Kemungkinan minggu depan akan menjadi chapter terakhir dari novel ini (berakhir dengan ngegantung, karena gw mau me-remake novel ini dengan sudut pandang orang ke-3)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Start Point
Perlahan, Sindy
membuka matanya. Dengan tubuh yang masih terasa agak lemas dan juga lelah, ia
terbangun di ruangan itu. Sebuah ruangan dengan tembok yang berwarna putih
bahkan lantainya juga berwarna putih. Hanya tembok putih yang ada di ruangan
ini, sama sekali tidak ada jendela maupun mebel lainnya. Di plafonnya, terdapat
sebuah ventilasi kecil. Bahkan ventilasi itu begitu kecil sampai-sampai seorang
anak kecil saja takkan muat memasukinya. Di pojok ruangan, terdapat sebuah
kamera pengawas yang dalam kondisi menyala. Nampak begitu jelas kalau mereka
sedang mengawasi Sindy dan yang lainnya. Namun, ada satu hal yang begitu
menarik perhatian Sindy. Suara benturan antara dua benda terus terdengar
seiring berjalannya waktu. Terus terulang dan terus terulang tiada henti.
Dengan
lemasnya, Sindy menengok kearah sumber suara tersebut. Suara kencang yang terus
terdengar sejak ia terbangun dari tidur lelapnya. “Sial, sial....” Zaki terus
memukuli pintu besi tersebut tanpa memperdulikan kondisi tangannya yang sudah
mulai lecet bahkan berdarah. Dia terus memukuli pintu tersebut dengan berharap
pintu tersebut akan terbuka.
“Maulana,
tolong hentikan! Jika kau terus melakukan itu, kau hanya akan melukai dirimu
sendiri.” Leila yang terduduk lemas di sebelah Sindy sembari bersandar di
tembok mencoba untuk menghentikan Zaki, namun Zaki sama sekali tidak
memperdulikan itu dan terus memukuli pintu tersebut.
“Jika kita tak
pergi sama sekali, maka Anita bisa dalam bahaya.” Zaki terus memukuli pintu
tersebut sampai akhirnya ia memberikan tendangan akhir. Setelah itu, ia
berjalan mundur beberapa langkah lalu menjatuhkan tubuhnya karena lelah.
“Sial... apa tidak ada yang bisa kita lakukan. Mereka bahkan mengambil Login Device, earphone dan juga
smartphone milik kita. Sebenarnya, sudah berapa lama waktu berlalu sejak kita
tertidur.” Zaki berbaring lemas dengan napasnya yang terasa berat. Dia berusaha
mencoba untuk memeriksa kembali kantungnya dimana dia menyimpan login device
miliknya, meski ia tahu kalau benda itu sudah tidak ada lagi di kantungnya.
“Maaf...
Maafkan aku...”
Sontak setelah
mendengar permintaan maaf itu, Zaki dan Leila langsung menengok kearah Sindy.
Sindy yang tertunduk seakan tak berani menunjukkan wajahnya kepada Zaki dan
Leila, tangan kirinya yang saat itu meremas kemejanya menunjukkan betapa merasa
bersalahnya dia. Tatapannya yang lurus kebawah dan tak berani menatap wajah
Leila dan Zaki, serta ekspersi wajahnya yang terkesan mendung.
“Karena aku
yang saat itu hanya bisa membeku dan hanya menjadi beban bagi kalian....”
Sambung Sindy dengan nada suara yang bergetar.
“I-ini bukan
salahmu,’kok.” Leila menghampiri Sindy lalu memegang pundaknya. Sontak,
wajahnya terdongkak, menengok Leila yang tersenyum tulus kepadanya.
“Ya, benar. Tak
ada satupun dari kami yang menyalahkanmu.” Zaki yang sebelumnya berbaring,
mengangkat tubuhnya lalu duduk. Tak lama kemudian dia menghela napas lalu
menengok kearah Sindy “Tapi, ada satu hal yang sejak tadi mengganguku....
Kenapa tadi kau membeku saat kau bertemu dengan Seno?”
“Itu....” Sindy
mencoba untuk membuang wajah dari Zaki, namun ia tahu, kalau ia tak bisa terus
merahasiakan hal ini kepada teman-temannya. Sindy memejamkan matanya dan
berusaha untuk membulatkan tekadnya, dia buka kembali matanya lalu hendak akan
memberitahu mereka mengenai hubungannya dengan Seno. “Sebenarnya, aku dan dia—”
“Sebenarnya
dulu aku dan Sindy sudah pernah bertemu.” Tiba-tiba, Seno menyela perkataan
Sindy. Dia bersandar di pintu seakan ia sudah berada disana sejak lama sekali.
“Kau...!” Dengan
cepat, Zaki langsung berdiri dan berusaha untuk memukul Seno dengan tinjunya.
Tapi, dengan mudah Seno mengikat kaki Zaki dengan batu ciptaannya sehingga ia
tak bisa mendekati Seno. “Sial, lepaskan!” Zaki berusaha untuk menghancurkan
batu tersebut, namun akibatnya, tangannya malah ikut terikat dengan kakinya.
Saat ia hendak berusaha untuk melepaskan tangan dan kakinya, ia teringat dengan
perkataan Seno sebelumnya “Tunggu dulu, apa maksudmu dengan kalian sudah pernah
bertemu sebelumnya?”
“Seperti yang
sudah kubilang sebelumnya, kami sudah pernah bertemu. Kalau tidak salah, tiga
tahun yang lalu. Benar bukan, Sindy?” Seno dengan santainya berjalan melewati
Zaki lalu menghampiri Sindy.
“Kakak....”
Sindy menengok kearah Seno yang berjalan menghampirinya lalu menatap wajahnya
yang tertutup oleh sebuah topeng batu. Sindy bertanya-tanya, ekspresi seperti
apa yang saat itu terpampang diwajahnya yang tertutup oleh topeng itu. Namun,
disaat yang bersamaan, dia tak ingin mengetahuinya.
“Kakak?” Tanya
Zaki dan Leila dengan kompaknya.
“Benar. Tiga
tahun yang lalu, aku bertemu dengannya. Dialah yang telah mengajariku bermain
game hingga semahir ini. Hampir setiap minggu kami bermain bersama, hingga
kusadari, aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri.” Meski Sindy
menceritakan suatu hal yang terdengar begitu menyenangkan dan juga
membahagiakan, wajahnya sama sekali nampak tak begitu senang dan juga bahagia.
Wajahnya nampak begitu sedih seakan ia sama sekali tak sanggup mengingat
masa-masa itu. Nada suaranya yang rendah dan juga bergetar, tatapan matanya
yang nampak sedih dan juga alisnya yang sedikit mengkerut menunjukkan dengan
jelas bahwa itu adalah ingatan yang membekas dihatinya. Perlahan, nada suaranya
yang bergetar semakin lirih.
“Itu adalah
saat-saat yang berharga bagiku. Hingga di akhir tahun, insiden itu terjadi.
Pesawat yang membawanya menuju jakarta untuk mengikuti final dari sebuah
turnamen game online mengalami—” Sambung Sindy. Namun, ditengah penjelasan,
tiba-tiba Seno memotong.
“Yak, kurasa
itu sudah cukup menjelaskan hubunganku dengan Sindy.” Sembari berkata seperti
itu, Seno melepas topengnya lalu mengurainya menjadi debu. “Dan juga, apa kau
bisa ikut denganku?” Seno mengulurkan tangannya kearah Sindy.
Sindy hanya
terdiam, tangannya sama sekali tidak bergerak. Dia menatap Seno dengan tatapan
kosong. Bukan tatapan penuh kebencian maupun tatapan penuh kasih sayang. Hanya
sebuah tatapan kosong tanpa arti sedikitpun.
Seno tersenyum
lalu menarik kembali tangannya “Baiklah kalau begitu, aku tak punya pilihan
lain.” Dia berjalan menuju kearah pintu lalu. Dia ketuk pintu tersebut dua
kali. Tak lama kemudian, kunci pintu tersebut terbuka. Dia buka pintu tersebut
lalu berjalan keluar. Sesaat sebelum pintu tersebut ditutup, dia sempat
tersenyum lalu berkata “Game start.”
Pintupun
tertutup.
Bersamaan
dengan suara pintu yang terkunci rapat, mulai tersebarlah gas berwarna putih
yang keluar dari ventilasi. Gas tidur tersebut terus menyebar dengan cepat
memenuhi ruangan.
***
“Maulana....”
“Maulana,
bangun....”
Perlahan, Zaki
kembali membuka matanya. Menyadari bahwa batu yang sebelumnya mengikat dia
sudah terurai menjadi debu. Suara yang dia dengar tadi ternyata adalah suara
Leila yang berusaha membangunkannya.
