Yak, akhirnya kita sampai ke titik ini, yaitu chapter terakhir?. Kemungkinan ini adalah terakhir kalinya gw bakal nulis novel ini dalam sudut pandang yang gak jelas ini. Jadi mulai minggu depan gw bakal hiatus dulu.
Aku mencoba
berdiri dengan berpegangan pada tembok di belakangku. Aku berjalan melewati
Seno tanpa berkata apa-apa. Saat merasa sudah cukup kuat, aku mulai berlari
menuju ke pintu keluar.
Sementara itu,
Seno hanya terbaring. Dengan tiap organ tubuhnya yang perlahan demi perlahan
mulai berubah menjadi butiran-butiran cahaya. Dia tatap plafon dihadapannya.
Plafon berwarna putih yang penuh dengan lubang. Saat itu ia pejamkan kedua
matanya. Entah apa yang saat itu ia pikirkan.
***
Sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu.
“Hei.”
“Hei...!”
Seno mendengar
suara seorang perempuan. Suara tersebut begitu dekat namun dia sama sekali
tidak memperdulikannya dan terus bermain sebuah permainan di smartphone
miliknya.
Saat itu adalah
hari yang cerah. Sangat cerah dengan awan tipis dan cuaca yang bersahabat.
Mentari bersinar dengan terang, langit biru cerah membentang dan angin
berhembus sepoi-sepoi. Dibawah naungan sebuah pohon, Seno berbaring di sebuah
kursi. Sebuah kursi kayu yang sedikit berlumut ditelan jaman, namun masih
menjaga bentuk aslinya. Sesekali daun dari pohon yang menaunginya berguguran.
Daun yang berguguran itu langsung tertiup dibawa angin dan terbang entah
kemana.
Seno bersyukur
karena saat itu taman tidak terlalu ramai sehingga dia bisa bermain dengan tenang.
Saking tenangnya, Seno bisa mendengar dengan jelas suara seorang petugas
kebersihan yang sedang menyapu dedaunan dengan sapu lidi. Namun, meski begitu,
sejak tadi ada sebuah suara. Sebuah suara yang terus mengganggunya. Meski
mengganggu, Seno terlalu fokus dengan apa yang sedang ia mainkan dan terus
mengabaikan perempuan itu.
Ya, begitulah.
Sampai akhirnya
perempuan itu menarik smartphone milik Seno dan berhasil mengambilnya. Sontak,
Seno langsung bangun dari kursi tersebut. Dia duduk dengan kaki yang
berselonjor. Setelah itu, dia menengok kearah perempuan itu. Seorang perempuan
yang mengenakkan seragam SMP yang masih nampak baru. Dia bahkan masih memakai
tas dan itu menandakan kalau dia baru saja pulang dari sekolah. Perempuan itu
memiliki rambut hitam panjang yang dikuncir. Ekspresinya nampak sedikit datar
juga nampak kesal. Menurut Seno, untuk seukuran anak SMP, perempuan itu nampak
cukup dewasa. Dia menggenggam smartphone Seno, membuat Seno mau tidak mau harus
berhadapan dengannya. Perempuan itu menatap Seno seakan Seno adalah musuh
abadinya. Tatapan itu begitu tajam hingga Seno sendiri tak mengerti kesalahan
seperti apa yang membuat perempuan itu marah kepadanya.
Namun, bukannya
bertanya, itu malah menjadi momen hening bagi mereka berdua. Merasa canggung,
Seno mulai membuka mulut lalu bertanya “Anu, ada apa ya?”
“Geser.” Jawab
perempuan tersebut.
“Hah?” Seno
sama sekali tidak mengerti maksud dari perempuan itu. Diapun bertanya balik
dengan penuh kebingungan.
“Kursi itu—”
Perempuan itu memejamkan kedua matanya lalu bergeleng-geleng. Setelah itu, dia
buka kembali matanya dan mulai mengoreksi kata-katanya “Aku biasa duduk di
kursi itu, jadi bisakah kau geser sedikit?”
“Mmm...
Baiklah. Tapi bisakah kau kembalikan terlebih dahulu smartphone milikku?” Seno
ulurkan tangannya kearah perempuan itu dengan harapan kalau dia mau
mengembalikkan smartphone milik Seno. Perempuan itupun mengangguk lalu
mengembalikkan smartphone tersebut.
Setelah
menerima smartphonenya kembali, Seno berhenti duduk dengan kaki berselonjor.
Dia duduk seperti biasa sambil bersandar di kursi. Sementara perempuan itu
berjalan melewati Seno lalu duduk di sampingnya. Tak lama kemudian, perempuan
itu membuka rel sleting tasnya dan mengambil smartphone miliknya. Saat ia
hendak akan membuka smartphonenya, dia tak sengaja melihat permainan yang
sedang dimainkan di smartphone milik Seno.
“Itu, bukankah
itu Grand Rude Galaxy?” Perempuan itu langsung mendongkak kearah Seno. Seno
yang terkejut sekaligus merasa risi, langsung memundurkan wajahnya.
“Y,Ya.
Memangnya kenapa? (Apa-apan dia, kenapa
tingkahnya berbeda dengan sebelumnya?)” Seno sedikit tertawa lalu
menunjukkan layar smartphonenya kepada perempuan itu sambil menunjuk layar.
”Aku juga
memainkannya. Mau bermain bersama?” Tanya perempuan itu dengan penuh antusias
sambil menunjukkan karakter permainan Grand Rude Galaxy miliknya. Seno setuju
lalu merekapun bertukar smartphone untuk melihat status karakter masing-masing.
“(Sisin... nama karakter yang cukup aneh.)”
Setelah melihat-lihat selama beberapa menit, Seno menyadari bahwa karakter
milik perempuan itu sangatlah payah. Itemnya, berantakan. Skill Treenya tidak
merata. Bahkan dia selalu kalah di menit-menit awal permainan. Seno hampir
tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Saat itu dia sempat berpikir, kalau
perempuan itu sama sekali tidak mempunyai bakat dalam bermain game.
Seno melirik
kearah perempuan itu. Dilihat dari ekspresinya saat melihat karakter milik
Seno, perempuan itu nampak begitu takjub dan juga bersemangat. Wajahnya jadi
nampak cerah dan penuh senyuman, sangat berbeda dibandingkan sebelumnya.
Melihat
ekspresi itu membuat Seno merasa agak bersalah. Dia mencoba meyakinkan diri
untuk tidak menilai buku dari sampulnya. Karena itulah dia setuju untuk bermain
bersama sebagai tim. Mereka megembalikan smartphone mereka masing-masing, dan
mulai bermain.
Tapi
hasilnya...
“(Ternyata beneran payah....)” Seno
mencoba memaksakan senyumannya saat melihat tim mereka yang dikalahkan dalam
beberapa menit akibat kecerobohan perempuan itu. Tapi, perempuan itu nampak
biasa saja dan tidak kesal maupun sedih. Dia bahkan nampak lebih semangat dari
sebelumnya. Seno menghela napas “Maaf jika ini tidak sopan. Tapi akan kukatakan
sejujurnya.”
Perempuan itu
menengok sambil tersenyum polos.
“Kau sama
sekali tidak memiliki bakat dalam bermain game. Jika terus seperti ini, kau
hanya akan menjadi punching bag bagi
pemain-pemain lainnya.” Seno tertunduk sambil menggaruk belakang rambutnya. Dia
sadar betul kalau yang dia katakan saat itu sangatlah tidak sopan. Padahal
mereka baru saja bertemu, Seno bahkan tidak mengetahui nama perempuan itu. Tapi
menurutnya, jujur kepadanya lebih baik dari pada hanya diam.
“Aku sudah
tahu.” Jawab perempuan itu dengan santainya. Jawabannya yang begitu simpel
membuat Seno mengangkat wajahnya kembali. Jawaban seperti ini tidak Seno duga
sama sekali.
“Lalu, kenapa
kau—”
“Karena bermain
game itu menyenangkan.” Perempuan itu tersenyum lebar. Senyumnya begitu tulus
dan diisi dengan kejujuran. Beberapa patah kata itu telah membuat mata Seno
terbelalak. Dia tak bisa berkata-kata untuk itu dan hanya bisa membalas
senyumannya. Perlahan, Seno mengangkat tangan kanannya kearah perempuan
tersebut.
“Oh ya, kita
belum pernah berkenalan sebelumnya. Namaku Seno Ardiantoro. Namamu?” Seno
mengulurkan tangannya. Berharap perempuan itu mau dengan senang hati membalas
jabatan serta pertanyaannya.
Perempuan itu
kembali tersenyum sambil membalas jabat tangan Seno. Dia tersenyum manis sambil
menatap lurus Seno.
“Namaku, Sindy
Adhelani. Senang berkenalan denganmu, Kak Seno.”
***
Hampir setahun
telah berlalu sejak hari itu. Mereka selalu menikmati saat-saat yang ada. Hampir
setiap hari mereka bermain dan menghabiskan waktu bersama. Menjalin sebuah
kebersamaan yang bermula dari sebuah kebetulan. Sebuah kebetulan yang
mempertemukan mereka berdua telah mengubah takdir antara keduanya.
Si Payah yang
perlahan semakin mahir dengan seiring berjalannya waktu.
Dan Si
Penyendiri yang semakin mengerti apa artinya sebuah kebersamaan.
Perlahan
hubungan mereka semakin berubah. Dari sebuah pertemanan, menjadi sebuah
hubungan yang mirip seperti kakak dan adik. Namun, apakah benar begitu?
Suatu malam.
Sehari sebelum Seno terbang ke luar negeri untuk menghadiri final sebuah
E-Games.
“Jadi, ada apa?
Kau tiba-tiba mengirim pesan kepadaku untuk datang ke taman selarut ini?” Seno
berjalan menghampiri Sindy sambil menunjukkan sebuah pesan di smartphonenya.
Sindy yang awalnya sedang duduk bermain smartphone langsung berdiri dan
menghampiri Seno saat mendengar pertanyaannya.
“Anu, maaf.
Nampaknya besok pagi aku takkan bisa ikut mengantar kakak ke bandara. Karena besok
aku ada ujian sekolah.” Kata Sindy dengan lesunya sembari tertunduk membuang
muka.
“Tak perlu
dipikirkan. Saat ini, kau fokus saja mengerjakan ujian itu.” Seno mencoba
menghibur Sindy dengan tersenyum dan menepuk pundaknya, namun Sindy hanya
mengangguk dan masih nampak murung seperti sebelumnya. Karena tak ada
perkembangan sama sekali, Seno ikut membuang wajahnya. Dia mencoba mencari cara
lain untuk menghibur Sindy. Dia kembali menatap Sindy lalu berkata “Po-pokoknya, bagaimana jika
kita bermain bersama lagi untuk terakhir kalinya sebelum aku pergi?” Seno
mengangkat smartphonenya sambil tersenyum lebar dan tulus.
Sindy menoleh.
Matanya agak berbinar-binar dan wajahnya lebih cerah dibandingkan sebelumnya.
Sindy mengangguk dengan semangat lalu langsung menangkap tangan Seno dan menariknya
menuju ke kursi.
Mereka akhirnya
hampir menghabiskan waktu semalaman bermain game di smartphone mereka. Meski
tidak lama, namun itu adalah momen-momen yang tak terlupakan bagi mereka
berdua.
Namun saat itu, mereka sama sekali tidak tahu keputusasaan
macam apa yang akan hadir di hidup mereka.
***
Keesokan
harinya.
Sepulang dari
sekolah, Sindy langsung bergegas pulang ke rumahnya. Dia langsung masuk ke
kamar dan berbaring dikasur. Dia sudah tak sabar ingin mendengar berita dari
Seno. Dia bahkan sampai lupa mengganti bajunya. Jantungnya berdegup kencang.
Dengan harapan dan perasaan tak sabar yang begitu tinggi, dia menunggu.
Sebelumnya mereka berjanji, kalau mereka akan tetap menghubungi satu sama lain
melalui surel.
Karena itulah,
Sindy begitu yakin kalau Seno pasti sudah mengirim surel kepada Sindy kalau
Seno pesawatnya sudah mendarat di bandara. Karena sudah lebih dari lima jam
berlalu sejak pesawat Seno lepas landas.
Dengan cepat,
Sindy langsung menyalakan laptopnya. Dia buka e-mailnya dengan penuh harapan.
Dia begitu berharap kalau surel pertama yang ia baca di e-mailnya adalah pesan
dari Seno.
Namun,
harapannya sirna seketika. Harapannya langsung menghilang tanpa jejak.
Harapannya langsung berubah menjadi keputusasaan. Karena kedua hal itu,
bagaikan dua sisi koin yang sama. Sindy menatap email kosong. Kosong tanpa ada
satupun pesan. Saat itu dia bertanya-tanya, kenapa Seno tak mengirimnya pesan.
Dia mencoba mencari tahu dengan mengirim Seno sebuah surel dan berharap
mendapat balasan dari surel tersebut.
***
Esok harinya.
Pagi hari.
Saat itu
masihlah pagi. Bahkan kedua orang tuanya masih tertidur. Entah karena terlalu
bersemangat atau apa, Sindy malah terbangun. Dia begitu tak sabar melihat
balasan dari Seno atas surelnya.
Namun, sama
sekali tak ada balasan.
Sindy tetap
mencoba berpikir positif. Dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berpikir
kalau Seno mungkin sedang sibuk hingga ia tak sempat membuka emailnya. Saat itu
juga dia berpikir, karena sudah terlanjur bangun, kenapa dia tak mandi lalu
bersiap ke sekolah.
Seusai mandi.
Setelah selesai memakai seragam, Sindy pergi ke ruang keluarga. Setelah melihat
televisi yang masih menyala, Sindy teringat kalau sebelum mandi ia sempat
menonton tv sebentar. Karena tak ingin membuang-buang listrik dan karena
tagihan listrik itu mahal, Sindy mencari remot dan berniat untuk mematikan tv.
Disaat dia hendak berniat untuk mematikan televisi, saat itulah ia melihat
berita itu.
Di layar
televisi tersebut, terdapat sebuah berita. Sebuah berita yang sama sekali tak
diharapkan keberadaannya. Berita yang sama sekali tak bersahabat. Matanya
terbelalak, tubuhnya membeku, pikirannya kosong dan remote yang sebelumnya ia
genggam erat-erat di tangan kanannya terjatuh beriringan dengan ia yang
lemasnya menjatuhkan tangan kanan. Sindy mencoba untuk tidak mempercayai setiap
tulisan—setiap kata—setiap huruf yang tertera di berita itu. Namun ia tak bisa
lari dari kenyataan. Dia menelan ludahnya dan mulai membaca judul berita
tersebut.
“Insiden
E-Games! Pesawat yang Mengantar Peserta-Peserta E-Games Akhirnya Ditemukan Dalam
Kondisi Naas Di Tengah Laut.”
Dengan lemasnya,
ia menjatuhkan lututnya. Wajahnya tertunduk. Dia mencoba menutup matanya dan
berharap kalau itu hanyalah mimpi. Namun tidak bisa. Air matanya menetes.
Setetes, dua tetes, tiga tetes dan terus menetes tanpa Sindy sadari. Tiap
tetesan air matanya terdapat sebuah rasa sakit yang amat sangat. Rasa sakit
yang dia rasakan dari titik paling dalam dari hatinya.
Hari itu, Seno
Ardiantoro, 19 tahun, ditemukan meninggal.
***
Masa Kini
Seno kembali
membuka matanya. Tanpa ia sadari, hampir seluruh bagian tubuhnya telah berubah
menjadi butiran-butiran cahaya. Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam
lautan kenangan. Namun saat itu, dia menatap lurus. Tersenyum dan berkata.
“Aku bersyukur
bisa bertemu kembali denganmu, Sindy.”
“Dan lagi, aku
senang akhirnya kau menemukan seseorang yang benar-benar kau sukai dari lubuk
hatimu. Meskipun itu, benar-benar membuat kakakmu ini merasa patah hati.”
***
Beberapa saat
yang lalu.
Sindy terus
berlari melewati lorong-lorong koridor berwarna putih. Mencari ruangan dimana
Zaki dan yang lainnya berada. Sudah beberapa menit berlalu sejak dia pergi
menuruni tangga, namun dia tetap tak bisa menemukan ruangan tersebut. Ditambah
lagi, dia sama sekali tak punya earphone ataupun alat untuk berkomunikasi
dengan Adi maupun yang lainnya.
Kalau video
yang ditunjukkan laptop itu benar, maka seharusnya sudah terdapat banyak
monster di setiap lorong yang dilaluinya. Berbeda dengan fakta yang ada. Sejak
dia turun ke lantai bawah, dia tak menemukan satupun monster. Yang ada hanyalah
koridor kosong nan sepi.
Tiba-tiba,
terdengar suara ledakan dan suara puing-puing yang runtuh atau jatuh. Suara
tersebut begitu kencang hingga hampir menggema di lorong koridor. Tanpa pikir
panjang, Sindy langsung berlari menuju ke sumber suara. Dia menelan ludah,
menarik napas lalu mulai melangkahkan kakinya. Dia terus berlari dan terus
berlari menuju ke sumber suara. Dia terus berlari meski dia tak tahu pasti
dimana tepatnya sumber suara tersebut.
