-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Keesokan
harinya.
Hujan masih
dengan derasnya mengguyur kota. Airnya yang dingin terus berjatuhan dari langit
kelabu yang gelap namun sejuk disaat yang bersamaan. Suara liran air yang deras
begitu memekakkan telingaku. Suara yang berasal dari parit dipinggir jalan
tersebut bercampur dengan suara tetesan air.
Aku berjalan melewati
lorong-lorong rumah. Suara gesekan kunci yang berderit dan juga suara langkah
kakiku berpadu dengan suara hujan. Kunaiki anak tangga yang menghubungkan kedua
lantai, selangkah demi selangkah. Perlahan namun pasti. Tidak lambat maupun
tidak terlalu cepat. Aku menengok. Melihat beberapa lembar kertas—surat milik
Anita yang sudah kubaca tempo hari.
Setelah
mengambil napas cukup dalam, aku memasukki ruangan tersebut. Kuambil semua
surat tersebut dan hendak akan memasukkannya kembali kedalam amplop. Saat aku
hendak akan memasukkan surat tersebut, aku mendapati sebuah—selembar kertas yang
dilipat di dalam amplop tersebut.
Dikertas tersebut, ada tulisan tangan milik Anita. Tanpa berpikir
panjang, aku menaruh kembali surat yang akan kumasukkan kedalam amplop lalu
kuambil selembar kertas yang ada di dalam amplop.
Perlahan,
kubuka lipatan dari kertas tersebut. Setelah itu, kubaca setiap kata yang
tertulis di surat tersebut.
Oh ya, aku minta maaf karena aku lupa untuk menuliskan ini
di surat. Sebaiknya kau melakukan login kedalam Start Point. Aku punya hadiah
untukmu.
Aku menuruti
perintah yang tertera di surat tersebut lalu melakukan login. Saat aku baru
saja masuk kedalam permainan, aku langsung disambut oleh sebuah notifikasi.
Kutekan menu notifikasi tersebut untuk melihat isinya. Tanpa kuduga, aku
mendapat sebuah pesan. Menurut tanggal di kirimnya pesan, aku yakin sekali
kalau pesan ini sudah ada sejak aku melawan Seno. Kubuka pesan tersebut. Sebuah
pesan singkat yang dikirim oleh Anita. Pesan singkat yang berisikan beberapa
kata.
Kau tahu, pedangmu rusak bukan pada saat kau berusaha untuk
menyelamatkanku di sekolah? Aku dan White merasa bersalah karena itu, jadi kami
memberikan hadiah ini untukmu. Kami membuatnya dengan segala kemampuan kami
agar hadiah ini tak dapat dengan mudah hancur. Dengan ini, semoga kau bisa
melindungi dirimu dan juga semuanya.
Dibawah teks
dari surat tersebut, terdapat sebuah icon
dari sebuah pedang. Aku menekan icon
tersebut. Tak lama kemudian, keluar sebuah pedang berwarna hitam dengan sedikit
corak berwarna oranye dan hijau. Pantulan cahaya yang dipantulkan dari pedang
tersebut begitu cerah dan juga indah. Cahayanya bagaikan cahaya kunang-kunang.
Aku bahkan tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Meski diluar begitu
mendung dan hujan, pedang ini tetap dengan indahnya memantulkan cahaya gemerlap
tiada tara. Ditengah pedang tersebut terdapat sebuah berlian berwarna hijau yang
nampak begitu jernih dan begitu—sangat indah.
***
Dua hari telah
berlalu sejak saat itu. Setelah hujan turun selama beberapa hari, langit hari
ini begitu cerah tanpa adanya awan. Hanya ada langit biru cerah nan indah
membentang luas seperti lautan. Burung-burung terbang dengan bebasnya di
langit. Angin yang berhembus terasa hangat karena cerahnya mentari.
Meski
begitu—meski hari ini begitu cerah, tak ada satupun orang yang merasa senang
maupun mensyukurinya. Karena hari ini, adalah hari dimulainya kekacauan.
Empat jam
sebelum saat yang dijanjikan.
“Terima kasih.”
Zaki menerima item
penyembuhan yang diberikan oleh Mbak Anna. “Tapi, apakah Mbak Anna yakin?
Bukankah kau adalah salah satu ketua divisi di ERASER?” Tanya Zaki.
“Tidak masalah.
Lagipula, aku sudah berhutang banyak kepada kalian.” Mbak Anna tersenyum. “Ngomong-ngomong...
dimana Dimo? Aku tidak melihatnya sejak aku tiba di sini.” Dengan penuh
penasaran, Mbak Anna menengok kesana kemari serta pergi berkeliling taman yang
sudah porak-poranda untuk mencariku.
