Tentu saja,
pemerintah takkan tinggal diam. 3 hari yang lalu, pemerintah telah mengirim
pasukan khusus dari ERASER yang bertugas untuk mencari tempat persembunyian
Shadow Player dan organisasinya. Namun, keputusan itu tak membuat kericuhan
maupun demo mereda. Tuntutan dari masyarakan semakin meningkat tiap harinya.
Aku mematikan
televisi lalu berjalan menuju ke dapur. Cahaya kekuningan terpancar dengan
cerah menembus kaca jendela. Nampak silau dan juga indah, namun dilain sisi,
begitu menyedihkan karena cahaya ini menunjukkan bahwa waktu terus berjalan dan
hari dimana Shadow Player berniat untuk membunuh kami semua, semakin mendekat.
Perlahan, aku
berjalan menghampiri kulkas lalu membukanya. Udara dingin yang ada di dalam
langsung menyebar keluar. Berpadu dengan cahaya kekuningan yang hangat. Aku
menghela napas panjang. Aku membuka kulkas tersebut tanpa adanya alasan yang
jelas. Kutatap kulkas yang kosong tersebut. Meski aku tahu tidak ada apa-apa di
dalam kulkas tersebut.
Kugaruk
rambutku sembari menghela napas. Aku kembali menutup kulkas. “Baiklah....” Aku
mengambil sebuah cangkir lalu menuangkan air panas kedalamnya. Kuseduh teh
celup kedalam air panas tersebut lalu memasukkan gula kedalamnya. Satu sendok,
dua sendok, secukup mungkin. Setelah selesai, aku mengaduk teh tersebut dengan
sendok yang kugunakkan untuk mengambil gula tadi. Setelah selesai, mengambil
cangkir tersebut lalu pergi.
Aku perlahan
melangkahkan kakiku menaiki tangga menuju ke lantai dua—menuju teras dimana aku
bisa bersantai sembari meminum teh ini. Kuhampiri pagar teras lalu bersandar
sembari meminum teh. Rasanya, komplek perumahan ini menjadi begitu sunyi dan
sepi. Yah, wajar saja. Mengingat bahwa nyawa mereka sedang terancam.
Langit berwarna
oranye yang indah. Bercampur dengan sedikit warna ungu dan juga bulan purnama
yang perlahan semakin nampak. Saat aku hendak akan menyeruput teh tersebut,
tiba-tiba aku mendengar suara seorang anak kecil.
“Apa kau, suka
novel...?”
Suara tersebut
langsung membuatku terdongkak. Akibatnya, teh yang tadi sedang kuminum langsung
terlepas dari genggamanku dan jatuh—tumpah di lantai.
Aku menengok
kesana kemari, mencari sumber suara tersebut. Tapi saat itu aku tahu betul,
kalau aku benar-benar sendirian. Beberapa potongan kata tadi membuatku teringat
dengan apa yang Anita tanyakan di malam itu. Malam sesaat setelah kami pulang
dari Happy Land.
Disaat aku hendak
akan mengambil kain pel dari lantai bawah, aku melintasi sebuah kamar yang ada
di lantai dua. Aku terhenti. Aku terhenti setelah menyadari sebuah kejanggalan.
Seingatku, terakhir kali aku ke lantai dua, pintu dari kamar ini tidaklah
terbuka. Namun saat ini, pintu tersebut terbuka dengan lebar.
“Kalau tidak
salah...” Ya, Anita pernah bilang kalau ia pernah tinggal di rumah ini selama
beberapa minggu karena rumahnya hancur akibat insiden dentuman besar. Dia
tinggal di sini, di kamar yang berada tepat di hadapanku. Tapi, bagaimana
mungkin pintu ini bisa terbuka. Padahal aku pernah memastikan kalau pintu ini
terkunci rapat.
“Jangan-jangan...
Anita...” Aku menelan air liurku lalu kumasuki kamar tersebut. Kamar tersebut
masih nampak rapih dan bersih, nampak tidak tersentuh. Sebuah kamar kosong yang
hanya terdapat kasur dan lemari kecil di sebelahnya. Diatas lemari kecil
tersebut terdapat sebuah smartphone dan sebuah amplop. Aku mengambil smartphone
tersebut. Sebuah smartphone yang masih nampak baru dan juga bagus. Namun,
smartphone tersebut dalam kondisi mati.