“Leila...?”
Meski dengan kepala yang masih terasa agak pusing, Zaki mencoba untuk duduk.
“Sudah berapa lama waktu berlalu sejak kita tertidur?” Tanya Zaki sambil
sedikit bergeleng untuk membuat kantuknya hilang.
“Kurasa tidak
terlalu lama. Yang lebih penting, kita harus bergegas! Mereka telah membawa
Sindy. Dia sudah tidak ada sejak aku terbangun.” Balas Leila dengan nada suara
yang terburu-buru dan terasa panik. Mendengar jawaban Leila, Zaki langsung
menengok kesana kemari. Ternyata Leila benar, Sindy sudah tidak ada di ruangan
tersebut.
Zaki tahu betul
siapa penyebab ketidak hadiran Sindy di ruangan ini. Seseorang yang baru saja
datang ke ruangan ini beberapa menit yang lalu. Seseorang yang mengikatnnya.
Dan seseorang yang memiliki hubungan dengan Sindy. “Seno.... Tidak salah lagi,
dialah yang telah membawa Sindy.” Zaki kembali berdiri sembari memakai
jaketnya.
“Apa yang harus
kita lakukan? Aku takut mereka melukai Sindy.” Leila ikut berdiri lalu berjalan
menghampiri Zaki dengan penuh khawatir.
“Ya, aku juga
khawatir kepadanya.” Zaki menengok kearah kamera pengawas yang ada di sudut
ruangan. Zaki menghela napas panjang. “Andai saja ada cara untuk mematikan
kamera itu.” Dia mulai melangkahkan kakinya lalu mulai berjalan mondar-mandir.
Disela-sela tersebut, tiba-tiba muncul suara menggeresek dari dalam jaket Zaki.
Zaki yang tahu
darimana suara itu berasal langsung meraba bagian dalam jaket untuk mencari sebuah
lubang kecil yang ukurannya hanya cukup untuk tiga jari dimasukkan bersamaan.
Dari lubang tersebut, Zaki mengambil sebuah earphone wireless—sumber dari suara
menggeresek itu berasal.
“Maulana,
itu’kan....” Bisik Leila sambil menghampiri Zaki.
Zaki mengangguk
“Ya, aku sengaja membawa earphone cadangan untuk berjaga-jaga jika keadaan
seperti ini terjadi.” Perlahan, dengan perasaan yang ragu tapi penuh dengan
rasa penasaran, Zaki mendekatkan earphone tersebut ke telinganya. Suara
menggeresek yang awalnya tak terlalu kencang itu semakin kencang beriringan
earphone yang tiap detiknya semakin mendekati telinga Zaki. Entah apa yang
membuat earphone ini menggeresek, satu hal yang pasti, benda ini takkan mungkin
bereaksi begitu saja. Pasti ada campur tangan orang lain sehingga membuat
earphonennya bereaksi seperti itu.
Dengan jantung
yang terus berdegup semakin kencang dan semakin keras, Zaki mendekatkan
earphonenya ke telinga. Disaat sudah cukup dekat, dia memakai earphone
tersebut. Dan muncul sebuah suara. Suara dari seorang pria dewasa. Suara dari
seseorang yang sebelumnya telah membantu Zaki dan yang lainnya.
“Kurasa aku bisa membantumu.”
“Paman Adi...?!
Kemana saja paman?” Eluh Zaki.
“Ahaha, maaf, maaf... tiba-tiba sinyalku
terputus saat kalian mulai memasukki pintu belakang.” Adi tertawa seakan
saat ini mereka sedang tidak berada dalam masalah karena terputusnya sinyal
tersebut.
“Yasudah
lupakan saja. Jadi, bagaimana? Apa kau bisa mematikan kamera pengawas itu?”
Tanya Zaki sembari menunjuk kearah kamera.
“Yah, aku sudah melakukannya sejak 15 menit
yang lalu. Aku juga sudah mengulang rekaman dari kamera pengawas lainnya dan
membuka pintu keluar kalian.” Lagi-lagi Adi tertawa. Mungkin baginya semua
masalah ini hanya masalah kecil baginya, tapi dari sudut pandang Zaki, ini
benar-benar masalah besar.
“Baiklah, terima kasih. Dan lagi apa kau tahu
kemana mereka membawa Sindy dan dimana mereka menyimpan barang-barang kami?”
Zaki dan Leila menghampiri pintu. Dengan kedatangan Zaki dan Leila, pintu
tersebut terbuka secara otomatis. Merekapun berhasil keluar dari ruangan
tersebut dengan bantuan dari Adi. Setelah berhasil keluar, Zaki kembali meraba
bagian dalam jaketnya lalu mengambil sebuah earphone
wireless lainnya dan memberikannya kepada Leila.
“Oh ya satu hal lagi. Karena tadi aku bingung
harus melakukan apa, aku jadi menghubunginya.” Sambung Adi tanpa
memperdulikan pertanyaan Zaki.
“Menghubunginya?
Siapa yang paman maksud?” Tanya Leila sembari memakai earphone tersebut.
“Barang kalian sudah ada di divisi tujuh. Dan
lagi, biar aku yang menangani Sindy.” Jawabku melalui earphone. Sementara
divisi tujuh mengamankan area lainnya, aku terus berjalan menuju kearah lift
menuju lantai selanjutnya. Yaitu lantai dimana Sindy berada.
Mendengar
pernyataanku, Zaki sontak berkata “Dimo? Bagaimana kau—”
“Ya, aku sudah
mendengar semuanya saat earphone milikmu masih berada didalam jaket.” Potongku.
Disaat aku sedang memotong perkataan Zaki, seorang pemain—pengikut shadow player tiba-tiba
menghadangku. Nampak dari senjatanya yang merupakan sebuah tongkat, dia adalah
seorang Wizard. Disaat dia hendak akan melafalkan mantranya, aku berlari
kearahnya dengan menggunakkan Moonlight Speed lalu kuteriakkan “Inventory.”
Kuambil pedang yang diberikan Anita kepadaku.
Sembari kutarik
dan kuayunkan pedang tersebut, aku mulai melafalkan skill milikku “Open the
Seal : Moonlight Shard – Moonlight Sword.” Cahaya perak dari Moonlight Shard
dengan cepatnya merambat mengaliri pedangku. Cahaya perak tersebut berpadu
dengan berlian yang merupakan pusat dari pedang tersebut dan merefleksikannya.
Menciptakan cahaya berwarna hijau cerah yang nampak indah seperti permata.
Kuayunkan
pedangku sekuat yang kubisa. Akhirnya, pedang tersebut berhasil mengenai pemain
tersebut. Walau pada awalnya pemain tersebut berusaha menghentikan pedangku
menggunakkan tongkatnya, namun sayangnya, tongkat tersebut tak cukup kuat untuk
menahan Moonligth Sword milikku. Akibatnya, tongkat tersebutpun patah dan
ayunanku berhasil mengenai dadanya. Hembusan angin yang tercipta akibat ayunan
pedangku begitu kencang hingga membuat kerikil maupun batu yang ada diarea
tersebut berterbangan.
Mendengar suara
pertarungan tersebut membuat Zaki dan Leila yang sedang berjalan menuju kearah
dimana divisi tujuh berada malah terhenti “Dimo? Ada apa? Apa kau baik-baik
saja?” Tanya Zaki.
“Aku tidak terima ini. Aku sama sekali tidak terima jika
orang tersebut masih menyebut dirinya sebagai seorang kakak.” Jawabku dengan penuh kekesalan.
***
Sindy membuka
matanya. Setelah beberapa menit tertidur akibat efek gas tidur, ia akhirnya
terbangun. Terbangun di atas sebuah sofa berwarna coklat yang nampak mewah di
dalam sebuah ruangan yang lebarnya cukup luas. Di ruangan itu, bukan hanya ada
sebuah sofa yang diduduki oleh Sindy,
namun ada 3 barisan sofa yang dibariskan secara vertikal. Ruangan itu
nampak bersih dan sangat terawat. Bahkan terdapat dua buah pendingin ruangan
yang terpasang di tembok. Di ruangan itu juga ada beberapa jendela yang
ukurannya cukup besar. Namun, tak ada satupun kamera pengawas terpasang di
ruangan itu.
“Dimana aku...?” Sindy menengok kesana
kemari. Saat ia sadari, Seno duduk tepat
disebelah dirinya yang sedang berbaring. Seno duduk bersandar di sofa sementara
sebuah video. Dia terus menonton sebuah tayangan video yang ada di laptop
sampai akhirnya dia mendengar pertanyaan Sindy.
“Oh, kau sudah bangun. Syukurlah.”
Seno berkata sembari tersenyum lembut kepada Seno.