Melihat tingkah
Mbak Anna, Zaki tertawa canggung “Dimo? Dia... kurasa dia takkan ikut.”
“Tidak ikut?
Mengapa?” Setelah mendengar jawaban Zaki, Mbak Anna berhenti mencari lalu
menghampirinya.
“Yah, banyak
hal terjadi dan sekarang keadaannya menjadi sedikit kacau.” Zaki menjawab
dengan ragu. Dia memalingkan pandangannya untuk tidak menatap lurus wajah Mbak
Anna. Bahkan dia sempat mengeluarkan beberapa senyum yang dipaksakan.
Mbak Anna
terdiam sesaat lalu tersenyum. “Begitu ya, tapi kurasa dia pasti akan tiba.” Dia
berjalan melewati Zaki sembari sedikit menepuk pundaknya. Zaki yang tak yakin
hanya bisa terdiam.
Tapi sesaat
sebelum dia akan meninggalkan taman, dia terhenti “Oh ya, ada satu hal yang aku
lupa beritahu.” Zaki, Leila dan Sindy yang mendengar itupun, sontak berbalik.
“Kemarin, kami—ERASER mendapatkan sinyal aneh dari pusat kota. Kami curiga
disitulah Shadow Player dan pengikutnya berada, karena itulah kami mengambil
tindakan untuk mengawasi lokasi tersebut.”
“Lalu, apakah
kau mendapatkan sesuatu?” Tanya Sindy yang menghampiri Mbak Anna.
“Setelah
diselidiki, ternyata lokasi tersebut merujuk pada sebuah gedung pencakar langit
yang menjadi objek wisata andalan kota. Dipuncak tertingginya, kami mendapati
sebuah bongkahan permata berwarna hijau besar yang berisikan seorang gadis
berambut putih. Gadis itu nampak tak sadarkan diri dan kami juga tidak tahu
apakah gadis itu masih hidup atau sudah tiada.” Zaki dan yang lainnya begitu
tercengang setelah mendengar itu. Apalagi dibagian dimana mereka tak tahu gadis
itu masih hidup ataukah tidak.
“Hanya itu yang
bisa aku beri tahu. Berhati-hatilah.” Sambung Mbak Anna sembari berjalan
meninggalkan Zaki dan yang lainnya. Sementara Zaki dan yang lainnya hanya bisa
tertunduk diam tanpa berkata-kata maupun bergerak. Suara angin yang berhembus
serta suara kantung plastik yang bergesekan diantara rumput-rumput hijau begitu
terdengar dengan jelas.
Namun tak ada
satupun dari mereka yang mengeluarkan pendapat.
“Hoi, hoi, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba menjadi
hening seperti ini?” Suara seorang laki-laki tiba-tiba terdengar melalui
earphone yang Zaki kenakkan. Suara yang membangunkan mereka dari lamunan
mereka. “Halo? Halo? Apa ada orang?”
“Ah! Maaf Paman
Adi, aku tadi sempat melamun.” Balas Zaki.
“Ya ampun, kenapa kau melamun disaat seperti
ini? Jadi, bagaimana? Kapan kita akan pergi?”
“Ya, kita akan
pergi ke pusat kota sekarang juga.”
Waktu terus
berjalan, dan saat dimana Shadow Player akan menggunakkan kekuatan mata milik
White semakin dekat. Waktu itu akan datang dalam empat jam lagi—lebih tepatnya
pukul 6 sore.
Disaat sang
mentari mulai tenggelam, saat itu jugalah ia akan memastikan harapan ikut
tenggelam bersamanya. Ikut terbawa arus deras dari air yang bernama
keputusasaan.
***
“Nampaknya,
mereka menjaga gedung itu dengan cukup ketat.” Kak Indra melepas teropong yang
baru saja dia pakai untuk melihat sebuah gedung pencakar langit dimana Shadow
Player dan pengikutnya berada. Melalui kaca teropong itu dia bisa melihat
dengan jelas beberapa monster serta pemain—pengikut Shadow Player yang berjaga
di area sekitar gedung tersebut.
“Aku tak bisa
percaya kalau hari yang cerah seperti ini adalah hari yang begitu suram.” Mbak
Dinda datang menghampiri Kak Indra yang sedang tengkurap mengawasi gedung
pencakar langit.