Namun akhirnya,
dia sampai.
“Apa ini...?”
Dihadapannya, terpampang sebuah aula dengan kondisi yang mengenaskan. Perlahan
dia berjalan—selangkah demi selangkah masuk. Langit-langit bolong, bongkahan
batu terbentang di mana-mana—ada yang hancur ada pula yang tertancap di lantai,
lalu ada tumpukan batu di dekat pintu. Di tumpukan batu tersebut, membekas
sebuah goresan besar. Goresan yang cukup besar. Dilihat dari ukurannya, tak
mungkin pisau dapat mengasilkan goresan seperti ini. Sindy mendekati tumpukan
batu itu dan berjongkok lalu mengusap goresan tersebut “(Tidak salah lagi, ini adalah goresan pedang.)”
Dia kembali
berdiri lalu menengok kesana kemari. Anehnya, tak ada satupun bekas goresan
lain di aula selain goresan yang ada di tumpukan batu. Sindy semakin berjalan
memasuki aula tersebut. Entah mengapa, ia merasa kalau ada sesuatu yang
memanggilnya. Dia terus melangkah seakan perasaannya memanggilnya ke ujung
aula. Namun, di tempat itu tak ada siapa-siapa. Dia sendirian. Saat dia
menengok kesana kemari, ada sebuah batu
kerikil yang jatuh dari atas. Sontak, Sindy langsung menengok keatas mengikuti
arah jatuhnya kerikil tersebut. Diatasnya, terdapat sebuah lubang yang sangat
besar. Cukup besar untuk bisa dimasuki oleh seseorang.
Saat ia hendak
pergi, dia menyadari kalau dia tak sengaja menginjak sebuah sobekan kain.
Sebuah sobekan kain berwarna hitam dengan sebuah motif garis berwarna abu-abu.
Kedua matanya
terbelalak saat dia menyadari kain milik siapa itu.
Sindy
berjongkok lalu mengambil kain tersebut. Setelah diambil, Sindy kembali berdiri
lalu menatap dalam kain itu “Kain ini...” Tepat saat Sindy mulai berdiri dan
menggenggamnya, kain tersebut mulai berubah menjadi butiran-butiran cahaya.
Butiran-butiran cahaya tersebut terbang terbawa angin. Sindy menengok—menatap
setiap butiran-butiran cahaya yang perlahan semakin lenyap tersebut.
“Kakak....” Perasaannya bercampur aduk. Dia tak tahu harus bersedih atas
kehilangan Seno untuk yang kedua kalinya atau senang atas kemenanganku. Dia
hanya bisa tertunduk—mencengkram pakaiannya dan memejamkan kedua matanya.
“Hoo, aku
kemari setelah mendengar suara ledakan. Tapi aku tak menduga kalau aku akan menemui
seseorang di sini.” Mendengar suara seseorang, wajah Sindy langsung terangkat
dan mengarahkan pistolnya kearah sumber suara. Suara langkah kakinya yang
menggema di seluruh aula terdengar dengan jelas. Seorang lelaki dengan
berpakaian rapih nan serba hitam. Rambutnya yang keemasan dan jasnya yang
nampak seperti baru. Tatapan matanya nampak tenang dan terkesan bosan. Tapi
juga, nampak kejam dan haus akan hiburan.
“Siapa kau?”
Tanya Sindy dengan tegas.
Dent
menyeringai sembari menatap Sindy dengan tajam. Lalu ia berpose dengan tangan
kanan di depan dan tangan kiri yang di sembunyikan di belakang. Posenya nampak
seperti seorang bangsawan di film-film hollywood yang sedang mengenalkan diri
“Namaku adalah Dent. Aku adalah salah satu dari kelima petinggi. Senang
berkenalan denganmu, nona.”
“Petinggi?!
Jadi kau sama seperti Kak Seno.” Sindy semakin waspada. Perlahan, dia melangkah
mundur menjauhi Dent.
“Kak?” Dent
tertegun. Tak lama setelahnya, dia melihat sebuah bola cahaya kecil yang
terbang mendekatinya lalu lenyap. “Jadi begitu, aku mengerti. Jadi Seno sudah
kalah.” Dent pejamkan matanya lalu merapihkan jasnya. Nada bicaranya begitu
datar seakan dia sama sekali tidak merasa terkejut maupun kesal atas kekalahan
Seno. “Apakah kau yang sudah mengalahkannya, nona?” Tanyanya sambil membuka
kembali matanya.
“Aku—” Saat
Sindy akan menjawab pertanyaan Seno, tiba-tiba sebuah kilatan cahaya terlempar
kearahnya dengan begitu cepat hingga menggores pundaknya. Sontak, Sindy
langsung menekan luka tersebut. Sambil menahan rasa sakit, dia menengok
kebelakang. Ternyata kilatan cahaya yang melesat kearahnya adalah sebuah
pedang. Sebuah pedang cahaya yang perlahan semakin terkikis dan lenyap. Sindy
semakin was-was, dia berbalik lalu menodong Dent dengan kedua pistolnya.
Dent
menyeringai lebar. Dia menatap dan menyeringai kepada Sindy dengan jahatnya
“Yah, aku tak perlu jawaban darimu. Jika kau memang seseorang yang telah
mengalahkan Seno, maka kau akan menjadi hiburan bagiku. Jika tidak, maka kau
bisa mengisi waktu luangku.” Perlahan, Seno mulai melayang. Di belakangnya,
muncul sebuah lingkaran cahaya berwarna biru yang begitu terang benderang. Dari
lingkaran tersebut, tercipta pedang-pedang cahaya yang terhitung lebih dari
hitungan jari.
“(Gawat, orang ini kelihatannya sangat
berbahaya.)” Pikir Sindy. Pedang-pedang cahaya dilemparkan kearahnya. Tentu
saja, peluru biasa dari pistolnya takkan sanggup menahan maupun menepis
pedang-pedang tersebut. Satu-satunya pilihan baginya adalah menghindari setiap
pedang tersebut.
Sindy melompat
menghindari setiap pedang yang ditembakkan kearahnya lalu berlari sambil
menembaki Dent. Seno mengayunkan tangannya ke setiap peluru yang ditembakkan
kearahnya. Akibatnya, sebuah pedang dari salah satu pedang-pedang cahayanya
melindunginya dari datangnya peluru. Melihat serangannya tak berhasil, Sindy
berdecap kesal. Diapun melompat lalu menembakkan Thunderstorm Bullet. Melihat
banyaknya peluru yang Sindy tembakkan kearahnya, kedua tangan Dent langsung
terangkat ke depan—ke pedang yang sebelumnya selalu menahan peluru Sindy. Dia
lebarkan jarak antara kedua tangannya, bersamaan, pedangnya ikut melebar
mengikuti lebarnya jarak antara kedua tangannya.
“(Ternyata benar, Thunderstorm Bulletku tak
bisa menembus pertahanannya. Kalau begitu, tak ada pilihan lain selain
menggunakkan itu.)” Sindy sudah merasa lelah menghindari pedang-pedangnya.
Dia sudah menghindar ke hampir segala arah. Karena itu, sejauh manapun mata
memandang, pasti ada saja pedang cahaya yang tertancap di lantai.
“Ada apa? Apa
kau sudah merasa lelah? Ayolah, jangan membuatku mengantuk.” Dent tertawa kecil
lalu langsung mengayunkan kedua tangannya kearah Sindy sehingga kelima pedang
langsung terlempar kearahnya. Ukuran pedang yang Dent tembakkan begitu besar.
Bahkan lebih besar dari ukuran tubuh Sindy sendiri.
“(Oh tidak—)”
Dengan cepat,
kelima pedang cahaya tersebut menghantamnya. Saking cepatnya, asap dan debu
yang keluar dari lantai yang hancur akibat kelima pedang itu tersebar
dimana-mana. Dent menengok kekanan dan kekiri. Melihat tak ada tanda-tanda
kalau Sindy berhasil menghindar, Dent pejamkan kedua matanya lalu menghela
napas. “Sayang, sekali. Padahal aku berharap banyak darimu.”
“Kalau begitu,
bagaimana jika aku yang berharap banyak darimu?”
Kedua matanya
langsung terbuka lebar sesaat setelah mendengar suara Sindy. Dengan reflek, dia
lebarkan salah satu pedang cahaya miliknya lalu mengibaskannya bagaikan gibasan
kipas kearah sate saat membakarnya. Akibatnya, asap yang ada di sekitarnya
lenyap tanpa sisa. Namun, dia tak menemukan Sindy dimanapun. Dihadapannya hanya
ada keempat pedangnya yang menusuk kearah lantai yang sama. “Apa yang—”
“Diatas sini!”
Dent langsung
menengok ke atas. Dihadapannya, ada Sindy dengan tangan kirinya yang
menodongkan pistolnya tepat kearahnya. “Open the Seal : Ultimate - Storm.” Dari
pistolnya keluar sebuah peluru listrik yang begitu terang. Peluru Berwarna ungu
itu sepenuhnya terbuat dari listrik. Peluru itu begitu cepat sampai-sampai
lebih cepat daripada kedipan mata. Tentu saja, Dent tak berdiam diri begitu
saja. Dia langsung melemparkan beberapa pedang kearah Sindy. Tapi saat itu dia
tidaklah sadar, atau lebih tepatnya, dia belum sadar kalau peluru listrik Sindy
sudah mengenai pundak kirinya. Saat dia menyadari luka itu, sebuah sengatan
listrik langsung menyengat pundak kirinya hingga mengakibatkannya terjatuh.
Sementara itu,
Sindy yang masih berada di udara melihat pedang-pedang yang berdatangan
kearahnya. Dia memang terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya saat ini tangan
kanannya terasa begitu panas. Itu dikarenakan dia sedang menggenggam salah satu
pedang cahaya dari kelima pedang sebelumnya. Sindy tahu betul kalau saat itu
dia akan diserang dan dia takkan bisa menghindar. Rasanya begitu panas. Bahkan
lebih panas dari menggenggam bohlam lampu yang sudah menyala lebih dari 24 jam.
Namun hanya ini satu satunya cara yang bisa ia pikirkan untuk bisa menghindari
serangan tersebut.
Dengan cepat,
Sindy langsung menaruh pedang itu ke hadapannya lalu berlindung dibaliknya.
Sesuai dugaan, pedang-pedang tersebut berhasil ditahan oleh pedang besar
tersebut. Mereka menabraknya lalu terjatuh bagaikan pisau dapur. Untungnya ukuran
pedang itu cukup besar sehingga Sindy bisa berlindung dari pedang-pedang yang
ditembakkan Dent.
Setelah
mendarat, Sindy langsung melompat mundur menjauhi Dent. Tangan kanannya
masihlah bergetar karena rasa panas yang dirasakannya. Bahkan untuk menggerakkan
jari saja terasa sakit. Tapi baginya sekarang bukanlah saat untuk memikirkan
itu, karena di hadapannya, Dent sudah kembali berdiri.
“(Tadi itu,
apa? Serangan tadi memang menyengatku
dengan aliran listrik. Tapi, sekarang aku tak merasakan efek apapun. Bahkan
serangan tadi sama sekali tidak meninggalkan bekas.)” Dent melirik pundak
kirinya. Jasnya nampak bersih dan rapi tanpa adanya goresan sedikitpun. Dia
menengok kearah Sindy sambil menciptakan kembali lingkaran biru “Apa yang kau
rencanakan?”
Sindy tersenyum
mengejek “Entahlah. Kenapa kau tidak melihatnya saja?” Setelah tersenyum, dia
sedikit mendongkakkan wajahnya lalu menodong Dent dengan pistol di tangan
kirinya.
Dent hanya
terdiam, lalu perlahan tertunduk. “Khu, wahahahaha.” Dengan begitu kencang dan
lantang, Dent tertawa. Seakan dia tak merasa terintimidasi sama sekali dan
malah menikmatinya. “Baiklah, akan kuterima dan aku akan buka lebar-lebar
mataku untuk melihat pertunjukan ini.” Dengan cepat, ia langsung menembakkan
pedang-pedang tersebut kearah Sindy. Meski tangan kanannya masih terasa sakit,
Sindy tetap berusaha sekuat tenaga untuk menghindari pedang-pedang itu.
Saat Sindy
mulai menghindar, dia menyadari satu hal, yaitu pedang-pedang yang ditembakkan
kearahnya terasa berbeda. Rasanya lebih cepat dan lebih besar dari sebelumnya.
Bahkan ukurannya hampir sama dengan kelima pedang sebelumnya. Sehingga
membuatnya agak kesulitan menghindar. Tapi itu tidak menghentikannya untuk memanfaatkan
momen-momen dimana dia menghindar dengan terus menembakki Dent. Peluru yang dia
tembakkan hanyalah peluru biasa, karena saat ini mananya sedang terkuras oleh
skill Storm yang dia keluarkan sebelumnya.
“(Percuma saja!)” Dent langsung
menggunakkan pedangnya untuk menangkis peluru-peluru Sindy. Tapi, Dent begitu
tak menduga apa yang terjadi setelahnya. Peluru-peluru tersebut berbelok tepat
saat berada begitu dekat dengan pedang cahaya milik Dent. Seakan-akan peluru
tersebut memiliki kesadaran sendiri. Setelah berbelok, peluru itu langsung bergerak
menyerong dan mendarat tepat di pundak kiri Dent—di tempat dimana peluru
listriknya mendarat.
Saat itu juga,
peluru Sindy berhasil mengenai pundak Dent dengan telak. Namun, Dent malah
tersenyum setelah terkena serangan itu. Sindy yang merasa was-was setelah
melihat senyuman anehnya, terus menembakinya dengan pistol. Di waktu yang
bersamaan, Dent mencoba menghalau peluru tersebut. Tapi, sekeras apapun dia
mencoba, sebesar apapun dia lebarkan pedang miliknya, pedang tersebut tak
pernah bisa menangkis peluru-peluru Sindy. Pelurunya selalu berbelok dan selalu
berhasil mengenai tubuh Dent.
Setelah terkena beberapa tembakan, Dent
terjatuh. Lingkaran biru yang dibanggakannya perlahan mulai lenyap bersama
dengan jatuhnya dia. Satu persatu, pedang-pedang yang berserakan di seluruh
aula lenyap. Bahkan akhirnya Sindy bisa berhenti menghindar dan menarik napas.
Aula begitu
hening dan sunyi seakan tak ada orang. Hanya suara beratnya tarikan napas
Sindy. Sejak tadi, Dent sama sekali tak bergeming. Dia hanya berdiri tertunduk
seperti patung. Keheningan itu berlangsung selama beberapa menit sampai
akhirnya Dent mulai tertawa. Tawanya lebih kencang dari sebelumnya, sebuah tawa
yang terdengar gila. Suara tawanya yang begitu keras menggema di seluruh aula.
Semakin lama dia tertawa, semakin kencang suara tawanya. Di tengah tawanya, dia
terhenti. “Boleh. Bagus. Inilah yang kuinginkan. Pertarungan seperti inilah
yang kuinginkan.”
Tiba-tiba,
dalam kedipan mata, Dent sudah berada tepat dihadapan Sindy. “Kalau begitu, apa
kau bisa terus bermain?” Pedang
cahayanya yang begitu besar dia lemparkan kearah Sindy.
Sindy tak bisa
berkutik dengan jarak yang begitu dekat seperti itu. Pedang besar itupun
akhirnya mengenai Sindy. Bukannya tertusuk, pedang itu justru memukulnya
seperti bola bisbol. Ini seakan, ia sengaja tak melakukan itu. Dengan jarak
sedekat itu, hampir mustahil bagi pedang besar itu untuk tidak mengenai Sindy.
Akibatnya, Sindy terpental hingga ke ujung aula. Untungnya, di detik-detik yang
sempit tersebut dia sempat menahan pukulan tersebut dengan kedua tangannya.
Sehingga tak mengakibatkan damage
yang besar ke dirinya. Namun sekarang, kedua tangannya terasa hampir mati rasa.
Meski begitu, dia masih bisa merasakan rasa panas akibat menahan pedang
tersebut.
Untuk yang ke
sekian kalinya, asap memenuhi tempat itu. Asap dan debu sepertinya sudah lumrah
muncul di tempat itu sampai-sampai Sindy tak bisa mengeluh akan itu. Tembok di
belakangnya hancur. Puing-puing batu yang berasal dari tembok berserakan di
sekitarnya. Punggungnya juga terasa sakit akibat menabrak tembok.
Sindy mencoba
untuk kembali berdiri, namun tubuhnya masihlah terasa sakit untuk digerakkan.
Berkat tangannya yang menahan serangan tadi, hp yang dimilikinya masih tersisa setengah. Dia mungkin sudah kalah
telak jika dia tidak menahan serangannya. “Ada apa? Apa kau sudah menyerah?