Sindy bangun
dan duduk dengan sedikit menjauh dari Seno “Kakak... Kenapa kakak membawaku
kemari?” Tanya Sindy sambil membuang pandangan.
Seno menggaruk
rambut “Sebenarnya, aku ingin mengajakmu bernegosiasi.” Lalu duduk mendekati
Sindy.
“Negosiasi? Apa
maksud kakak?”
Seno tersenyum
dengan sedikit menyeringai lalu menunjukkan video yang ada di laptop. Sindy
yang awalnya enggan melihat video tersebut, langsung mengubah pikirannya saat
mendengar suara percakapan antara Leila dan Zaki. Video tersebut adalah sebuah
tayangan dari salah satu kamera pengawas. Tayangan tersebut menunjukkan kondisi
Leila, Zaki dan Divisi tujuh yang sedang terpojok oleh monster-monster. Monster
dan pengikut yang mengepung mereka begitu banyak hingga memenuhi lorong.
Bagaikan semut yang berbaris mendekati gula.
“Ini... Apa
ini...?” Dengan cepat, Sindy langsung mengambil laptop tersebut dan melihat
video tersebut dengan begitu seksama. Dia bahkan sempat berganti kamera dan
yang dia lihat hanyalah monster dan pengikut yang mengepung divisi 7.
“Kejadian itu
sedang berlangsung tepat dilantai yang ada di bawah kita. Bagaimana jika
kukatakan kepadamu kalau aku bisa menyelamatkan teman-temanmu dengan
menghentikan semua monster dan pengikut yang ada.” Mendengar tawaran Seno,
tanpa sadar Sindy sudah tidak membuang pandangannya lagi.
“Menyelamatkan
mereka?” Meski ragu, namun Sindy sempat menaruh harapan kalau apa yang
dikatakan Seno itu benar.
“Ya, dengan
syarat yang akan kuberikan. Aku akan menyelamatkan mereka. Simpel bukan?” Seno
menjawab dengan santainya lalu berdiri dan berjalan menghampiri tembok. Dia
bersandar di tembok tersebut sembari menatap Sindy.
Sindy hanya
terdiam, tak lama kemudian dia mulai membuka mulutnya “Baiklah, kuterima
tawaran kakak. Tapi, sebelum itu, ada hal yang ingin kutanyakan kepada kakak.”
Sebelum syarat diucapkan, ada beberapa pertanyaan yang sudah mengganggu Sindy
sejak awal dia bertemu dengan Seno.
“Baiklah, aku
akan menjawab pertanyaanmu.” Seno bersedekap.
“Kenapa
kakak.... kenapa kakak masih hidup? Padahal aku yakin kalau kakak adalah salah
satu korban dari kecelakaan pesawat saat itu. Yang kedua, kenapa kakak bisa
menjadi anggota mereka?”
“Baiklah,
karena kedua pertanyaan itu berhubungan, aku akan menjawabnya bersamaan. Saat
itu, aku memang sudah meninggal.” Sindy terkejut. Meski Seno belum menjawab
seluruh pertanyaannya, ini sudah membuatnya begitu terkejut.
“Kalau begitu,
kenapa kakak—“
“Aku tahu,
memang sulit untuk dipercaya. Tapi, makhluk hitam itu berhasil melakukannya
bukan? Dia menarik jiwaku lalu mewujukannya dalam wujud fisik seperti sekarang
ini. Sebenarnya, makhluk itu membiarkanku bebas melakukan sesuka hatiku. Aku
bahkan bisa kapan saja memberontak kepada mereka.” Potong Seno. Sindy hanya
bisa terdiam. Seakan tiba-tiba kenyataan menamparnya. Dia hanya terdiap bisu
seperti batu. Seno tersenyum lalu menepuk tangan selama dua kali.
“Lalu, kenapa
kakak—”
“Karena ini
adalah permainan.” Seno tersenyum lalu tertawa. Tawanya begitu kencang dan juga
aneh. “Ini adalah permainan antara hidup dan mati. Sebuah permainan yang
benar-benar membuatku deg-degan.” Seno kembali tertawa. Sindy seharusnya sudah
tahu betul, kalau kakaknya—Seno adalah seorang penggila game. Bahkan, setahu
Sindy, Seno biasa berganti permainan setiap 3 hari sekali. Dengan kata lain,
dia berhasil menyelesaikan permainan tersebut hanya dalam kurun waktu 3 hari.
Perlahan, Seno
berhenti tertawa lalu menatap Sindy dalam-dalam “Baiklah, kurasa tadi itu sudah
cukup. “ Seno menghampiri Sindy lalu mengulurkan tangannya. “Bergabunglah
dengan kami.” Di telapak tangannya, terdapat sebuah benda. Sebuah benda yang
ternyata itu adalah login device
milik Sindy.
“Bergabunglah
denganku, bersama, kita bisa menguasai galaksi sebagaik kakak dan adik.” Sindy
hanya terdiam. Dia bahkan sama sekali tidak memperdulikan refrensi Star Wars
yang baru saja dikatakan kakaknya. Sindy hanya terdiam sembari menatap layar
laptop. Tak lama kemudian, dia mulai menatap Seno dengan tatapan dingin lalu
berkata.
“Bagaimana jika
aku menolak?” Sindy menaruh laptop tersebut disampingnya.
“Kalau memang
begitu jadinya, kurasa takdir mereka ada di tangan mereka sendiri.” Seno
menjawab sambil membalas tatapan dingin Sindy. Dia sedikit tersenyum lalu
berkata “Jadi bagaimana? Apa kau menerima tawaran ini?”
Tanpa tahu
harus menjawab apa, Sindy hanya terdiam. Terdiam seribu bahasa sambil membuang
muka dari Seno. Tapi, waktu terus berlalu dan Sindy tak bisa terus diam. Dia
harus segera memutuskan apa jawabannya.
“Aku...”
Saat itu, dia
benar-benar tidak tahu keputusan mana yang lebih baik. Namun, melihat
teman-temannya semakin tepojok benar-benar membuat dadanya terasa sakit.
Melihat mereka yang benar-benar ia pedulikan berada dalam bahaya sangat
membuatnya merasa tidak nyaman. Sindy teringat dengan saat pertama kali ia
bertemu dengan mereka. Saat ia menabrakku saat itu. Saat ia bertarung bersama
kami untuk melawan Hitter atau Adi. Saat dia merasa begitu bersalah disaat melihat
Leila yang terluka akibat serangan Shadow Player. Saat dia memergokiku di
taman. Dan semua hal dan waktu yang telah dia habiskan bersama kami.
Baginya, kami
benar-benar teman yang begitu berharga.
Sindy
menengok—menatap Seno yang tersenyum lembut. Saat itu Sindy sempat berpikir,
kalau ini lebih baik. Kalau mengorbankan dirinya sendiri lebih baik dari pada
mengorbankan orang yang disayanginya. Ya, benar. Ini lebih baik daripada
kehilangan Zaki, Leila, dan semua orang di divisi 7. Itulah yang dipikirkannya.
Sindy menarik
napas dalam-dalam, dia mulai menetapkan hati untuk menerima tawaran tersebut.
Perlahan, ia mengangkat tangan kanannya. Perlahan, tangan tersebut semakin
mendekati uluran tangan Seno.
Disaat Sindy
sudah menerima uluran tangan Seno, terjadi sebuah tiba-tiba pintu masuk beserta
temboknya hancur. Batu-batu akibat hancurnya tembok berterbangan memasukki
ruangan. Dengan sigap, Seno langsung berbalik lalu berjongkok dan menyentuh
lantai “Open the Seal : Craft – Stone Wall.” Tembok batupun tercipta
dihadapannya. Tembok batu tersebut berhasil melindungi Seno dan juga Sindy dari
bongkahan-bongkahan batu yang berterbangan memasukki ruangan. Namun, saat itu
Sindy melihat login devicenya yang terlempar dari genggaman tangan Seno saat
Seno hendak menciptakan tembok batu tersebut. Bersamaan dengan hancurnya tembok
tersebut, terlemparlah sebuah monster ular kedalam ruangan. Tak lama setelah
itu, monster itupun bercahaya lalu lenyap menjadi bola-bola cahaya kecil.
Tembok batupun terurai,
Seno kembali bangkit lalu menghampiri Sindy. Namun, sesaat sebelum ia berhasil
mendekati Sindy, sebuah cahaya berbentuk seperti pecahan-pecahan dari bulan melesat
keluar dari asap. Pecahan-pecahan berwarna hijau cerah terlempar dengan
cepatnya kearah Seno. Namun, Seno menyadari serangan itu dan melompat mundur.
Cahaya itupun menabrak tembok dan menghancurkannya—menciptakan sebuah lubang
besar di tembok. Dibalik tembok tersebut, terbentang luas pemandangan kota.