“Memang sulit
untuk dipercaya, menilai betapa cerahnya hari ini.” Kak Indra menengok kesana
kemari bahkan sempat menengok keatas—menatap mentari beserta langit biru cerah
tanpa awan. Angin berhembus kencang, meniup seragam ERASER miliknya. Apalagi
saat ini mereka sedang berada di atap dari sebuah gedung tinggi yang letaknya
tak jauh dari gedung pencakar langit.
Disaat Kak
Indra hendak akan melepas teropongnya lalu pergi, dia tak sengaja melihat
sebuah pergerakkan aneh yang mendekat menuju ke gedung tersebut. “Apa yang
mereka lakukan di sana?!” Kak Indra melakukan zoom in di teropongnya. Yang dia lihat adalah Zaki, Sindy dan Leila
yang secara diam-diam semakin mendekati gedung tersebut dengan melalui gedung
di sebelahnya.
Melihat Kak
Indra yang dengan seriusnya terus menggunakkan teropong, Mbak Dindapun ikut
menggunakkan teropong miliknya lalu melihat kearah yang sama dengan Kak Indra.
“Bukankah
mereka seharusnya sudah mengungsi?” Tanya Mbak Dinda. Mendengar pertanyaan
tersebut, semua anggota divisi 7 yang sebelumnya sedang mengawasi di sisi lain
gedung langsung menghampiri Kak Indra dan Mbak Dinda.
“Kenapa mereka
sampai senekat ini?” Dengan cepat, Kak Indra langsung berdiri dan mengambil
sebuah alat komunikasi radio dan meminta bantuan serta izin ke markas pusat
ERASER untuk terjun ke lapangan sehingga dia bisa menghentikan tindakkan Zaki
dan yang lainnya yang menurutnya cukup ceroboh.
Setelah
beberapa menit menelpon, Kak Indra akhirnya mendapat izin untuk segera terjun
ke lapangan “...Terima kasih, aku dan anggota divisiku akan segera
melaksanakannya.”
***
Zaki sedikit
mengangkat wajahnya. Melirik melalui jendela kaca yang sedikit retak. Saat ini,
dia dan yang lainnya sedang berada di lantai dua dari sebuah gedung yang tepat
bersebelahan dengan gedung pencakar langit. Dari yang dia lihat, terdapat
sebuah monster ogre dan dua orang pemain yang sedang berpatroli di depan
gedung.
“Jadi bagaimana?
Apakah ada jalur lain yang memungkinkan untuk meminimalisir pertarungan?” Tanya
Zaki kepada Hitter melalui earphone
yang dikenakkannya.
“Sedang kuusahakan....”
Sementara Adi
sedang meretas kamera pengawas di sekitar gedung serta yang ada di dalam gedung,
Zaki dan yang lainnya terus berjalan berjongkok agar sosok mereka tak terlihat
melalui jendela. “...Ah, akhirnya
kutemukan. Belok kanan dari arah sana lalu ada sebuah tangga yang menuju
langsung ke lantai satu. Tak jauh dari lokasi itu, keluarlah melalui pintu
belakang.” Mengikuti arahan dari Adi, Zaki dan yang lainnya mulai berjalan.
“Untungnya, hanya ada satu monster penjaga di
area itu. Ditambah lagi, aku sudah meretas kamera pengawas yang ada di tempat
itu sehingga hanya memunculkan video dua detik yang terus di ulang.” Tepat
saat Adi menjelaskan, Zaki melihat seekor monster ogre yang berjaga. Perlahan
tapi pasti, Zaki berjalan mengendap-endap menghampiri monster tersebut lalu
menusuknya dengan pedangnya yang sudah dia lapisi dengan skill api miliknya.
Setelah monster
tersebut lenyap, Zaki menengok ke kanan dan ke kiri. Setelah yakin kalau area
sudah aman, dia menengok kebelakang dan memberi tanda kepada Sindy dan Leila
untuk segera menghampirinya. “Oke paman, selanjutnya kemana pintu masuk paling
aman menuju ke gedung itu?” Tanya Zaki sembari menengok kearah gedung pencakar
langit.
“Setelah menyebrangi jalan raya yang
memisahkan kedua gedung tersebut, akan ada sebuah pintu masuk belakang yang
lokasinya cukup tersembunyi.” Zaki menengok kesana-kemari, memastikan kalau
saat itu tidak ada satupun monster ataupun pengikut Shadow Player yang dekat
dengan mereka. Untungnya, saat itu jalanan begitu sepi tanpa ada orang maupun
monster sama sekali. Saking sunyinya, Zaki bahkan bisa mendengar suara hembusan
angin.
“Apa kalian melihat sebuah lorong? Pergilah
ke lorong tersebut!” Saat Adi hendak berkata seperti itu, Zaki melihat
sebuah lorong sempit yang muat untuk beberapa orang. Lorong yang ada di antara
gedung pencakar langit dengan toko toserba di sebelahnya.