Sayang sekali, padahal tadi aku sengaja tidak menusukmu karena aku ingin kau terus
menghiburku.” Dent menatap Sindy sambil tersenyum licik. Tatapannya—tatapan
yang dikeluarkannya bukan lagi tatapan yang menunjukkan rasa bosan. Namun
tatapan yang penuh dengan ambisi dan juga nafsu membunuh.
“(Gawat.... Apakah skill ultimate-ku masih belum
cukup untuk mengalahkannya? Manaku juga sudah menipis karena skill ultimate-ku.)”
Sindy dengan lemasnya menatap Dent. Sementara itu lingkaran biru di belakang
punggung Dent semakin bercahaya dan pedang dihasilkannya semakin banyak. Pedang
besar tadi juga terpecah menjadi beberapa pedang yang berukuran kecil. Semua
pedang tersebut menghadap lurus—menghadap kearah Sindy.
Dent menatap
sombong Sindy yang tak berdaya. “Sayang sekali, sepertinya kau bukanlah lawan
yang pantas bagiku.” Disaat yang bersamaan, semua pedang yang Dent ciptakan
menerjang langsung kearah Sindy. Hujan pedang langsung mengguyur kearah Sindy.
Bagaikan badai.
“Open the Seal
: Light Boost.”
Dengan kecepatannya
yang bagaikan cahaya, ia menerjang melewati badai pedang di hadapannya—menggendong
Sindy melewati hujan pedang yang tak bisa dihitung dengan jari. Begitu cepat
hingga akhirnya ia berlari cukup jauh menjauhi Dent. Setelah itu, Light Boost
akhirnya habis lalu ia menurunkan Sindy.
“Apa kau
baik-baik saja, Sindy?”
Sindy membuka
matanya. Di hadapannya berdiri seorang perempuan. Seorang perempuan yang sudah
ia temui dengan Zaki dan Leila di tempo hari. Rambutnya yang sepanjang pundak
dan berwarna ungu yang indah seperti Bunga Iris. Meski hanya sesaat, Sindy bisa
dengan jelas mencium bau shampo yang semerbak.
Sindy sama
sekali tak menduga kedatangannya. Dia hanya bisa terbaring lemas dan menatap
bingung. Dari pintu masuk ruangan, masuklah Ani dan Eni lalu diikuti oleh Andri.
Mereka nampak lelah setelah berlari mengejar Mbak Anna. Mereka menengok dan
melihat Mbak Anna serta Sindy lalu menghampiri mereka.
“Aduuh, kenapa
lari Kakak begitu cepat?” Ujar Eni dengan kesal.
“Sudah, sudah,
yang penting kita berhasil mengejarnya.” Ani menepuk pundak Eni sambil tertawa
kecil.
“Hm? Kalian
saja yang terlalu lambat.” Balas Mbak Anna dengan seringaian penuh ejekan.
Sindy menatap mereka penuh rasa bingung. Wajahnya seakan berkata Kenapa kalian berada disini?
“Kak Anna?
Kenapa kakak bisa ada di sini?” Tanya Sindy penuh penasaran.
“Aku yang
seharusnya bertanya seperti itu. Bagaimana kau bisa bertemu dengan ikan besar
sepertinya?” Mbak Anna tersenyum kecut sambil menunjuk kearah Dent. Sindy
terdiam sesaat, lalu membuang tatapan. Dia nampak murung setelah mendengar
pertanyaan itu. Meski Mbak Anna awalnya hanya berniat untuk bercanda, namun ia
sama sekali tak mengira akan mendapatkan reaksi seperti ini.
“Itu karena...”
“Yah, aku
memang tak tahu kenapa kau bisa berada di sini... Tapi, karena kau sudah ada di
sini, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Sebaiknya sekarang kau beristirahat
saja dan lihat aku mengalahkan monster itu.” Ujar Mbak Anna tersenyum lembut,
lalu mulai menarik pedangnya keluar dari dalam sarung pedang. Sindy hanya bisa mendongkak
menatapnya—mengangguk dengan polosnya lalu bersandar di tembok yang ada di
belakangnya.
“Tenang saja
kak, kami pasti akan melindungimu.” Kata Ani penuh semangat yang dengan
enerjiknya berlari menghampiri Sindy diikuti oleh Eni.
“Benar. Jadi
untuk saat ini, kakak beristirahat saja.” Eni dan Ani tersenyum polos kepada
Sindy, dan lagi Sindy mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
“Ini,
terimalah.” Dengan perlahan Andri menghampiri Sindy sambil membawa sebotol
ramuan penyembuh. Dia berjongkok lalu memberikan itu kepada Sindy.
“Te, terima kasih....”
Ujar Sindy setelah meneguk habis ramuan penyembuh. Akibat ramuan itu, tubuhnya
sudah tak terasa sakit. Punggungnya tak terasa nyeri dan kedua lengannya sudah
tidak mati rasa.
“Kau lagi
rupannya. Minggir, aku sudah tidak tertarik melawanmu.” Tegas Dent dengan
dingin dan kasar. Bila diibaratkan—mungkin baginya saat ini ia adalah ular dan
Sindy adalah tikus. Lalu, ketika sang ular hendak berniat untuk menangkap tikus
tersebut, seekor landak menghalanginya. Dan landak itu adalah Mbak Anna dan
lainnya.
“Dasar tidak
sopan. Tak sepatutnya kau berkata seperti itu kepada seorang wanita.” Mbak Anna
mengayunkan pedangnya ke serong kanan sesaat setelah menariknya lalu berjalan sambil
menyeringai kepada Dent.
“Kali ini, aku
akan membantumu.” Andri berjalan menghampiri Mbak Anna. Dia keluarkan sebuah
tongkat sihir dari jubahnya yang panjangnya hingga mata kaki. Tongkat sihir itu
begitu tinggi—tingginya hingga setinggi pinggang manusia. Mbak Anna menengok
kearah Andri lalu tersenyum dan mengangguk penuh kepercayaan. Andri membalas
dengan tersenyum ramah.
Mereka terdiam
sejenak menatap Dent. Setelah beberapa detik berlalu, tiba-tiba whush. Dalam satu kedipan mata, Mbak
Anna dengan cepat langsung berpindah ke belakang Dent.
Mungkin bagi
Dent yang meremehkan Mbak Anna sama sekali tak melihat gerakannya, namun bagi
Sindy, gerakan Mbak Anna terlihat cukup jelas. Dengan kakinya yang bercahaya
itu, Sindy bisa menyimpulkan kalau Mbak Anna menggunakkan Light Boost miliknya.
Tanpa menyia-nyiakan momen yang ada, ia dengan cepat mengayunkan pedangnya.
Bagi Dent,
tentu saja menangkis serangan seperti itu merupakan hal yang mudah. Namun yang
tak mudah adalah setelah itu. Cahaya keemasan bersinar terang. Dengan cepatnya,
lingkaran berwarna emas itu muncul di belakang pundak Mbak Anna bersamaan
dengan pedang-pedang cahaya keemasan yang tercipta darinya. “Oh ya,
ngomong-ngomong, aku masih menyimpan kemampuanmu, lho.” Bisik Mbak Anna sesaat sebelum ia hantamkan semua pedang
cahaya yang ia miliki kearah Dent.
***
Mari mundur ke
beberapa menit sebelumnya.
Di sebuah
ruangan, Zaki, Leila dan Divisi 7 terjebak. Setiap jalan yang ada terisi penuh dengan
monster. Jumlah mereka kalah dengan jumlah monster yang begitu banyak. Yang
bisa mereka lakukan saat ini hanyalah menghabisi setiap monster yang menerobos
masuk satu persatu. Namun, mereka tahu betul kalau mereka tak bisa melakukan
trik itu terus menerus dikarenakan jumlah mana mereka yang terbatas.
“Open the Seal
: Fire Element – Great Sword of Fire.” Dengan pedang apinya yang membara, Zaki
membelah dua salah satu monster yang berusaha memasuki ruangan. “Sialan, mereka
tak ada habisnya.” Keluh Zaki penuh kekesalan.
“Mau bagaimana
lagi, kita benar-benar terjebak di ruangan ini.” Leila melompat menghampiri
Zaki lalu menembakkan Five Wind Arrow kearah monster yang berada di pintu
masuk.
Wajar saja
mereka merasa kesal akan situasi ini. Situasi ini mirip ketika kau memasuki
sebuah acara gameshow dimana kau harus memasukan tanganmu ke dalam kotak. Kau
sama sekali tidak tahu apa isi kotak itu dan kau merasakan—menyentuh
benda-benda aneh di dalam kotak tersebut. Tentu saja saat itu kau begitu merasa
kesal dan muak.
Apa cuma aku
yang berpikir seperti itu? Oke.
Sudah hampir
sepuluh menit sejak mereka terjebak di ruangan itu. Bahkan pintu masuk sudah
hancur akibat monster-monster berebutan masuk. Waktu semakin menipis dan jarum
jam semakin dekat dengan angka enam.
Saat mereka
sedang sibuk menghadapi setiap monster yang ada, tiba-tiba terengar suara
langkah kaki yang sangat elegan. Setiap langhaknya nampak anggun dan juga elok
bak model yang ada di televisi. Sambil berjalan, dia tertawa geli melihat kondisi
Zaki dan kawan-kawan “Fufufu, kalian bagaikan abu di atas tanggul.” Ujar wanita
itu sambil memperlakukan tongkat sihir panjangnya seperti sebuah mikrofon.
Wanita itu
nampak cantik dan anggun bagaikan seorang model. Rambutnya berwarna hitamnya
yang sepanjang pundak dan agak keriting, kulit putihnya yang semakin putih
karena bedak, lipstik berwarna merah jambunya yang kelihatan menonjol, juga
pipinya yang penuh dengan blush on. Dia
memakai jubah yang sepanjang pinggang dengan tudung. Dibalik jubahnya terdapat
sebuah gaun sepanjang mata kaki.
“Hah? Apa
maksudmu?” Tanya Zaki penuh kebingungan.
“Maksudnya
adalah, kita bisa mudah ia kalahkan.” Kak Indra berjalan menghampiri Zaki
sambil menarik pedangnya lalu mengubahnya menjadi pedang air. “Siapa kau, nona
cantik yang gayanya alay?” Tanya Kak Indra dengan sedikit sindiran.
Wanita itu
tertawa dengan genitnya. Nampak jelas kalau ia kesal saat tertawa tadi. “Mas
yang di sana bisa aja. Namaku adalah Anggun Ramania, dan kau?”
“In—”
“Indra, hanya
Indra. Dan aku adalah Dinda Rohyani, jadi ingat itu!” Samber Mbak Dinda
menangkap—menutup mulut Kak Indra dengan tangannya. Nada bicaranya terdengar
kasar dan tegas dan wajahnya agak memerah karena kesal. Sementara Indra yang
menepuk-nepuk tangan Dinda karena dia kesulitan bernapas. “Ah, maaf—” Sontak,
Dinda langsung melepaskan tangannya.
“Uhuk, uhuk, kenapa kau tiba-tiba
melakukan itu?” Tanya Kak Indra terbatuk-batuk.
“Tidak ada
alasan khusus sih....” Jawab Mbak Dinda sambil tertawa kecil menggaruk belakang
rambutnya. Kak Indra menghela napas panjang lalu kembali menengok kearah Anggun.
“Jadi, siapa
kau? Jangan bilang kau salah satu dari kelima petinggi?” Dia angkat pedangnya
lalu menodongkannya. Anggun tertawa angkuh.
Dia berhenti
tertawa lalu tersenyum licik sambil menatap Kak Indra setajam silet “Sayang
sekali....” Dia angkat tongkat sihirnya lalu mengetukkannya sekali ke lantai. Saat
tongkat itu tepat menyentuh lantai, Anggun langsung berada di hadapan Kak
Indra. Dia menyeringai “...Karena itu benar.”
“Apa yang—”
Zaki langsung berbalik menghadapnya, namun sebelum dia sempat sepenuhnya berbelok,
dia terhenti. Atau lebih tepatnya, waktu di sekitarnya berhenti terkecuali
untuk Anggun.
“Open the Seal
: Time – Wrap.” Anggun berjalan menghampiri Kak Indra lalu mendekatkan tongkat
sihirnya tepat ke hadapan wajah Kak Indra. “Sayang sekali, tapi tadi itu
terlalu mudah. Open the Seal : Time – Bomb.” Dia tancapkan tongkat sihirnya ke
lantai lalu melompat mundur menjauhi tongkat tersebut. Tak lama setelah itu,
tongkat tersebut berubah menjadi sebuah jarum jam dengan ukuran yang sama. Tak
lama setelah itu, jarum jamnya meledak dan membuat Kak Indra, Mbak Dinda, Zaki
dan juga Leila terpental ke segala arah. Ledakannya begitu besar hingga getaran
yang dihasilkan oleh jarum tersebut bisa dirasakan dari lantai atas.
Asap dan debu
yang dihasilkan oleh ledakan memenuhi ruangan. Saat ini sangat sulit bagi Zaki
dan kawan-kawan untuk bisa melihat dengan jelas. Dengan bebatuan dan puing-puing
yang ada, Zaki berusaha kembali bangun “Leila, Kak Indra, Mbak Dinda,
semuanya... kalian baik-baik saja?” Tanya Zaki dengan kencangnya. Dia sempat
terbatuk-batuk karena asap, sebelum mendengar suara Leila. Tanpa pikir panjang,
dia berlari menghampiri suara tersebut. “Leila, kau baik-baik saja?”
Sambil meringis
kesakitan, Leila meraih uluran tangan Zaki. ”Ya, aku baik saja.” Setelah
kembali berdiri, dia dengan sigapnya mengambil salah satu anak panah dari arrow rest lalu menyiapkannya dibusurnya.
Setelah itu, mereka mulai berlari mencari Kak Indra dan yang lainnya.
“Apa itu tadi?
Pengendali waktu?”
“Bisa jadi.
Dilihat dari serangannya tadi, kemungkinan dia memiliki semacam kemampuan untuk
mengendalikan waktu.” Ujar Leila.
“Tepat sekali.”
Anggun yang tiba-tiba muncul di samping Zaki langsung menembakkan jarum jam
atau Time Bomb miliknya kearah Zaki sambil tertawa licik. Dia nampak girang dan
bersemangat meski kemampuan miliknya telah diketahui. Zaki yang menyadari hal
itu sontak langsung menepis jarum jam tersebut dengan perisainya lalu menyerang
Anggun dengan pedangnya. Jarak antara mereka berdua begitu dekat dan Zaki yakin
sekali kalau serangannya pasti kena.
Namun, dia
hanya menebas asap.
Anggun
menghilang tanpa jejak. Bahkan tak sampai satu detik berlalu, namun dia sudah
menghilang dari hadapan Zaki. “Maulana, di belakangmu!” Leila yang ada di
belakang Zaki langsung memberitahu Zaki ancaman yang ada di belakangnya. Zaki
langsung berbalik, namun saat ia berbalik, jarum jam yang ia tepis sebelumnya
kembali menghampirinya bagaikan rudal dari pesawat jet.
“Kau
benar-benar payah.” Anggun yang ada di belakangnya tertawa geli lalu menhilang
pada saat jarum jam tersebut mulai meledak. Dengan cepat, Zaki langsung
mengaktifkan Fire Shelter lalu menggunakannya untuk berlindung dari ledakan.
Namun, karena timingnya kurang cepat, Fire Shelter yang digunakannya kuranglah
sempurna sehingga ia tetap terpental akibat ledakan tadi.
“Maulana!”
Leila mencoba mengejar Zaki, namun Anggun menghadangnya. Jarum jam mulai
mengejarnya seraya kemunculan Angun. Berkat status jobnya sebagai Archer, ia
bisa menghindari jarum jam tersebut dengan mudah. Sembari menghindar, Leila
menyempatkan diri untuk memberi serangan balasan. Namun, setiap tembakannya
selalu meleset. Artian meleset disini bukanlah kemampuan Leila yang buruk dalam
memanah, namun Anggun yang selalu menghilang setiap Leila tembak. “Open the
Seal : Tornado Explosion Level Medi—” Saat
ia hendak berniat mengeluarkan kemampuan itu, dia teringat kalau kemampuan itu
bisa saja meruntuhkan seluruh gedung. Diapun batal menarik anak panahnya dan
menembakkan Five Wind Arrow.
“(Aku
sama sekali tak bisa mengenainya... Apa aku harus menggunakan itu?)” Saat
Leila sedang melamun, jarum jam yang mengejarnya hampir mengenainya. Untung
saja Leila tersadar dan berhasil menghindar disaat-saat terakhir.
“Ada apa? Apa
kau sudah kehabisan ide?” Anggun muncul di belakang Leila. Namun langsung
menghilang karena ditembak oleh Leila.
Leila terhenti.
Dia terdiam sejenak sambil menutup kedua matanya. Saat jarum jam menerjang
kearahnya, dia melompat tinggi. Dia buka kembali kedua matanya lalu mengambil
sebuah anak panah. Dia alirkan seluruh kekuatannya ke busur dan anak panahnya.