Meski melalui sebuah lubang, Sindy bisa melihat dengan jelas pemandangan
seluruh kota. Ini menandakan bahwa kemungkinan dia dan Seno berada di lantai atas
yang cukup tinggi.
Melalui lubang
tersebut, angin berhembus kencang memasuki ruangan. Bahkan begitu kencang
hingga Sindy bisa mendengar gesekan udara.
“Akhirnya kau
datang juga ya.” Seno merapihkan sarung tangannya lalu menepuk-nepuk jaketnya
untuk membersihkannya dari debu sembari menengok kearah asap. Asap yang
tercipta akibat hancurnya tembok dimana pintu masuk berada.
Perlahan, asap
tersebut semakin tertiup oleh angin yang memasukki ruangan melalui lubang di
tembok. Saat asap tersebut sudah lenyap, Seno dan Sindy bisa melihatku yang
berjalan memasuki ruangan. Tak lama kemudian, kedua tangan Seno menyentuh
tembok di sebelahnya. “Open the Seal : Craft – Stone Gun.” Setelah itu,
bongkahan-bongkahan batu mulai keluar dari tembok tersebut. Saat sudah keluar
sepenuhnya, bongkahan-bongkahan itu mulai terlempar kearahku.
“Sindy apa kau
baik-baik sa—”
Melihat
datangnya bongkahan-bongkahan batu itu, aku berhenti sebelum menyelesaikan
kalimatku. “Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight Speed.” Dengan
cepatnya, energi Moonlight Shard menyebar ke seluruh tubuhku. Jaket hitamku
dilapisi oleh cahaya putih yang begitu terang benderang. Warna oranye di
jaketku berubah menjadi berwarna biru dan mengeluarkan semacam kilatan cahaya
berwarna putih tiap kali aku bergerak terlalu cepat.
Dengan
mengandalkan Moonlight Speed, aku menghindari bongkahan-bongkahan batu tersebut
dan berhasil menghampiri Sindy. Tak lama setelah menghampiri Sindy, Moonlight
Speed-ku akhirnya habis dan jaketku kembali seperti semula.
Angin berhembus
kencang meniup rambut dan juga jaketku. Begitu kencang hingga jaketku berkibar
seperti bendera. Aku menengok kearah Sindy yang berada di belakangku. Dia
nampak agak murung dan tidak berani melirikku.
“Sindy? Ada
apa?” Tanyaku penuh penasaran.
“Dimo... Tadi
itu—Zaki, Leila dan Divisi 7, mereka....” Sindy menengok kearah laptop
tergeletak rusak di lantai akibat terbentur salah satu bongkahan batu. Layarnya
retak dan mati sehingga Sindy sama sekali tidak tahu apa yang terjadi kepada
mereka. Dia begitu khawatir dengan kondisi Leila dan juga Zaki. Wajah dan
ekspresinya sama sekali tidak berbohong.
Aku juga
begitu. Sejak aku memijakkan kaki di lantai ini, aku sama sekali tidak bisa
menghubungi Zaki, Leila bahkan juga Divisi 7. Aku yakin seberapapun khawatirnya
aku kepada mereka, Sindy pasti lebih khawatir lagi dibandingkan diriku.
“Tenang saja. Aku yakin mereka pasti akan
baik-baik saja.”
Mendengar jawabanku,
Sindy dengan spontan menengok kearahku. “Saat ini, aku memang tidak bisa
menghubungi mereka. Tapi, aku yakin kalau mereka baik-baik saja.” Sambungku.
Aku tersenyum dengan penuh keyakinan kepada Sindy. Tak lama kemudian, aku
mendengar suara tepuk tangan seseorang. Tanpa diragukan lagi, suara tepuk
tangan itu jelas milik Seno.
Aku menengok
kearahnya sembari menaikkan pedangku untuk menodongnya. “Wah, sungguh drama
yang menyentuh hati.” Seno berpura-pura menangis dengan mengusap bawah matanya
dengan jaket miliknya. Tak lama kemudian dia berhenti bertepuk tangan lalu
menatap kami berdua “Nah, sekarang. Ayo ke drama utama.”
Seno memukul
tembok di belakangnya. Dia majukan kedua tangannya lalu membenturkannya kearah
tembok di belakangnya. “Open the Seal : Craft – Stone Gloves.” Perlahan, sarung
tangan batu mulai melapisi kedua tangannya. Sarung tangan yang tercipta dari
dalam tembok tersebut nampak begitu keras dan juga kokoh, mungkin lebih keras
dari sebelumnya. Dia kepalkan kedua tangannya lalu menarik tangannya—sarung
tangan batunya dari tembok. Dengan kedua sarung tangan batu yang nampak kokoh
dan keras tersebut, Seno mengambil kuda-kuda. Dia tersenyum licik “Game start.”
Dia menerjang dengan cepat kearahku. Begitu cepat hingga aku nyaris tidak
melihat langkah awalnya sama sekali.
Kutepis setiap pukulan
yang ia arahkan padaku. Dia terus mencoba untuk memukul diriku dengan kedua
sarung tangan batu tersebut secara bergantian. Aku terus terdorong mundur di
setiap serangannya. Aku terus melangkah mundur. Selangkah demi selangkah,
sementara dia terus berjalan maju. Selangkah demi selangkah. Semakin ku
berjalan mundur, semakin dekat aku dengan tembok di belakangku. Saat aku
melirik tembok di belakangku, akupun menyadari rencananya.
Aku menyadari
bahwa terdapat batu yang berusaha mengikat kakiku. Batu tersebut muncul ketika
aku melangkahkan kakiku saat aku melirik kearah belakang. Dengan cepat, ku
mengucapkan “Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight Speed.” Aku bergerak
menjauhinya sesaat sebelum batu tersebut berhasil mengikat kakiku. Saat itu aku
benar-benar beruntung. Jika saja saat itu aku tidak menyadari rencananya, aku
pasti akan mengalami nasip yang sama dengan saat di sekolah.
“Wah, ternyata
kau tidak senaif yang ku pikirkan.” Seno berbalik sembari memalsukan tawanya.
Tak lama setelah itu, batu yang sebelumnya akan mengikat kakikupun terurai.
“Tapi sayang sekali, gerakanmu terlalu mudah dibaca.” Seno menunjuk kearah
kakiku. Aku menengok kebawah mengikuti apa yang di tunjuknya. Saat kusadari,
kedua kakiku sudah terikat tembok batu miliknya.
Aku berusaha menghancurkan
batu tersebut dengan pedangku, namun aku terlambat. Saat kusadari, Seno sudah
berada tepat di hadapanku dengan tangannya yang hendak akan meninjuku. Tanpa
pikir panjang, aku langsung berusaha menahan serangannya dengan menggunakkan
kedua tanganku. Tapi aku gagal menahannya dan malah terpental hingga menabrak
tembok akibat serangannya.
Kubuka mataku.
Hal pertama yang kulihat adalah batu-batu yang terlempar kearahku “(Gawat!) Open the Seal : Super Moonlight
Shard – Super Moonlight Speed.”
Aku takkan terjatuh kedalam trik yang sama untuk yang kedua
kalinya.
Dengan cepat, ku
berusaha bangun dan hendak akan menghindari batu-batu tersebut. Aku hanya
berhasil menghindari beberapa batu karena tubuhku yang masih terluka akibat
serangan sebelumnya. Beberapa batu yang tak berhasil kuhindari menggores
pundakku, kakiku dan juga pipiku. Tapi, aku tetap berusaha memanfaatkan momen
ini dengan menghampiri Seno. Saat aku hendak akan menyerangnya, tiba-tiba aku
tersandung. Lagi-lagi, kaki kananku terikat oleh batunya. Akibatnya aku
terjatuh dan pedangku terlepas dari genggamanku.
Seno
menghampiriku. Aku berusaha menyerangnya dengan pedangku, namun kedua tanganku diikat
oleh batu sesaat sebelum aku berhasil meraih pedangku. Dia berdiri di
sebelahku. Lalu berjongkok dan berbisik.
“Nah, sudah
kubilang bukan? Kalau gerakanmu terlalu mudah dibaca.”
Sementara Seno
dan aku sedang bertarung, Sindy memanfaatkan momen tersebut untuk mencari login
device miliknya yang sebelumnya terlempar dari tangan Seno. “Ketemu” Setelah
beberapa menit mencari, akhirnya ia menemukan login device miliknya. Untungnya,
tak ada satu batupun yang mengenai alat tersebut sehingga Sindy bisa
menggunakkannya lancar.