Merekapun
menyebrang lalu bersembunyi di balik sebuah lorong. “Oke, Didalam lorong tersebut, terdapat sebuah pintu masuk yang dijaga
oleh seorang pemain. Untungnya, karena ukuran lorong yang sempit, monster
takkan bisa masuk ke tempat itu.” Dengan intruksi dari Adi, merekapun mulai
jalan memasukki lorong. Lorong itu begitu gelap karena posisi lorong yang
berada diantara dua gedung tinggi.
Setelah
berjalan selama beberapa menit, merekapun akhirnya menemukan pintu belakang
yang dimaksud. Juga, sesuai dengan apa yang Adi katakan, ada seorang penjaga
yang berjaga di lorong tersebut.
Saat itu, Zaki
sempat berpikir kalau ini agak aneh. “(Mengapa
mereka hanya menurunkan satu penjaga saja di pintu belakang ini?
Mencurigakan...)” Tapi, dia tak punya waktu untuk itu. Dia menengok keatas
lalu menyadari sebuah kamera pengawas. Tentu saja, sama seperti sebelumnya,
kamera pengawas itu sudah di retas oleh Adi sehingga mereka bisa mengalahkan
penjaga itu dengan mudah dan aman.
Setelah itu,
Zaki dengan cepatnya langsung mencoba membuka pintu belakang tersebut. Namun
sesuai dugaan, pintu tersebut terkunci. “Sial... Paman Adi, bisakah paman
membuka kunci pintu ini?”
“Aku mengusahakannya sejak tadi, tapi....
Sistem keamanan dari gedung ini cukup kuat sehingga aku mungkin butuh waktu
cukup lama untuk bisa membuka pintu ini.” Balas Adi dengan cepat.
Hanya
keheningan yang ada disaat mereka sedang
menunggu Adi untuk selesai membuka kunci dari pintu tersebut. Semuanya hanya
terdiam seribu bahasa. Ini sudah terjadi sejak Mbak Anna berkata kalau
mereka—ERASER sama sekali tak tahu kondisi pasti dari Anita.
Melihat
keheningan sesaat yang tak nyaman tersebut, Sindy berjalan menghampiri pintu
lalu mencoba membuka pintu dengan cara mendobraknya. Sebelum mulai mendobrak,
dia mengambil mundur beberapa langkah lalu berlari—mendobrak pintu tersebut.
Meski gagal, dia terus mengulanginya. Lagi dan lagi. Sampai akhirnya Zaki dan
Leila yang sebelumnya hanya tertunduk diam langsung menatap heran Sindy.
Merasa ditatap,
Sindy menengok kearah mereka berdua “Ada apa? Ayo bantu aku.”
“Oh, iya benar
juga....” Zaki menghampiri Sindy lalu mencoba mendobrak pintu bersamanya. Tapi,
Leila hanya terdiam sembari sedikit menundukkan wajahnya.
“Leila...? Ada
apa?” Tanya Sindy yang berhenti mendobrak.
Mendengar
pertanyaan Sindy, wajah Leila kembali teragkat “Tidak, bukan apa-apa. Hanya
saja.... kuharap Anita baik-baik saja.” Leila sedikit tersenyum sembari
menggeleng. Nampak sedikit paksakan. “Ditambah lagi, Anita pasti sedih jika
tahu kalau saat ini Dimo tidak bersama kita.” Lanjutnya. Nada suaranya yang
rendah dan juga sedikit lirih begitu menunjukkan betapa pedulinya dia kepada
teman-temannya.
“Ya, aku juga
memikirkan hal yang sama. Kira-kira apa yang sedang ia lakukan saat ini?” Zaki
menghampiri pintu lalu bersandar. “Padahal, Anita adalah teman masa kecilnya,
aku masih tidak percaya dia dengan lantangnya mengatakan bahwa ini bukanlah
urusannya.” Sambung Zaki dengan sedikit kesal.
Sementara Zaki
dan Leila termenung memikirkanku dan Anita. Sindy memejamkan matanya lalu tersenyum.
Dia kembali membuka kedua matanya lalu menatap mereka berdua.
“Aku yakin...”
“...Aku yakin,
kalau dia pasti datang.” Kata Sindy dengan penuh keyakinan. Suaranya yang
lembut saat berkata dan juga tatapan penuh percaya diri yang terpancarkan dari
wajahnya yang merona entah mengapa begitu membuat perasaan Zaki dan Leila yang
sebelumnya bercampur aduk menjadi tenang.