Saat kekuatannya sudah terkumpul sebanyak mungkin, dia menghela napas lalu
menatap lurus—memprediksi kedatangan Anggun.
“(Disana!)” Leila menengok saat merasakan
sebuah energi—seseorang yang datang dari arah jam 10. “Open the Seal : Ultimate
Wind Arrow.” Saat ia mengucapkan mantra itu, semua anak panah yang ia miliki di
Arrow Rest langsung melayang di
belakangnya. Anak-anak panah itu mulai mengeluarkan cahaya berwarna hijau lalu
berubah menjadi transparan—menyatu dengan angin. Saat anak panah yang ada di
busur ia tembakkan, anak-anak panah yang ada di belakangnya mengikutinya. Semua
anak panah itu melesat dengan cepat seperti angin, tidak, lebih cepat dari
angin itu sendiri.
Melihat
anak-anak panah itu, Anggun tersenyum menyeringai “Percuma saja.” Dia
menghilang lalu berpindah ke tempat lainnya. Dia mungkin merasa sudah
menghindari anak-anak panah itu, sampai akhirnya ia menengok dan menyadari
bahwa anak-anak panah itu berbelok kearahnya. Semakin sering ia menghindar,
semakin cepat gerak-gerik anak panah itu. Tak peduli seberapa seringpun ia
menghindar, anak-anak panah itu selalu mengejarnya bagaikan itik yang mengejar
induknya.
“Kena kau.”
Leila menembakkan sebuah Tornado Arrow. Berbeda dengan Tornade Explotion,
Tornado Arrow cukup aman dan tak memiliki kekuatan yang cukup untuk bisa
meruntuhkan ruangan ini.
Sesuai dengan
apa yang dia prediksi, Anggun muncul diarah yang sama dengan arah dimana
serangan itu menuju. Diapun terkena serangan itu lalu disusul dengan Ultimate
Wind Arrow. Saat anak-anak panah itu mengenainya, mereka mengeluarkan tekanan
angin yang tajam hingga bisa menghancurkan batu sekalipun. Dan tekanan itu,
muncul dari segala arah.
Anggun terjatuh
lemas. Dirinya nampak tak sadarkan diri dan terluka cukup parah akibat serangan
tadi. Jarum jam yang sebelumnya terus mengejar Leila terhenti dan terjatuh lalu
berubah kembali menjadi sebuah tongkat sihir.
Akhirnya, Leila
bisa terhenti dan menarik napas lega. Serangan tadi menghabiskan hampir seluruh
mana dan juga anak panahnya sehingga ia sudah tak bisa bertarung lagi. Dia
melakukan log out lalu terduduk lemas. Tadi itu sebuah pertarungan paling sulit
baginya. Dari seluruh serangan yang ia lancarkan, hanya dua atau tiga serangan
yang berhasil mengenainya. Karena serangan tadi juga, asap yang sebelumnya
memenuhi ruangan lenyap.
Karena asap
yang sudah lenyap, Leila bisa melihat dengan jelas kondisi semua orang di
ruangan ini. Kak Indra dan Mbak Dinda masih tak sadarkan diri akibat ledakan
tadi, anggota divisi yang lainnya juga entah mengapa tak sadarkan diri. Mungkin
mereka diserang oleh Anggun hingga pingsan. Monster-monster yang ada di pintu
juga menghilang begitu saja. Tanpa sebab maupun tanpa jejak, monster-monster
tersebut lenyap.
Leila
bertanya-tanya, apa mungkin hilangnya monster-monster itu ada hubungannya
dengan kondisi Anggun yang tak sadarkan diri.
Zaki membuka
kembali matanya. Setelah beberapa menit tak sadarkan diri akibat ledakan tadi,
akhirnya dia kembali terbangun. Saat ia sadar, dia lansung teringat kembali
dengan ledakan tadi dan dengan refleknya berdiri sambil menarik pedang.
“Dimana dia?”
Zaki menengok kesana-kemari. Tingkah lakunya yang aneh dan konyol membuat Leila
tertawa kecil. Mendengar tawa Leila, dia sontak menengok dan akhirnya melihat
Anggun yang terbaring lemas di dekat Leila. Zaki tersipu malu saat menyadari
kalau Leila sedang tertawa akan tingkanya. Setelah tertawa malu sambil
menggaruk rambutnya, dia berjalan menghampiri Leila. “Kau tidak apa-apa?”
“Ya. Meski aku
sudah tidak bisa bertarung lagi sih untuk saat ini.” Jawab Leila dengan senyum
manis.
“Kalau begitu
baguslah, kau hanya perlu duduk manis di sana dan menyaksikan.”
Tiba-tiba,
muncul suara perempuan. Suara yang terdengar angkuh dan lirih. Suara tersebut
sangat tidak asing bagi mereka. Suara yang baru saja mereka dengar beberapa
menit yang lalu.
Dengan perlahan
Zaki dan Leila menengok. Firasat buruk mereka perlahan demi perlahan semakin
membesar beriringan dengan tengokan mereka. Jantung mereka berdegup dengan
kencang. Bahkan suaranya bisa terdengar dengan jelas.
“Halo~” Anggun
menatap mereka berdua sambil melambai dan menyeringai dengan ramahnya. Dia
nampak bersih tanpa luka sedikitpun. Goresan, tusukan dan luka lainnya sudah
lenyap tanpa jejak. Jubahnya bahkan menjadi nampak baru—nampak seperti 10 detik
yang lalu.
Di belakangnya,
tepat di belakangnya, sebuah jarum jam melayang—mengarah langsung ke Zaki dan
Leila. “Bergerak sedikit, dan kalian akan habis.” Anggun berjingkrak-jingkrak
dengan riangnya. Sebuah keajaiban dia bisa melakukan itu dengan sepatu hak
tinggi yang ia pakai.
“Mengerti...?”
Atmosfir yang ada di sekitarnya langsung berubah ketika ia berhenti berjingkrak
dan menatap Zaki dan Leila dengan tatapan penuh kebencian. Aura yang dikeluarkannya
kali ini begitu berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia benar-benar berniat
untuk menghabisi mereka berdua. Tekanan itu benar-benar bisa dirasakan oleh
Zaki dan Leila. Tekanan yang membuatmu merasa putus asa dan juga tak berdaya.
Itu membuat mereka
berdua membeku. Meski begitu ingin kabur, kaki mereka tak bisa digerakkan sama
sekali. Padahal mereka sama sekali tak tersudut, namun ia membuat seakan-akan
Zaki dan Leila sama sekali tak punya kesempatan untuk kabur.
“Nah, kalau
begitu... aku mulai ya~” Anggun menyeringai untuk yang kesekian kalinya.
Seringaiannya yang mengerikan dan tanpa ampun. Jarum jam di belakangnya mulai
bergerak maju lalu menghadap kearah Zaki dan Leila. Saat itu Zaki dan Leila
hanya bisa terdiam. Benar-benar membatu seperti patung. Bahkan mereka tak punya
waktu untuk menarik napas—atau lebih tepatnya, tak disediakan waktu untuk
menarik napas.
“(Gawat, apa benar-benar tak ada yang bisa
kulakukan?)” Zaki melirik Leila yang hanya terduduk lemas dengan wajah yang
terdongkak menatap Anggun.
Zaki bisa
merasakan keringat mulai bercucuran dari dahinya. Entah karena ruangan ini yang
terasa panas atau karena tekanan dari Anggun, Zaki bertanya-tanya. Dia tahu
betul kalau dia takkan sempat mengeluarkan Fire Shelter miliknya. Yang ada,
mereka hanya akan berakhir seperti sebelumnya. Perisainya juga takkan membantu
banyak. Jika perisai tersebut tak diubah menjadi Fire Shelter miliknya, ada
kemungkinan kalau jarum yang runcing itu dapat menembusnya.
Zaki menelan
ludah lalu menengok menatap jarum jam. “(Sejauh
yang kutahu, jarum jam itu memiliki sistem target lock yang membuatnya dapat
mengejar lawannya. Selain itu, jarum itu juga bisa meledak. Dia selalu meledak
saat berada dekat dengan targetnya—)” Tanpa ia sadari, kedua matanya
terbelalak setelah menyadari sesuatu. “(Tunggu
dulu, jika yang kupikirkan ini benar, maka aku mungkin bisa melakukan itu.)”
Jarum itu mulai
bergerak. Melesat dengan cepat bagai hyena. Tanpa pikir panjang, tubuh Zaki
langsung tergerak. Berlari ke hadapan Leila demi melindunginya dari jarum jam
tersebut. Zaki arahkan perisainya ke depan tubuhnya lalu berlindung dibalik
perisai tersebut. “(Jika ini benar, maka—)”
Dengan sekuat tenaga, Zaki menepis jarum itu dengan perisainya. Sesuai dengan
yang Zaki duga, jarum yang runcing itu berhasil memberikan goresan yang dalam
dan besar diperisainya saat ia menepis jarum itu. Jika saja tadi Zaki
memutuskan untuk menghadangnya dari pada menepisnya, perisainya pasti sudah
bolong dan dia pasti takkan seutuh ini.
Tanpa membuang
waktu, dia langsung berbalik dan berlari menghampiri Leila. “Tunggu Maulana—”
Zaki langsung membopong Leila lalu berlari sekuat dan sekencang yang ia bisa.
“(...Jika yang kupikirkan ini benar, maka
jarum jam tersebut akan meledak sesaat setelah menyentuh benda!)” Zaki
menengok kebelakang untuk memastikan teorinya.
Tik, tik, duar.
Sesuai dengan
apa yang Zaki duga, jarum jam tersebut meledak tak lama setelah Zaki tepis.
Zaki menyadari ini saat ia teringat dengan saat pertama kali jarum ini
meledak—yaitu sesaat setelah Anggun menancapkannya di lantai.
Zaki menghela
napas lega. Dengan ledakan sebesar itu, dia tak yakin kalau dia dan Leila bisa
selamat jika dia tak menyadari ini. Ledakan itu juga membuat seluruh ruangan
ini kembali dipenuhi asap. Zaki memejamkan mata penuh lega lalu menengok ke
depan.
“Open the Seal
: Time – Wrap.”
“Mau kemana
kau?” Anggun kembali muncul di hadapannya. Zaki dan Leila tak bisa bergerak.
Waktu terhenti di sekitar mereka. Anggun mengarahkan kedua tangannya tepat ke
depan wajah Zaki “Open the Seal : Blow Away.” Di telapak tangannya, muncul
cahaya berwarna ungu yang perlahan semakin membesar. Setelah sebesar sebuah
bola sepak, bola cahaya itupun meledak. Ledakan energinya membuat Zaki dan
Leila terpental jauh.
Akibat itu,
mereka berdua lagi-lagi terpisah. Sesaat setelah terpental, Zaki bergegas
kembali bangun lalu segera mencari Leila. “(Gawat...
Aku harus segera mencari Leila, kalau tidak—)” Tiba-tiba, Zaki mendengar
suara teriakan Leila. Diapun segera berlari secepat yang ia bisa ke tempat
dimana suara itu berasal. “Leila...!” Leila terbaring tak sadarkan diri dengan
dahi yang terluka. Darah segar mengalir keluar menuruni dahinya. Zaki langsung
berlari menghampirinya lalu memeriksa detak jantungnya.
Deg, deg.
“(Syukurlah...)” Zaki tak bisa
mendeskirpsikan betapa bersyukurnya dia mendengar suara detak jantung Leila.
Setelah itu, dia melakukan log out lalu merobek bagian bawah bajunya dan
mengikatkannya di dahi Leila untuk menghentikan pendarahannya. Sayangnya, dia
tidak membawa perban asli. Tapi ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Dia
kembali berdiri lalu menengok kesana kemari. Dia kembali login lalu menarik
pedang dan perisainya. Luka di dahi Leila masihlah sangat baru. Dengan kata
lain, Anggun pastilah ada di sekitarnya.
“Ahahaha, kau
waspada sekali ya.” Zaki mendengar suara Anggun. Meskipun begitu, dia sama
sekali tidak melihatnya dimanapun.
“Open the Seal
: Fire Element – Fire Shelter.” Perisainya langsung terbakar oleh api membara.
Api tersebut meleburkan perisainya dan membuat besi cair tersebut tercampur
dengan apinya. Terbentuklah sebuah perisai api yang sangat besar.
Anggun tertawa
kecil “Wah, kau imut sekali.” Beberapa detik setelahnya, serangan dari jarum
jam dilancarkan kepada Zaki. Untungnya, Zaki berhasil menahan serangan tersebut
dengan perisai api miliknya. Tapi, tentu saja ia tahu kalau ini takkan berakhir
begitu saja. Dia langsung membungkus jarum jam yang menancap di perisai api
dengan perisai api. Perisai itu menjadi bulat dan jarum jam itu sebagai
pusatnya. Tak lama, jarum jam itu meledak di dalamnya sesuai dengan apa yang
Zaki harapkan.
Ditambah lagi,
kali ini dia berhasil menangkap jarum jamnya. Zaki menarik mundur perisai api
yang berisikan jarum jam itu lalu mencoba memfokuskan diri kepada Anggun. Dia
genggam pedangnya dengan kedua tangannya lalu mengarahkannya kedepan. “(Baiklah, dengan begini aku bisa fokus
melawan—)” Dengan jelas—dengan amat sangat jelas, Zaki mendengar suara
benda yang tertancap tepat di sebelahnya. Perlahan ia menengok. Zaki tak bisa
mempercayainya. Matanya terbelalak seakan mau keluar dari rongganya.
Dihadapannya,
jarum jam itu entah bagaimana bisa menancap di lantai. Padahal, ia yakin betul
kalau tadi dia baru saja menangkap jarum jam tersebut. Dengan cepat, ia
menengok dan membuka perisai apinya. Ternyata, itu hanyalah cangkang kosong tak
berisi. Entah sejak kapan jarum jam tersebut bisa keluar dari dalam situ, tapi
saat itu Zaki tahu betul. Kalau dia dan Leila berada dalam bahaya.
Jarum jam itu
meledak tanpa Zaki dan Leila sempat menghindarinya. Membuat mereka untuk
kesekian kalinya terpental dan juga mendapat damage. Untuk Leila, untung saja Zaki sempat melindunginya dengan
perisai apinya sehingga ia hanya mendapat beberapa luka lecet karena terpental
akibat tekanan udara yang berasal dari ledakan itu. Karena kalau tidak, ia
pasti sudah mendapatkan luka bakar yang amat parah. Untungnya, kali ini mereka
tak terpisah.
“Kau pikir kau
bisa menangkap jarumku? Naif sekali.” Anggun berjalan menghampiri Zaki dan
Leila dengan jarum jamnya.
“Tadi itu Time
– Rewind. Karena aku baik hati, akan kuberitahu kau. Itu adalah skill ultimateku, dengan itu aku bisa
membuat sesuatu—benda maupun makhluk hidup— yang pernah disentuhku kembali ke
kondisinya 5 detik yang lalu. Dengan itulah, aku menyembuhkan diriku dan juga
mengeluarkan jarumku dari perisai apimu.” Jelas Anggun dengan formalnya.
Seperti seorang guru yang mengajar di kelas.
“Membalikan
waktu? Haha, jangan bercanda... bukankah itu terlalu Over Power?” Dengan bertumpu pada pedangnya, Zaki kembali berdiri.
Dia sedikit teroleng-oleng sampai akhirnya bisa berdiri tegak.
“Yah, mau
bagaimanapun. Itulah kenyataannya.” Anggun tersenyum lugu sambil bersedekap.
Zaki tertawa
geli. Entah kenapa dari segapa pilihan yang ada, dia malah tertawa. Ini mungkin
dikarenakan ‘lelucon tidak lucu’ yang diutarakan Anggun atau mungkin dia hanya
sudah mulai lelah dengan pertarungan ini. “Kalau begitu, aku hanya harus terus
menghajarmu hingga akhirnya kau tak punya waktu untuk kembali.” Zaki
menyeringai. Seringaian penuh ejekan.
“Open the Seal
: Fire Element – Magma Man.” Perisai apinya kembali melebur, api dan besi panas
itu perlahan berubah menjadi magma cair yang begitu panas. Magma cair itu
langsung melesat kearah Zaki—menutupi seluruh tubuhnya. Magma cair itu langsung
menjadi dingin sesaat setelah menyentuh Zaki. Magma dingin itu menjadi
pelindungnya—armornya yang begitu keras dan kokoh. Sementara itu, pedangnya
dilapisi oleh magma panas yang dapat memotong batu seperti memotong sebuah
tahu.
Zaki tersenyum
lalu menunjuk Anggun dengan pedangnya “Majulah! Akan kuhentikan 5 detik dari
hidupmu itu!”
“Jahatnya!
Dasar bocah magma.” Anggun tertawa. “Baiklah kalau begitu...” Dengan cepat
seperti biasa, Anggun muncul dihadapan Zaki “Tick... Tock... waktu terus
berjalan.” Bisiknya di telinga Zaki dengan lembutnya.