Kucoba menekan
tombol power dari smartphone tersebut untuk menyalakannya. Setelah kunyalakan,
aku tak menduga kalau smartphone itu sama sekali tidaklah terkunci menggunakkan
kunci model pola atau semacamnya. Hanya sebuah kunci sederhana yang bisa dibuka
hanya dengan mengusap layar smartphone tersebut. Kuusap layar keatas—membuka
kunci layar tersebut yang langsung mengarah ke menu utama. Menu yang ada di
smartphone tersebut sangatlah kosong tanpa ada aplikasi lain sama sekali. Yang
ada hanya menu bawaan dari smartphone tersebut. Ditambah lagi, tak ada media
seperti video atau berkas lainnya yang penting. Aku terus memeriksa smartphone
tersebut sampai akhirnya aku membuka menu galeri.
Didalam menu
tersebut, terdapat sebuah foto—sebuah foto yang begitu kukenal. Foto yang belum
lama ini kami ambil bersama-sama.
Itu adalah
foto, sesaat sebelum kami meninggalkan Happyland. Sebuah foto yang begitu hidup
dan penuh keceriaan serta kebersamaan. Aku yang menertawakan Zaki yang hendak
terpeleset kulit pisang sesaat setelah dia membeli sebuah es krim, Sindy yang
berpose dengan mengedipkan salah satu matanya di sebelahku, Leila yang tertawa
penuh riang saat mengambil foto dan Anita, yang dengan malunya hanya berdiri di
belakang dengan wajah yang merona karena malu.
Saat itu, kami
mengambil foto tersebut menggunakkan smartphone milik Anita.
Kalau begitu, tidak salah lagi... Amplop dan smartphone ini
milik Anita....
Tapi, kenapa
smartphone ini bisa ada di sini?
Dengan bingung
dan penuh rasa penasaran, aku menaruh smartphone tersebut kembali ke atas
lemari lalu menengok ke amplop yang tepat ada di sebelahnya.
Sebuah amplop
yang masih nampak baru dan tertata rapih. Setelah kulihat baik-baik, terdapat
sebuah tulisan. Kuhampiri amplop tersebut dan mengambilnya.
Kepada Dimo.
Tulisan yang
ditulis menggunakkan pena hitam tersebut sudah pasti dari Anita. Aku tak bisa
memikirkan kemungkinan lain selain dirinya. “Kapan dia menulis surat ini? Apa
jangan-jangan... sesaat sebelum pertemuan di taman 5 hari yang lalu? Tapi
mengapa?“ Dengan semua pertanyaan yang ada, aku membuka amplop itu. Kuambil
surat-surat yang ada didalamnya. Sembari mengeluarkan 4 lembar surat tersebut,
aku duduk di lantai. Entah mengapa, tubuh dan pikiranku enggan untuk duduk di
atas kasur dimana Anita tidur sebelumnya.
Apa ini? Apa ini rasa bersalahku?
Perlahan, aku
mulai menmbacanya, huruf demi huruf, kata demi kata, baris demi baris. Kata-kata
yang tersusun rapih dengan tulisan tangan yang indah.
Kepada Dimo, dari Anita.
Hai Dimo, ini aku, Anita. Ini pertama kalinya aku menulis
sebuah surat untuk seseorang apalagi orang yang dekat denganku. Aku merasa
begitu deg-degan saat aku menulis surat ini, bagaimana jika kau tidak menyukai
tulisan tanganku, atau bagaimana jika kata-kataku kurang sopan. Pokoknya, saat
ini perasaanku begitu bercampur aduk. Entah harus senang atau harus khawatir,
aku tidak tahu.
Ehem, baiklah, maaf atas
pesan di atas. Aku akan mulai dari bawah ini.
Untuk yang pertama, maaf. Maaf karena aku sudah berbohong
kepadamu.
Kedua, jika kau membaca tulisan ini, mungkin aku sudah di
tangkap oleh mereka.
Tunggu, apa?
Apa maksudnya dengan itu? Bagaimana dia tahu kalau dia akan di tangkap?
Terkejut? Hehe, maaf karena aku tidak memberitahumu
sebelumnya. Aku begitu meminta maaf. Rasanya begitu sakit untuk berbohong
kepada seseorang. Apalagi, orang tersebut adalah orang yang kusayangi dan orang
yang paling penting bagiku.
Benar, aku berbohong kepadamu.
Aku sudah tahu sejak dulu mengenai mata ini. Dan kenyataan
kalau waktuku sudah tidak lama lagi. Aku mendapatkan mata ini saat insiden
dentuman besar. Saat itu aku baru saja pulang dari les. Saat itu aku, mengalami
sebuah kecelakaan.
Kecelakaan? Apa
yang sebenarnya dia bicarakan? Apa ini....
Jalanan begitu sepi dan tak ada orang sama sekali. Saat itu
mobil yang membawaku menabrak seorang gadis berwarna putih. Tubuhnya berwarna
putih dan bercahaya. Dari ujung rambut hingga ujung kukunya. Dia juga mengenakan
gaun berwarna putih. Gadis itu mengaku dia terpental akibat berusaha
menghentikan sebuah makhluk berwarna hitam bernama Shadow Player yang menjadi
penyebab semua ini.
Aku menyebutnya White. White adalah sebuah sistem keamanan
dari permainan Start Point yang tercipta saat Shadow Player menyatukan dimensi.
Menurutnya, Shadow Player adalah sebuah virus komputer baru yang hanya bisa
tercipta di dalam permainan Start Point. White masihlah terlalu lemah untuk
bisa melenyapkan Shadow Player. Dia masih membutuhkan waktu untuk bisa semakin
kuat untuk bisa melenyapkan virus tersebut. Namun, dengan kondisinya yang
sedang buruk seperti itu, dia akan lenyap dalam waktu beberapa menit.
Saat itulah, dia bertemu dengan seorang gadis. Gadis yang
sedang terlentang lemas tersebut terluka dan tak sadarkan diri akibat
kecelakaan yang baru dialaminya. Ya, gadis itu adalah aku.
Saat itu aku benar-benar ada dalam kondisi yang kritis. Aku
kehilangan banyak darah akibat luka yang kualami. Bahkan mungkin aku takkan
selamat jika saat itu aku tidak bertemu dengan White. Melihat kondisiku yang
parah, White sangat ingin menyelamatkanku. Namun, ia juga tak memiliki energi
yang cukup untuk bisa menyelamatkanku.
Karena itulah, saat itu dia memutuskan untuk melakukan satu
hal. Satu hal yang bisa menyelamatkan kami berdua.
Yaitu, dengan bersatu.
Bersatu? Tunggu
dulu, bagaimana mungkin Anita—tidak, ini semakin membuatku bingung. Sebaiknya
aku kembali membaca suratnya.
Sejak saat itu, White bersemayam di tubuhku. Sejak itu kami
adalah dua orang di satu tubuh. Kami berbagi ingatan, emosi, kepribadian dan
perasaan. Bisa dibilang, sekarang kami adalah dua orang yang sama. Sejak saat
itu pula, aku mendapatkan mata ini.
Banyak dari kalian yang salah paham mengenai mata ini. Mata
ini memang mirip dengan Cursed Eye, tapi sebenarnya ini adalah sesuatu yang berbeda.
Mata dan kekuatan ini milik White. Aku juga tahu mengenai waktu hidupku yang
tinggal sedikit. White-lah yang memberitahuku. White juga memberitahuku, meski
ia sangat ingin menyelamatkanku, dia tak bisa melakukan apa-apa. Karena makhluk
sepertinya tak bisa selamanya bersemayam di tubuh manusia.
Kami bekerja sama dalam mencari cara untuk melenyapkan
Shadow Player. Bahkan kami sampai bergabung kedalam organisasi mereka hanya
untuk memata-matai mereka dan mencari kelemahan Shadow Player. Aku terus
menyamar dan terus menyamar hingga aku mendapatkan posisi sebagai seorang petinggi.
Mereka bahkan memanggilku Ratu Putih.
Saat itulah aku bertemu dengannya. Ya, seperti yang kau
tahu, Dimo Radhika. Saat pertama kali melihatnya dan kedua orang tuanya yang
dtawan, aku benar-benar terkejut. Bahkan aku sampai salah kira kalau kau dan kedua
orang tuamu masih hidup.
Saat itu, tanpa pikir panjang, aku langsung berlari
kearahnya dan hendak memeluknya penuh syukur. Namun, waktu itu aku sama sekali
tak tahu kalau itu bukanlah kau.
Meski penampilan kalian sama, namun kalian benar-benar dua orang
yang berbeda. Dibandingkan dirimu, Radhika lebih sering diam untuk berpikir,
lebih tenang dan lebih berjiwa kepemimpinan. Namun, ada satu hal yang tak
Radhika miliki darimu, yaitu teman yang selalu bersamamu.
Setelah sekian lama, aku pertama kali bertemu denganmu saat
kau dan yang lainnya memata-matai gedung dimana Shadow Player menawan anggota
ERASER dan juga kedua orang tuanya Radhika. Saat itu aku benar-benar bersyukur
karena bisa bertemu denganmu lagi. Aku benar-benar bersyukur. Untuk sekali
lagi, bisa bertemu dengan dirimu sebelum waktuku habis.
Namun, tiap hari aku semakin sadar, kalau waktuku dan White
semakin menyempit. Shadow Player juga semakin kuat tiap harinya. Karena itulah,
aku menulis surat ini.