Setelah login,
Sindy langsung berbalik menghadapku dan Seno lalu menembak kearah batu yang
mengikat kaki dan tanganku “Open the Seal : Storm Bullet.” Peluru yang
ditembakkan oleh Sindy langsung teraliri dengan listrik. Batu-batu yang
tertembak oleh peluru tersebut mulai retak dan akhirnya hancur. Setelah itu,
Sindy menembak kearah Seno. Seno berusaha menepis peluru pistol tersebut dengan
sarung tangannya, namun saat ia sadari kalau peluru tersebut beraliran listrik,
Seno langsung melompat mundur dariku.
“Dimo apa kau
baik-baik saja?” Sindy menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya
kepadaku—mencoba membantuku untuk kembali berdiri. Kuterima uluran tangannya.
Meski sudah berhasil berdiri, aku merasa agak pusing sehingga harus berdiri
sambil berpegangan pada pedangku yang sudah kutancapkan ke lantai.
“Ya, kurasa aku
baik-baik saja.” Meski aku sudah berusaha untuk berbohong, aku tetap tidak bisa
berbohong kepada diriku sendiri. Mau bagaimanapun, kedua tanganku masih terasa
sakit akibat pukulannya tadi. Bahkan karena begitu kencangnya pukulan tadi,
lengan jaketku menjadi sobek. Lenganku juga penuh dengan luka baret dan ada
sedikit sobekan. Ditambah lagi, luka gores akibat tembakan batu-batunya tak
bisa dianggap enteng.
Melihat
tanganku, Sindy langsung menariknya dan melihat luka yang ada di tanganku
“Baik-baik apanya, tanganmu terluka parah. Dan lagi, lukamu ini—” Dia juga
menyadari luka gores yang ada di sekujur tubuhku.
“Tak apa, aku
masih bisa menahannya. Yang lebih penting, sekarang kau segeralah pergi ke
tempat Zaki dan Leila.” Aku sedikit menarik tanganku dengan perlahan lalu
berbalik menghadap Seno.
“Tapi—” Sebuah
batu terlempar kearah Sindy. Untungnya, batu tersebut berhasil kutepis.
Seno
menembakkan beberapa batu kearahku. Kutepis batu-batu tersebut dengan pedangku.
Aku menengok kebelakang. Sindy masih berada di belakangku. Alasan utama mengapa
aku ingin dia untuk pergi adalah, karena aku tak ingin dia melihat kakaknya
melakukan hal buruk kepadanya. Aku ingin dia tetap menyukai kakaknya apa adanya
seperti dulu.
Meskipun saat ini, aku begitu membenci Seno.
“Cepatlah!”
Setelah menaruh kembali pedangku kedalam sarungnya, kulepas jaketku lalu
melemparnya kesamping. Kutarik napas dalam-dalam lalu menarik pedang itu
kembali. Kutatap Seno dengan tajam, namun Seno hanya tertawa kecil lalu
menyeringai.
Sindy yang
awalnya keberatan dengan permintaanku, mulai menurut. Dia mengangguk lalu
berbalik. “Jangan kalah ya.” Setelah berkata seperti itu, Sindy akhirnya mulai
melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan ruangan.
Aku tersenyum
lalu berkata “Tentu saja.”
Tak lama
kemudian, Seno setengah mengangkat tangannya. Dia buka telapak tangannya yang
tertutupi dengan sarung tangan batu. Tak lama kemudian, muncul beberapa
tonjolan batu dari sarung tangan tersebut “Open the Seal : Craft – Stone Gun.” Dia
menembakkan batu dari sarung tangan itu. Batu-batu dengan ukurannya yang
beragam tertembak kearahku.
Aku terus
menepis setiap batu yang ia tembakkan kearahku. Kutepis batu tersebut sembari
berlari menuju kearah Seno. Kuayunkan pedangku sekuat tenaga. Namun Seno dengan
mudahnya menangkap pedang tersebut dengan sarung tangan batunya. Saat itu aku
berpikir kalau mungkin lagi-lagi Seno akan menangkap kakiku dengan batunya.
Karena itulah, aku memutuskan untuk menendangnya lalu melompat mundur. Setelah
mendarat, dengan cepat aku langsung melafalkan mantra Moonlight Shard lalu
melemparkannya kearahnya.
Seno berlari
menghindari setiap Moonlight Shard yang kulemparkan kearahnya. Saat
dihadapannya ada tembok, dia melompat kearah tembok tersebut dan
menggunakkannya untuk melompat balik dan menghindari setiap Moonlight Shard
milikku. Disaat dia melompat, dia memanfaatkan momen tersebut untuk menembakkan
Stone Bullet kearahku. Tentu saja, aku langsung berlari menuju sebuah sofa dan berlindung
dibaliknya.
“Open the Seal
: Super Moonlight Shard – Super Moonlight Speed.” Dengan menggunakkan Super
Moonlight Speed, aku berlari menuju tembok dimana Seno melompat sebelumnya dan
mencoba melakukan trik yang sama. Dari sudut pandangku, waktu seakan melambat.
Kalau diibaratkan, aku bagaikan seekor cheetah dan yang lainnya adalah siput.
Aku cepat, dan yang lainnya lambat.
Saat aku sudah
melompat di belakang Seno, aku ayunkan pedangku.
Namun, saat
kusadari, tiba-tiba sebuah tembok batu tercipta diantara aku dan Seno sehingga
tebasanku gagal mengenainya.
Super Moonlight
Speed milikku akhirnya habis dan semuanya bergerak seperti biasa. Akupun
terjatuh sementara Seno berhasil mendarat dengan sempurna. “(Sial, andai saja aku bisa menggunakkan
Moolight Speed sedikit lebih lama... )” Aku kembali berdiri. Napasku terasa
berat karena aku terus menggunakkan Moonlight Speed secara terus menerus. Meski
efektif, Moonlight Speed bagaikan pisau bermata dua. Karena itulah aku tak bisa
menggunakannya lebih dari 4 detik. Untuk Super Moonlight Speed, kemampuan
tubuhku hanya bisa selama 2 detik.
Seno menggaruk
rambutnya sembari menghela napas “Harus kubilang berapa kali? Gerakanmu itu
terlalu mudah dibaca.” Dia semakin sering mengatakan hal itu. Tentu saja,
semakin sering dia berkata seperti itu, semakin kesal diriku. Aku bahkan sudah
muak mendengar huruf pertama dari kata-kata itu.
Namun, dalam
kekesalanku itu, aku menyadari sesuatu “(Tunggu
dulu, mudah terbaca? Kalau begitu...)” Aku menatap Seno lalu menunjuknya
dengan pedangku sembari tersenyum “Open the Seal : Super Moonlight Shard –
Super Moonlight Speed.” Dengan cepat, aku bergerak. Namun, aku mengambil revolver
milikku sebelum aku bergerak ke belakang Seno. Kutembakkan revolver tersebut
sembari berlari ke belakangnya. Saat sudah di belakangnya, waktu pemakaian
Super Moonlight Speed-pun akhirnya habis sesuai dengan dugaanku.
Kuayunkan
pedangku, namun Seno berhasil menangkapnya dengan sarung tangan batu miliknya.
Seno tertawa
lalu berkata “Apa ini? Apa kau sudah seputus asa ini hingga akhirnya melakukan
hal yang sama dua kali?”
Aku membalas
tawanya lalu menyeringai “Benarkah?”
Bersamaan
dengan aku mengahiri kata-kataku, peluru yang kutembakkan akhirya mengenai
pundaknya. Akibatnya, diapun genggamannya melemah dan membuatku bisa lebih
mudah melawannya. “Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight Sword.” Ayunan
pedangku akhirnya berhasil mengenai dada Seno. Dia yang mulai merasakan bahaya
langsung membuat tembok batu dan melompat mundur.
Tak lama
setelah itu, tembok batu itupun terurai menjadi debu. Dibalik tembok tersebut,
terdapat Seno yang sedang menekan luka di punggungnya. Dia bahkan sama sekali
tidak memperdulikan luka di dadanya. Tak lama setelah itu, Seno menghela napas,
lalu kembali berdiri tegak “Begitu ya. Job ganda.”
Aku angkat
revolverku lalu mengarahkannya kearah Seno. “Ya, kau mungkin bisa memprediksi
gerakanku. Tapi, apakah kau bisa memprediksi banyak gerakan dari orang yang
sama secara bersamaan?”
Seno terdiam
sejenak. Lalu tertawa dengan wajah yang terdongkak keatas. Tawanya begitu keras
hingga tak kalah keras dengan suara gesekkan angin. Cara dia tertawa begitu
aneh, bahkan aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan keanehannya. “Ternyata
kau lebih unik dari yang kuduga.” Kata Seno sambil tertawa. Dia tertawa sembari
menutup matanya dengan tangan kirinya. Aku hanya terdiam. Sejujurnya, saat itu
aku tidak tahu mengapa dia begitu nampak puas.
Karena dia tak
berhenti tertawa, aku mulai melapisi pedangku dengan Moonlight Shard lalu
melemparkannya kearahnya. Seno tidak panik sedikitpun meski Moonlight Shard
terlempar kearahnya. Dia berhenti tertawa lalu mulai berjalan menghampiri
seranganku. Setelah cukup dekat, dia menahan Moonlight Shard yang totalnya ada
tujuh dengan sarung tangan batunya. Keduanya terus beradu. Cahaya berwarna
hijau yang cerah dan indah dengan batu cokelat yang keras dan juga kokoh. Dia
terus menahannya hingga Moonlight Shard milikku lenyap. Meski begitu, Moonlight
Shardku berhasil melukainya. Telapak tangannya terluka karena sarung tangan
batunya yang terus terkikis saat menahan Moonlight Shard milikku. Dia terdiam
sejenak menatap tangannya lalu berjongkok dan memperbarui sarung tangan batu
miliknya.
Aku tak berdiam
diri begitu saja. Kuberlari kearah Seno sambil menembaknya dengan revolverku.
Sementara itu, dia hanya berjalan santai kearahku sambil menepis
peluru-peluruku dengan sarung tangan batu miliknya. Kutembak dia hingga
peluruku habis. Ku isi ulang peluru revolverku, saat sudah cukup dekat dengan
Seno, kuarahkan revolver ini tepat dihadapan wajahnya. Saat kuhendak menembak
Seno, tangan kanannya mendorong keatas tangan kiriku yang menggenggam revolver sesaat sebelum aku sempat menarik pelatuk.
Tak kehabisan ide, saat Seno mendorong tangan kiriku, kubalik pedang di tangan
kananku lalu kuayunkan keatas sehingga mengenai dada kirinya hingga pundaknya.
Membalas
seranganku, dia menendang kakiku hingga membuatku terjatuh condong ke depan,
lalu memukul wajahku dengan tangan kirinya. Akibat pukulannya, aku terpental
kearah pintu masuk dan akhirnya menabrak tembok lorong.
Sebelum aku
berhasil kembali berdiri, Seno berlari kearahku lalu memukul perutku dengan
keras hingga membuat tembok di belakangku hancur. Akupun terpental memasukki
ruangan.
Aku terbatuk-batuk.
Kucoba menarik dan mengatur napasku. Aku mencoba merangkak dan berdiri dengan
bertumpu pada pedangku. Namun saat kusadari, Seno sudah tepat dihadapanku
sesaat sebelum aku sempat menancapkan pedangku sebagai tumpuan. Aku panik.
Tanpa pikir panjang, aku dengan cepatnya langsung melafalkan kemampuan Super
Moonlight Speed lalu pergi ke tembok berlubang yang tercipta tadi.
Seno berbalik
dan tertawa “Ternyata kau lebih unik dari yang kuduga. Pantas saja Sindy
menyukaimu.” Dia tetap tertawa dengan lepas meskipun aku sudah memberikannya
luka di bahunya. Seakan dia sama sekali tidak memperdulikan luka tersebut.
Ku menghela
napas pendek lalu berbalik menghadapnya “Hei, menurutmu Sindy itu apa?” Seno
berhenti tertawa setelah mendengar pertanyaanku. Dia memejamkan kedua matanya
lalu menatapku dengan tatapan kosong. Setelah sedikit menyeringai dia menjawab.
“Entahlah. Dia
memang mengaggapku sebagai kakaknya, namun aku sama sekali tidak merasakan
perasaan yang sama kepadanya.”
“Lalu?” Tanyaku
lagi.
Seno berjalan
mondar-mandir sembari bersedakep. “Dulu dia sama sekali tidak berbakat dalam
bermain game. Hampir setiap hari dia terus saja menggangguku.” Sesaat setelah
itu, dia terhenti dan menengok kearahku sembari menyeringai “Kuharap dia tak
pernah ada dan tak pernah menggangguku.”
Aku kembali
menghela napas panjang lalu menatapnya dengan tajam. Kuangkat pedangku lalu
menunjuknya “Jadi begitu jawabanmu....” Dengan cepat, tanpa Seno sadari, aku
yang sudah dilapisi dengan Moonlight Speed muncul dihadapannya sambil menebas
dadanya. Seno hanya menyeringai melihatku. Saat dia sadari luka tebasan di
dadanya, dia sedikit menggaruk belakang lehernya sambil melompat mundur ke
belakang.
Dia tertawa
“Ada apa? Apa kau mara—” Lagi-lagi, dengan kecepatan yang sama, aku bergerak
kearahnya. Tapi kali ini, Seno menyadari seranganku dan berhasil menahan dan
menepsinya dengan kedua tangan. Meski begitu, dia sempat sedikit terdorong
mundur akibat serangan itu. Aku tak berhenti begitu saja, ku terus menyerangnya
dengan tembakan peluru revolverku maupun tebasan pedangku. Aku terus
mengulanginya hingga akhirnya peluruku habis. Ada beberapa seranganku yang
mengenainya, ada juga yang berhasil di tepisnya.
Seno tertawa “Ahaha,
ternyata kau bisa menggunakkan kemampuan itu lebih dari 4 detik. Menarik.” Dia
menyeringai. Seringaiannya nampak begitu licik dan seram disaat yang bersamaan.
Seakan dia sama sekali tidak khawatir akan kondisinya dan sangat menikmati
pertarungan ini. Sementara aku hanya terdiam tak menanggapinya sama sekali.
Kuhentikan
seranganku. Kuatur kembali napasku. Aku sudah tidak tahu berapa lama aku telah
menggunakkan kemampuan ini. Meski kupaksakan sekalipun, ternyata aku masihlah
merasa sakit. Tulangku berderit, ototku terasa nyeri, napasku terasa sesak
bahkan aku tidak punya waktu untuk berpikir. Atau mungkin, pikiranku menjadi
kosong saat aku menggunakkan kemampuan ini.
Kurasa sudah cukup, aku tak bisa menggunakkan kekuatan ini
lebih lama lagi.
Saat aku hendak
mematikan kemampuan ini, sebuah batu terlempar dengan cepatnya kearahku. Aku
akhirnya batal menonaktifkannya demi menghindari batu tersebut. Batu yang
berhasil kuhindari tersebut menabrak lantai dan mengakibatkan debu dan asap
tersebar ke seluruh ruangan. Tapi keadaan tersebut tak berlangsung lama.
Batu-batu mulai muncul dari lantai dan juga tembok. Mereka melesat keluar
seakan dimuntahkan. Kutengok Seno dan saat itulah, aku tidak bisa mempercayai
apa yang kulihat.
Seno terus
menyerap batu yang ada di sekitarnya. Saat batu-batu itu berdekatan, mereka
akan menempel atau bersatu seperti puzzle. Batu-batu tersebut tidaklah besar
dan juga tidak kecil. Namun cukup besar untuk bisa menjadi satu kesatuan.
Batu-batu yang bersatu itupun menutupi tubuh Seno, sama seperti sarung tangan
batunya.
Sebelumnya, aku
sempat berpikir. Kalau masalah utama yang akan kuhadapi saat melawannya adalah
sarung tangan batu miliknya. Tapi ternyata, aku salah besar.
Batu-batu
tersebut menutupi tubuh Seno—melindunginya seperti sarung tangan batu miliknya.
Bagaikan kesatria abad pertengahan yang mengenakan pakaian besi untuk
melindungi dirinya dari serangan musuh. Sementara itu, aku hanya terdiam
membeku. Kedua mataku terbelalak, tenggorokanku terasa kering, tubuh yang
terdiam, pandangan yang beku. Dengan tubuh yang terasa sakit, aku sadar.
Kalau saat itu, aku melawan monster—tidak, lebih tepatnya,
hewan buas.
Seno melompat
kearahku. Dengan cepatnya, ia berada dihadapanku seakan dia sama sekali tidak
mengenakan pelindung batu itu. Dia bahkan bisa bergerak leluasa seakan
pelindung batu itu anggota tubuhnya sendiri.
Dia ayunkan
tangan kanannya. Sebuah ayunan penuh yang langsung ia hantamkan kearahku. Dengan
cekatan, ayunan tersebut langsung kutahan dengan pedangku. Namun, menahan serangannya
terasa berat. Menahan serangannya terasa seperti menahan sebuah misil yang
ditembakkan langsung dari jet tempur. Akibatnya, meski aku sudah mencoba—meski
aku menahannya dengan pedangku—meski aku menahannya dengan segenap tenaga, aku
akan tetap terlempar—terdorong dan terpental akibat serangannya.
Aku beruntung. Saat
aku terpental, aku sedang mengenakan kemampuan Moonlight Speed sehingga segala
sesuatu yang ada di sekitarku terasa lambat. Dengan cepat, kutancapkan pedangku
ke lantai. Kugenggam kencang-kencang pedang tersebut. Aku dan pedangku sempat
terseret beberapa meter sampai akhirnya aku terhenti. Sehingga aku berhasil
mendarat dengan aman tanpa menabrak tembok maupun benda di belakangku. Saat aku
berhenti bergerak, gerakan semua orang kembali berjalan dengan normal.
“(Apa itu tadi, serangannya begitu keras. Tadi
aku beruntung karena berhasil menahan serangannya. Entah apa yang akan terjadi
jika aku gagal.)” Pikirku sembari bertumpu pada pedangku, aku mencoba
kembali mengatur napasku. Salah satu aset penting dalam menggunakkan kemampuan
ini adalah pernapasan. Jika napasku tak beraturan, maka beban di tubuhku akibat
Moonlight Speed akan menjadi lebih besar.
Kulepas genggamanku
dari pedangku. Saat ini, senjata yang kupunya hanyalah pedang ini. Peluru
revolverku sudah habis, sehingga aku sudah tak bisa menggunakkan senjata itu
lagi. Melihat dari pengalamanku setelah dua kali melawannya, pedangku selalu
berakhir naas. Namun, entah bagaimana pedang pemberian dari Anita berhasil
menahan setiap pukulan dan serangan yang ada. Bahkan saat ini sama sekali tak
ada goresan sedikitpun di pedang ini.
Tapi, apa
pedang ini saja cukup? Aku terus menanyakan hal itu sejak aku mulai melawannya.
Ditambah lagi, saat ini tubuhnya benar-benar dilapisi oleh batu. Aku butuh
sesuatu. Sesuatu yang lebih kuat.
Aku butuh kekuatan.
“Ada apa? Apa
kau sudah kehilangan semangatmu? Kemana kemarahanmu pergi?” Tanya Seno. Aku
hanya diam. Aku enggan menjawab pertanyaannya. Namun kurasa, dia ada benarnya.
Aku mulai merasa kalau mungkin aku takkan bisa mengalahkannya.
Tapi dia salah
akan satu hal. Kemarahanku, masihlah sama. Karena itulah, akan kukalahkan dia.
Dengan seluruh kebencian ini.
“Open the Seal
: Super Moonlight Shard – Super Moonlight Speed.”
Cahaya yang
mengalir di tubuhku menjadi semakin terang benderang. Bagai bulan purnama yang
dengan terangnya menerangi di malam hari.
Cahaya berwarna biru terang ini terus bertambah terang seiring
berjalannya waktu. Namun, aku telah menggunakkan pisau bermata dua.
Aku sudah tidak
peduli lagi. Meski tubuhku hancur sekalipun. Meski kesadaranku menghilang.
Meski jiwakupun lenyap sekalipun, aku tidak peduli. Asalkan aku bisa
mengalahkannya, lalu menyelamatkan Anita. Aku akan mengerahkan segala yang
kupunya.
Seno hanya
tersenyum. Dia menatap tajam sembari tersenyum aneh. Mata ikan matinya menatap
lurus kearahku seakan dia tidak merasa terkejut sama sekali. Tak lama kemudian
dia berkata “Haha, oke.”
Seperti kilat,
aku melesat kearahnya. Kugenggam pedangku dengan kedua tangan, lalu kuayunkan
kearahnya. Kugunakkan bagian tumpul dari pedangku untuk memberikan efek bash kepadanya. Kupukul tubuhnya dengan
pedangku bagaikan pemukul bisbol yang memukul bola. Akibatnya, Seno terpental menabrak
tembok dibelakangnya. Tembok tersebut hancur bagaikan biskuit karena pelindung
batu yang dikenakan Seno.
Asap tersebar
memenuhi ruangan. Aku tidak bisa melihat hal lain selain asap berwarna cokelat
kehitaman. Bahkan begitu penuh hingga bisa membuatku ingin batuk setiap kali
aku bernapas. Batu-batu besar terlempar dari dalam asap dengan cepatnya kearahku.
Dengan mudah, kuhindari batu tersebut. Namun, batu yang dilemparkannya semakin
banyak dan terus bertambah banyak. Karena tak mau membuang waktu menghindari
batu-batu tersebut, akupun berlindung di balik tembok lorong. Batu-batu besar
itu terus ditembakkan kearahku tanpa henti. Hingga akhirnya tembok lorong
dimana aku berlindung sebelumnya hancur.
Dari balik
tembok yang hancur, Seno muncul. Dengan reflek, aku langsung menahan serangan
itu menggunakkan pedangku. Namun tetap saja. Sama seperti sebelumnya, aku tetap
terpental. Aku terpental hingga menembus kedua tembok di belakangku. Tembok
yang menghubungkan lorong dengan ruangan dimana Sindy ditahan sebelumnya, dan
juga tembok luar.
Aku terpental
keluar.
Gesekan angin terdengar
begitu jelas menggesek tubuhku. Suaranya begitu kencang. Rambut dan pakaianku
tertiup angin begitu kencang hingga berkibar seperti bendera. Langit biru yang
mulai menguning kemerahan terbentang luas sepanjang mata memandang. Aku
menengok. Memandang sang mentari cerah yang mulai turun dari langit.
“(Sial, takkan kubiarkan berakhir seperti ini.)”
Untung saat itu aku masih menggunakkan Super Moonlight Speed. Sehingga aku bisa
membuat area di sekitarku menjadi terasa begitu lambat. Begitu lambatnya hingga
aku bisa melompat dari satu puing ke puing-puing lainnya tanpa takut terjatuh
akibat ditarik oleh grafitasi. Aku bahkan bisa berlari dengan santainya di
tubuh gedung tanpa takut terjatuh.
Namun, aku tak
punya waktu untuk itu. Aku langsung memasukki kembali ruangan tempat Sindy
ditahan. Tapi, aku tidak bisa menemukan Seno. Aku sudah berkeliling area
tersebut, namun aku tidak bisa menemukannya. Yang aku temukan hanyalah sebuah
lubang kecil di lantai yang nampaknya muat untuk seseorang.
Tunggu dulu, sebuah lubang?
Dengan penuh
waspada, aku mencoba berbalik. Namun sudah terlambat.
Seno memukulku
dengan telak. Dia memukul perutku ke lantai hingga membuat lantai menjadi
hancur. Aku terlempar jatuh.
Saat aku
sadari, aku berada di sebuah aula besar yang nampak kosong tanpa ada satupun
barang maupun orang. Aula ini begitu luas, bahkan nampaknya bisa menampung
ratusan orang sekaligus. Tapi sekarang bukanlah saatnya untuk terpesona dengan
aula ini.
Aku mencoba
bangun dengan bertumpu pada pedangku. Perutku terasa begitu sakit. Pukulan tadi
begitu kencang. Aku menengok keatas—melihat langit-langit plafon yang berlubang
akibat pukulan tadi. Bisa dibilang, saat ini aku berada di lantai yang sama
dengan Sindy, Leila, Zaki dan Divisi 7.
Kunonaktifkan
skill Super Moonlight Speed. Kutengok segala arah. Menatap setiap sudut aula
yang kosong. Di ujung pojok ruangan, terdapat sebuah pintu keluar. Aku pergi
menghampiri pintu tersebut dengan tujuan untuk kembali ke lantai atas. Tapi, saat
aku hendak akan membuka kenop pintu keluar, aku mendengar sebuah suara benda
hancur. Lalu kusadari kalau mulai muncul bayangan di area sekitarku. Bayangan
tersebut semakin melebar seakan benda dimana bayangan itu berasal semakin
mendekat.
Aku semakin
curiga. Sesuai dari sumber suara tadi berasal, aku menengok keatas. Kulihat sebuah
bongkahan batu yang begitu besar terbang kearahku. Bongkahan batu tersebut
jatuh dari atas—dari lantai atas kearahku dengan begitu cepat. Tentu saja, aku
langsung menghindari batu tersebut dengan Super Moonlight Speed. Aku memang
berhasil menghindar, tapi sekarang batu besar tersebut menghantam lantai dai
menghalangi satu-satunya pintu keluar. Debu dan asap bertebaran dimana-mana.
Tak butuh waktu lama sampai debu dan asap yang berasal dari hancurnya lantai tersebut
menghilang.
Kucoba
menghancurkan batu tersebut dengan pedangku, namun ketebalan dan kerasnya batu
itu sama dengan pelindung yang dipakai Seno.
Tak lama
setelah itu, batu-batu berukuran kecil hingga sedang mulai ditembakkan dari
lantai atas. Batu-batu tersebut terus ditembakkan mengikuti langkah kakiku. Aku
terus menghindari batu-batu tersebut dengan menggunakkan Super Moonlight Speed,
namun nampaknya penembakkan batu-batu tersebut tak kunjung berhenti. Bahkan batu-batu
itu membuat plafon berlubang-lubang seperti sarang lebah. Tapi, saat aku sudah
hampir mencapai ujung aula, penembakannya terhenti seketika. Disaat yang sama,
muncul suara tembok hancur dari belakangku. Tembok yang hancur tersebut adalah
tembok plafon.
Saat mendengar
saura tersebut, aku langsung refleks berbalik lalu menahan pukulan Seno dengan
pedangku. Pukulan kali ini lebih keras dari sebelumnya. Menahan pukulannya
terasa seperti menahan torpedo yang ditembakkan langsung dari kapal perang.
Lagi-lagi, aku gagal menahan serangannya. Pedangku yang masih dilapisi oleh
Super Moonlight Speed terpental kebelakang akibat pukulannya. Pedang tersebut
terpental dengan sangat cepat hingga aku sama sekali tak sempat melihat kearah
mana pedang tersebut terlempar.
“(Gawat—)”
Aku langsung
menggunakkan Super Moonlight Speed untuk menjauhinya. Aku pergi ke tengah aula
lalu menengok kesana kemari—mencari pedangku. Saat kutengok kebelakang,
pedangku ternyata tertancap di batu besar yang menghalangi pintu. Dengan cepat,
aku langsung menghampiri batu tersebut lalu hendak menarik pedangku. Aku
terhenti. Saat itu aku tersadar, bahwa sebelumnya aku sama sekali tidak bisa
menghancukan batu tersebut, bahkan memberikan goresan besar saja aku tak bisa.
Namun saat ini, di hadapanku ini, pedangku sedang tertancap di batu tersebut
dengan cukup dalam. Mungkin cukup dalam untuk bisa menembus pelindung batu
milik Seno.
Tapi,
bagaimana? Bagaimana mungkin pedangku yang terlempar dengan cepatnya bisa
berakhir seperti ini?
Tunggu dulu,
dengan cepatnya.... Mungkinkah.....
“Ada apa?
Kenapa kau terdiam seperti itu, Dimo? Apa kau sedang merencanakan sesuatu?”
Teguran dari Seno yang menggema ke seluruh ruangan berhasil membangunkanku dari
lamunan panjang. Aku tersenyum lalu menarik pedangku.
“Ya, semacam
itulah.” Balasku dengan santainya. Aku mulai mencoba merenggangkan tubuhku dan
mengambil sedikit pemanasan. Seno merasa curiga dengan apa yang aku lakukan,
dia mulai kembali menembakikku dengan batu-batu yang keluar dari sarung tangannya.
Aku menghindari tembakannya dengan berlari memanjat batu besar di belakangku.
“Hei, apa kau masih ingat taruhan kita saat kau menculik Anita?”
“Ya, aku masih
ingat.” Jawab Seno.
Aku tertawa
lalu menyeringai “ Baguslah kalau kau masih ingat. Karena saat ini, aku
mengajakmu bertanding ulang.”
Seno ikut
tertawa “Hoo, boleh juga. Aku terima taruhanmu.” Karena wajahnya tertutup oleh
topeng batu, aku tak tahu ekspresi seperti apa yang sedang dikeluarkannya saat
ini, tapi aku sangat yakin, kalau dia sedang menyeringai dengan begitu puas.
“Kalau begitu,
aku mulai.” Kugenggam pedangku dengan kedua tanganku. Kuaktifkan skill Super
Moonlight Speed. Dengan cahaya Moonlight Shard yang perlahan mulai menyebar ke
seluruh tubhku, aku menghela napas. Kuangkat pedangku yang sedikit demi sedikit
mulai dialiri oleh Moonlight Shard. Cahaya birunya berubah menjadi hijau dengan
seketika setelah menyentuh permata hijau yang ada di pedang. Aku sedikit
menyeringai lalu mulai melangkahkan kakiku.
Kilatan ekor
cahaya berwarna biru muncul dari pakaianku. Semakin cepat aku bergerak, semakin
terang kilatan ekor cahaya tersebut. Gesekan angin terasa begitu kencang. Lebih
kencang dibandingkan saat aku terjun dari gedung Bum Corp. bersama Leila.
Suaranya memekakkan telinga, membuatku tak bisa mendengar apapun selain suara
gesekan angin. Aku bahkan tidak bisa mendengar suara langkah kakiku sendiri
maupun suara napasku. Aku bisa melihat dengan jelas debu dan kerikil yang
tergeser dan terdorong saat aku berlari. Kulihat Seno yang berdiri sambil
mengangkat tangan kanannya dengan lambat. Aku menengok tanganku. Kugenggam
dengan erat pedangku. Kuarahkan pedangku ke depan. Cahaya hijaunya yang terang
seperti bulan menciptakan efek cahaya di belakangnya. Cahaya hijau tersebut
bagaikan ekor pedangku.
Bagaikan melukis di udara.
Hembusan angin
tertiup dengan kencangnya dariku dan Seno. Meniup setiap debu, kerikil dan
bebatuan kecil yang ada di sekitar kami. Cahaya. Cahaya akibat sebuah luka di
tubuh mulai nampak. Aku hanya terdiam. Aula terasa begitu kosong. Seakan kami
berdua sama sekali tak berada di dalamnya.
Seno
menengok—menunduk. Dia menghela napas lalu tertawa. “Akhirnya. Sudah kubilang
bukan, kau terlalu mudah ditebak.” Dia hanya menatap lurus. Menatap sebuah
pedang bercahaya kehijauan yang tembus menusuk pelindung batunya dan juga
tubuhnya.
Perlahan,
pelindung batunya mulai terurai. Begitu juga sarung tangannya. Dia tak
memberikan perlawanan sama sekali. Dia hanya tertawa.
Kutarik
pedangku dari dalam perutnya. Lalu berjalan mundur dengan perlahan. Seno
memejamkan kedua matanya, mendongkak keatas. Dia menarik napas dalam-dalam,
lalu menjatuhkan dirinya ke belakang. “Kurasa, sudah game over untukku.” Perlahan, cahaya di luka perutnya mulai
tersebar dimana-mana. Cahaya tersebut lalu berubah menjadi butiran-butiran
cahaya kecil yang terbang terbawa angin.
“Ya, kau sudah
berakhir.” Aku menjawab sambil menyarungkan pedangku dan menonaktifkan Super
Moonlight Speedku. Tak lama setelah itu, aku mulai merasakan sakit kepala yang
amat sangat. Akibatnya, aku terjatuh sesaat sebelum aku sempat melangkah menuju
pintu keluar. Penglihatanku mulai berkabur dan tubuhku terasa lemas.
Kemungkinan, ini adalah efek samping dari mengggunakkan Super Moonlight Speed
dalam waktu yang lama. Aku duduk bersandar di tembok untuk beristirahat.
Untungnya, rasa sakit itu tak bertahan lama.
“Bagaimana kau
bisa menembus pelindung batuku?” Tanya
Seno.
“E = mc2. Aku mendapatkan ide ini saat melihat pedangku yang
tertancap di batu besar itu.” Aku menunjuk batu besar yang menghalangi pintu
keluar “Hal itu mengingatkanku dengan manhwa yang dulu pernah kubaca. Tokoh
utama dari manhwa tersebut memakai trik yang sama dengan yang kugunakkan saat
ini.”
Seno tertawa
geli “Aku sama sekali tidak menduga akan kalah dari seseorang yang mengambil
refrensi dari sebuah buku komik.” Lalu menghela napas. Tak lama setelah itu,
tiba-tiba batu besar yang menghalangi pintu keluar mulai terurai dan lenyap.
“Cepatlah pergi, teman-temanmu dan juga cewek berambut putih itu menunggumu bukan?”
Aku hanya
terdiam. Setelah apa yang telah dia lakukan ke teman-temanku, kurasa aku sama
sekali tak bisa berterima kasih kepada orang ini. Tetapi tetap saja, kenyataan
kalau dia adalah seseorang yang dianggap kakak oleh Sinddy takkan berubah.
Karena itulah, untuk kali ini saja aku akan mengatakannya.
“Terima kasih.”
Dengan lemasnya, Sindy menengok kearah sumber suara tersebut. Suara kencang yang terus terdengar sejak ia terbangun dari tidur lelapnya. “Sial, sial....” Zaki terus memukuli pintu besi tersebut tanpa memperdulikan kondisi tangannya yang sudah mulai lecet bahkan berdarah. Dia terus memukuli pintu tersebut dengan berharap pintu tersebut akan terbuka.
~BERSAMBUNG~
No comments:
Post a Comment