Kata-kata yang
menghapus semua perasaan canggung dan gelisah.
Tak lama
kemudian, tiba-tiba pintu dimana Zaki bersandar tiba-tiba terbuka hingga
membuatnya jatuh kebelakang.
“Yak, maaf sudah membuat kalian menunggu. Aku
juga sudah meretas kamera pengawas yang ada di dalam gedung.”
“Jika kau ingin
membuka pintu, seharusnya kau bilang terlebih dahulu!” Protes Zaki. Sementara
Zaki protes, Sindy dan Leila langsung memasukki gedung tanpa memperdulikan
protesnya Zaki.
“Maaf-maaf, aku sama sekali tidak
se—ng—a—j...” Tak lama setelah memasuki gedung, koneksi yang menghubungkan
Zaki dengan Adi terputus.
“Halo? Paman
Adi? Apa kau mendengarku?” Zaki mencoba menghubungi Adi dengan menggunakkan
earphone, namun nampaknya tak mendapatkan tanggapan sama sekali. “Ada apa ini?
Apakah karena sinyalnya?” Disaat Zaki mencoba untuk keluar melalui pintu
belakang, pintu tersebut langsung tertutup dengan sendirinya. Zaki mencoba
untuk membuka pintu itu kembali, namun ternyata pintu tersebut terkunci
kembali. Tanpa adanya koneksi dengan Adi, operasi penyelamatan mereka bisa
kacau. Karena itulah Zaki, Leila dan Sindy berusaha keras untuk bisa membuka
pintu tersebut. Bahkan mereka sempat beberapa kali mencoba mendobraknya. Namun
gagal.
“Semuanya
mundur!” Sindy mengangkat pistolnya lalu mengarahkannya kearah pintu “Open the
Seal—”
“Tunggu dulu.”
Zaki langsung berlari menghalangi pintu “Aku tahu kalau saat ini kita memang
sedang terdesak, tapi kita tak bisa menggunakkan skill untuk menghancurkan
pintu ini karena itu mungkin bisa mengungkap keberadaan kita.” Sambungnya.
“Kau benar...”
Sindy menurunkan pistolnya lalu menengok kearah lorong “Ayo kita coba mencari
pintu keluar lainnya.”
Sesaat setelah
Sindy selesai berbicara, Zaki dan yang lainnyapun mulai berkeliling gedung
untuk mencari sinyal dan pintu keluar. Namun, meski mereka sudah berkeliling,
yang mereka temukan hanyalah pintu keluar yang terkunci. Keadaan ini membuat
Zaki semakin curiga. Anehnya lagi, meski mereka sudah berkeliling lantai satu
dari gedung ini, mereka sama sekali tak menemui satupun monster maupun penjaga.
Mereka juga tak menemukan satupun tangga maupun elevator—tak menemukan satupun
akses menuju lantai selanjutnya.
Juga, meski
tidak terlalu memperhatikan, Zaki cukup menyadari bahwa sejak memasuki gedung,
mereka sama sekali tidak menemukan satupun jendela. Tentu saja ini membuatnya
lebih curiga.
Disaat Leila
dan Sindy sedang beristirahat karena lelah setelah berkeliling gedung. Zaki
menghampiri tembok lalu menyentuh tembok tersebut. Dia menengok ke kanan lalu
ke kiri secara bergantian. Menatap lorong kosong yang terang benderang karena
lampu yang menyala di setiap sudut lorong.
“Ini aneh.”
Mendengar
pernyataan Zaki, Sindy dan Leilapun langsung menatapnya dengan penuh penasaran.
“Apa maksudmu?” Sindy yang sebelumnya duduk langsung berdiri lalu menghampiri
Zaki.
“Perhatikanlah
baik-baik.” Zaki menengok ke lorong bagian kiri lalu menengok ke bagian kanan.
“Jika kau perhatikan baik-baik, kedua lorong ini nampak sama.”
Sindy mengikuti
saran Zaki dengan menengok ke dua arah secara bergantian “Kau benar, kedua
lorong ini nampak sama. Seperti menatap kearah cermin.”
“Jadi maksudmu
selama ini kita berada di dalam semacam ilusi?” Leila berdiri lalu menghampiri
Sindy dan Zaki.
“Sepertinya
begitu. Leila, bisakah kau menembakkan salah satu panahmu kearah sana?” Zaki
menunjuk kearah sebuah pintu yang ada di ujung lorong. Leila mengangguk lalu
mengambil sebuah anak panah dari arrow
rest miliknya. Dia tarik busur sekuat yang ia bisa lalu menembakkannya
kearah pintu yang Zaki tunjuk.
Setelah anak
panah tersebut sudah mengenai target, Zaki menghampiri anak panah tersebut lalu
berbalik—menatap pintu di ujung koridor yang berkebalikan dengannya. “Ternyata
benar. Tempat ini tak merefleksikan makhluk hidup tapi merefleksikan benda
mati.” Zaki tersenyum lalu menunjuk pintu yang berkebalikan dengannya.
Sindy dan Leila
berbalik menatap pintu yang ditunjuk oleh Zaki. Sesuai dengan apa yang Zaki
duga. Dipintu itu juga terdapat sebuah anak panah yang nampak mirip sekali
dengan anak panah milik Leila. “Dan ada satu hal yang bisa kita lakukan untuk
bisa terbebas dari ilusi ini.” Sambung Zaki.
Sindy dan Leila
mengangguk lalu pergi menuju kearah pintu yang lokasinya berkebalikan dengan
pintu dimana Zaki berada. Sesaat setelah mereka sudah sampai, mereka genggam
anak panah tersebut. “Apa kalian siap? Aku akan mencabut anak panah ini
sementara kalian cegah anak panah yang ada di seberang sana tercabut.” Kata
Zaki. Karena lorong yang kedap suara, suaranya jadi bisa terdengar hingga
lokasi dimana Sindy dan Leila berada meskipun dia tak berteriak.
“Satu, dua,
tiga!” Kata mereka bersamaan. Zaki cabut anak panah tersebut sementara Sindy
dan Leila menggenggam anak panah dan mencegahnya agar tidak tercabut seperti
yang ada di genggaman Zaki. Setelah beberapa menit berlalu, perlahan terdapat
retakan yang muncul dari anak panah yang digenggam oleh Sindy dan Leila.
Retakan kecil itu perlahan demi perlahan terus merambat ke segala arah. Menjadi
besar dan semakin tersebar di mana-mana.
Setelah merambat
ke segala arah, retakan tersebut akhirnya terpecah dan berubah menjadi
serpihan-serpihan cahaya kecil yang perlahan lenyap. Saat Zaki, Leila dan Sindy
sadari, mereka masihlah berada tepat di tempat dimana mereka masuk—pintu
belakang.
“Kita... kembali
ke awal lagi.” Leila menengok kesana kemari lalu menghampiri sebuah jendela
untuk melihat keluar. Tak lama kemudian, dia melakukan log out dan memeriksa
jam di arloji miliknya. Setelah selesai memeriksa, dia kembali login lalu
menghampiri Zaki dan Sindy. “Baru 6 menit berlalu sejak kita memasukki gedung
ini.”
“Begitu,
nampaknya ilusi itu tidak hanya berpengaruh terhadap ruang, namun juga terhadap
waktu.” Zaki menghampiri pintu belakang dimana mereka masuk sebelumnya lalu
mencoba membuka pintu tersebut namun pintu tersebut masihlah terkunci sama
seperti sebelumnya. “Terkunci. Ditambah lagi, kita sama sekali tidak
mendapatkan sinyal untuk bisa menghubungi Paman Adi.” Zaki menarik pedangnya
dari sarunng pedang lalu mengarahkannya kearah pintu.
“Open the Seal
: Fire Element - Great Sword of Fire.”
Dengan cepat, Zaki mengaliri pedangnya dengan api. Sesaat setelah api tersebut
sudah melapisi pedang, api dan pedang itupun menyatu dan mata pedangnya berubah
menjadi besi panas yang begitu membara. Pedangnya begitu bercahaya dengan
terang benderang. Cahaya berwarna merah keemasan tersebut menerangi lorong
hingga ke sudut tergelap sekalipun. Uap panas yang dihasilkan pedang milik Zaki
begitu terasa sampai-sampai pendingin ruangan yang ada di lorong tersebut sama sekali
tidak terasa.
“Sindy, Leila,
mundurlah... aku akan mencoba memotong pintu ini.” Kata Zaki sembari mengambil
satu langkah mundur untung membagi jarak antara dirinya dengan pintu di
hadapannya. Mengikuti permintaan Zaki, Sindy dan Leilapun mundur beberapa
langkah menjauhi Zaki untuk memberinya ruang. Setelah memastikan kalau Sindy
dan Leila sudah cukup mundur, Zaki menghela napas panjang lalu hendak akan
menebas pintu tersebut dengan sekuat tenaga.
Saat ia
mengayunkan pedangnya untuk membelah pintu tersebut menjadi dua, tiba-tiba Zaki
mendengar suara seseorang.