Zaki dengan
refleknya bereaksi dengan mengayunkan pedangnya kearah Anggun, tapi ia sudah
menghilang dan muncul di belakang Zaki. Anggun tertawa seksi “Aku ada di sini.”
Ujarnya. Zaki berbalik sambil mengayunkan pedangnya, namun lagi-lagi Anggun
berhasil menghindar. Jarum jam melesat kearah Zaki. Zaki sudah menduga ini akan
terjadi. Ia mengambil kuda-kuda lalu berlari kearah jarum itu. Saat sudah
berdekatan, Zaki menunduk di bawah jarum jam itu. Dia genggam erat-erat
pedangnya lalu mengayunkannya ke jarum jam. Percikan-percikan api tercipta saat
pedang tersebut dengan lembut dan mudahnya membelah jarum jam. Salah satu
faktor yang membuat Zaki dengan mudahnya membelah jarum jam itu adalah karena
bahannya yang terbuat dari logam.
Tapi, Time –
Rewind milik Anggun dapat mengembalikannya seperti semula. Jarum jam itupun
kembali melesat kearah Zaki. Dan tentu saja, Zaki dapat kembali membelahnya dengan
mudah.
“Ahahaha,
menarik.” Anggun tiba-tiba muncul di belakang Zaki dengan tawa girangnya lalu
melacarkan Blow Away terhadap Zaki. Akibatnya, Zaki langsung terpental akibat
serangan tersebut. Saat terpental, Zaki langsung berbalik lalu menancapkan
pedangnya ke lantai untuk menghentikan dirinya yang terpental. Namun, Zaki
tidak sadar kalau jarum jam sudah menancap di dekatnya. Zaki sempat mencoba
untuk menebas jarum jam tersebut untuk menghentikan ledakannya, tapi ia
terlambat. Untungnya, berkat pertahanan Magma Man yang kuat, ledakan itu tak
terlalu melukainya. “Ada apa? Kau bilang kau mau menghentikanku?” Anggu
lagi-lagi muncul di sebelahnya. Dengan siap sedia, Zaki langsung mengayunkan
pedangnya, namun meleset.
“Open the Seal
: Black Hole.” Muncul sebuah lubang hitam tak jauh dari tempat dimana Zaki
berada. Lubang hitam itu menghisap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Asap,
debu, bahkan Zaki sekalipun. Zaki kembali menancapkan pedangnya di lantai. Dia
tancapkan sedalam yang ia bisa demi mengentikannya dari hisapan lubang hitam.
Meski begitu, meskipun begitu tubuhnya tetap ditarik oleh lubang tersebut
hingga membuat tubuhnya melayang seperti bendera yang terikat—berkibar di tiang
bendera. Dalam hal ini, Zaki adalah bendera dan pedangnya adalah tiang.
Untungnya,
jarum itu juga ikut tertarik ke lubang hitam tersebut hingga benda itu tak bisa
mendekati Zaki.
“(Sial.... aku harus mencari cara untuk bisa
menyerang Anggun. Jika begini terus, aku akan kehabisan mana.)” Saat Zaki
sedang memikirkan cara untuk menyerang Anggun, Zaki tidak sadar kalau Leila
yang di belakangnya juga ikut tertarik hisapan lubang hitam tersebut. Zaki baru
menyadarinya sesaat setelah tubuh Leila terseret melewatinya.
”(Leila..?! Gawat, aku harus mencari cara
untuk bisa menghentikannya.)” Zaki menengok keatas—melihat pedangnya yang
masih tertancap di lantai. Dia genggam pedang tersebut dengan kedua tangannya,
lalu mulai berayun. Saat tubuhnya sudah
cukup terayun, dia lepas genggamannya lalu menangkap tangan Leila. Sementara
tangan kanannya menangkap Leila, dia hentakkan tangan kirinya sekuat mungkin ke
lantai. Berkat mode Magma Man, ia berhasil menghancurkan lantai tersebut lalu
berpegangan di celah yang ia ciptakan. Dia cengkram celah tersebut sekuat yang
ia bisa lalu menengok ke bawah untuk memastikan kondisi Leila. Leila begitu
dekat dengan lubang hitam tersebut sampai-sampai salah sedikit saja, dia bisa
celaka. Setelah beberapa detik berlalu, lubang hitam mulai mengecil lalu
menghilang dan Zaki akhirnya bisa melepaskan genggamannya.
Zaki langsung
berdiri dan melepaskan Leila lalu bergegas menarik kembali pedangnya karena
jarum jam mulai bergerak mendekatinya. Dengan cepat, ia belah menjadi dua jarum
jam tersebut lalu melompat menjauhi Leila.
Leila membuka
matanya. Dia sempat agak kebingungan saat melihat kain yang terikat di
kepalanya. Mendengar suara gesekan antara pedang Zaki dan jarum jam, Leila
menengok. Leila merasa ada yang aneh saat melihat Zaki yang mulai nampak
kelelahan sementara jarum jam yang selalu utuh kembali. Pertarungan itu
benar-benar berat sebelah.
Leila juga
kebingungan dengan jarum jam milik Anggun yang selalu pulih kembali sesaat
setelah Zaki belah. Menyadari Leila yang sudah siuman, Zaki menepis jarum jam
lalu melompat mundur menghampiri Leila.
“Leila, apa kau
sudah baikan?” Tanya Zaki. Napasnya terdengar berat. Dari napas dan suaranya
saja, Leila sudah sadar kalau Zaki sudah mulai kelelahan.
“Ya. Aku
baik-baik saja. Ngomong-ngomong, kenapa jarum jam itu selalu kembali seperti
semula?” Leila bertanya balik.
“Itu
dikarenakan Time – Rewind, itu adalah skill ultimate milik Anggun yang
membuatnya dapat mengembalikan sesuatu—benda maupun makhluk hidup yang sudah
disentuhnya ke kondisinya 5 detik yang lalu.” Balas Zaki sambil beberapa saat
menghalau jarum jam anggun dengan menebasnya.
Leila
mengangguk mengerti.
“Bertahanlah,
aku akan segera kembali.” Zaki berlari meninggalkan Leila agar Leila tak
terkena imbas dari pertarungannya dengan Anggun.
“(Maulana mulai kehabisan mana. Aku harus
melakukan sesuatu.)” Sontak, Leila berdiri. Dia merogoh kantung celananya
untuk mengambil login device miliknya. Setelah login, Leila memeriksa status
mananya. Seperti yang ia duga, mananya memang masihlah sedikit, namun perlahan
mulai pulih. “(Kalau begini, aku mungkin
bisa—)” Leila tertegun. Dia menyadari suatu kejanggalan dari pertarungannya
dan pertarungan Zaki saat melawan Anggun.
Dia menengok
kearah pertarungan Zaki yang masih terus berlanjut. Pertarungan itu masihlah
berat sebelah. Dalam kondisi Magma Man, Zaki akan terus kehilangan mananya.
Sementara itu, jarum jam itu tak ada habisnya dan terus pulih kembali. Ditambah
lagi, selama ini Anggun selalu menghindari serangannya dan serangan Zaki dengan
melakukan spam atas skill miliknya.
“(Kenapa, Anggun tak pernah kehabisan mana?
Apakah dikarenakan Time – Rewind miliknya? Tidak, kurasa tidak. Kemampuan itu
hanya mengembalikan kondisi sesuatu yang merujuk pada benda maupun makhluk
hidup, sementara mana adalah bawaan sistem sehingga takkan bisa dimanipulasi. Dengan
kata lain, ada cara lain baginya untuk bisa mendapatkan asupan mana...)” Leila
menengok kesana-kemari—mencari Anggun. “Ketemu.” Leila melihat Anggun dengan
santainya berdiri sambil bersedekap menonton pertarungan antara Zaki dan jarum
miliknya. Dia berdiri di lokasi yang menurut Leila berada cukup dekat dengan
pintu masuk.
Pada awalnya,
tak ada yang aneh dari Anggun sampai ia mengeluarkan tangan kirinya yang
menggenggam tongkat sihir dari dalam jubahnya. Tongkat sihir kedua itu nampak
lebih kecil dibandingkan dengan yang sebelumnya. Di tongkat tersebut, terdapat
sebuah batu permata yang agak bercahaya. “Tongkat itu... ditambah lagi,
lokasinya yang berdekatan dengan pintu masuk.” Leila teringat saat-saat setelah
ia mengalahkan Anggun. Saat itu, karena asap yang menyelimuti ruangan sudah
lenyap, Leila bisa melihat dengan jelas kalau secara ajaib monster-monster yang
sebelumnya berkumpul di depan pintu masuk menghilang tanpa jejak.
Keberadaan
tongkat itu dan lenyapnya monster mengingatkan Leila kepada saat Radhika—pedang
milik Radhika menghisap monster singa raksasa yang muncul di depan gedung Bum
Corp. dan mengubahnya menjadi sumber energi.
“(Kalau dugaanku ini benar, maka dia mengubah
setiap monster yang ada di sekitarnya dan mengubah mereka menjadi mana.) Open
the seal : Tornado Arrow.” Leila menembakkan sebuah anak panah kearah pintu
masuk. Anak panah tersebut dengan cepatnya berubah menjadi tornado kecil,
membuat asap yang menyelimuti ruangan menjadi lenyap. Anggun yang menyadari itu
melompat mundur menghindari tornado dari Leila. Jarum jam yang sedang dilawan
Zaki juga terhenti pergerakannya sehingga pertarungan mereka terhenti untuk
sementara waktu.
Dugaan Leila
benar. Setiap monster yang memasuki ruangan mulai berkedip lalu lenyap terhisap
kedalam tongkat kedua milik Anggun sama seperti apa yang dilakukan Radhika.
“Wah, ternyata aku ketahuan ya.” Anggun menyeringai kepada Leila.
“Sepandai-pandainya
tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Nah, maukah kau berbaik hati dengan
memberitahu kami apa yang kau lakukan?” Ujar Leila dengan senyuman.
Anggun mendesah
pasrah lalu tersenyum “Baiklah. Yang tadi itu Mana Drain. Dengan itu, aku bisa
menghisap monster yang ada di sekitarku dan mengubahnya menjadi mana melalui
tongkat ini.” Dia mengangkat dan menunjukan tongkat di tangan kirinya.
“Oh begitu ya...”
Ujar Kak Indra yang sudah berada di dekat pintu masuk. Dia tancapkan pedangnya
ke tembok, lalu muncul tembok es tebal yang menghalangi pintu masuk. Dia tarik
kembali pedangnya dan membiarkan tembok es tersebut.
“Kau kira aku
akan membiarkannya begitu saja? Open the Seal – High Speed.” Anggun dengan
cepatnya muncul di dekat tembok es tersebut. Namun, tanpa ia duga, Kak Indra
sudah menunggu dan memprediksi dari arah mana ia akan datang. Matanya biru
bercahaya. Dia ayunkan pedangnya kearah Anggun, sontak saja anggun langsung menghindar
dengan melompat mundur.
“Open the Seal
: Focus Eye. Aku sudah mendengar semuanya. Kau berniat menyentuh balok es ini
dan mengembalikannya ke 5 detik sebelumnya’kan?” Kak Indra menunjuk balok es di
belakangnya. “Ditambah lagi, kau kelihatannya hanya bisa menghisap monster yang
sudah memasuki ruangan ini.”
“Open the Seal
: Blue Bird.”
Dari arah yang
berlawanan, muncul burung-burung yang tercipta dari api biru terbang kearah
Anggun. Membuatnya harus kembali menghindar. “Dengan kata lain, kami hanya
harus mencegahmu melakukannya.” Mbak Dinda datang menghampiri Kak Indra dengan
pedangnya yang dilapisi oleh api biru yang membara.
“Sebelum aku
membuat tembok es ini, aku sudah memerintah anggota-anggota divisiku untuk
keluar dan mencegah monster untuk mendekati ruangan ini sebagai pencegahan jika
teoriku salah.” Kak Indra tersenyum mengejek “Dengan kata lain, kau terjebak bersama
kami berempat.”
Anggun tersenyum
lembut. Perlahan dari senyuman lembutnya itu mulai keluar sebuah tawa. Tawa
desahnya yang begitu kencang. Wajahnya memerah, senyumnya melebar, dengan
bibirnya yang seksi dia berkata “Aahh, inilah yang kuinginkan. Perasaan penuh
keputus-asaan inilah yang kuinginkan.” Dia tertunduk lalu mengusap-usap
wajahnya yang tersipu malu sambil berjingkrak-jingkrak.
Kak Indra, Mbak
Dinda, Leila dan Zaki kehabisan kata-kata. Tak tahu kata-kata apa yang
sebaiknya dilontarkan kepada Anggun. Sementara itu, tiba-tiba mode Magma Man
milik Zaki terhenti dikarenakan mananya yang sudah habis. “Waduh... Kenapa
harus sekarang?” Zaki dengan paniknya menengok tubuhnya kesana-kesini. Dengan
mana yang habis, sangat kecil kemungkinan baginya untuk bisa bertarung melawan
Anggun.
“Zakarnya dan
juga Leila, kalian beristirahatlah.” Ujar Mbak Dinda dengan tegas.
“Tapi aku
masih—”
“Beristirahatlah.
Kalian sudah cukup bertarung.” Potong Kak Indra. Dia berjalan menuju ke hadapan
Zaki sementara Mbak Dinda berjalan menghampiri Leila.
Anggun kembali
menyeringai menatap mereka, jarum jam miliknya menancap di depannya lalu
kembali berubah menjadi tongkat sihir. Dia genggam dan cabut kembali tongkat
itu. “Kalian benar-benar membuatku bersemangat... Baiklah, aku takkan
menggunakan Mana Drain lagi.” Setelah melempar tongkat kedua jauh-jauh, dia
ayunkan tongkat utamanya ke kanan “Open the Seal : Time – Sword.” Tak lama,
tongkat sihir itu menjelma menjadi sebuah pedang. Sebuah pedang yang nampak
elok, runcing dan panjang. Mata pedangnya terlihat seperti sebuah jarum jam
panjang yang biasa menunjukkan arah menit.
Dia mulai
melangkahkan kakinya. Selangkah demi selangkah yang semakin cepat tiap
langkahnya. Di tengah larinya, dia menghilang. Suara langkah kakinya juga
lenyap menyisakan ruangan sunyi.
“Kemana dia
pergi?” Mbak Dinda menengok kesana kemari—mencari jejak keberadaan Anggun.
Meski samar, dia sedikit bisa melihat bayang-bayang gerakan seseorang yang ia
yakini sebagai Anggun. Namun, saat bayangan itu sudah begitu dekat dengan Mbak
Dinda, bayangan itu benar-benar lenyap dan membuatnya mulai panik.
“Dinda, di
kananmu!” Dengan Focus Eye miliknya, Kak Indra bisa melihat pergerakan Anggun
dengan jelas.
Sontak, tubuh
Mbak Dinda mengikuti perintah Kak Indra. Dia langsung menghadap ke kanan lalu
mengangkat perisainya sejajar dengan tubuhnya. Sesuai dengan apa yang Kak Indra
katakan, Anggun muncul di hadapan Mbak Dinda. Dia muncul sambil mengayunkan
pedangnya dengan cepat kearah Mbak Dinda. Untungnya, dia berhasil menangkis
serangan itu dengan perisainya.
Bukannya
terkejut, Anggun malah tersenyum manis dengan mengedipkan satu matanya dengan
genit lalu berbisik “Ke-na~” Tak lama, sebuah ledakan muncul tepat di hadapan
perisainya. Ledakan yang cukup besar itu mengakibatkannya terpental hingga
mendekati Kak Indra.
“Kau baik-baik
saja?” Tanya Kak Indra sambil membantu Mbak Dinda kembali berdiri.
“Iya, aku tak
apa. Yang lebih penting, tadi itu apa?” Mbak Dinda memeriksa depan perisainya
yang nampak agak gosong akibat ledakan tadi.
“Aku tidak
yakin. Tapi tadi aku sempat melihatnya, meski hanya sesaat—aku melihat
munculnya percikan api tak lama setelah perisaimu dan pedangnya bersentuhan.
Percikan api itu membesar lalu berubah menjadi ledakan.” Ujar Kak Indra.
“Apakah
mungkin...” Gumamnya.
Perlahan Anggun
berjalan keluar dari asap hitam nan tebal yang tercipta akibat ledakan tadi.
Dengan senyum manisnya yang menyeramkan dan matanya yang di sipitkan, dia
bersenandung ria. Lalu dia ayunkan pedangnya—membelah asap dan debu sambil
membuka matanya yang menatap tajam mereka berdua. Sret. Lagi-lagi Anggun menghilang. Meskipun begitu, suara
senandungannya masihlah terdengar. Suara senandung yang menyeramkan dan juga
membuat siapapun yang mendengarnya merinding.
Lirikan matanya
dengan cepat mengikuti gerak-gerik Anggun. Kak Indra menengok kesana-kemari
mengikuti arah Anggun berada. Anggun benar-benar bergerak dengan bebas di ruangan
berbentuk persegi panjang tersebut. Dia berlari, merangkak, melompat, berlari
di tembok, bahkan sempat juga berjalan di plafon ruangan. Namun dalam sebuah
kesempatan kecil, Anggun sempat menghilang dari pandangannya. Anggun menghilang
sesaat setelah Kak Indra mengedipkan matanya. Suara senandungannya masihlah
terdengar jelas di ruangan itu, jadi Kak Indra masih yakin kalau dia dan Anggun
masih berada di ruangan yang sama.
Kak Indra
kembali berusaha mencari Anggun. Dia menengok kesana-kemari, berputar, dan
menengok ke atas, namun yang dia dapatkan hanyalah bayang-bayangnya. Perlahan,
suara senandungannya semakin kencang sehingga membuat Kak Indra semakin
waspada.
“Indra, ada
apa?” Tanya Mbak Dinda melihat Indra yang terus menengok dan berputar-putar
mencari Anggun.
“Sshh..” Sambil
menengok kearah dimana suara senandungannya Anggun datang, Kak Indra
menggerakkan tangannya ke belakang—kearah Mbak Dinda untuk membuatnya
mengecikan suaranya. Kak Indra berpikir kalau dia mungkin bisa memprediksi arah
datangnya Anggun dari arah datang suara senandungannya. Perlahan, dia angkat
pedangnya sejajar dengan tubuhnya dan menghadap kearah dimana suara senandungan
Anggun datang.
Tiba-tiba
ruangan menjadi hening. Masih berada di posisi yang sama, Kak Indra semakin
tegang. Keringat mengalir turun dari dahinya. Dia menarik napas dalam-dalam,
mengeluarkannya, lalu menelan ludah.
“Disana...!”
Kak Indra dengan cepat langsung berbalik. Di saat yang bersamaan dengan
kemunculan Anggun. Daripada mengayunkan pedangnya untuk menepis serangan Anggun,
Kak Indra malah membalik pedangnya lalu menancapkannya ke lantai. Sebuah tembok
es muncul di hadapannya. Tembok es itu terus memanjat keatas—bertambah tinggi
hingga akhirnya menabrak tangan Anggun dan membuatnya terdorong keatas. Anggun
kehilangan keseimbangannya dan hampir terjatuh. Sementara itu, Kak Indra
mencabut kembali pedangnya dan membuat tembok es di hadapannya berubah kembali
menjadi air.
Dengan segenap
tenaga, dia berlari menembus tembok air di hadapannya. Dia genggam pedangnya
erat-erat lalu mengayunkannya kearah
Anggun. Serangannya berhasil mengenai—menyayat Anggun dari pundak
kirinya hingga perut bagian kanan. Anggun berdecap kesal. Dia balik pedangnya
lalu membuatnya bersentuhan dengan lantai. Ledakan tercipta tepat diantara
mereka berdua hingga membuat mereka terpental ke arah yang berlawanan.
Di belakang
Anggun, Mbak Dinda sudah menunggu dengan pedang api biru miliknya. Menyadari
itu, Anggun langsung berbalik, setelah itu dia sarungkan pedangnya di sarung
pedang yang tiba-tiba muncul di pinggangnya. “Open the Seal : Blow Away.” Dia
arahkan kedua tangannya kearah Mbak Dinda. Setelah bola energi di kedua telapak
tangannya sudah cukup besar, dia tembakkan bola itu.
Mbak Dinda
langsung berlindung di balik perisainya. Berkat perisai itu, dirinya hanya
terdorong beberapa senti. Saat dia mengintip—melihat keadaan di balik
perisainya, Anggun sudah tepat berada di hadapannya. Anggun dengan gesitnya
menarik pedangnya dan mengayunkannya kearah Mbak Dinda. Tanpa pikir panjang,
Mbak Dinda langsung menepis pedang itu dengan pedang miliknya. “(Oh tidak...)” Mbak Dinda terpental
akibat ledakan tersebut. Damage yang di terimanya juga cukup banyak.
Tapi dia tak
menyerah begitu saja. Dia langsung menghentikan dirinya. Dia angkat pedangnya
lalu menancapkannya ke lantai. Tak lama, api berwarna biru muncul dari dalam
tanah. Api tersebut terus bermunculan dan bergerak kearah Anggun bagaikan
domino yang di gulirkan. Anggun hanya tersenyum. Dia hindari serangan tersebut
menggunakkan Time – High Speed miliknya. Namun, tanpa dia duga, Kak Indra sudah
memprediksi dan menunggu kedatangannya. Kak Indra mencoba untuk menyerang
Anggun, namun Anggun berhasil menghindarinya dengan bergerak dengan cepat.
Dia berhasil
menjauh dari mereka berdua. Meskipun begitu, dia mulai merasa lelah dan letih
karena mana miliknya terbatas.
Di saat yang
bersamaan, tiba-tiba Kak Indra oleng selama beberapa detik. “Indra, kau tak
apa?” Tanya Mbak Dinda penuh khawatir.
“Ya, tadi itu
hanya efek samping Focus Eye.” Jawab Kak Indra sambil menekan dahinya yang
terasa agak pusing. Saat oleng tadi, dia sempat kehilangan kesadarannya.
Penglihatannya juga sempat beberapa kali kabur.
“Apa tak
sebaiknya kau istirahat dulu?” Tanya Mbak Dinda.
“Tidak,
kesempatan kita untuk bisa menang hanya dengan menggunakan kekuatan ini...”
Jawab Kak Indra tegasnya. Dia menghela napas, sedikit bergeleng, lalu kembali
menatap lurus kearah Anggun. “Untuk saat ini, aku masih bisa menahannya.
Lagipula, aku yakin sekali kalau dia sudah tak memiliki cukup mana untuk bisa
menggunakan Time – Rewind.” Sambung Kak Indra penuh keyakinan.
“Apa kalian
sudah selesai?” Tanya Anggun. “Kalau sudah, maka akan aku mulai!” Anggun sempat
mengambil posisi seperti seorang atlit lari profesional sesaat sebelum dia
menghilang.
“Dinda,
bersiaplah! Dia datang!” Kak Indra sempat menengok kearah Mbak Dinda lalu
kembali memfokuskan dirinya mengikuti setiap gerakan Anggun.
“(Di belakang!)” Kak Indra lagi-lagi
membalik pedangnya dan menancapkannya di lantai. Tembok Es muncul di
belakangnya—menahan serangan Anggun. Tembok itupun meledak dan Anggun kembali
menghilang.
Anggun dengan
cepatnnya terus menerus menyerang Kak Indra dan Kak Indra terus menerus
berhasil menahannya dengan tembok es. Gerakan Anggun begitu lincah, gesit dan
cepat, gerakannya hampir tak bisa diikuti jika tidak menggunakkan kemampuan
yang setara dengan Focus Eye milik Kak Indra. Kejadian itu terus terulang,
menyerang dan menahan, terulang dan terulang kembali bagaikan bertukarnnya
posisi bawah dan atas roda yang berputar. Selama itu, Kak Indra sama sekali tak
punya kesempatan untuk menyerang.
Sementara itu,
Mbak Dinda hanya bisa melihat pertarungan antara mereka berdua. Dia tahu kalau
dia memasuki pertarungan itu, dia hanya akan menjadi beban Kak Indra. Jika saat
ini juga dia ikut bergabung ke dalam pertarungan, maka beban Kak Indra akan
bertambah satu, yaitu melindungi Mbak Dinda.
Dia tahu betul
itu.
Karena itulah,
dia hanya bisa terdiam, menunggu saat yang tepat untuk bisa masuk kedalam
pertarungan. Tapi di saat yang bersamaan, dia benar-benar khawatir dengan
kondisi tubuh Kak Indra yang semakin dibebani Focus Eye.
***
Sesaat setelah
Kak Indra menarik pedangnya dari lantai, tiba-tiba penglihatannya kembali
memudar. “(Gawat...)” Tak berdaya,
Kak Indra hanya bisa menyerang secara membabi buta sehingga pertahanannya
terabaikan. Anggun yang menemukan celah itu langsung berusaha memanfaatkannya
sebisa mungkin.
“Kelihatannya
kau sudah kehabisan keberuntunganmu, ya~” Ujar Anggun dengan alunan nada yang
riang gembira. Dia berusaha menusuk Indra dengan pedangnya lalu meledakannya
hinga hancur berkeping-keping. Membayangkannya saja, benar-benar membuat Anggun
berdebar-debar seperti orang yang sedang jatuh cinta. Anggun muncul di samping
Kak Indra. Dengan tawa penuh gairah nan gilanya, dia berusaha menusukkan pedang
runcing yang berbentuk seperti jarum jam itu menembus perut Kak Indra bagaikan
sate.
“Lawanmu bukan
hanya Indra!” Mbak Dinda berlari memasuki pertarungan mereka berdua. “Open the
Seal : Blue Bird.” Saat itu juga, dia ayunkan pedang apinya ke arah yang tepat
berada di antara mereka berdua—atau lebih tepatnya, kearah tangan Anggun yang
hendak berusaha menusukkan pedangnya kearah Kak Indra. Api yang ada di
pedangnya terlempar dan berubah menjadi burung yang tercipta dari api biru.
Dengan cepatnya, burung biru itu melesat—berbelok kearah Anggun.
Anggun sama
sekali tak menduga serangan itu. Pertarungannya dengan Kak Indra benar-benar
membuatnya lupa akan keberadaan Mbak Dinda. Serangannya gagal dan dia sedikit
terpental akibat burung biru tadi. “Indra, kau tak apa? Sudah kubilang bukan,
kalau kau sebaiknya beristirahat dulu!” Bentak Anggun dengan judes membuat Kak
Indra tak bisa berkata-kata. Bahkan Kak Indra bisa melihat dengan jelas wajah
Mbak Dinda yang merah karena kesal dan seakan ada uap yang keluar dari dahinya.
“Iya, iya. Aku
mengerti...” Jawab Kak Indra dengan canggungnya mencoba untuk menenangkan Mbak
Dinda.
“Sakitnya....!
Dasar sampah tak tahu diri!” Anggun tersenyum gila dengan tatapan tajam yang
tertuju kepada Mbak Dinda. Tatapanya yang gila dan cengengesan yang
dikeluarkannya dari senyum yang lebar itu benar-benar membuat siapapun yang
mendengar maupun melihatnya merinding. Dia menarik pedangnya yang tertancap di
pundak kirinya yang hancur akibat ledakan yang tercipta saat pedang itu
menancap. Dia menariknya sambil tersenyum lebar bagaikan seorang maniak. Dia
tak menunjukan ekspresi kesakitan atau semacamnya. Hanya senyum. Senyuman gila
yang terpampang lebar di wajahnya.
Luka akibat
ledakan itu benar-benar berbeda dengan luka yang biasa tercipta di permainan
Start Point. Biasanya, luka hanya akan berupa cahaya berwarna putih, namun kali
ini benar-benar berbeda. Cipratan darah berceceran di mana-mana. Warna merahnya
menghiasi dinding putih dan lantai yang bening. Bahkan ada beberapa—bagaimana
aku harus menyebutnya—beberapa daging dan kulit berceceran di lantai.
“Apa-apaan dia
itu...” Mbak Dinda menatap Anggun dengan tidak percaya. Wajahnya bahkan membiru
karena tak sanggup melihat tingkah laku Anggun yang ganjil dan kondisi di
sekitarnya. Kak Indra bertanya-tanya, apakah masih ada kewarasan di kepala
Anggun. Bahkan Zaki dan Leila tak sanggup melihatnya saat dia menarik pedang
itu dari pundaknya yang hancur.
Perlahan Anggun
melangkah dengan senyum dan tawa gilanya. Caranya berjalan nampak seperti mayat
hidup. Mbak Dinda kembali menyiapkan dirinya untuk kembali bertarung. Namun,
saat dia mulai menggenggam pedang dan perisainya erat-erat, Anggun tiba-tiba
muncul di sampingnya. Bahkan tak sampai sepersekian detik hingga ia bisa sampai
di situ. Ekspresi selain senyum lebarnya benar-benar kosong. Seakan dia tak
memiliki emosi sama sekali.
Mbak Dinda
takkan sempat menghindar juga takkan sempat menahannya dengan perisai. Jarak
antara mata pedang Anggun dengan dirinya sudah terlalu dekat. Yang bisa dia
lakukan hanya menatap Anggun dan mendengar tawa gilanya yang menggelegar.
Mbak Dinda
memejamkan matanya. Saat itu ia berpikir “(Aaah,
jadi ini akhirnya... Seharusnya aku lebih bisa mengungkapkan perasaanku kepada
Indra... Hal terakhir yang kulakukan malah membentaknya. Ya ampun, aku ini
benar-benar naif....)” Dia tersenyum menertawai dirinya sendiri.
“Dinda!”
Mbak Dinda
membuka matanya saat menyadari kalau ada seseorang yang mendorongnya. Sebuah
tangan yang hangat telah mendorongnya. Dia menengok—mendapati Kak Indra yang
mendorongnya—menyelamatkannya dari pedang Anggun.
Namun, harapan
tersebut hanyalah serigala berbulu domba.
Harapan berubah
menjadi keputusasaan. Kurasa itulah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan
kejadian ini.
Di hadapannya,
tepat di hadapannya, Mbak Dinda melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Saat-saat dimana pedang itu menusuk tangan kanan Kak Indra lalu meledakkannya
menjadi potongan-potongan kecil. Cipratan darah merah kental membasahi
wajahnya. Bersamaan dengan suara teriakan Kak Indra yang penuh dengan rasa
sakit. Mbak Dinda sama sekali tak bisa mempercayai apa yang di lihatnya.
Matanya terbelalak dengan ekspresi kosong menatap Kak Indra yang hanya bisa
terbaring kesakitan dengan lengan kanannya yang hancur.
Sementara itu,
Anggun tertawa dengan leluasa. Tawa gilanya yang menjadi-jadi benar-benar
membawa keputusasaan.
“Kak Indra!”
Zaki dan Leila sontak menghampiri Kak Indra. Mereka lekas mengikat tangan Kak
Indra dengan jaket milik Zaki untuk menghentikan pendarahannya. “Bertahanlah,
kak!” Ujar Zaki sambil mengikatkan jaketnya. Sementara itu, Leila langsung
bergegas login ke dalam Start Point lalu terus memberi Kak Indra ramuan
penyembuh yang ia punya. Berkat ramuan tersebut, luka di tangan kanan Kak Indra
mulai sembuh. Namun, mereka sama sekali tak tahu apa yang terjadi dengan tangan
aslinya. Apakah luka ini akan berakibat kepada tubuh aslinya atau tidak, mereka
tak tahu.
Perlahan demi
perlahan, ruangan semakin terasa panas. Rasanya mulai seperti berada di atas
panggangan. Hawa panas itu berasal dari seseorang. Seseorang yang baru saja
merasa kehilangan, merasa putus asa, merasa benci dan merasa sedih.
“Takkan
kumaafkan... Apapun yang terjadi, kau tak akan kumaafkan...” Kata Mbak Dinda
dengan nada yang datar dan juga tatapan kosong. Api-api berwarna biru mulai menjalar
dari pedangnya ke seluruh tubuhnya. Bahkan perisainya juga dilahap api biru
tersebut. Di dahinya, api tersebut membentuk seperti dua pasang tanduk. Rambut
hitamnya, berubah menjadi berwarna biru muda—sama seperti warna api yang
membakar seluruh tubuhnya. Tatapannya menjadi tajam bagai tampa ampun.
“Takkan
kumaafkan....! Open the Seal : Blue Knight!” Bentak Mbak Dinda. Dia hentakkan
kakinya ke lantai hingga membuat Anggun terjatuh. Dengan cepatnya, ia melesat
dan muncul di hadapan Anggun. Ia ayunkan pedang birunya sekuat tenaga. Anggun
berhasil menahannya dengan pedangnya, namun dikarenakan ayunannya yang begitu
kuat, ia tetap terpental akibat dorongan dari pedang tersebut. Ledakan sempat
beberapa kali tercipta saat pedang Anggun dan pedang Mbak Dinda beradu, namun
ledakan itu sama sekali tak berpengaruh kepadanya.
Anggun
terpental kearah tembok es. Akibatnya, dia menabrak tembok es tersebut hingga
membuatnya hampir hancur berkeping-keping.
“Dinda...”
Gumam Kak Indra melihat Mbak Dinda yang terbakar amarah. Ia ingin sekali meraih
Mbak Dinda dan menghentikannya, namun ia sudah mulai kehilangan kesadarannya
dan pingsan.
***
“Tempat ini...”
Setelah
melewati beberapa lantai, akhirnya aku sampai juga di atap gedung ini. Sungguh
gedung yang begitu tinggi.
Aku berjalan
menaiki tangga helipad. Angin sepoi-sepoi meniup rambutku. Suara gesekannya
yang terdengar jelas, langit jingga kebiruan yang bisa kulihat sejauh mata
memandang, pemandangan seluruh kota yang bisa kulihat dengan jelas, mentari di
sore hari yang mulai tenggelam.
Lalu...
Sebuah cermin.
“Apa ini...”
Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat sebuah cermin yang berada di
tengah-tengah helipad. Sebuah cermin, yang tepat berhadapan langsung dengan
sang mentari. Aku berjalan memutarinya—menghampiri bagian depannya. “Anita!”
Sesuai dengan informasi yang kudapatkan, Anita terperangkap di dalam cermin
itu.
Aku
mengetuk-ngetuk cermin tersebut sambil terus menerus memanggil namanya. Dari
lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap dia bangun dan keluar dari cermin
itu. Namun percuma saja, apa yang kulakukan saat ini sama sekali tak berdampak
apapun. Anita masihlah tertidur seperti putri tidur dalam cerita dongeng.
Pantulan cahaya yang berasal dari cermin begitu menyilaukan mataku. Itu
membuatku kembali teringat akan sesuatu.
“Oh iya,
mataharinya....” Aku berbalik. Menatap matahar petang keemasan yang semakin
tenggelam di setiap detiknya. Waktu semakin menipis. Mungkin hanya tersisa
beberapa menit lagi hingga Shadow Player menggunakkan kekuatan Anita. Aku tak
tahu jam berapa saat ini karena aku tak membawa jam maupun smartphoneku untuk
melihat waktu.
Juga, aku
teringat satu hal lagi. Di mana Shadow Player berada?
Di perjalananku
kemari, aku hanya menemui anak buahnya dan aku sama sekali tak menemui petinggi
maupun dirinya.
Gawat, apa yang harus kulakukan untuk bisa mengeluarkannya?
Apa aku bisa mengeluarkannya dengan cara menghancurkan cermin itu?
Aku berbalik
sambil menarik pedangku dari sarungnya. “Open the Seal : Moonlight Shard.”
Kuayunkan pedangku—sebuah ayunan penuh yang melepaskan seluruh energi Moonlight
Shard yang ada di pedangku dalam sebuah serangan. Jika serangan ini masihlah
belum cukup, aku akan terus mengulanginya lagi dan lagi. Dengan sisa mana yang
kupunya saat ini, kurasa beberapa serangan cukup untuk bisa menghancurkannya.
Serangan itu
melesat lurus menabrak cermin tersebut hingga membuatnya bergetar hebat. Bukannya
merusak maupun menggores cerminnya, seranganku malah terpantul balik kearahku.
Aku sama sekali tak menduga kalau akan menjadi seperti ini. Dalam keadaan
panik, aku melompat menghindari cahaya Moonlight Shard yang terpantul kearahku.
Dengan napas
yang terengah-engah, aku mencoba kembali berdiri. Bodohnya aku, seharusnya
sejak awal aku menyadarinya kalau cermin akan memantulkan cahaya. Tapi ini
bukanlah saat yang tepat untuk menyalahkan diri sendiri. Kalau melempar cahaya
tak berhasil, kalau begitu...
Kutarik napas
dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Uap bisa kulihat dengan
jelas keluar dari mulutku saat kuhembuskan napasku. Hal itu dikarenakan udara
dingin di sore hari ini. Ditambah lagi, saat ini aku berada di lantai tertinggi
dari sebuah gedung pencakar langit. Kuambil kuda-kuda untuk berlari lalu
menatap lurus cermin itu.
“Open the Seal
: Moonlight Shard – Moonlight Sword.”
Kugenggam
pedangku erat-erat, lalu berlari menerjang kearah cermin tersebut. Kukerahkan
seluruh tenagaku untuk bisa menghancurkan cermin tersebut dalam satu ayunan
pedang.
“Sayang sekali,
tapi itu takkan berhasil.”
Tiba-tiba aku mendengar
suara yang berat dan juga mengerikan. Dari dalam cermin, sebuah tangan berwarna
hitam pekat dengan mudahnya menangkap pedangku. Tangan itu menghisap seluruh
cahaya Moonlight Swordku bagaikan penyedot debu. Aku mencoba untuk menariknya
kembali, namun genggamannya begitu kuat hingga membuatku kesulitan.
Dia berjalan
keluar dari dalam cermin. Dengan lekukan berwarna merah di wajahnya yang
berbentuk seperti sebuah senyuman.
“Apa maksudmu?”
Tanyaku sembari melirik kesana kemari mencari celah untuk melepaskan
genggamannya. Shadow Player terkekeh-kekeh mendengar pertanyaanku. Dia angkat
tangannya hingga telapak tangannya menghadap tepat ke wajahku.
“Kenapa juga
aku harus memberitahumu?” Dia menyeringai mengejekku. Tak lama, tiba-tiba ada
semacam dorongan udara yang mendorongku dengan begitu keras. Rasanya bagaikan
ada peluru yang tiba-tiba menembak wajahku. Aku terpental hingga hampir jatuh
dari helipad. Apa itu tadi? Apakah itu serangannya? Rasanya begitu sakit,
serangannya begitu berbeda dari serangan pada umumnya. Serangannya terasa
nyata—lebih tepatnya sangat nyata. Seakan tubuh aslikulah yang terkena serangan
itu dan bukanlah avatar ini. Dia melempar pedangku yang sebelumnya ada di
genggamannya kembali kepadaku.
“Yang benar
saja, tadi itu serangan? Kau bahkan tak perlu melafalkan mantra sama sekali...”
Eluhku sambil berjalan menghampiri pedangku lalu mengambilnya kembali. Ini sama
sekali tak membuatku tertawa. Serangannya tadi, mungkin masihlah belum serius.
Aku pasti sudah mampus jika dia bersungguh-sungguh tadi.
Untuk saat ini, aku harus mencari cara untuk mengalahkannya
dan menyelamatkan Anita.
“Hei, Zetsu
Hitam KW, sebenarnya, apa tujuanmu?” Tanyaku lagi.
“Tujuan?
Tujuanku?” Shadow Player tertawa lagi. Tawanya lebih kencang dari
sebelum-sebelumnya. “Memangnya menurutmu apa? Aku ini virus! Tentu saja aku
harus menginfeksi semuanya. Bahkan manusia seperti kalian.” Dia ayunkan tangan
(kanan) hitamnya yang perlahan berubah menjadi pedang lalu menunjukku “Kalian
manusia sama sekali tidaklah berguna bagiku. Karena itulah aku ingin
melenyapkan kalian.”
Aku tertawa
kecil “Heh, alasan macam apa itu? Sama sekali bukanlah alasan yang kuat seperti
tokoh antagonis dalam komik. Kukira kau akan mengatakan hal konyol seperti
‘kalian manusia sudah mengotori bumi ini’ atau semacamnya.” Ejekku sambil
menengok kearah sang mentari—memastikan kembali waktu saat ini. Sial, sudah
lebih dari setengah matahari tenggelam. Entah berapa menit lagi hingga matahari
itu akan tenggelam. Aku kembali menengok kearah Anita dan Shadow Player. Aku
benar-benar kehabisan waktu. Pokoknya entah bagaimana, aku harus bisa
menghancurkan cermin itu.
“Sudah
terlambat. Sekitar dua menit lagi, matahari akan tenggelam dan aku akan memulai
rencanaku.” Ujar Shadow Player melihat tatapan seriusku.
“Wah, terima
kasih. Kau sudah repot-repot memberitahuku waktu saat ini.” Aku terkekeh lalu
menyeringai mengejek. “Open the Seal : Super Moonlight Shard – Super Moonlight
Speed.” Aku langsung berlari secepat yang kubisa. Melesat dengan kecepatan
seperti ini benar-benar sakit. Otot-otot kakiku benar-benar terasa nyeri.
Mungkin ini efek samping dari pertarungan sebelumnya. Aku merasa seperti sebuah
bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Tapi, asalkan itu bisa membuatku menyelamatkan Anita, aku
rela tulang maupun otot kakiku rusak sekalipun!
“Sudah kubilang
terlambat!”
Shadow Player
tiba-tiba muncul menghadangku. Dia menangkap kepalaku lalu membenturkannya ke
lantai beton yang begitu keras dan dingin. Dia beturkan kepalaku begitu keras
hingga membuat lantai beton yang kutabrak hancur. Lagi-lagi, dia menghisap
energi Moonlight Speedku hingga habis. Aku tak berdiam diri begitu saja, kucoba
menyerangnya dengan pedangku, namun dia menghinjak tanganku sesaat sebelum aku
sempat menggerakannya. Akibatnya, genggamanku melemah dan pedangku terlepas.
Setelah itu, dia berhenti menghinjakku lalu menendang pedangku jauh-jauh.
Dia melepaskan
genggamannya dari kepalaku lalu mundur dua langkah. “Kenapa kau keras kepala
sekali? Saat kubilang sudah terlambat, maka begitulah.” Shadow Player
menyeringai lalu menghentakkan kaki kirinya. Entah bagaimana, hentakkan kaki
itu membuat tubuhku dan batu-batuan di sekitarku terdorong keudara. Saat aku terdorong
ke udara, tangan kirinya sudah menunggu kedatanganku. Tangannya menyentuh
tubuhku, lagi-lagi, aku terpental hingga hampir jatuh dari helipad sama seperti
sebelumnya.
Apa-apaan dia ini, dia bagaikan perpaduan antara Zetsu Hitam
dan juga Pain.
Pikirku saat
berusaha sekuat tenaga untuk bisa kembali berdiri. Serangan tadi benar-benar
memberiku banyak damage. Hpku yang tersisa tinggal sedikit. Padahal, tadi aku
sudah memulihkan hpku dengan meminum ramuan penyembuh. Sambil tak mengalihkan
pandanganku darinya, aku membuka inventoriku lalu mengambil ramuan penyembuh.
Aku masih punya sekitar lima atau enam ramuan penyembuh.
Satu ramuan
penyembuh cukup untuk menyembuhkan setengah hp-ku, jadi kurasa aku akan
baik-baik saja.
Setelah selesai
menggunakkan sebuah ramuan penyembuh, aku melirik kearah pedangku, lalu
langsung bergegas berlari untuk mengambilnya. Sementara aku berlari, Shadow
Player terus menerus menembakkan serangan-serangan yang begitu mirip dengan
Moonligt Shard yang dilemparkan. Saat dia ayunkan tangan kanannya yang
berbentuk seperti pedang, cahaya-cahaya berwarna hitam terlempar kearahku bagaikan
Moonlight Shard.
Berbeda dengan
Moonlight Shard-ku, kecepatan serangannya benar-benar tidak wajar. Hampir tak
mungkin bagiku untuk bisa menghindar sepenuhnya. Aku pasti akan terkena setiap
serangannnya, meskipun itu hanyalah luka gores. Damage yang dihasilkan dari
serangannya juga tak main-main. Jika bukan luka gores, pasti saat ini aku sudah
kewalahan.
Sambil berusaha
menghindar, aku terus berlari menghampiri pedangku. Setelah berhasil
menangkapnya, aku langsung berhenti dengan pakem lalu mengaktifkan Super
Moonlight Speed. Setelah itu aku langsung berbelok kearah cermin sambil
mengaktifkan Moonlight Sword. Tapi, tiba-tiba Shadow Player menangkap pedangku.
Melalui pedang itu, dia mengayunkan tubuhku, lalu membantingnya dengan begitu
kuat. Saking kuatnya, satu bantingan itu hampir menghancurkan seluruh area
helipad.
Lalu, seakan
tak memberi waktu jeda bagiku, tangan kirinya mencekikku lalu membawaku terbang
ke udara. Sementara tangan kiriku yang mencoba melepaskan genggamannya, aku
terus mencoba menyerangnya dengan pedang di tangan kananku. Namun, setiap
serangan yang kulancarkan selalu menembusnya.
Rasanya seperti menyerang asap.
Apa ini, memangnya dia ini pengguna buah iblis tipe logia?
Dia membawaku
terbang begitu tinggi hingga menembus
awan. Rasanya begitu dingin, ini pertama kalinya bagiku merasakan udara
sedingin ini. Bahkan uap udara yang keluar saat aku bernapas nampak lebih jelas
dibandingkan sebelumnya.
Shadow Player
hanya tersenyum melihatku yang terus berusaha melepaskan genggamannya. Dia sama
sekali tak merasa terganggu saat aku terus-menerus menyerangnya. “Lihat,
mataharinya sudah tenggelam.” Ujar Shadow Player sambil menunjuk matahari
dengan tangan kanannya. Aku berusaha menengok, benar apa yang dia katakan.
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Langit yang sebelumnya oranye keemasan,
sudah menjadi biru dan perlahan semakin gelap. ”Ini adalah akhir bagi kalian.”
Sambungnya terkekeh-kekeh.
Dengan
kecepatan yang sangat luar biasa, dia menyeretku ke bawah. Menuju kembali
kearah helipad. Lalu, dia melemparku kearah helipad dan membuat tempat itu
sepenuhnya hancur. Suara saat aku berbenturan dengan helipad menggema ke
seluruh kota. Mereka yang berada di dalam gedung bisa mendengarnya dengan jelas.
Asap dan debu
akibat hancurnya tempat itu tersebar kemana-mana. Tubuhku benar-benar terasa
lemas dan sakit. Aku beruntung, meski tak banyak, tapi aku masih memiliki
beberapa hp. Aku selamat berkat Super Moonlight Speed ini, meski hanya sesaat,
aku sempat menggunakkannya saat dia melemparku tadi. Entah kenapa dia tak
menghisap Super Moonlight Speed ini saat dia mencekikku tadi. Dengan lemasnya,
aku berusaha membuka inventoriku lalu menggunakkan ramuan penyembuh. Meski
begitu, tubuhku masihlah terlalu sakit dan lemas untuk bisa digerakkan. Butuh
beberapa detik sampai aku bisa bergerak seperti semula.
Asap yang
menyelimuti helipad tak bertahan lama karena kencangnya hembusan angin. Aku
bisa melihatnya dengan jelas, meski helipad ini hancur, cermin itu sama sekali
tak tergores. Tapi ada yang aneh dari cermin itu. Sejak matahari tenggelam,
cermin itu sama sekali tak memantulkan cahaya. Shadow Player turun kembali dari
langit lalu menghampiri cermin itu.
“Lihatlah
baik-baik.” Katanya. Tak lama, cermin itu mulai melayang. Perlahan demi
perlahan, benda itu semakin memanjat langit. Saat sudah cukup tinggi, mulai
muncul retakan di tengah-tengah cermin itu. Retakan itu dengan cepatnya
menyebar ke seluruh cermin. Cahaya keluar dari celah retakan itu. Perlahan
cahaya yang keluar semakin banyak dan semakin cerah. Cerahnya bagaikan rembulan
malam hari yang menerangi bumi. Semakin cerah cahaya yang keluar, semakin besar
juga celah diantara retakan-retakan itu.
Crash.
Cermin itu
hancur. Dari dalamnya, seorang gadis berambut setengah hitam setengah putih
muncul. Sayap hitamnya membentang luas dengan bulu-bulunya yang berwarna hitam.
Di tangan kirinya, terdapat sebuah sabit yang gagangnya sama panjangnya dengan
tinggi gadis itu. Perlahan, dia membuka mata hijaunya yang indah dan elegan.
Dia menatap ke bawah bagaikan menatap serangga menjijikan. Tatapannya penuh
kebencian dan juga dendam.
“Anita?”
Gumamku saat menatapnya. Anita melesat terbang ke bawah. Bulu-bulu hitam
berguguran saat dia mengepakkan sayapnya. Angin yang terbawa oleh sayapnya
berhembus begitu kencang saat dia mendarat di helipad. Sesaat setelah mendarat,
dia katupkan sayapnya. Perlahan, aku kembali berdiri sambil bertumpu pada
pedangku “Ani—” Pada awalnya aku berniat memanggilnya, namun aku merasa ada
yang ganjil. Tatapannya—tatapan Anita benar-benar kosong. Seakan tak mempunyai
jiwa. Dan lagi, caranya dia menatap ke sini saat di atas tadi benar-benar aneh.
Lalu, dia berdiam diri saat Shadow
Player berusaha mendekatinya.
Pokoknya, saat
ini segala sesuatu tentangnya saatlah aneh. Dia bukanlah Anita yang kukenal.
Sesuatu, pasti Shadow Player telah melakukan sesuatu padanya saat di cermin
tadi.
Aku berkedip.
Apa— Tunggu, apa—
Anita muncul
tepat di hadapanku lalu mengayunkan sabitnya kearahku. Sontak, aku langsung
reflek menepis sabit itu dengan pedangku. Namun dia tak berhenti begitu saja,
saat aku berusaha menghentikan serangannya yang selanjutnya, tiba-tiba tubuhku
tak bisa bergerak.
Gawat, kalau begini, bisa-bisa sabit itu menusukku.
“Open the Seal
: Moonglight Shard – Moonlight Speed.” Dengan cepat seperti penyanyi rap, aku
melafalkan mantra itu. Sekuat tenaga, aku berusaha menggerakkan tanganku untuk
menangkis serangannya. “(Bergeraklah...!)”
Tanganku mulai bergetar, setelah itu secara ajaib aku berhasil menggerakkannya
lalu berhasil menangkisnya tepat sesaat sebelum sabit itu menyentuh pakaianku.
“Anita,
sadarlah! Ini aku! Aku tak mau melawanmu!” Ujarku sambil menahan serangan itu.
Anita hanya terdiam mengabaikanku. Dorongan sabitnya malah semakin kuat dan
semakin kuat tiap detiknya. “Akh, sial!” Aku mendorong balik sabitnya lalu
langsung berlari mundur menjauhinya dengan Moonlight Speed. Sementara itu,
Anita mengayunkan sabitnya lalu kembali menatap lurus kearahku.
Gawat, apa yang harus kulakukan? Aku tak mau melawan Anita.
Disaat yang bersamaan, aku juga tak bisa terus membiarkannya begini.
“Kumohon Anita,
sadarlah! Aku benar-benar tak ingin bertarung denganmu!” Gertakku sekali lagi.
Disaat aku sedang dibingungkan dengan situasi ini, hawa panas perlahan menjalar
ke belakang tubuhku. Aku bertanya-tanya dari mana asalnya hawa panas itu.
Sampai aku berbalik dan melihat asap hitam tebal yang berasal dari api biru
yang menjilat-jilat keluar ruangan. Aku berjalan menghampiri pinggiran helipad
dan melihat ke bawah. Api biru yang berkobar di lantai di bawah itu terus
menjalar keatas gedung. Menurut perkiraanku, jarak antara kami dengan api itu
sekitar tiga atau empat lantai.
“Apa yang
sebenarnya terjadi?” Saat ini muncul begitu banyak pertanyaan di kepalaku.
Namun pertanyaan itulah yang bisa menyimpulkan seluruh pertanyaan yang ada. Aku
mendengar suara tawa yang berat juga suara tepukan tangan.
“Tenang saja,
kau tak perlu mencari jawabannya. Karena setelah aku menghabisimu, aku akan
menggunakkan kekuatan Cursed Eye dan
menghentikan napas semua orang yang ada di kota ini.” Dia nampaknya sangat
senang dengan kekacauan yang ada. Aku dapat melihat dengan jelas dari senyuman
di wajahnya yang semakin melebar.
“Heh. Kenapa
kau harus menghabisiku dulu sebelum menggunakkan kekuatan Anita?” Tanyaku
sambil kembali berjalan menjauhi pinggir helipad.
“Kau lah yang
seharusnya paling tahu siapa orang yang paling disukai Anita.” Jawabnya dengan
sombong. “Dengan kehilangan satu-satunya orang itu, dia akan kehilangan sesuatu
yang biasa di sebut ‘harapan’. Dengan begitu keputus-asaan akan terus
menghantui dirinya.” Sambungnya.
Aku tersentak.
Perkataannya barusan membuatku teringat kembali dengan pesan yang diberikan
Anita kepadaku. Aku termenung sesaat, lalu kembali menatap lurus kearah Anita
yang perlahan berjalan menghampiriku sambil mengayunkan sabitnya. “Harapan,
ya....” Gumamku.
“Harapan yang
dimiliki Anita, aku?” Aku tertawa kecil. “Yang benar saja, aku, satu-satunya
teman baginya, yang telah menghilang dari kehidupannya selama bertahun-tahun
adalah harapannya?” Dengan senyuman geli, aku mengangkat pedangku lalu
menggenggamnya erat-erat. Anita mendorong pijakkannya dengan sekuat mungkin
hingga membuat beton yang dipijaknya retak. Dengan cepat ia melompat kearahku
lalu mengayunkan sabitnya kearahku. Aku sudah menunggu serangan itu datang.
Kutahan serangannya dengan Super Moonlight Sword. Aku bertanya-tanya mengapa
dia tak menggunakkan kekuatan matanya sekali lagi, apakah ada sistem cooldown
atau semacamnya?
Sementara aku
sedang berpikir, seakan tak kehabisan ide, Anita menyerangku dengan
menggunakkan sayapnya. Aku terpental tapi langsung menghentikkan tubuhku dengan
mendorong tubuhku ke atas. Saat aku sedang melambung tingi di udara, Anita
muncul di belakangku lalu lagi-lagi memukulku dengan sayap hitamnya. Pukulannya
saat di udara berbeda dengan saat berada di daratan. Lebih kuat hingga
membuatku melesat menukik ke helipad. Asap dan debu keluar dari beton yang
hancur akibat daya hancur dari diriku yang jatuh.
Saat kubuka
kembali mataku, Anita sudah di hadapanku dan mengayunkan sabitnya tepat kearah
perutku. Sontak, aku langsung menepis serangannya lalu melompat menjauhinya.
Anita kembali terbang, dia lempar sabitnya kearahku. Sabit yang terlempar itu
berputar-putar seperti baling-baling helikopter. Dengan ajaibnya benda itu bisa
berbelok tepat kearahku. Bahkan putarannya terlalu cepat untuk bisa kutangkis.
“Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight Speed.” Dengan cepat aku menghindar.
Saat sabit itu tidak mengenaiku, benda itu kembali berbelok kearah Anita
seperti sebuah bumerang.
Anita dapat
dengan mudah menangkap sabit tersebut. Dengan cepat ia terbang melesat kearahku
bagaikan elang yang hendak menerkam mangsanya. Aku tersenyum kecut lalu menahan
serangannya. Aku bisa melihat dengan jelas, percikan api yang tercipta saat
pedangku dan mata pisau sabitnya beradu satu sama lain.
“Orang
sepertiku lebih pantas disebut sebagai pembawa keputusasaan. Selama ini, yang
kulakukan hanyalah membuat semua orang yang ada di sekitarku merasa sedih dan
putus asa. Lagi dan lagi, aku tak pernah belajar dari kesalahanku di masa lalu
dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Aku terus menyalahkan diriku sendiri,
tanpa pernah membuat perubahan. Aku membuat orang yang kuanggap sebagai
kakakku—keluargaku celaka, membuat teman baikku khawatir, bahkan aku
mengabaikan semua orang yang peduli kepadaku dan memilih untuk berdiam diri.
Karena itulah...” Perlahan, kulepas genggamanku—membiarkan pedangku jatuh dan
membiarkan pertahananku terbuka lebar. Aku tersenyum tulus sambil menatapnya
“...Karena itulah, aku tak ingin melawanmu....”
Jleb.
Suara tusukan
saat sabit itu menusukku dapat kudengar dengan jelas. Besi hitam yang runcing
nan tajam itu menusuk pinggangku. Sakit, rasanya begitu sakit. Begitu sakit
hingga membuatku ingin berteriak kesakitan. Aku bisa melihat hp-barku yang
perlahan semakin menipis. Tubuhku terasa lemas, bahkan aku tak punya tenaga
untuk bisa mengepalkan tanganku. Tak kenal ampun, meski sudah tertusuk, sabit
itu terus menerus didorong hingga semakin menusuk lebih dalam.
Iya. Begini saja tak apa.
“Dasar kau ini,
jika kau ingin menembak sesorang, katakanlah langsung.” Gumamku dengan suara
tertahan. Perlahan kugerakkan tangan kananku mengenggam pundak Anita. Dengan
segala rasa sakit yang ada, aku kerahkan senyum lebarku, sehangat yang kubisa.
“Ayo pulang,
Anita....”
Air mata itu
mengalir deras menjatuhi pipinya. Keluar dari matanya yang berkaca-kaca. Anita
menangis meraung seperti seorang anak kecil, menangis begitu kencang. Dari
bibirnya yang bergetar, ia meraung. Setiap air mata, suara, serta ekspresi yang
dikeluarkannya mewakili banyaknya perasaan yang mengalir. Seakan perasaan itu
tak mengizinkannya untuk membendungnya. Suaranya, tangisannya begitu tulus.
Bahkan tak bisa diungkapkan dalam kata-kata.
Kusadari kalau sabit yang
menusukku telah lenyap. Sayap hitam itu mulai menghilang. Bulu demi bulu,
perlahan rontok lalu lenyap seperti debu. Rambut hitamnya memudar, kembali ke
warna aslinya.
Dalam
tangisnya, Anita perlahan menghampiriku lalu memelukku. Pelukkannya begitu
kencang hingga membuatku agak sulit bernapas. Air matanya jatuh membasahi
pakaianku. Meski tubuhku masih terasa lemas, aku membalas pelukannya. Aku bisa
melihat dengan jelas, dia menangis dan meraung.
Namun tak apa. Asalkan seperti ini, itu tak apa.
Gadis berambut
putih itu menangis.
Meraung.
Menumpahkan
segala perasaan yang sudah lama ia pendam.
Anita yang
selama ini kulihat—senyumannya yang riang yang selama ini selalu kulihat.
Berubah menjadi sebuah tangisan tulus, tangisan yang seperti anak kecil.
***
“Anita, kau tak
apa-apa?” Tanyaku yang terduduk lemas sambil menekan luka di pinggangku. Sudah
beberapa menit sejak Anita menangis, saat ini dia sudah mulai kembali tenang.
“Harusnya aku
yang bertanya begitu. Lagipula, kenapa kau datang kemari? Bukankah aku sudah
memintamu dan yang lainnya berevakuasi?” Balas Anita judes. Aku tertawa
canggung. Dia mengulurkan tangannya ke arah luka di pinggangku, memejamkan
matanya lalu perlahan cahaya hangat berwarna putih muncul di sekitar tangannya.
Entah bagaimana, cahaya itu menyembuhkan luka di pinggangku. Hp barku juga ikut
pulih bersamaan dengan lukaku yang sembuh. “Dengan begini kau akan baik-baik
saja.” Anita kembali membuka matanya lalu menyeka keringat di dahinya.
Prok, prok, prok.
Suara tepukan
tangannya. “Wah wah wah, tak kusangka kau bisa melepas pengaruhku. Tapi, tadi
itu sungguh drama yang menyentuh.” Shadow Player berbaring di helipad bagaikan
seseorang yang sedang bersantai di pantai. Tak lama kemudian dia melompat
berdiri “Tapi, meskipun rencanaku telah gagal. Aku pasti akan tetap melenyapkan
kalian semua.” Dia angkat tangan kanannya yang bentuknya sudah berubah menjadi
seperti pedang. Perlahan, cahaya berwarna hitam dengan aura berwarna merah
mulai menyelimuti pedang tersebut.
“Takkan
kubiarkan!” Aku ayunkan pedangku yang sudah terlapisi Moonlight Shard. Kulemparkan
cahaya yang berbentuk seperti serpihan cahaya bulan kearahnya.
Shadow Player
hanya tertawa melihat satu-persatu seranganku menembus tubuhnya. Tawanya
semakin kencang bersama dengan energi di tangannya yang semakin membesar.
Slash
“Apa?!”
Tiba-tiba,
serangannya terganggu. Energi yang sudah terkumpul di tangan kanannya tercerai-berai
disaat serangan terakhirku tiba-tiba mengenai tubuhnya. Dia terdorong akibat
hempasan seranganku lalu berlutut sambil menekan luka di perutnya. Senyum lebar
di wajahnya terhapus menyisakan wajah hitam kosong tanpa wujud sama sekali. “Ini...
efek anti-virus.... bagaimana bisa...?” Tanyanya sambil kembali berdiri.
“Benar sekali.”
Ujar Anita membenarkan dugaan Shadow Player. Dia ambil sebuah serpihan cermin
yang berserakan di helipad lalu tersenyum puas. Di cermin tersebut, terpantul
sosok Shadow Player. “Sesaat yang lalu, aku memasukkan anti-virus kedalam
sistemmu saat kau berada di dalam cermin.” Sambungnya sambil melempar cermin
tersebut kearah Shadow Player. Cermin itu sempat beberapa kali terpantul sampai
akhirnya mendarat tepat di bawah Shadow Player.
“Selama ini,
kau kira aku berada di dalam genggamanmu, namun kenyataannya, kau lah yang
terjebak.” Sambung Anita dengan senyum mengejek sambil menunjuk Shadow Player.
Shadow Player
hanya terdiam, lalu menginjak cermin itu hingga hancur berkeping-keping “Ke-keparat
kau! White...!!!” Teriaknya penuh emosi. Emosinya memuncak, sebuah pola
berwarna merah di wajahnya tercipta, bentuknya seperti gigi taring. Atmosfir di
sekitarnya menjadi berat, aura berwarna merah darah menyelimuti dirinya. Bahkan
sulit bagiku untuk bernapas.
“Dengan begini
aku bisa menyerangmu!” Aku berlari kearahnya lalu mengayunkan Super Moonlight
Sword-ku. Masih kesal, Shadow Player menepis seranganku lalu melompat mundur.
“Ya. Sekarang
kesempatan kami untuk bisa mengalahkanmu bukanlah 0% lagi.” Dengan senyum penuh
percaya diri, Anita berjalan menghampiriku. Shadow Player bimbang, dia terdiam
seribu bahasa.
“Khu- hahahaha”
Tawa lepas keluar dari Shadow Player. “Baiklah. Kau benar-benar sudah
mempermainkanku, White. Tapi jangan merasa puas terlebih dahulu, karena aku
masih belum menyerah.” Dia ayunkan kedua tangannya ke samping lalu mengubahnya
menjadi pedang yang begitu panjang dan juga runcing. Aura yang di keluarkannya
membuat pijakkannya retak, hembusan angin yang begitu kencang berhembus darinya
“Majulah!”
Apa ini, memangnya kedua tangannya itu Migi dari Parasyte?
***
“Kak Indra...!
Kak!”
Suara yang
memanggilnya telah membangunkan dirinya. Dirinya tersentak saat merasakan
panasnya kobaran api biru yang melahap seluruh ruangan. Di hadapannya ada Zaki
dan Leila yang nampak senang melihat dirinya telah tersadar. Namun, dibalik itu
semua, Kak Indra menyadari kalau saat ini mereka sedang terjebak dikelilingi
kobaran api.
“Syukurlah,
akhirnya Kak Indra siuman juga....” Ujar Zaki tersenyum lega. Saat melihat
kobaran api, Kak Indra teringat dengan apa yang terjadi sebelumnya. Dia-pun
sontak langsung terduduk sambil menengok kesana kemari.
“Oh iya,
Dinda... Dimana dia—” Tiba-tiba rasa sakit dan nyeri di tangan kanannya
membuatnya tak bisa berkata-kata. Meski tangan kanannya sudah pulih seperti
sedia kala—berkat obat penyembuh—dia sama sekali tak bisa merasakan tangan
kanannya. Tangan kanannya terasa mati rasa, seakan tangan itu tak pernah ada
sama sekali. Sambil kembali menekan rasa sakit di tangan kanannya, ia berusaha
menyelesaikan kata-katanya “Dimana Dinda?”
“Sayangnya,
kami tidak tahu.” Jawab Leila murung. “Dia menghilang sejak dia membawa pergi
Anggun bersamanya.” Sambungnya sambil menengok kearah pintu keluar yang
sebelumnya tertutup es namun sudah mencair.
“Sejak tadi
kami berusaha menghilangkan api-api ini dengan menggunakkan elemen angin milik
Leila, tapi itu malah membuat api yang ada semakin besar.” Zaki tertawa
canggung sambil membuang wajahnya. Dia sadar betul kalau idenya tadi itu sangat
bodoh dan malah memperburuk keadaan.
Kak Indra
mencoba mengambil pedangnya dengan tangan kirinya lalu mencoba kembali berdiri
dengan bertumpu pada benda itu. Sempat sesekali kehilangan keseimbangan sampai
membuat Zaki dan Leila khawatir, namun pada akhirnya dia berhasil kembali
berdiri. Kak Indra menengok kesana kemari, api biru membara sejauh mata
memandang lalu menengok kearah tangan kanannya yang membuatnya teringat Dinda.
“Kalian
mundurlah, aku akan memadamkan api ini dengan elemen air-ku.” Kak Indra
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, lalu hendak berniat untuk menancapkannya di
lantai.
“Tu-tunggu
dulu, Kak Indra tak perlu memaksakan diri. Lagipula, kondisimu’kan lagi seperti
ini.” Zaki menyela perintah Kak Indra.
“Mundur saja!”
Bentak Kak Indra. “Saat ini, prioritas utama kita adalah mencari keberadaan
Dinda.” Melihat kesungguhan di mata Kak Indra yang menatap lurus kearah pintu
keluar membuat Zaki hanya mengangguk setuju. “Open the Seal : Ice Territory.”
Dia tancapkan pedang airnya ke lantai. Dengan cepat, air di pedangnya mengalir
memasuki lantai dan mengubah lantai tersebut menjadi es. Es itu menyebar dengan
cepat ke seluruh area di ruangan ini, memadamkan setiap api yang ada dan
membuat semuanya menjadi es. Sambil menarik pedangnya keluar, Kak Indra menarik
dan mengeluarkan napas dalam. Hembusan udara dingin yang keluar dari mulutnya
nampak dengan jelas dikarenakan dinginnya ruangan.
“Ayo pergi....”
Kak Indra mulai berjalan melangkah menuju ke pintu keluar diikuti Zaki dan Leila
yang mengangguk setuju.
***
No comments:
Post a Comment