Sebuah surat perpisahan.
Aku sudah tahu kalau hari ini, mereka akan menangkapku. Aku
akan membiarkan mereka menangkapku, agar aku bisa mengakhiri ini secepat
mungkin.
Sebagai Anti Virus, sudah kewajiban bagiku untuk melenyapkan
virus sepertinya. Makhluk itu hanya bisa menciptakan masalah dan juga petaka.
Jika dia terus dibiarkan, entah apa yang akan dia lakukan terhadap dunia ini.
Jika dia sudah tiada, maka semua ini akan berakhir.
Karena itulah, aku akan menghancirkannya, bersama dengan
diriku.
Aku berharap, agar kau dan yang lainnya segera mengungsi ke
tempat yang aman.
Untuk yang terakhir, kurasa.... Aku...
Baiklah Anita, kau pasti bisa melakukan ini.
Dimo, menurutmu aku ini seperti apa? Apakah aku sudah
menjadi teman yang baik bagimu? Apakah aku sudah menjadi orang yang dewasa,
atau aku masihlah manja seperti dulu? Bagaimana menurutmu? Apa aku bisa—meski
hanya selangkah—memasuki hatimu?
Ahaha, jika tak ingin, kau tak perlu menjawabnya kok.
Asalkan kau sudah membaca surat ini saja, aku sudah bahagia.
Saat aku bertemu denganmu, rasanya begitu bercampur aduk.
Entah harus bagaimana aku menyebutnya. Jantungku berdegup dengan kencang,
rasanya begitu bahagia. Aku tak tahu apa namanya ini. Tapi banyak orang yang
mengatakan kalau perasaan ini, yang dinamakan dengan... jatuh cinta.
Untuk yang terakhir, aku akan mengatakannya kepadamu.
Aku, jatuh cinta kepadamu.
Aku hanya
terdiam lemas dikamarnya. Melamun dengan perasaan yang campur aduk setelah
membaca pesan ini. Dadaku terasa sangat panas. Rasanya seperti ingin meledak. Entah
reaksi seperti apa yang seharusnya kukeluarkan. Perasaan ini, apa namanya....
Setelah semua
yang sebelumnya telah kukatakan. Semua yang sudah kulakukan. Aku yang sudah
mengabaikan dirinya. Keputusanku yang saat itu kubuat.
“Apa ini....”
Air mata
menetes membasahi lembaran-lembaran kertas ini. Membuat tulisan tangan dari
tinta pena itu memudar. Kucengkram surat yang sedikit basah tersebut lalu
mendekatkan wajahku kepada surat itu. Kupejamkan mataku, berharap agar air yang
keluar ini terhenti. Namun, perasaan ini nyata. Perasaan bersalah ini, nyata.
Dan aku sama sekali tak bisa membantahnya.
“Apa yang sudah
kulakukan...”
Waktu didunia
ini bagaikan terhenti. Rasanya, hanya aku sendirian. Kesepian, tanpa punya
siapa-siapa. Aku membuang semuanya seakan hanya akulah yang berhak untuk
melakukan itu.
Tapi pada
akhirnya, siapa aku?
Jawabannya
hanyalah satu, aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah sampah yang bisa kau
temukan dimanapun dan kapanpun. Aku bukanlah siapa-siapa tanpa mereka.
Zaki yang
selalu ada sebagai teman.
Leila yang
selalu ceria dan malu-malu saat bersamaku.
Sindy yang pendiam
namun selalu peduli kepada semua orang.
Radhika, yang
merupakan cerminan dari sosok diriku yang naif ini.
Kak Indra, yang
sudah sering menyelamatkanku dan membelaku meski aku sudah dinyatakan sebagai
tersangka.
Mbak Dinda yang
baik dan juga anggun terhadap semuanya.
Pak Bum yang
selalu berpikir kritis dan mencoba mencari keputusan yang terbaik bagi semua
orang.
Mbak Anna, yang
awalnya nampak menyeramkan bagiku, namun sebenarnya dia adalah seorang gadis yang
baik dan sangat tangguh.
Paman Tedi yang
sudah merawatku dan menganggapku seperti putranya sendiri.
Kak Mutia yang
sudah mengajariku banyak hal dan figur seorang kakak bagiku.
Dan Anita, yang
merupakan temanku, dan orang yang selalu peduli akan keadaanku. Juga, seorang
gadis yang menyukaiku.
Sedangkan aku,
Dimo Ramadhan, seseorang yang takkan bisa melakukan apa-apa tanpa adanya
kehadiran mereka dikehidupanku.
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment