Sori minggu kemarin gak bisa update karena banyaknya kesibukan di RL. Chapter kali ini bakal menutupi plot hole yang tercipta di chapter-chapter awal. jadi, bacalah perlahan lahan.
Start Point
Keesokan
harinya.
Dua hari lagi
adalah hari dimana Shadow Player berjanji untuk membunuh semua manusia yang ada
di kota ini. Kondisi kota yang semakin sepi dan semakin sepi tiap harinya
selalu membuatku merasa tak nyaman. Bahkan aku tak bisa melihat ada satupun
orang dewasa yang melintas ataupun anak-anak yang bermain di jalan.
Langit cerah
tertutup awan. Awan kelabu yang siap menurunkan air kapanpun ia mau. Angin
berhembus kencang, suara hembusannya bisa terdengar dengan jelas. Bahkan jaket
yang kukenakkan tak cukup tebal untuk bisa menghangatkanku dari hembusan angin
tersebut.
“Baiklah....”
Aku menatap
lurus toko roti milik Paman Tedi yang masih buka. Meski Paman Tedi tahu kalau
takkan ada satupun orang yang mengunjungi toko tersebut di saat-saat seperti
ini, dia tetap saja membuka toko miliknya. Begitu menyedihkan saat aku menengok
kekanan dan kekiri—melihat toko-toko lainnya yang sudah dalam keadaan tertutup
dan terbengkalai. Bahkan ada salah satu toko yang kacanya pecah seperti baru
saja dirampok oleh seseorang.
“Assalamualaikum....”
Sembari mengucap salam, aku membuka pintu dan mendongkakkan wajahku kedalam
toko untuk melihat ke dalam toko. Bukannya balasan salam, yang kudapati
hanyalah keheningan tiada batas. Dalam toko nampak gelap dan juga sepi.
Ku berjalan
memasuki toko. Perlahan melangkahkan kakiku, selangkah demi selangkah. Ku tutup
pintu lalu kutaruh payung yang kubawa di samping pintu.
“Halo...? Paman
Tedi...? Zaki...? Apa ada orang disini?” Aku menghampiri sakelar lampu yang ada
di tembok ruang tamu lalu menyalakan lampu. Aku tidak tahu mengapa saat ini
Paman Tedi tak ada di toko, ditambah lagi, pintu depannya sama sekali tidak
dikunci. “Kemana perginya mereka?” Setelah selesai memeriksa seluruh ruangan
yang ada, aku kembali berjalan menuju ke pintu depan lalu hendak akan keluar.
Disaat aku
hendak akan mengambil payung dan akan keluar, aku melihat Sindy dan Leila yang
berjalan bersama menuju ke arah dimana rumah kontainer—rumah lamaku. Aku
bertanya-tanya mengapa mereka hendak pergi ke sana. Pasti ada alasan yang kuat.
Tanpa berpikir
dua kali, aku perlahan berjalan membututi mereka. Dengan hati-hati dan
perlahan, aku melangkahkan kakiku agar mereka tak mendengar suara langkah
kakiku.
Saat mereka menyeberang
jalan untuk ke rumah lamaku, aku bersembunyi di balik sebuah pohon. Setelah
kurasa aman, aku kembali berjalan mengikuti mereka.
“Zaki..?”
Disaat aku
hendak akan membuntuti mereka, aku melihat Zaki yang sedang duduk di depan teras rumah lamaku. Melihat kedatangan
Sindy dan Leila, diapun berdiri dan menyambut kehadiran mereka. Tak lama
kemudian, Sindy mengeluarkan smartphone miliknya dari kantung celananya lalu
menunjukkannya kepada Zaki. Setelah membaca pesan tersebut, Zaki mengangguk
lalu mengambil sebuah kunci dari dalam kantung belakang celananya.
“(Kunci itu... bukankah itu kunci duplikat
untuk rumah lamaku?)” Aku bersembunyi dibalik bagian samping dari
kontainer. Tak lama kemudian, Zaki menghampiri pintu depan kontainer lalu
memasukkan kunci tersebut kedalam kenop pintu dan membuka pintu.
Sesaat setelah
mereka masuk ke dalam, aku berjalan mengendap menuju ke pintu depan lalu aku
melompat menaiki teras agar aku cukup tinggi untuk mengintip melalui jendela
depan.
Tapi, ini saja tidak cukup. Aku tak bisa mendengar apa yang
mereka bicarakan.
Disaat aku
mencari cara untuk mendengar percakapan mereka, aku tak sengaja melihat celah
di pintu depanku. Untungnya, Zaki tak menutup pintu ini dengan rapat sehingga
aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
***
“Jadi, mengapa
kau memanggil kami kemari?” Tanya Sindy penuh serius. Zaki hanya terdiam
sembari tertunduk. Tangannya mengepal dan dia sedikit menggigit bibirnya. Dahinya
mengkerut serta sorot matanya yang penuh keraguan.
Tak lama
kemudian, Zaki menghela napas sembari memejamkan matanya. Dia melepaskan
kepalan tangannya lalu menatap lurus kepada Leila dan Sindy. “Hei, apa kalian
tahu mengapa dari sekian banyak orang dari seluruh Indonesia yang mendaftarkan
diri untuk mengikuti turnamen Start Point, kitalah yang terpilih?” Mendengar
pertanyaan Zaki, Leila dan Sindy terdiam sembari menatap satu sama lain lalu
kembali menengok kearah Zaki.
“Bukankah itu
kebetulan saja?” Tanya Leila.
“Memang sih,
kalau dipikir lagi, itu memang aneh...” Sindy berjalan mundar-mandi. Wajahnya
tertunduk dan tangan kanannya yang memegang dagu berpangku di tangan kirinya.
Dia nampak seperti sedang memikirkan dan berusaha mencerna alasan dibalik
pertanyaan Zaki. “...bagaimana mungkin, dari sekian banyak orang, kita
berempat—Aku, Leila, Zaki dan Dimo, orang yang berasal dari satu kota yang
sama, bisa masuk kedalam turnamen tersebut. Apa mungkin ada sesuatu—”
Sambungnya menjelaskan.
“Itu mungkin saja.”
Potong Zaki. Spontan, Sindy berhenti dan menengok kearah Zaki. “Sebenarnya, ini
semua adalah salahku. Akulah yang menyeret kalian kedalam semua masalah ini.”
“Apa maksudmu?”
Leila menghampiri Zaki dengan penuh pertanyaan.
“Saat itu,
aku... aku merasa bersalah. Seharusnya, saat itu aku menghentikan Dimo. Padahal
aku tahu apa yang akan dia lakukan, tapi aku malah tidak menghentikannya....
Salahku juga, Dimo bisa mendapatkan ide untuk menghasilkan uang dari bakat
bermain gamenya.” Zaki kembali tertunduk.
Aku yang
mengintip melalui jendela, tak dapat berkata-kata. Yang kulihat dan kudengar
saat ini adalah kenyataan, dan itu sudah pasti.
***
Beberapa minggu sebelum turnamen Start Point dimulai.
Saat itu jam
istirahat.
Didalam ruang
kelas yang ramai dan begitu hidup, Zaki diajak oleh teman-temannya untuk
mengikuti tanding futsal bersama mereka. Zaki yang tentu saja takkan bisa
menolak permintaan itu, langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.
Disaat dia
hendak akan keluar kelas, dia tak sengaja melihat Dimo yang hanya duduk
sendirian di kelas tanpa ada satupun teman yang mengajaknya bermain. Merasa gak
enakan, Zakipun menghampirinya dan berniat untuk mengajaknya ikut bermain
bersama.
“Yo Dimo, mau
ikut tidak bersama kami bermain futsal?” Zaki menarik sebuah kursi lalu duduk
dihadapan Dimo. Meski Zaki sudah mengajaknya dengan penuh semangat, Dimo hanya
terdiam seribu bahasa. Setelah selesai memasukkan kembali seluruh buku dan alat
tulis yang sebelumnya ada di atas meja ke dalam tas, dia berdiri lalu pergi
meninggalkan Zaki.
Akhir-akhir
ini, Dimo memang semakin jarang bersosialisasi dan berhubungan maupun berteman
dengan teman sekelasnya. Semua ini berawal saat dia mulai memasuki SMP. Lebih
tepatnya, sejak meninggalnya Kak Mutia. Dia terus menutup dirinya dari orang
lain, bahkan kepada sahabatnya sendiri. Sejak saat itu, Dimo terus menyalahkan
dirinya atas kematian Kak Mutia. Dia bahkan pernah mengurung diri di kamarnya
selama sebulan penuh pasca meninggalnya Kak Mutia.
Sejak saat itu,
Dimo yang Zaki kenal sudah tiada.
Padahal, Zaki
tahu betul bahwa itu sama sekali bukan salahnya. Zaki tahu betul kalau
sebenarnya, dialah yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Dia terus
berandai-andai, jika saja saat itu dia menghentikkan Dimo yang akan mengambil
amplop itu atau dia tak pernah menyarankan kepada Dimo kalau dia bisa
menghasilkan uang dengan kemampuannya itu, apakah ini semua takkan terjadi?
Kesalahan besar
jika mengatakan kalau Dimolah yang bersalah. Padahal sebenarnya, seseorang yang
paling benci dan menyalahkan dirinya sendiri itu adalah dia, Zaki.
Zaki yang terus
dihantui oleh perasaan bersalah itu, terus mencari cara untuk bisa menebus
kesalahannya. Salah satunya adalah dengan mengajaknya kembali bermain game dan
bersosial dengan orang disekitarnya.
Meski terus
mendapat penolakkan, Zaki terus mengajaknya bermain.
Suatu hari,
disaat Zaki sedang mencoba sebuah permainan di sebuah warung internet. Zaki
bertemu dengan seseorang yang memainkan permainan yang sama. Tanpa pikir
panjang, orang tersebut mengajaknya duel. Seorang laki-laki tinggi berambut sedikit
gondrong dengan kacamatanya yang menonjol. Jaket berwarna hijaunya dan celana
jeans berwarna hitam.
Karena Zaki tak
mempunyai alasan untuk menolak ajakan tersebut, diapun menerimanya dengan
senang hati.
Berjam-jam
telah berlalu, dan mereka terus-menerus berduel satu sama lain. Namun, tak
sekalipun Zaki dapat mengalahkan lawannya tersebut.
“Ya ampun,
kenapa kau ini kuat sekali?” Zaki mengeluh sembari meregangkan tubuhnya yang
lelah karena bermain seharian. “Dan juga, kenapa kau begitu sombong saat berada
didalam permainan. Sikapmu begitu berbeda saat bermain game dan saat di dunia
nyata.” Dia melepas headphonennya lalu menengok kearah orang tersebut.
“Maaf, maaf...
aku sama sekali tak berniat untuk menyombongkan diri. Aku hanya melakukan itu
agar kau tak segan saat melawanku.” Orang itu tertawa sembari menggaruk
rambutnya lalu melepas headphonenya. “Oh ya, sejak tadi kita terus bermain,
tapi kita sama sekali belum berkenalan.” Lanjutnya sembari bangun dari kursi
lalu menghampiri Zaki.
“Oh ya, aku
baru sadar! Namaku, Zakarya Maulana.” Zaki sontak langsung bangun dari kursinya
lalu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Orang itu
kembali tertawa lalu membalas jabat tangan Zaki “Namaku Adi Rahmawadi. Senang
bisa berkenalan denganmu.”
***
Zaki meminum jus
jeruk yang baru di belinya lalu kembali bermain. “Oh ya, kenapa Paman bermain
disini? Bukankah biasanya orang dewasa bekerja di jam segini?” Zaki mengambil
smartphonenya lalu memeriksa jam.
“Oh aku? Gimana
ya, aku belum ada permintaan dari client,
jadinya nganggur deh.” Balas Adi yang masih fokus bermain.
“Client? Memangnya apa pekerjaan paman?”
“Membobol
sistem, mengubah isinya, mengambil data seseorang, dan masih banyak lagi. Versi
singkatnya... aku ini seorang Hacker.”
“Hacker?! Jadi
kau ini seorang kriminal?” Dengan spontan, Zaki langsung menengok tanpa
menyadari bahwa karakternya sudah berhasil dikalahkan.
“Ahaha, yah...
bisa dibilang seperti itu. Tapi, selain menjadi hacker, aku suka bermain
permainan yang membuatku merasa tertantang.”
“(Aku sama sekali tidak mengerti dengan cara
berpikir orang ini...)” Zaki tertawa kecil. Dia sedikit membuang
pandangannya dari layar monitor lalu kembali meminum jus jeruk.
“Tapi yah,
akhir-akhir ini aku semakin menjadi bosan karena aku tidak bisa menemukan lawan
tanding yang bisa membuatku bersemangat.” Adi melepas headphonenya lalu
bersandar di kursinya sembari menatap keatas—menatap plafon bersawang yang
nampak agak usang. “Karena itulah, aku mencoba mendaftarkan diriku kedalam
turnamen Start Point yang akan diadakan beberapa hari lagi. Yah, walaupun aku
tahu kalau aku pasti akan masuk kedalam turnamen tersebut.” Dia kembali
tertunduk lemas sambil sedikit menguap.
“Tunggu dulu,
Start Point yang kau maksud itu, yang
itu? Dan apa maksud paman dengan pasti
masuk?” Tanya Zaki penuh penasaran.
“Yah.... aku
bisa menerobos sistem keamanan serta database mereka dan memasukkan data diriku
kedalam daftar orang yang akan menjadi peserta turnamen.” Adi tertawa sambil
mengelus belakang lehernya.
“Kalau begitu,
bisakah kau mendaftarkanku dan temanku untuk masuk kedalam permainan?”
Adi menengok
dengan polosnya. Dia sempat terdiam sesaat lalu mulai membuka mulutnya “Yah,
bisa saja selagi kau bisa membayarku.”
“Bayar? Hmm...”
Zaki terdiam. Dia sedikit menoleh kearah monitor. Dia tahu benar kalau saat ini
dia sama sekali tak memiliki uang. Disaat dia sedang berpikir—mencari cara
untuk bisa membayar, dia teringat dengan perkataan Adi sebelumnya yang
menyatakan bahwa dia sudah mulai bosan karena tak bisa menemukan lawan yang
kuat. “Bagaimana jika aku membayarmu dengan menawarkan lawan yang kuat dan bisa
membuatmu bersemangat?” Kata Zaki dengan penuh semangat.
“Lawan ya....”
Adi sedikit menundukkan wajahnya sembari memegang dagunya. Sesekali dia
menggaruk rambut serta pipinya saat dia sedang berpikir. Itu adalah sebuah
keheningan sesaat yang membuat Zaki tak bisa berpikir sama sekali. Karena jika
penawaran ini gagal, mungkin salah satu kesempatan besarnya untuk bisa membuat
Dimo kembali mendapatkan teman akan hilang. Tak lama kemudian, Adi sedikit
tersenyum lalu mulai menjulurkan tangannya kearah Zaki “Baiklah, aku terima
penawaranmu.”
Sementara itu,
Zaki yang masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja dialaminya
langsung membalas jabat tangan dari Adi “Ya, terima kasih.”
***
Masa kini.