“Tunggu dulu,
tahan dulu.”
Suara langhkah
kaki yang menggema di lorong begitu memekakkan telinga. Disaat Zaki sadari,
pedangnya gagal untuk menebas pintu tersebut. Yang ia tebas adalah sebuah bongkahan—tembok
batu berukuran besar yang cukup besar untuk bisa menghalangi pintu tersebut.
“Bisakah kalian
tidak menimbulkan keributan? Aku sedang mencoba untuk tidur.” Kata seseorang
yang berjalan menghampiri Zaki dan yang lainnya. Suaranya begitu berat seakan
ada sebuah benda yang menutupi mulut orang tersebut. Tanpa pikir panjang maupun
berpikir dua kali, Zaki bisa dengan mudahnya menebak suara milik siapa itu.
Suara dari seorang pria yang dia lawan saat misi penyelamatan dan saat terjadi
penyerangan di sekolah.
“Aku tidak
menduga akan bertemu secepat ini denganmu, Seno.” Zaki berbalik dengan tenang.
Dia menyarungkan kembali pedangnya lalu menghampiri Sindy dan Leila.
Seno tertawa
kecil lalu menggaruk rambutnya “Kau pikir aku mau bertemu dengan kalian? Dan
lagi, aku kembali bertemu denganmu, Sindy.” Dia menengok kearah Sindy.
“(Kenapa ia begitu tertarik kepada Sindy?)”
Pikir Zaki sambil sedikit melirik kearah Sindy yang hanya terdiam seribu kata
sejak kedatangan Seno. Ditambah lagi, anehnya tingkah laku Sindy sejak
kedatangan Seno telah menarik perhatian Zaki dan semakin membuatnya penasaran.
Sindy menatap
lurus kearah Seno. Tatapan lurusnya yang begitu kosong dan juga hampa. Tangan
kirinya mengepal dengan sangat kuat sementara tangan kanannya yang menggenggam
pistol begitu gemetar. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Apakah ia takut?
Ataukah ia kesal? Zaki terus mengulangi pertanyaan itu dipikirannya saat dia melihat
kedua tangan Sindy.
Perlahan, Zaki
menghampiri Leila lalu berbisik kepadanya untuk bersiap kabur. Setelah itu, ia
mendekati Sindy dan berniat untuk membisikkan hal yang sama. Tapi, situasi
seakan tak mengizinkannya untuk melakukan itu. Meski dia terus berulang kali
mencoba untuk memberi tahu Sindy untuk bersiap kabur, ia sama sekali tak
mendapat tanggapan. Sindy hanya terdiam menatap Seno seakan ia sedang menatap
hantu.
Melihat tingkah
laku Sindy yang masih aneh, Zakipun menghela napasnya lalu berkata dengan
kencang “Heh, aku ingin melawanmu, tapi saat ini kami sedang terburu-buru (Mau bagaimana lagi.)” Dengan cepat, ia
langsung menangkap tangan kiri Sindy lalu menggenggamnya dengan erat. Dia,
Leila dan Sindypun berlari menyusuri lorong untuk bisa kabur dari Seno. Mereka
terus berlari dan terus berlari tanpa tahu harus pergi ke mana.
“Tunggu, aku
melihat sebuah tangga.” Leila berbelok diikuti oleh Zaki yang sedang membawa
Sindy. Disaat mereka hendak akan melangkahkan kaki menuju ke anak tangga,
sebuah tembok batu muncul di hadapan mereka menghalangi mereka. Tanpa pikir
panjang, Zaki, Leila dan Sindy langsung berbelok menuju sebuah pintu lalu
memasukinya.
“Sial, kenapa
kita harus bertemu dengan lawan yang merepotkan sepertinya?!” Zaki melepaskan
genggamannya dari Sindy lalu mengambil perisai miliknya yang ia gantung di
punggungnya. Ia menaruh perisai tersebut dihadapan pintu dimana mereka masuk
mundu beberapa langkah “Open the Seal : Fire Element – Fire Wall.” Dengan
cepat, perisainya berubah menjadi tembok api yang menghalangi pintu masuk.
“Kuharap itu bisa menghalangnya.” Dengan lemasnya, Zaki berjalan mundur lalu
menjatuhkan diri. Kakinya terasa lelah karena terus berlari. Meski hanya
berlalu beberapa menit sejak mereka memasuki gedung, mereka sudah merasa lelah
akibat terkena ilusi sebelumnya.
“Kita harus
mencari cara untuk bisa kabur dari orang itu.” Leila berlari menghampiri sebuah
pintu yang ada di pojok ruangan dan berusaha membukanya. Namun, pintu tersebut
terkunci rapat.
“Kau benar,
tapi aku sama sekali tak memiliki ide untuk bisa kabur dari orang itu.” Meski
dengan napas yang masih terasa berat, Zaki kembali berdiri lalu menghampiri
Leila.
“Kurasa aku
bisa membantu.” Tiba-tiba, sebuah bongkahan batu terlempar kearah Zaki. Untungnya,
Zaki menyadari itu dan langsung menunduk. Bongkahan batu yang berhasil
dihindari itupun menabrak pintu dan membuatnya hancur. Melihat kesempatan itu,
Zaki langsung berlari menghampiri Sindy dan membawanya memasuki ruangan yang
pintunya hancur tersebut. Setelah Zaki, Leila dan Sindy berhasil memasuki
ruangan tersebut, mereka dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang pahit.
Kenyataan kalau
ruangan itu adalah sebuah jalan buntu.
Saat mereka
hendak akan berlari keluar dari ruangan tersebut, lagi-lagi sebuah tembok batu
muncul di pintu dan menghalangi jalan keluar mereka. Tak lama kemudian, disaat Zaki hendak akan menebas batu
tersebut, ia ter-log out dari dalam
sistem Start Point. “Apa yang—” Zaki menengok kearah Leila. Mencoba meminta
bantuan kepada Leila untuk menghancurkan tembok batu tersebut. Namun, saat ia
sadari, Leila dan Sindy juga sudah berada dalam kondisi log out.
Tak mau
kehilangan asa, Zaki mengambil alat scan yang ia simpan di saku celananya.
Tapi, dia sama sekali tidak bisa melakukan login meski sudah mengscan jarinya
berkali-kali. Hal ini juga berlaku kepada Leila dan Sindy. Tak peduli berapa
kalipun mereka melakukan scan pada jarinya, mereka sama sekali tidak bisa
login.
“Kenapa? Apa
kalian tidak bisa login?” Tiba-tiba, suara Seno terdengar dari sebuah speaker
yang ada di sudut atas ruangan. Seno tertawa lalu menghela napas pendek “Itu adalah ruangan khusus yang sudah
didesain oleh makhluk hitam itu sehingga sistem login start point tidak berlaku
di ruangan itu.” Sambung Seno sembari tertawa kecil. “Aku benci mengakuinya
tapi—ruangan itu benar-benar membuatku terkesan. Tapi, karena ruangan itu aku
tidak bisa lagi bermain dengan kalian.”
Tak lama
setelah Seno menyelesaikan kata-katanya, keluar sebuah gas—asap berwarna putih
dari ventilasi yang ada di plafon ruangan. Perlahan gas tersebut semakin
menyebar dan menyebar memenuhi ruangan tanpa celah sedikitpun.
Zaki yang sudah
sedikit menghirup gas tersebut, mulai merasa sedikit ngantuk. Matanya semakin
terasa berat dan tubuhnya semakin lemas. “Ini gas tidur—” Dengan cepat, iapun
menutup hidungnya dengan tangannya. Asap putih yang pekat tersebut terus
mengisi ruangan tanpa jeda sedikitpun hingga akhirnya ruangan tersebut dipenuhi
oleh gas tidur. Bahkan sangat sulit untuk melihat karena adanya gas tidur
tersebut.
Zaki melepas
jaket miliknya dan mengikatkan lengan jaket tersebut di hidungnya untuk
membuatnya menjadi masker. “Leila? Sindy? Dimana kalian?” Zaki mencoba untuk
memanggil Sindy dan Leila dengan sekeras mungkin, namun dia sama sekali tidak
mendapat tanggapan. Dengan berandalkan ingatannya terhadap posisi Sindy dan
Leila, Zaki mulai berjalan. Perlahan, tiap langkah semakin terasa berat. Indra
keseimbangannya mulai goyah dan penglihatannya semakin kabur tiap detiknya “(Sial. Penglihatanku juga sudah mulai
kabur... Kuharap mereka baik-baik saja.)” Setelah berjalan selama beberapa
menit, akhirnya Zakipun menemukan Leila dan Sindy. Sesuai dugaan Zaki, mereka
berdua sudah tak sadarkan diri. Untungnya, posisi mereka tak berjauhan.
Namun, disaat
Zaki hendak berusaha untuk membangunkan mereka berdua, tubuhnya terasa berat
dan begitu terasa mengantuk. Rasa kantuk yang ia rasakan sudah begitu berat
hingga akhirnya ia sama sekali tidak bisa menahannya.
“Yah,
begitulah. Seno disini dan selamat tidur.”
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment