Tuesday, December 29, 2020
Saturday, December 26, 2020
Hai semua ^_^ Aye Admin K. Kali ini aye kembali lagi bakal ngepost tentang math. Kali ini level materi math yang bakal aye bahas disini lumayan advance. Di postingan ini kita akan membuktikan suatu persamaan yang melibatkan jumlahan parsial deret hiperharmonik (deret-p) serta fungsi Zeta (atau Riemann-Zeta). Nah, persamaan yang akan kita buktikan kali ini adalah eng ing eng...
Thursday, December 24, 2020
Misi Justice Party di Mana Utara hampir selesai. Namun, tanpa disangka salah satu anggotanya, Aporna berkhianat dan berencana untuk membebaskan Drip dan New yang akan dieksekusi oleh mereka. Sementara itu, Adruga yang sedang membantu kepolisian mengalami masalah karena penjara Saddy Prison diserang oleh orang-orang berjubah hitam dari organisasi Genesis.
Wednesday, December 23, 2020
Saturday, December 19, 2020
Sunday, December 13, 2020
Kripke pada tahun 1979
menerbitkan sebuah puzzle tentang kepercayaan ,yang bertujuan untuk
mematahkan serangan terhadap teori Millian. bahwa absurditas yang terjadi dalam
konteks propositional attiude ( proposisi dalam konteks mental/sikap ) itu
bukan hanya terjadi karena asumsi tranparansi Nama ( koreferensial dapat dipertukarkan secara salva
veritate ). dalam puzzle, kripke menunjukkan bahwa bila asumsinya pun ditolak,
absurditas tetap akan terjadi.
konteks puzzle adalah perbedaan pendapat antara Millian
dan Frege-Russel tentang Nama. Pada Miliian, Nama hanya dianggap sebagai
penunjuk dari objek acuan. Ini sangat berbeda pada pandangan Frege – Russel yang menyatakan bahwa sebuah
Nama memiliki properti-properti yang akan secara unik menunjuk objeak acuan . Misal nama Andi, pada pandangan millian
nama andi hanya sekedar label/denotasi dari ‘Andi ’. Sedangkan pada Frege –
Russel nama Andi merupakan singkatan dari properti-properti yang secara unik
akan menunjuk kepada Andi. Misal kita asumsikan ‘Andi’ adalah
raja perancis saat ini tang botak. maka menurut pandangan Frege – Russell
nama Andi merupakan singkatan dari raja perancis saat ini. atau secara rigor
menggunakan logika tatanan pertama dapat dituliskan (∃x)(Fx&(for all y)(Fy → x =
y) & Bx ) yang kira-kira bila diterjemahkan menjadi : ada x dimana x adalah raja
perancis saat ini dan untuk semua y jika y adalalah raja perancis saat ini maka
x sama dengan y dan x berkepala botak. Menggunakan pernyataan-pernyataan
diatas. alhasil pada Millian, Nama dapat dipertukarkan secara salva veritate (penukaran
tingkat atribut ) sedangkan pada Frege – Russel hal ini mungkin tidak dapat
terjadi. contoh : pada Cicero dan Tulius jika kita memakai pandangan millian
maka keudanya dapat dipertukarkan secara salva veritate . misal Cicero
berkepala botak, maka nama ‘Cicero’ dapat dipertukarkan dengan ‘Tulius’
sehingga kalimatnya menjadi Tulius berkepala botak. hal ini tidak terjadi pada pandangan Frege –
Russel dikarenakan bisa saja properti dari nama Cicero dan Tulius itu berbeda.
Dan karena puzzle kripke ini berhubungan dengan
propositional atittude ( proposisi sikap/mental ). Maka kali ini akan terlebih
dahulu membahas de re dan de dicto . perbedaan dari keduanya
terletak di cangkupan. Jika de re
memiliki cangkupan yang luas maka de dicto memiliki cangkupan yang kecil. misal
pada kalimat Ralph percaya bahwa seseorang adalah mata-mata. Jika membaca kalimat ini dengan de dicto maka dapat dibaca menjadi terdapat seseorang
yang Ralph curigai sebagai mata-mata ( mungkin si andi ). sedangkan pembacaan
de re akan menjadi Ralph percaya terdapat seorang mata-mata. lebih jauh, masing-masing secara rigor dapat dituliskan
menjadi : (there is exist x) (Ralph
percaya bahwa x adalah mata-mata ) dan Ralph percaya bahwa (there is exist x) (x adalah
mata-mata). coba perhatikan kedua
ekpresi, yang membedakan kedua ekpresi adalah cangkupan x-nya.
Terakhir, Sebelum masuk kepada puzzle. akan diasumsikan 2
prinsip yang harus terpenuhi.pertama adalah disquotation principle ( prinsip
diskuotasional ), yang mengatakan bahwa “ jika penngujar secara reflektif,
jujur dan dengan menggunakan bahasa standar mengasersi P maka dia percaya P “ . Ini dibutuhkan untuk menghilangkan
ambiguitas. misal pada kalimat London adalah kota yang indah maka pengunaan
london disini adalah sama seperti pengunaan london pada umunya dan indah
berarti merupakan atribut dari keindahan. harus refleksif ( secara sadar,
hati-hati, dan rasional ) agar menghindari sesat pikir serta jujur aqtau kalimat yang dia nyatakan itu bukan sekedar
sarkasme atau bohongan. sebagai tambahan
berlaku bikondisional pada prinsip diskuotasional
yang menyatakan bahwa
“ seorang pengujar
yang tanpa keraguan dapat dikatakan jujur dalam menyetujui ‘p’ jika dan hanya
jika ia percaya bahwa p “ . mempertegas bahwa dia yakin
tanpa keraguan tanpa harus mengulangi sekali lagi perkataannya ( mungkin si
pengujar malu ).
kedua adalah prinsip penerjemahan yang menyatakan “jika sebuah kalimat pada suatu
bahasa mengekspresikan kebenaran pada bahasa tersebut, maka terjemahan dalam
bahasa manapun juga mengekspresikan kebenaran “. Ini berfungsi untuk menjaga tujuan dalam
penerjemahan dari bahasa asli ke bahasa lain.
Puzzle dimulai dari sebuah cerita tentang seorang pemuda
monolingual bernama Pierre yang tinggal di kolong jembatan di paris. Perancis
kala itu sedang di landa sebuah krisis dan gejolak pemberontakan. singkat kata,
Pierre hidup dalam kemisikinan dan kesusahan. Pierre yang resah mencari makanan
kesana kemari sering memungut kertas koran yang tersebar di jalanan, pada
banyak koran yang ia lihat. Pierre takjub oleh sebuah kota yang bernama
Londreas. Koran menggambar Londres seperti taman eden yang berisi kastil-kastil
megah dan pepohonan yang rimbun. Bagi Pierre disana adalah surga, tak ada
kelaparan maupun penyakit. Pierre sering bercerita pada teman-temannya sewaktu
hendak tidur bahwa “ Londres est jolie “.
dalam bulan-bulan selanjutnya, pembrontakan kian memanas, Pierre yang
sudah tidak tahan lagi hidup nestapa akhirnya memutuskan untuk pergi
meninggalkan paris dengan menumpang kereta kuda. kebetulan kereta kuda tersebut hendak
mendistribusikan makanan ke inggris. singkatnya, Pierre dengan mengikuti rute
kereta kuda tiba di Inggris. disana Pierre memutuskan untuk mengikuti massa
pekerja ke kota London untuk mencari pekerjaan. Naasnya, disana ia tertimpa
nasib yang sama bahkan lebih buruk. tidak berubah masih tinggal di kolong
jembatan. disana ia mendapatkan gaji rendah dan bahkan sering ditipu oleh pemilik
pabrik dikarenakan Pierre tidak dapat berbahas inggris. kebiasaannya pun masih
sama sebelumm tidur Pierre membisikan dengan lembut pada dirinya sendiri bahwa
“ Londres est jolie “. Pierre meniatkan dirinya untuk belajar bahasa inggris via
secara langsung seperti bayi. berbulan – bulan kemudian hidup Pierre mulai
membaik dikarenakan komunikasinya membaik. Kini ia tinggal di Darmouth, berprofesi sebagai seorang pemilik toko.
Suatu hari seorang pelanggannya berkata bahwa ia ingin merantau ke London untuk
memperbaiki hidupnya. Pierre yang masih mengingat pengalaman kesulitannya
sewaktu di kota London berkata “ London is not pretty “. dan menyarankan
pelanggannya itu untuk tidak pergi ke London.
Pada cerita diatas dengan pembacaan de dicto dan de re,
kita bisa mengambil beberapa asersi, yaitu :“Londres ist jolie” dan “ London is
not pretty “. Pada kalimat “ Londres ist
jolie “ dapat diterapkan prinsip
penejemahan menjadi “ London is pretty”.
dan keduanya jika digunakan prinsip dikuotasional dapat terbentuk sebuah
pernyataan “ Pierre percaya bahwa London is pretty “ dan “ Pierre percaya bahwa
London is not pretty “. pertanyaan yang diajukan kripke adalah jika Pierre
tidak pernah menggantikan kepercayaan
yang telah dia buat sewaktu berada di perancis. lalu, Apakah Pierre mempercayai London is pretty
atau tidak? . Jika anda jawab tidak dengan berdalih bahwa ia tidak mempercayai lagi London is
pretty/Londres ist jolie karena telah tinggal di inggris dan berbahasa inggris.
maka ini seperti saja mengatakan bahwa Pierre telah mengganti kepercayaan.
jawaban ini tidak bisa dibenarkan karena pierre mengaku bahwa ia tidak pernah
mengganti jawabannya. jika anda jawab iya karena berdalih bahwa Pierre percaya
London is not pretty karena masa lalunya di perancis. ini juga bukan jawaban
yang memuaskan karena kepercayaan baru Pierre ini sama dengan kepercayaan
tetangga-tetangganya di London. bila kita asumsikan Pierre disambar listrik
sehingga semua ingatannya masa lalunya di perancis terhapus maka Pierre akan
tetap pada kepercayaannya karena Pierre nantinya juga akan memiliki kepercayan
dan pemikiran yang sama dengan tetangganya. jika anda menerima kedua
kepercayaan Pierre maka saya bisa saja mengasumsikan Pierre ternyata adalah
Logikawan sehingga dia tidak akan pernah membiarkan dirinya memiliki
kepercayaan yang saling berkontradiksi. jawaban bahwa pierre memiliki dua
kepercayan tsb pun ini pun tidak memuaskan.
lewat puzzle ini Kripke berhasil membuktikan ( self claim
) bahwa absurditas akan tetap terjadi tanpa mengasumsikan adanya pertukaranan
nama ( transparansi nama ). Tidak ada
dua buah nama atau lebih yang menunjuk pada objek sama dalam cerita Pierre,
hanya ada satu nama yaitu London/Londres. Sekian...
Referensi :
Ryckman, Thomas C. "Proper names, beliefs, and
definite descriptions." (1984). Doctoral Dissertations 1896 - February
2014. 1789. https://scholarworks*umass*edu/dissertations_1/1789.
Quine,
W. V. “Quantifiers and Propositional Attitudes.” The Journal of Philosophy,
vol. 53, no. 5, 1956, pp. 177–187. JSTOR, www*jstor*org/stable/2022451
Kripke, S.A. (1979) A Puzzle about Belief. In: Margalit A. (eds) Meaning and Use. Synthese Language Library (Texts and Studies in Linguistics and Philosophy), vol 3. Springer Dordrecht. https://doi*org/10*1007/978-1-4020-4104-4_20
Smit,
JP. "Some Lessons from Kripke’s A Puzzle
About Belief." Stellenbosch Papers in Linguistics [Online],
40 (2011). https://doi*org/10*5774/40-0-38.
Monday, November 16, 2020
Sunday, November 8, 2020
Hai semua ^_^ Aye Admin K. Kali ini, aye bakal ngeshare soal-soal fisika dasar kuliahan sebagai bahan latihan, sangat cocok bagi kalian yang maba di fakultas MIPA terutama jurusan fisika-fisikaan. Soal-soal disini dibagi ke dalam berbagai bidang. Baiklah, langsung saja cekidoot.. Oh ya, soal-soal di post ini juga suatu saat akan ditambah. Jadi, kalian juga bisa balik lagi kesini kalau mau.
Monday, October 12, 2020
Hai semua ^_^ Aye Admin K. Yap, kali ini aye bakal share lagi pembuktian teorema Phytagoras. Sebelumnya sebenarnya aye sudah pernah menulis tentang ini disini. Nah, postingan ini aye buat untuk nge-remake postingan tersebut biar makin rapi aja.
Friday, October 9, 2020
Chuakzz.. Chuakkzz ..... bapak kau booyah , sekedar pemberitahuan saja, mimin bikin postingan ini buat iseng-iseng aja ya karena memang di postingan ini mimin mau nuangkan opini saja.
Jadi ini berawal dari mimin scroll timeline Fb - gk suka dongeng makanya mimin gk main twittard - pas mimin scroll tuh beberapa menit.. eh.. amit-amit jambang bayi muncul meme yang kelihatannya itu men-down grade kasta open minded. untuk informasi aja yah, sekarang meme itu udah gk dipakai buat lucu-lucuan lagi malahan sering kali meme ini dipakai buat perang-perangan, hina-hinaan. iya lucu sih tapi lucu bagi sirkel atau kubunya. enggak lucu bagi kubu oposisi malahan bikin sakit hati. contoh nih meme makar, meme ini kadang-kadang bisa bikin sakit hati atau panas tuh para cebong fanatik lihat meme makar gitu-gituanm, lah idolanya diejek ya apa gk sakit hati/marah. ini juga berlaku jika para cebong fanatik buat meme counter attack, wah bisa jadi bakalan ada demo *sensor* jilid 2 . mari kita back to the topic a.k.a kembali ke laptop. seperti ini kira-kira meme yang mimin lihat :
widih.. dari gambarnya aja udah ketahuankan gimana open minded dalam bayangan mereka. wah.. openminded itu harus dukung psi, anti islam atau minimal suka mengolok-ngolok islam tapi bukan islam sih tapi lebih tepatnya konservatif islam CHuakzzz...Chuakzz dan gk ketinggalan karena memenya saya tebak original buatan kadrun maka tak lupa elemen paling penting ya itulah tau sendiri, elemen makar. kalau bisa dideskripsikan 1 kata maka kata yang cocok untuk menggambarkan keseluruhan gamabr adalah open minded itu anti konservatif. tapi apakah benar begitu bahwa open minded itu selalu harus anti konservatif. sebenarnya ini false dichotomy ya terlalu mensimplifikasikan. tapi mimin gk akan mengelak bahwa memang sebagian besar open minded itu bukan konservatif dan biasanya melindungi hak LGBT. yah iya itu buat mimin. mimin anggap seabagai konsekuensi tak langsung dari cara berpikir open minded ( nanti mimin kasih alasan kenapa bisa begitu ). perlu diingat mimin bilang begini ukan berarti open minded itu harus begini ya. sebenarnya open minded itu gk ada hubungannya sama kepercayaan yang seseorang itu peluk. jadi apa sih itu open minded ?.
berhubung mimin gk suka gaya khas bahasa intelektual jadi mimin langsung saja definisikan open minded itu sebagai cara berpikir. cara berpikir seperti apa? cara berpikir yang menghendaki ke-transparan-an/keterbukaan. contohnya misal ada dua kubu yang bertentangan sebut saja A dan ~ A, nah seorang open minded itu pasti akan mencoba ngecek argumen dari kedua kubu itu secara adil gk berat sebelah. jika dia kebetulan di kubu A maka si orang ini berani ngambil langkah untuk mempelajari apa sih argumen yang dilayangkan kubu ~A dan bahkan lebih jauh akan nanya kenapa mereka bisa ke kubu A. ini cuma salah satu contoh. salah satu contoh lainnya adalah ketika kamu sebagai murid. dibayangkan saja pura-pura kamu seorang murid yang menghadiri kelas fisika. nah, kebetulan di kelas fisika tersebut lagi ada pelajaran General Theory Of Relativity nah..nah disaat seperti ini kamu juga membutuhkan cara berpikir open minded, kamu pada saat itu harus membuka pikiranmu ( open minded kan ) untuk menerima postulat-postulatnya einstein dan ninggalin asumsi-asumsi lamamu tentang alam semesta. kalau ini gk dilakukan ya kamu gk paham- paham. Nah lagi, pada contoh ini secara tidak langsung mimin mau bilang, kalau open minded itu dipakai gk mesti saat ada dua kuu yang bertentangan.
Bagus kan cara berpikir open minded ini. selain bagus untuk menimbang sebuah argumen atau kepercayaan. dengan menerapkan cara berpikir ini kamu secara tidak langsung menumbuhkan empati, kebijaksanaan dan keadilan. kan lewat ini kamu jadi mau lebih memahami lawan kamu, gak terburu-uru nge-judge dan lebih teliti dalam menimbang. karena alasan-alasan ini mimin tadi bilang kalau konsekuensi open minded itu ya yang seperti diatas.
Mimin udah selesai bahas keunggulan open minded, sekarang mimin kasih wejangan. iya memang positif tapi sayangnya menurut mimin gk semua kasus open minded ini membawa keuntungan. ada yang beberapa kasus malah tambah buruk. karena harus diakui kita ini kadang rawan ke bawa ke jalan yang salah. misal nih dlu ada fl mimin yang terlalu open minded. open minded disini itu di ranah keislaman. dia terbuka sangat transparan dari mazhab-mazhab pemikiran. tapi sayang karena keterbukaan itu dia jadi ISIS, karena keterbukaann itu dia jadi makan banyak propaganda ISIS yang mengakibatkan dia jadi ISIS. mimin bilang jelek karena mimin gk setuju ISIS 😄. ini cuma sekedar contoh dalam versi mimin kalau beberapa kasus malah jadi buruk. susah kan jadi open minded ya susah.
dan lagi kamu gk perlu jadi open minded kalau ngelawan FE jika dan hanya jika kalau kamu udah yakin 100% dengan argumen kamu. ya faktanya memang begitukan ukti bumi bulat udah jelas, karena udah jelas cuma buang-buang waktu ngecek argumen FE. beda kalau argumen bumi bulat gk sekuat sekarang.
Tuesday, October 6, 2020
Jalan pertama yang harus dilalui oleh para pelajar marx dalam memahami marx secara personal adalah mempelajari masa muda marx, yang secara tidak langsung berarti mempertanyakan kaitan pemikiran marx dengan ide para filsuf yang ia dukung secara persis yaitu hegel dan feurbach serta apa yang membedakannya dari mereka. jika kita berkaca pada althusser, pertanyaan – pertanyan tadi akan menghasilkan pertanyaan baru “ apakah keretakan epistemologis ( epistemological break ) eksis pada pemikiran marx dan dimana keretakan ini terjadi “. lewat pertanyaan tersebut althusser meremuskan dua poin penting. yaitu :
1. keretakan epistemologis eksis dan terdapat pada pada dua buku karyanya yang mengkritik pemikiran filosofis yaitu, The german Ideology, dan Theses on Feurbach.
2. keretakan epistemologis ini menyatukan dua displin
teoritik dengan cara mendirikan suatu
teori historis, Dialektika Historis ( Dialektika Materialisme, materialisme
historis ) . serta inilah yang mengawali marx untuk membentukan sebuah filosofi
baru dan memutuskan hubungannya dengan ideologi lamanya.
lewat keretakan epistemologis ini kita dapat memisahkan
marx menjadi dua masa, masa ideologi dan masa saintifik yang terjadi pada tahun
1845. masa kedua dapat dipecah lagi menjadi dua momen, masa transisi teoritik
dan masa kematangan teoritik.
dengan keretakan epistemologis dan pemagian masa, lebih lanjut kita bisa klasifikan pemikiran marx menjadi 4 periode :
a) 1840 – 44, dinamai sebagai the Early Work, mencangkup yang semua marx tulis dari disertai sampai pada manuskrip 1844 dan The Holy Family. masa ini juga bisa kita bagi lagi menjadi dua momen, marx sebagai liberal rasionalis ditandai pada karyanya Die Rheinische Zeitung dari 1840 sampai 1842 . dan kommunalis rasional dari 1842-1845.
b) 1845, dinamai sebagai Work of the Break, seperti yang disebutkan diatas tadi. karyanya pada masa ini adalah German Ideology dan These On feurbach. masa saat dimana marx mengkritik.
c) 1845 – 57, dinamai sebagai the Transitional Work, masa transisi dimana marx berpindah dari masa ideologi ke masa saintifik, beberapa karyanya adalah draf pertama capital, yaitu manifesto, private property, dan price and profit.
d) 1857 – 83, dinamai sebgai Mature work. merupakan masa kematangan beberapa karyanya adalah Introduction to A Contribution to the Critique of Political Economy dan Pre-Capitalist Economic Formation.
ada beberapa tesis yang mengatakan bahwa masa Early Work-nya Marx terutama pada waktu disertasi marx diseut-sebut sebagai hegelian. mimin mengutip perkataan althusser menyatakan tesis tersebut adalah bentuk dari mitos. pada nyatanya marx pada masa disertasinya sangat dipengaruhi oleh kantian-fichtean, ini mengapa marx pada momen pertamanya adalah seorang liberalis rasionalis, lalu pada momen kedua marx dipengaruhi oleh problem-problem antropologis yang ditawarkan oleh feurbach dan juga itulah mengapa marx menjadi komunis-rasionalis pada momen kedua.
selanjutnya, dalam
masa break-nya yaitu pada 1845, marx mulai berpikir ulang tentang feurabch dan
hegel antara filsafat kesadaran dan filsafat antropologis. mulai terjadi
keretakan dan pemilahan kata dengan kata dan konsepsi dengan konsepsi agar
supaya tidak mudah terjebak pada anggapan positivis dan individualis-humanis.
sebelum tahun 1845 marx juga sudah
pernah melakukan kritik sistematis terhadap hegel, termaktub dalam the crtitic
philospy of right dan the introduction critic of hegel philosopy tapi seperti
yang dikatakan tadi kritik ini adalah pengemangan dari kritiknya feurbach
terhadap hegel, kritik melawan abtraksi dan spekulatif.
Pengklasifiskasian
dan penentuan keretakan epistemologis ini sangat penting, karena dengan ini
nantinya menentukan kira-kira seperti apa sih filsafat marxis itu dan pembaccan
marx pada tahun selanjutnya.
Pada selanjutnya
kita akan langsung membahas filsuf yang paling dekat dengan Marx yaitu Feurbach.
salam dari mimin,
jika sudah larut malam maka tidur agar bugar di keesokan harinya.
Thursday, October 1, 2020
Halo semuanya ^_^ Aye Admin K mau mengumumkan kalau di situs ini kita punya fitur Random Math Problem yang akan memberikan kalian soal matematika secara acak. Kalian bisa mengunjungi fitur ini lewat menu Tools >> Ruang Soal atau klik saja di sini. Bye~
Tuesday, September 29, 2020
Thursday, September 17, 2020
Kant menghubungkan proses pelepasan dari ketidakdewasaan dengan manusia itu sendiri. Ia mencatat bahwa "manusia sendirilah yang bertanggung jawab atas statusnya yang belum dewasa ... bahwa ia mampu melepaskan diri darinya dengan suatu perubahan yang akan ia hasilkan dalam dirinya sendiri". Karena itu semboyan Kant untuk Pencerahan: aude sapere (berani mengetahui) (1984a: 34).
Ada hubungan, dalam pandangan Foucault, antara artikel singkat 'What is an Enligment' dan tiga Kritik Kant, karena Kant menggambarkan Pencerahan sebagai momen ketika umat manusia akan menggunakan nalarnya sendiri untuk digunakan, tanpa tunduk pada otoritas apa pun. Namun, justru pada saat inilah kritik diperlukan karena, seperti dikatakan oleh Foucault (1984a: 37-38), "perannya adalah mendefinisikan kondisi di mana penggunaan akal sah ... Kritik itu sah ... kritik dalam pengertian ini. adalah, dalam arti tertentu merupakan buku pegangan bagi nalar yang tumbuh dalam Pencerahan; dan, sebaliknya, Pencerahan adalah zaman Kritik ". Jadi, esai singkat Kant tentang Pencerahan merupakan "refleksi ... tentang status kontemporer usahanya sendiri" (1984a: 37). Dalam pengertian inilah, seperti dikatakan Foucault (1984a: 38), "teks kecil ini terletak ... di persimpangan refleksi kritis dan refleksi tentang sejarah".
pertanyaan mengenai modernitas telah diajukan dalam budaya klasik dengan mengikuti sumbu dengan dua kutub, zaman kuno dan modernitas; itu telah dirumuskan dengan term otoritas untuk diterima atau ditolak. . . atau dalam bentuk lain. . . evaluasi komparatif: apakah zaman kuno lebih unggul dari Moderns? apakah kita hidup dalam periode dekadensi? Dan seterusnya. Sekarang muncul cara baru untuk mengajukan pertanyaan tentang modernitas, tidak lagi dalam hubungan longitudinal dengan Zaman kuno, melainkan dalam apa yang disebut sebagai hubungan `sagital 'dengan masa kini. Diskursus harus memperhitungkan masa kini-nya sendiri, untuk menemukan tempatnya sendiri, untuk mengucapkan maknanya, dan untuk menentukan cara tindakan yang mampu dilakukannya dalam masa kini. Apa hadiah saya? Apa arti dari hadiah ini? Menurut saya, itulah substansi dari interogasi baru tentang modernitas ini. (Foucault, 1986: 90)
Oleh karena itu, bagi Foucault (1986: 89), esai Kant memperkenalkan jenis pertanyaan baru ke dalam bidang refleksi filosofis, yang melihat filsafat "mempersoalkan diskursif kekini-annya" dalam konteks sejarah. Kontekstualisasi historis inilah yang menjadi alasan Kant untuk melakukan karyanya pada waktu tertentu, di tempat pertama. Faktanya, pertanyaan yang dia ajukan adalah pertanyaan yang diajukan kepadanya dan pertanyaan lain yang diajukan oleh Berlinische Monatsschrift. Lima belas tahun kemudian, Kant mengajukan pertanyaan serupa dalam menanggapi Revolusi Prancis 1798. Dalam artikelnya 'The Contest of the Faculty', Kant mempertimbangkan pertanyaan tentang natur Revolusi Prancis. Apa yang dia cari adalah 'tanda' kemajuan umat manusia. Untuk menilai kemajuan, Kant beralasan, daripada berusaha mengikuti alur "kain teleologis yang akan membuat kemajuan mungkin" (1986: 92) Kant berpikir perlu "untuk mengisolasi dan mengidentifikasi dalam sejarah suatu peristiwa yang akan berfungsi sebagai tanda untuk kemajuan ". Lebih lanjut, kata Foucault (1986: 92):
Apakah ada tanda seperti itu? Jawaban Kant adalah 'Revolusi Prancis' memiliki nilai yang begitu berarti, meskipun bukan revolusi sebagai peristiwa yang merupakan tanda melainkan “cara Revolusi beroperasi sebagai tontonan, yang umumnya diterima oleh penonton yang tidak mengambil bagian di dalamnya, tetapi memperhatikan, menyaksikan, dan, untuk baik atau buruk, biarkan diri mereka terbawa olehnya "(1986: 93). Tidak peduli apakah Revolusi berhasil atau gagal. Apa yang merupakan tanda kemajuan adalah, seperti yang diungkapkan Kant, bahwa Revolusi dikelilingi oleh "partisipasi angan-angan yang berbatasan erat dengan antusiasme" (dikutip dalam Foucault, 1986: 93)
Karenanya, bagi Kant, antusiasme terhadap Revolusi "adalah tanda disposisi moral umat manusia" (Foucault, 1986: 93); Ia melengkapi dan melanjutkan proses Pencerahan, peristiwa yang menunjukkan perjalanan panjang dari ketidakdewasaan umat manusia menuju kedewasaan. Dalam pandangan Foucault, dua pertanyaan Kant -`Apakah Pencerahan itu? ' dan 'Apa itu Revolusi?' - adalah dua bentuk yang dia ajukan dari pertanyaan tentang masa kini. Mereka juga merupakan dua pertanyaan "yang terus menghantui jika tidak semua filsafat modern sejak abad kesembilan belas, setidaknya sebagian besar darinya". Bagi Kant, kata Foucault, Pencerahan merupakan "peristiwa tunggal yang meresmikan modernitas Eropa dan sebagai proses permanen yang memanifestasikan dirinya dalam sejarah akal" (1986: 95).
Foucault kurang yakin dibandingkan Kant bahwa Pencerahan adalah perjalanan yang panjang, lambat, dan menanjak yang berdasarkan pada kapasitas nalar, dan kurang yakin dibandingkan Kant bahwa Revolusi merupakan tanda kemajuan. Bagi Foucault, daripada menjadi periode atau peristiwa yang didasarkan pada keyakinan dan kepastian yang baru ditemukan manusia, kedewasaan berdsarkan akal, Pencerahan menandakan ketidakpastian dan kebutuhan untuk berhati-hati. Demikian pula, Revolusi bukanlah peristiwa yang ditandai dengan berjalannya antusiasme yang berfungsi sebagai tanda kemajuan yang pasti, tetapi peristiwa yang merupakan kejadian yang ambigu dan selalu berpotensi berbahaya: "kemungkinan besar akan berhasil atau gagal, atau berhasil dengan biaya yang tidak dapat diterima" (1986: 92). Oleh karena itu, sementara Foucault menghormati argumen Kant, dia menemukan bahwa argumen tersebut cacat karena beberapa alasan: "banyak hal dalam pengalaman kami meyakinkan kami bahwa peristiwa sejarah Pencerahan tidak membuat kami menjadi dewasa, dan kami belum mencapai tahap itu" (1984a: 49). Revolusi yang Kant anggap sebagai tanda kemajuan, meskipun "lahir dari rasionalisme ... orang berhak untuk menanyakan bagian apa yang dimainkan dalam efek despotisme di mana harapan itu hilang sendiri" (Foucault, 1980b: 54).
Humanisme
Kritik Foucault terhadap humanisme konsisten di seluruh karyanya. Seperti yang diungkapkannya dalam esai selanjutnya, humanisme antropologis mengambil berbagai bentuk dan dapat dilihat terbukti dalam agama Kristen, Marxisme, Eksistensialisme, Fenomenologi, bahkan Nazisme dan Stalinisme, kata Foucault. Selain itu (1984a: 44):
Humanisme adalah. . . sebuah tema atau lebih tepatnya kumpulan tema yang telah muncul kembali pada beberapa kesempatan dari waktu ke waktu, dalam masyarakat Eropa; Tema-tema ini, yang selalu dikaitkan dengan penilaian nilai, jelas sangat bervariasi dalam kontennya, sebagaimana dalam nilai yang telah dilestarikannya. . . . Dari sini kita tidak boleh menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang pernah dikaitkan dengan humanisme harus ditolak, tetapi tematik humanistik itu sendiri terlalu luwes, terlalu beragam, terlalu tidak konsisten untuk dijadikan poros refleksi. Dan adalah fakta bahwa, setidaknya sejak abad ketujuh belas, apa yang disebut humanisme selalu harus bersandar pada konsepsi tertentu tentang manusia yang dipinjam dari agama, sains, atau politik. Humanisme berfungsi untuk mewarnai dan membenarkan konsepsi manusia yang, bagaimanapun juga, wajib mengambil jalan lain.
Namun, dalam penggunaannya yang lebih spesifik, humanisme merupakan suatu kondisi kemungkinan epistem Pencerahan. Ini berfokus pada studi tentang Manusia yang menempatkan subjek di pusat kehidupan. Kantianisme melihat manusia sebagai penengah transendental nalar dan sebagai subjek dan objek pengetahuan, yang dalam pandangan Foucault mengarah pada ketidakcocokan mendasar dalam konsepsi tentang apa itu manusia dan dalam sifat pengetahuan modernis yang dianalisisnya dalam The Order of Things (1970: 316-322). Bagi Foucault, manusia tidak dapat dilihat sebagai fondasi atau asal atau kondisi kemungkinan diskursus. Upaya Kant untuk melakukan itu adalah bagian dari pencariannya akan landasan asli "yang akan menjadikan rasionalitas sebagai telos umat manusia, dan menghubungkan seluruh sejarah pemikiran dengan pelestarian rasionalitas ini" (Foucault, 1972: 12-13). Meskipun 'analytic of finitude' Kant memungkinkan ilmu-ilmu manusia, manusia ditempatkan pada posisi yang tidak stabil baik sebagai subjek maupun objek pengetahuan. Oleh karena itu, manusia muncul dalam 'analytic of finitude' yang diperkenalkan oleh Kant sebagai "kembaran empiris-transendental yang aneh" karena ia adalah objek pengetahuan (yang ingin diketahui oleh pengetahuan) dan subjek pengetahuan (yang berjuang setelahnya). pengetahuan tersebut). Humanisme seperti itu memasukkan ketidakstabilan radikal ke dalam ilmu pengetahuan manusia. Seperti yang dikatakan Hiley (1985: 72):
Humanisme, sebagaimana dipahami Foucault, menghabiskan dirinya dalam bolak-balik tak berujung dari satu sisi ke sisi lain dari manusia dan kembarannya: dari manusia sebagai syarat untuk kemungkinan pengetahuan kepada manusia sebagai objek dalam bidang empiris; dari upaya manusia untuk menjadi dapat dipahami oleh dirinya sendiri dengan membuat akses pikiran yang tak terpikirkan yang selalu menghindarinya karena itulah yang membuat pikiran menjadi mungkin; Dari hubungan manusia yang aneh dengan sejarahnya sebagai sejarah dan apa yang memungkinkan terjadinya sejarah di mana asalnya selalu menarik. Humanisme atau analytic of fintude, kemudian, adalah 'bentuk refleksi yang melengkung dan bengkok,' dan semua bentuk refleksi yang mengambil manusia sebagai titik awal, pembicaraan tentang pembebasan manusia, upaya untuk mencapai kebenaran tentang manusia terperangkap di dalamnya. kesia-siaan ganda.
Humanisme, kemudian, melibatkan klaim bahwa manusia, bagi Kant, ada di pusat alam semesta sebagai makhluk terbatas yang dapat bernalar dalam batas-batas yang tidak dapat dilampaui. Gagasan seperti itu menghasilkan kontradiksi yang tidak terpecahkan bagi ilmu-ilmu manusia karena didasarkan pada konsepsi yang tidak sesuai tentang apa itu manusia, sejarah, dan pikirannya. Foucault (1970: 312-313) menelusuri permainan dari kontradiksi-kontradiksi ini sebagaimana mereka telah muncul bersamaan dengan ilmu-ilmu empiris manusia. Karenanya di satu sisi pengetahuan kita harus dibatasi, karena manusia mengenal dirinya sebagai makhluk yang terbatas, sebagai tujuan dari alam; di sisi lain bahwa keterbatasan yang menetapkan batas-batas pemahaman manusia diklaim sebagai kondisi yang memungkinkan pengetahuan tentang keterbatasan ini (1970: 314-315). Karenanya kemungkinan pengetahuan ditetapkan pada batas-batas akal yang menyangkalnya (1970: 317-318).
Transendentalisme Kant dengan demikian didukung oleh konsepsi antropologis tentang subjek tersebut. Foucault menentang humanisme Kant dengan cara yang sama dia menentang konsep Cartesian tentang Cogito yang dikabutkan dan tidak berwujud di pusat alam semesta. Bagi Foucault, konsep Cartesian tentang subjek otonom dan rasional yang dipisahkan dari sejarah bergantung pada perbedaan antara pikiran dan tubuh yang membentuk dualisme dalam / luar. Dalam model ini, sementara tubuh tunduk pada penentuan hukum alam, pikiran adalah otonom dengan dirinya sendiri. Dalam konsepsi seperti itu, pengetahuan dilihat sebagai didasarkan pada fondasi yang tidak dapat diperbaiki dan tidak dapat dirubah. Mengikuti Heidegger dan Nietzsche, humanisme, bagi Foucault, memiliki makna khusus yang mengacu pada sentralitas filosofis atau prioritas subjek yang kapasitas rasionalnya, yaitu asosial dan ahistoris, berfungsi sebagai landasan penahan objektivitas dan kebenaran. Sebagaimana Fraser (1994: 191) nyatakan, humanisme 'adalah proyek membuat tiang subjek menang atas tiang objek "yang mewakili manusia sebagai pembentuk, sebagai bebas, sebagai semua yang tahu, dan sebagai penguasa nasib dan takdir mereka. Konsepsi Foucault tentang subjek, dipengaruhi oleh Nietzsche, melihatnya sebagai tidak memiliki 'kesatuan', 'esensi' atau identitas integral.
Untuk mempertahankan filosofis anti-humanisme inilah Foucault menyajikan bacaan dan adaptasinya tentang Kant. Dalam pengantar komentarnya untuk Antropologi Kant, Foucault berpendapat bahwa pekerjaan ini jauh lebih penting bagi keseluruhan proyek Kant daripada yang biasanya direpresentasikan. Yang dimaksud dengan 'antropologi' Kant adalah studi empiris yang sebenarnya tentang manusia, dan dalam Logika Kant menunjukkan bahwa antropologi dapat dianggap sebagai masalah fundamental dalam filsafat, karena semua pertanyaan yang pusat perhatian berasal dari pertanyaan yang lebih mendasar. 'Apa itu Manusia?' Dalam pengantar Kant's Anthropology Foucault mengemukakan bahwa konsepsi Kant sendiri tentang pilihan seseorang, tumbuh dari jaringan praktik sosial yang menyusunnya. Namun untuk menetapkan pengetahuan yang aman, Kant membedakan antara yang empiris dan transendental, mengemukakan hukum kognisi tertentu untuk mendasarkan objektivitas terhadap serangan skeptis. Jadi inti Revolusi Copernican Kant adalah (1) pembentukan keteraturan kognitif yang sah untuk melabuhkan objektivitas, (2) pembentukan kehendak bebas sebagai praktik transendental, dan (3) representasi manusia sebagai pembangun dunia moral dan politik untuk mereka sendiri melalui pemanfaatan kemampuan akal. Meskipun Kant percaya bahwa konstruktivisme semacam itu, jika dilakukan menurut nalar, akan membenarkan gagasan tradisional Kristen tentang Tuhan, dalam pandangan Foucault konsekuensi dari kritik transendentalnya adalah untuk menetapkan manusia memiliki kemampuan kreatif yang jauh lebih besar daripada yang dimiliki Kant. seharusnya. Oleh karena itu, bagi Foucault (1960: 17), seperti yang dikatakan Miller (1994: 140), "dunia tampak sebagai kota yang akan dibangun, bukan sebagai kosmos yang telah diberikan". Dalam pandangan Foucault, Kant telah gagal menghadapi implikasi konstruktivis yang diungkapkan oleh wawasannya tentang kekuatan transendental manusia. Seperti yang diungkapkan Miller (1994: 141):
Alih-alih menggunakan kekuatan kehendak bebas dan membayangkan "kota yang akan dibangun", Kant dalam Antropologinya mencoba untuk membuktikan "pemahaman normatif", tidak hanya dengan mengkodifikasi jenis penyelamat yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menuduh "pengkhianatan tingkat tinggi" siapa pun yang menganggap pengetahuan semacam itu palsu dan ilusi. Saat Foucault meringkas argumen tesisnya dalam The Order of Things, filsafat Kant menghasilkan, "secara diam-diam dan sebelumnya, kebingungan antara yang empiris dan transendental, meskipun Kant telah mendemonstrasikan pembagian di antara keduanya.
apa yang juga diungkapkan Antropologi Kant, dalam pandangan Foucault, adalah karakter historis kontekstual dari kategori-kategori yang berakar, dan berkembang dalam adat istiadat dan praktik sosial dan sejarah masyarakat tertentu. Dalam konteks ini, peran filsuf adalah untuk memahami sifat historis dari apriori melalui pemeriksaan rinci dari praktek-praktek sosial dan sejarah (adat istiadat, bahasa, kebiasaan, wacana, institusi, disiplin) dari mana gaya penalaran tertentu muncul. dan berkembang. Dalam pengertian ini, bagi Foucault, seperti yang dikatakan Miller (1994: 140), Antropologi Kant, jauh dari "piece of crackpot pseudosains yang membuka cakrawala filosofis baru yang penting". Sebagaimana Miller (1994: 140) melanjutkan:
terlepas dari eksentrisitasnya yang tampak jelas, buku Kant menggarisbawahi untuk Foucault berbagai cara di mana "diri, dengan menjadi objek" dari praktik sosial yang diatur, "mengambil tempatnya di bidang pengalaman dan menemukan di sana sistem kepemilikan yang konkret". Sistem ini "segera dan penting", tidak ada manusia yang dapat menghindarinya; ia ditransmisikan dalam "elemen bahasa yang diatur," diorganisir "tanpa campur tangan kekuatan atau otoritas," diaktifkan dalam setiap subjek "secara murni dan sederhana karena ia berbicara"
Bagi Foucault, ketegangan yang belum terselesaikan dari proyek filosofis Kant adalah bahwa ia gagal untuk menghargai karakter kontingen dan kontekstual historis dari semua klaim kebenaran, yaitu, untuk menganjurkan gagasan kritik yang mengklaim melampaui kondisi historis tertentu melalui latihan kemampuan kognitif ( pemahaman, alasan, dan penilaian) menyimpulkan apriori sebagai struktur abadi. Karakter transendental argumen Kant terletak pada penempatan kategori apriori yang disimpulkan merupakan kesadaran subjek manusia, sebagai yang mengatur persepsi sebagai struktur abadi dan universal. Dalam pengertian ini, Foucault menolak klaim Kant yang telah menetapkan dasar universal untuk kondisi kemungkinan pengetahuan manusia, dan klaim Kant untuk alasan transendental diganti untuk Foucault dengan prinsip kontingensi permanen. Lebih lanjut, Foucault membantah klaim Kant yang telah membentuk fondasi yang aman untuk membedakan berbagai jenis klaim pengetahuan, yang berkaitan dengan sains, alasan praktis, atau estetika. Tujuannya adalah untuk beralih dari konsepsi kritik yang berlandaskan transendental, ke konsepsi kritik yang menganggapnya praktis dan spesifik secara historis. Jadi Foucault berkata:
Kritik tidak lagi dipraktekkan dalam pencarian struktur formal dengan nilai universal, melainkan sebagai investigasi historis atas peristiwa-peristiwa yang telah membawa kita untuk membentuk diri kita sendiri dan untuk mengenali diri kita sendiri sebagai subjek dari apa yang kita lakukan, pikirkan, katakan. Dalam pengertian ini kritik tersebut tidak transendental, dan tujuannya bukanlah untuk membuat metafisika menjadi mungkin: ia adalah genealogis dalam rancangannya dan arkeologis dalam metodenya. (Foucault, 1984a: 45-46)
Oleh karena itu, dalam penjelasannya Foucault, pertanyaan terkenal Kant 'Apa yang bisa saya ketahui?', 'Apa yang harus saya lakukan?' dan 'Apa yang mungkin saya harapkan?', seperti yang diungkapkan oleh James Bernauer (Foucault, 1991: 46), Foucault akan "mendenaturkan" dan "mensejarahkan" mereka:
Bukan "Apa yang bisa saya ketahui?", Melainkan, "Bagaimana pertanyaan saya dihasilkan? Bagaimana jalur pengetahuan saya ditentukan?" Bukan "Apa yang harus saya lakukan", melainkan, "Bagaimana saya telah diposisikan untuk mengalami yang sebenarnya? Bagaimana pengecualian beroperasi dalam menggambarkan ranah kewajiban bagi saya?" Bukan "Apa yang bisa saya harapkan ?," melainkan, "Perjuangan apa yang saya hadapi? Bagaimana parameter untuk aspirasi saya didefinisikan?"
Proyek Geneologi Foucault kemudian merupakan kritik terhadap nalar yang ingin dia perkenalkan, dengan menggunakan frase Thomas McCarthy (1994: 249) "perubahan sosiohistoris" ke dalam praktik filsafat. Untuk mengeksplorasi "ruang lingkup dan batasan alamiah nalar manusia" kita harus memahami:
ketidakmurnian intrinsik dari apa yang kita sebut akal - itu tertanam dalam budaya dan masyarakat, keterikatannya dengan kekuasaan dan kepentingan, variabilitas historis dari kategori dan kriterianya, sensual dan praktik yang terlibat dalam pengusungnya ... dan ini membutuhkan model penyelidikan sosiohistoris yang melampaui batas-batas tradisional analisis filosofis. Kritik nalar sebagai usaha non-fondasionalis berkaitan dengan struktur dan aturan yang melampaui kesadaran individu. Tetapi apa yang supraindividual dengan cara ini tidak lagi dipahami sebagai transendental; itu berasal dari sosiokultural. (McCarthy, 1994: 243-244)
Dengan demikian, Foucault mengadaptasi Kant untuk mendukung konsepsi sosio-historisnya yang dengannya individu dibentuk dalam kaitannya dengan dunia praktik yang sudah ada dari medan sejarah yang ditentukan. Dalam menggambarkan metode Geneologi Nietzsche, institusi dan praktik diselidiki secara historis untuk melacak bentuk-bentuk kekuasaan dan garis pertentangan di antara dan disekitar mereka. Bagi Nietzsche, mode tindakan dan pemikiran kebiasaan kita memiliki asal sejarah dan menunjukkan tanda-tanda keinginan individu yang saling bertentangan untuk berkuasa atas orang, kelompok, dan kelas dalam sejarah. Dalam On the Genealogy of Morals Nietzsche menunjukkan bagaimana kode moral dominan kita muncul dari pertempuran kelas dan kelompok (misalnya Roma dan Yahudi) di masa lalu. Geneologi berusaha melacak garis pertempuran yang telah hilang untuk membuat dunia seperti yang kita kenal saat ini, alami. Dalam pengertian ini, hal itu berkontribusi untuk mempermasalahkan keyakinan dan konsepsi kita yang dianggap taken-for-granted tentang cara dunia bekerja.
Pengertian lebih lanjut di mana Foucault anti-humanis muncul dalam tulisan-tulisan tahun 1970-an, khususnya Discpline and Punish, History of Sexuality, dan dalam tulisannya tentang kekuasaan (lihat Foucault, 1980a). Dalam karya ini, Foucault prihatin dengan peran ilmu manusia dalam munculnya dan pemeliharaan normalisasi melalui bio-power disipliner. Bio-power, seperti yang dikatakan David Hiley (1985: 73), adalah bentuk kekuatan / pengetahuan modern yang unik yang mencakup "teknik disipliner untuk mengoptimalkan administrasi tubuh dengan kontrol regulasi atas proses biologis untuk pengelolaan kehidupan" (Hiley, 1985 : 73; mengutip Foucault, 1978c: 139). Ini berfungsi melalui normalisasi untuk menjajah setiap aspek kehidupan. Sebagaimana Hiley (1985: 73) melanjutkan:
ni produktif daripada hanya represif; ia bersifat kapiler, terdesentralisasi dan ada di mana-mana, ia beroperasi melalui paksaan, pengawasan dan disiplin pada tingkat praktik-praktik mikro daripada hanya melalui distorsi ideologis; itu disengaja dan digunakan secara strategis tetapi tidak subyektif, yaitu, itu adalah strategi tanpa ahli strategi.