Hujan mulai
menetes membasahi bahuku dan jaketku. Aku menoleh keatas—melihat air hujan yang
setetes demi setetes mengguyur diriku. Kubuka payungku lalu kembali mengintip
serta mendengar percakapan mereka melalui celah di pintu.
Aku tidak tahu
apa yang sudah dikatakannya itu benar atau tidak. Aku juga tidak tahu lagi apa
yang kulakukan ini benar atau tidak. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah
melihat dan menghadapi kenyataan.
“....Dengan
begitulah, aku mendaftarkan diriku dan Dimo kedalam turnamen Start Point.” Zaki
mengusap wajahnya lalu dilanjutkan dengan menggaruk rambutnya. “Beberapa hari
kemudian, Adi mengirimku daftar orang yang telah terdaftar sebagai peserta dan
orang yang berkemungkinan untuk menjadi peserta.”
“Saat itulah,
aku melihat nama kalian berdua.” Lanjut Zaki yang semakin menunduk. “Ketika aku
melihat nama kalian berdua, aku mendapatkan ide bahwa mungkin kalian bisa
membantuku—menjadi teman Dimo. Dan itu... berhasil.” Disaat Zaki menjelaskan,
Sindy dan Leila hanya bisa terdiam seribu bahasa. Entah apa yang mereka
pikirkan maupun rasakan setelah mendengar itu.
Zaki kembali
mengangkat wajahnya lalu berjalan ketepian “Sejak itu, kukira aku akan merasa
lega dan terbebas dari rasa bersalah ini. Ternyata aku salah. Yang kulakukan
selama ini.... bukanlah kebaikan. Namun hanya keegoisanku semata.” Zaki yang
geram dengan dirinya sendiri langsung memukul tembok besi kontainer yang ada di
sebelahnya. Suara pukulannya begitu kencang sampai tak kalah kencang dengan
suara turunnya hujan. “Aku tahu aku memang tak pantas mendapatkan maaf dari
kalian tapi—maafkan aku....” Dengan lemasnya, Zaki bersandar di tembok besi tersebut.
“Yang kau
lakukan tidaklah salah.”
Zaki mengantkat
wajahnya. Kata-kata yang dikeluarkan oleh Leila membuat dirinya hanya bisa
terdiam. “Maulana tidaklah salah... Jika saja, jika saja kau tak mendaftarkanku
kedalam turnamen tersebut, aku pasti takkan pernah bisa mendapatkan biaya untuk
operasi nenekku.” Leila menghampirinya lalu mengulurkan tangannya untuk
membantu Zaki kembali berdiri tegak.
“Leila benar.
Tidak semuanya salahmu.” Sindy tersenyum tulus. “Jika kau tidak melakukan itu,
mungkin aku takkan pernah bertemu dengan Dimo, Leila dan juga kau. Aku pasti
akan tetap menjadi seseorang yang pendiam dan juga dingin.” Sindy menghampiri
Zaki dan Leila sembari tersenyum tulus dan juga manis.
Pernyataan
mereka telah merubah atmosfir yang ada. Seakan hujan yang sedang terjadi saat
ini begitu hangat dan tidak dingin.
Begitu pula
denganku. Aku sadar, jika Zaki sama sekali tidak berusaha untuk membantuku, aku
takkan pernah bisa bertemu dengan mereka. Aku pasti takkan pernah bisa bertemu
dengan Leila, Sindy, Anita, Mbak Dinda, Pak Bum, Kak Indra dan juga Mbak Anna.
Aku sungguh bersyukur bisa mempunyai teman dan sahabat sepertinya.
Seharusnya aku
berterima kasih kepada mereka semua dan bukannya mengabaikan dan mementingkan
egoku semata.
Saat aku hendak
akan berjalan meninggalkan tempat itu, secara tidak sengaja aku melihat
bayangan wajahku yang terpantul di genangan air. Saat itu aku sadar, bahwa aku
sedang tersenyum. Ku tertawa “Kurasa, aku memang beruntung.”
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment